Tag Archives: muslimah

Rabiah Al Adawiyah, Tokoh Sufi yang Terkenal dengan Mahabbahnya


Jakarta

Ada banyak tokoh sufi yang terkenal di kalangan umat Islam, salah satunya terkait mahabbahnya. Tokoh sufi yang terkenal dengan mahabbahnya adalah Rabiah Al Adawiyah.

Menurut buku yang berjudul Akhlak Tasawuf karya Taufikurrahman dkk, mahabbah atau al mahabbah adalah kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual.

Contohnya adalah cinta seseorang kepada orang lain yang sangat ia kasihi, cinta orang tua kepada anak-anaknya, seorang sahabat kepada sahabatnya, ataupun pekerja pada pekerjaannya.


Sementara itu, Al Qusyairi berpendapat, al mahabbah artinya keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya. Cintanya disaksikan (kemutlakannya) Allah SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.

Dalam dunia tasawuf, Rabiah Al Adawiyah adalah sufi yang terkenal dengan mahabbahnya kepada Allah SWT. Berikut sosoknya.

Sosok Rabiah Al Adawiyah

Rabiah Al Adawiyah adalah seorang tokoh sufi terkemuka yang memiliki nama lengkap Ummu Khair ibn Ismail Al Adawiyah Al Qisysyiyah. Ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 H atau bertepatan dengan 717 M. Beberapa sumber menyebut Rabiah Al Adawiyah lahir antara tahun 713-717 M.

Rabiah Al Adawiyah lahir di tengah keluarga yang miskin di Basrah dan hidup dalam kesederhanaan. Ketika proses melahirkannya saja, kedua orang tuanya tidak sanggup membeli minyak lampu untuk meneranginya.

Ia adalah anak keempat dari empat bersaudara. Nama Rabiah Al Adawiyah diberikan kepadanya karena ia adalah putri keempat dari anak-anak orang tuanya yang lain.

Rabiah Al Adawiyah meninggal pada tahun 801 M, dan dikabarkan dikebumikan di sekitar kota Yerusalem.

Konsep Mahabbah Rabiah Al Adawiyah

Mahabbah Rabiah Al Adawiyah berupa penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah SWT) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah Al Adawiyah dikenal dengan istilah Al Mahabbah. Ajaran ini adalah kelanjutan dari tingkat kehidupan zuhud yang dikembangkan oleh Hasan Al Basri.

Rabiah Al Adawiyah membawa lebih lanjut ajaran Hasan Al Basri, yakni menjadikan takut dan pengharapan dinaikkan menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari pada takut dan pengharapan.

Pernah suatu ketika Rabiah Al Adawiyah ditanya, “Apakah kau cinta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Ya”

Seterusnya ia ditanya, “Apakah kau benci kepada setan?”

Rabiah Al Adawiyah menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada setan.”

Rabiah Al Adawiyah juga pernah menyatakan, “Saya melihat Nabi SAW dalam mimpi, Dia berkata: Oh Rabiah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab: Oh Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”

Rabiah Al Adawiyah menjalani kehidupannya dengan zuhud dan hanya beribadah kepada Allah SWT.

Ia memilih untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya walaupun banyak laki-laki hendak meminangnya. Ia tidak pernah menikah bukan karena bukan semata-mata zuhud terhadap perkawinan, namun ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.

Rabiah Al Adawiyah tidak menikah karena pemahaman mahabbahnya yang mencintai Allah SWT dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai-Nya sepenuh hati masuk ke dalam diri yang dicintai.

Ibadahnya, kehidupannya, dan semua yang dilakukan Rabiah Al Adawiyah bukan karena rasa takut atas siksaan neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, tapi karena cintanya yang sangat besar kepada Allah SWT.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Muslimah yang Jadi Relawan di Perang Uhud- Khandaq



Jakarta

Rufaidah binti Sa’ad merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam sejarah Islam. Ia merupakan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Pertama dalam Islam

Dirangkum dari buku 66 Hadits Pilihan: Penggugah Jiwa Menjadi Muslim Unggul & Produktif karya A. R. Shohibul Ulum, pada zaman Nabi SAW, hiduplah seorang wanita yang dikenal dengan julukan perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang bernama Rufaidah binti Sa’ad. Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj lahir di Madinah pada 570 Masehi. Keluarganya termasuk kaum Ansar dan termasuk pemeluk Islam pertama di Madinah.

