Tag Archives: mudzakarah perhajian

Setoran Awal Dana Haji Biayai Jemaah Lain: MUI Haramkan, Mudzakarah Bolehkan



Jakarta

Mudzakarah Perhajian Indonesia yang baru saja selesai digelar di Bandung menghasilkan sejumlah keputusan penting yang akan berdampak signifikan pada penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun mendatang. Pertemuan yang dihadiri para ahli fikih, akademisi, dan praktisi haji ini menghasilkan beberapa keputusan hukum terkait pelaksanaan ibadah haji.

Salah satu keputusan penting yang dihasilkan adalah terkait pemanfaatan hasil investasi dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Para peserta mudzakarah sepakat bahwa penggunaan hasil investasi tersebut untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain hukumnya diperbolehkan.

“Hukum memanfaatkan hasil investasi Setoran Awal BPIH calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain adalah mubah,” kata KH Aris Ni’matullah, salah satu peserta Mudzakarah dari Pesantren Buntet Cirebon, pada upacara penutupan, Sabtu (9/11/2024).


Menurut KH Aris Ni’matullah, persentase penggunaan hasil investasi dana haji harus ditentukan secara hati-hati. Tujuannya agar menguntungkan semua pihak, baik jemaah haji yang sedang menunggu maupun yang akan berangkat. Selain itu, pengelolaan dana haji juga harus berkelanjutan agar hak semua jemaah terjamin.

“Presentasi pemanfaatan juga harus memastikan sustainabilitas dana haji dalam jangka panjang. Sehingga memberikan jaminan keamanan hak-hak jemaah haji daftar tunggu dan keringanan jemaah haji yang akan berangkat pada tahun berjalan,” tuturnya.

Beliau menambahkan, pemerintah melalui BPKH memiliki wewenang mengelola dana haji. Namun, pengelolaannya harus sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.

Pemanfaatan hasil investasi ini diharapkan dapat membantu mengurangi masa tunggu calon jemaah haji dan memberikan kemudahan bagi jemaah yang sedang menjalankan ibadah haji.

Keputusan ini berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) calon jemaah untuk membiayai jemaah lain.

Pengharaman ini tercantum dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 mengenai Hukum Pemanfaatan Hasil Investasi Setoran Awal BIPIH Calon Jamaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji bagi Jamaah Lain.

“Hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah Haram,” bunyi keputusan poin pertama fatwa tersebut seperti dilihat detikHikmah.

Dasar hukum fatwa MUI ini bersumber dari beberapa ayat Al-Qur’an, seperti surah Al Baqarah ayat 188 dan 196, surah An Nisa ayat 58, dan surah Al Maidah ayat 1. Serta hadits-hadits yang menekankan pentingnya menjaga amanah dan tidak merugikan hak orang lain. Seperti hadits tentang tidak halal menggunakan harta orang lain tanpa izin, hadits perintah menunaikan amanah, hadits akad wakalah SAW, hingga hadits tentang keutamaan bekerja sama antarsesama muslim.

MUI menilai bahwa pemanfaatan hasil investasi dana haji untuk membiayai jemaah lain berpotensi melanggar prinsip-prinsip tersebut dan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks di kemudian hari.

“Dalam praktiknya, tidak seluruh nilai manfaat hasil investasi dana setoran haji yang dimiliki calon jemaah haji tersebut dikembalikan untuk pemilik dengan memasukkan ke dalam rekening virtual milik masing-masing calon jemaah haji. Ada sejumlah nilai manfaat yang digunakan untuk kebutuhan lainnya,” jelas MUI dalam paparan masalahnya.

“Dampaknya, ada calon jamaah haji yang haknya terkurangi, dan ada jamaah haji yang tidak menggunakan hak jamaah haji lainnya. Dalam jangka panjang, jika tidak dibenahi ini akan menimbulkan masalah yang serius dalam hal likuiditas,” lanjutnya.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Hasil Mudzakarah dan Ijtima Ulama MUI Beda, PERSIS: Harus Disinkronkan



Jakarta

Mudzakarah Perhajian Indonesia 2024 menghasilkan sejumlah putusan terkait penyelenggaraan ibadah haji yang berbeda dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS) KH Jeje Zaenudin turut bicara terkait adanya perbedaan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Pusat di Bangka pada Mei 2024 lalu dengan hasil kesimpulan dan rekomendasi di Mudzakarah Perhajian baru-baru ini.

Saat pembukaan Mudzakarah Perhajian 2024 yang diselenggarakan pada 7-9 November di Bandung, PP PERSIS diamanahi oleh Kementerian Agama untuk menjadi tuan rumah.


“Saya berharap agar keputusan Mudzakarah Perhajian tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Kemenag di Bandung, dapat disinkronisasi dan mendapatkan titik temu dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia di Bangka,” kata Ajengan Jeje dalam keterangan rilis yang diterima detikHikmah, Rabu (13/11/2024).

Ajengan Jeje menjelaskan bahwa sangat penting untuk menyikapi hal ini. Sebab, ada masalah hukum yang berbeda antara keputusan hasil Mudzakarah perhajian Kemenag dengan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia pada 28-31 Mei 2024.

Perbedaanya yaitu keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI menyatakan pemanfaatan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jemaah lain adalah haram. Sementara kesimpulan hasil Mudzakarah Kemenag menyatakan mubah atau boleh.

Perbedaan lainnya terkait kebolehan dan sahnya penyembelihan hewan hadyu atau dam haji tamattu’ di luar wilayah Makkah berbeda dengan keputusan fatwa MUI yang menyatakan tidak boleh dan tidak sah.

Perbedaan ini tentunya akan membingungkan umat, terutama para jemaah haji. “Maka kami meminta agar perbedaan kesimpulan hukum ini dapat dibahas bersama untuk disinkronisasi dan mencari titik temu dengan mengurai titik perbedaan pandangannya,” jelas Ajengan Jeje.

Karena menurut Ajengan Jeje, kewenangan dua forum kajian itu berbeda. Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI adalah forum pengkajian untuk mengeluarkan berbagai fatwa hukum atas berbagai masalah yang ditanyakan oleh umat maupun pemerintah.

Adapun forum Mudzakarah Perhajian lebih tepatnya sebagai forum pengkajian berbagai persoalan haji, baik aspek regulasi maupun masalah pelaksanaan di lapangan untuk menjadi rekomendasi kebijakan dalam memperbaiki kualitas pelayanan penyelenggaraan haji.

“Oleh sebab itu, memang seharusnya menyamakan persepsi dan melakukan sinkronisasi, agar tidak ada yang melampaui kewenangan dan tupoksinya,” ucapnya.

Ia menilai, forum Mudzakarah Perhajian meskipun menghadirkan narasumber ulama ahli fikih dan hukum Islam, sejatinya tidak dalam konteks untuk mengeluarkan fatwa atau keputusan hukum, tetapi lebih kepada rekomendasi teknis tata kelola penyelenggaraan dalam mengatasi berbagai problem di lapangan. Hal itulah, ia kira yang dipahami oleh mayoritas para narasumber dan para peserta.

“Kewenangan mengeluarkan fatwa hukum seharusnya tetap pada lembaga fatwa yang lebih lengkap dan lebih luas pesertanya, seperti pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI,” ujar Ajengan Jeje.

(lus/kri)



Sumber : www.detik.com