Rufaidah mendapat julukan “al-Aslamiyyah”, yaitu nisbat kepada marga di mana ia dilahirkan, yaitu di perkampungan Aslam, salah satu klan dari suku Khazraj di Madinah. Ia juga mendapatkan julukan “al-Fidaiyyah” karena keberaniannya menerobos kawasan perang untuk menyelamatkan dan mengobati pasukan muslim yang terluka.


Rufaidah binti Sa’ad pandai dalam membaca, menulis, serta dibesarkan dalam keluarga yang kaya raya. Rufaidah mempelajari ilmu keperawatan ketika ia membantu ayahnya, Sa’ad al-Aslami yang berprofesi sebagai dokter.

Mengutip buku Meniti Berkah dalam Setiap Langkah: Kisah Hebat Para Sahabiyah, Ilmuwan Muslimah, dan Muslimah Nusantara karya Ririn Astutiningrum, ayah Rufaidah adalah pemimpin tabib. Ayahnya sangat piawai dalam hal pengobatan karena selain mempelajari teknik pengobatan Arab, ia juga mempelajari praktik kesehatan bangsa lain yang berasal dari wilayah Persia, Romawi, Siria, dan India. Dari sinilah ia banyak belajar tentang ilmu keperawatan.

Sejak kecil Rufaidah sudah terbiasa dengan pekerjaan sebagai tabib dan perawat. Ketika beranjak remaja, sang ayah mulai melepas Rufaidah untuk melakukan praktik pengobatan sendiri.

Awal mula perjuangan Rufaidah dimulai ketika peperangan. Ia menjadi sukarelawan untuk membantu korban-korban perang dan mendirikan rumah sakit lapangan.

Rufaidah binti Sa’ad menjadi relawan yang merawat luka korban Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar. Ia juga melatih beberapa kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dengan izin Nabi SAW, mereka ikut di garis belakang pertempuran agar dapat merawat pasukan Islam yang terluka dalam Perang Khaibar.

Setelah perang berakhir, Rufaidah membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk merawat muslim yang sakit. Tenda tersebut kemudian berkembang dan berdiri menjadi rumah sakit lapangan yang terkenal saat perang.

Rufaidah membagi jadwal para perawat menjadi dua sif (siang dan malam) agar para korban dapat ditangani dengan baik. Gagasan Rufaidah tersebut dianggap sebagai pelopor adanya pembagian sif yang berkalu seperti di rumah sakit sekarang ini.

Dalam melakukan tugasnya, Rufaidah dibantu oleh perawat wanita lainnya. Mereka adalah Ummu ‘Atiyah, Ummu Sulaim, Hamnah binti Jahsy, Layla al-Ghifariyah, Ummu Ayman, dan Rubayyi binti Mu’awwidz.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengutip riwayat Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dari Amir bin Qatadah dari Mahmud bin Labid bahwa ketika pelipis mata Sa’ad terluka ketika Perang Khandaq, Nabi SAW menyuruh orang-orang untuk membawanya ke Rufaidah. Rufaidah terus memantau kesembuhan Sa’ad. Atas jasanya itu, Nabi SAW memberinya bagian dari ghanimah (harta rampasan perang) sama seperti bagian laki-laki.

Tak hanya ketika perang terjadi, pengabdian Rufaidah juga dilakukan di luar perang. Ia membuka klinik gratis untuk orang yang membutuhkan pengobatan. Rufaidah juga mengajarkan pengalaman klinis kepada perawat lain yang dilatih dan bekerja dengannya.

Dalam peran sosialnya, Rufaidah melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit. Rufaidah binti Sa’ad adalah perawat kesehatan masyarakat dan pekerja sosial yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat dunia Islam.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Hukum Wudhu bagi Wanita Haid, Haram atau Diperbolehkan?


Jakarta

Perempuan beriman yang sedang haid, kadang merindukan untuk melakukan wudhu sebagaimana hendak mendirikan salat. Namun, apa hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah diperbolehkan atau malah dilarang? Berikut pembahasannya.

Wudhu merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap muslim ketika hendak salat. Umat Islam melakukan wudhu minimal lima kali dalam sehari, belum lagi jika ditambah salat-salat sunah.

Bagi wanita beriman yang selalu menunaikan ibadah salat, tentunya akan merasa rindu untuk berwudhu dan mendirikan salat. Namun di saat yang sama, dirinya sedang berhadats besar, yakni haid.


Lalu, bagaimana hukum wudhu bagi wanita haid tersebut? Apakah dibenarkan dalam agama Islam? Berikut penjelasannya.

Masaji Antoro menyebutkan dalam buku yang berjudul Tanya Jawab Islam: Piss KTB, TIM Dakwah Pesantren yang disusun oleh Kyai Abdullah Afif dan Kyai Masaji Antoro (Gus Tohir), hukum wudhu bagi wanita haid ada tiga, yaitu:

1. Haram

Kyai Masaji Antoro menjawab mengenai persoalan ini dengan tiga hukum yang berbeda. Hukum wudhu bagi wanita haid yang pertama adalah haram dan tidak boleh dilakukan.

Wudhu bagi wanita haid ini haram apabila ia mempunyai tujuan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah seperti halnya salat. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan “tanaaqud dan talaa’ub”

Tanaaqud sendiri maksudnya fungsi wudhu bertentangan dengan keadaan yang sedang terjadi. Di mana, wanita tersebut sedang berhadats besar yang tentu saja tidak akan bisa kembali suci hanya dengan melakukan wudhu.

Sementara itu, talaa’ub berarti mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya.

Oleh sebab itu, hukum wudhu bagi wanita haid bisa saja haram jika tujuannya adalah agar bisa melakukan sebuah ibadah tertentu.

2. Sunah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang kedua adalah sunah. Hal ini bisa terjadi apabila wanita tersebut mempunyai tujuan bahwa wudhu yang ia lakukan untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah haid.

Dalam keadaan seperti ini, fungsi wudhu akan berubah menjadi taqlil alhadats, yaitu meringankan dan mengecilkan hadats yang sedang dialami.

Selain itu, wudhu ini juga memiliki fungsi lain yaitu nasyaath ghusli atau untuk merangsang badan agar bisa segera mandi besar dan kembali melakukan ibadah kepada Allah SWT tanpa halangan apa pun.

3. Mubah

Hukum wudhu bagi wanita haid yang terakhir menurut Masaji Antoro adalah boleh atau mubah. Atau dalam buku tersebut disebutkan bahwa hukumnya adalah tetap sunah.

Apabila wudhu seorang wanita haid itu tidak bertujuan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk ‘aadah/kebiasaan seperti Tabbarrud (menyejukkan dirinya) dan nazhoofah (kebersihan), maka hukumnya menjadi sunah atau mubah.

Hal ini diperbolehkan karena fungsi rof’i al hadats (menghilangkan hadats) atau taqlii al hadats (meringankan atau mengecilkan) hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi) wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats.)

Sunah Berwudhu Sebelum Tidur untuk Wanita Haid

Wudhu tidak hanya dilakukan ketika seseorang hendak melakukan salat saja, namun wudhu juga dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dikerjakan sebelum tidur.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Fakta Ilmiah Amal Sunnah Rekomendasi Nabi karya Haviva.

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila engkau hendak mendatangi pembaringan (tempat tidur), hendaklah berwudhu terlebih dahulu sebagaimana wudhumu untuk melakukan salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Lalu, apakah hukum wudhu bagi wanita haid ketika ia hendak melakukan sunah ini?

Dinukil dari buku Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam karya PISS-KTB, wanita yang sedang haid tidak disunahkan berwudhu sebelum tidur, kecuali jika darah haidnya sudah berhenti.

Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata,

“Adapun ashab kami, mereka sepakat bahwasannya tidak disunnahkan berwudhu bagi wanita haid dan wanita nifas. Karena berwudhu tidak akan berpengaruh pada hadats mereka berdua. Jika wanita haid sudah berhenti darah haidnya, maka dia seperti orang junub. Wallahu ‘Alam.” (Syarh An-Nawawi ala Al-Muslim)

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Haid dalam Islam Berapa Hari? Ini Pendapat Empat Mazhab


Jakarta

Dalam Islam, darah yang keluar dari rahim wanita memiliki tiga jenis, yaitu haid, nifas, dan istihadah. Setiap jenis darah tersebut memiliki hukum dan waktu yang berbeda.

Haid atau menstruasi biasanya terjadi setiap bulan pada wanita, dan terjadi selama beberapa hari. Setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda.

Lalu, haid dalam Islam berapa hari? Apa saja larangan ketika haid? Begini jawabannya menurut para ulama.


Pengertian Haid

Dikutip dari kitab Fiqhun Nisa’ fi Dhau’il Madzahibil Arba’ah wal Ijtihad al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah karya Muhammad Utsman al-Khasyat, haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita yang telah baligh (dewasa) selama beberapa hari tertentu, bukan karena faktor melahirkan dan bukan pula karena faktor penyakit, warnanya merah kehitaman, jika disentuh terasa hangat seolah terbakar, dan aromanya tidak sedap.

Al-Qur’an juga telah memberikan penjelasan mengenai haid. Penjelasan mengenai haid tersebut termaktub dalam surah Al Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ ٢٢٢

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Haid memiliki beberapa sebutan, seperti yang termaktub dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Sebutan haid tersebut di antaranya,

Surah Al-Baqarah ayat 222,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang mahidh (haid) …”

Surah Al-Baqarah ayat 228,

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ …”

Lamanya Haid dalam Islam

Mengutip dari sumber yang sama, setiap wanita memiliki lama haid yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti karena siklus yang tidak teratur, faktor keturunan, lingkungan, dan kondisi tubuhnya. Bisa juga terjadi karena perbedaan cuaca serta gaya hidup.

Para ulama memiliki perbedaan pendapat tentang lamanya haid dalam Islam. Hal tersebut dikarenakan Allah SWT tidak menetapkan lamanya masa haid yang dialami oleh setiap wanita.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali, haid dalam Islam terjadi minimal sehari-semalam. Kebanyakan haid terjadi dalam enam atau tujuh hari, dan maksimal 15 hari.

Menurut Mazhab Hanafi, haid dalam Islam terjadi tiga hari tiga malam. Pertengahan haid terjadi selama lima hari dan maksimalnya sepuluh hari.

Sedangkan menurut Mazhab maliki, haid dalam Islam tidak memiliki batasan minimal hari dalam kaitannya dengan masalah ibadah. Sebab, menurut mereka hitungan minimalnya adalah sekali pancaran atau sekal tetesan dalam waktu yang relatif sebentar.

Hal yang Dilarang ketika Haid

Ketika haid berlangsung, setiap wanita mestinya memahami serta menghindari larangan-larangan ketika haid. Beberapa larangan tersebut seperti yang tertera dalam buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi yaitu,

Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang haid maka tinggalkanlah salat, dan jika haidnya telah berhenti maka mandilah, lalu kerjakanlah salat.” (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah apabila wanita sedang haid, ia tidak boleh salat dan puasa?”

Aisyah RA berkata, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha salat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu sedang haid, lakukan semua praktik ibadah haji, kecuali tawaf di sekeliling Ka’bah hingga kamu suci.”

Aisyah RA berkata, “Jika salah satu di antara kami (istri-istri Nabi SAW) sedang haid, dan Rasulullah SAW akan tidur bersama, maka kami disuruh memakai kain, kemudian tidur bersama di luar kain.” Beliau melanjutkan, “Tetapi siapakah di antara kamu yang kuat menahan nafsunya sebagaimana Nabi SAW mampu menahan nafsunya.” (HR Bukhari)

  • Menyentuh dan membawa mushaf Al-Qur’an
  • Masuk ke dalam masjid (mazhab Syafi’i memperbolehkan berjalan di masjid selama tidak ada darah haid yang mengotori masjid, namun tidak boleh berdiam diri di dalamnya)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid, Muslimah Pahami Ya!


Jakarta

Wanita haid diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Namun, ada sejumlah ketentuan yang perlu diperhatikan saat hendak ziarah.

Haid atau nifas bukan halangan bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, ziarah kubur tidak dapat disamakan seperti ibadah salat, puasa, dan lain sebagainya yang harus suci dari nifas, sebagaimana dikutip dari buku Adab Berziarah Kubur untuk Wanita tulisan Mutmainah Afra Rabbani.

Adapun, dalil yang menjadi rujukan diizinkannya wanita dalam keadaan haid untuk berziarah kubur mengadu pada hadits yang berbunyi:


“Sesungguhnya aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah! Karena dengannya, akan bisa mengingatkan kepada hari akhirat dan akan menambah kebaikan bagi kalian. Maka barang siapa yang ingin berziarah maka lakukanlah, dan jangan kalian mengatakan ‘hujr’ (ucapan-ucapan batil).” (HR Muslim)

Menukil dari buku Kitab Fikih Wanita 4 Mazhab oleh Muhammad Utsman Al-Khasyt, pemberian izin pada hadits di atas ditujukan bagi umat Islam secara umum, baik itu wanita maupun pria.

Ketentuan Ziarah Kubur bagi Wanita Haid

Dijelaskan dalam buku JABALKAT I Jawaban Problematika Masyarakat susunan Tim Kodifikasi ANFA Purna Siswa MHM 2015, ada sejumlah adab yang harus diperhatikan oleh wanita haid ketika melaksanakan ziarah kubur.

Pertama, ketika membaca tahlil, surah Yasin dan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an tidak boleh diniati membaca Al-Qur’an. Hal ini seperti diungkapkan dalam hadits yang berbunyi,

“Seorang yang junub atau haid tidak diperkenankan membaca ayat Al-Qur’an.” (HR Ahmad)

Meski demikian, banyak wanita yang menunggu hingga haid atau nifasnya selesai untuk melakukan ziarah kubur. Sebab, pandangan di kalangan masyarakat ialah tidak diperkenankan bagi wanita haid untuk ziarah kubur.

Walau diperbolehkan, sebaiknya wanita tidak boleh terlalu sering melakukan ziarah kubur. Masih dari sumber yang sama, dikatakan bahwa melakukan ziarah kubur maka akan membawa penyalahgunaan hak suami, karena wanita tersebut lebih sering keluar rumah dan dilihat orang lain. Apalagi ziarah tersebut disertai dengan ratapan berlebihan seperti menangis atau meraung.

Selain itu, wanita memiliki kelemahan dan kelembutan tapi tidak kesabaran. Dikhawatirkan wanita tersebut akan berkata atau melakukan perbuatan yang salah saat melakukan ziarah kubur.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

5 Kriteria Muslimah yang Dirindukan oleh Surga, Apa Saja?


Jakarta

Surga merupakan tempat yang dijanjikan oleh Allah SWT bagi siapa saja yang taat kepada-Nya semasa hidup. Dalil terkait keberadaan surga tercantum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, salah satunya surah An Nisa ayat 13.

تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ يُدْخِلْهُ جَنَّٰتٍ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ

Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar,”


Dalam sebuah riwayat, setidaknya ada empat wanita yang dijamin masuk surga. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Sebaik-baik wanita surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun.” (HR Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabrani, Abu Daud, dan Al-Hakim)

Selain keempat wanita yang dijelaskan dalam hadits tersebut, ada juga kriteria muslimah yang dirindukan oleh surga. Seperti apa? Berikut pemaparannya yang dinukil dari buku Reuni Ahli Surga susunan Ahmad Abi Al-Musabbih.

Kriteria Muslimah yang Dirindukan Surga

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits,

“Jika seorang wanita selalu menjaga salat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita tersebut, “Masuklah ke surga melalui pintu manapun yang engkau suka.” (HR Ahmad)

Berdasarkan riwayat tersebut, berikut kriteria muslimah yang dirindukan surga.

1. Menjaga Salat Lima Waktu

Sebagaimana yang kita ketahui, salat fardhu adalah kewajiban setiap umat Islam. Amalan ini juga menjadi yang pertama kali dihisab pada hari akhir kelak. Tak heran, muslimah yang menjaga salat lima waktunya akan dirindukan oleh surga.

2. Berpuasa di Bulan Ramadan

Puasa termasuk ke dalam rukun Islam. Tidak hanya laki-laki, wanita sekalipun juga wajib melaksanakan puasa Ramadan. Meski ada halangan biologis karena haid, mereka masih diberi kesempatan untuk melunasi hutang puasanya di luar bulan Ramadan.

3. Menghindari Zina

Zina adalah perbuatan dosa besar dan dilarang keras dalam Islam. Karenanya, wanita yang menghindari zina termasuk ke dalam golongan orang yang dirindukan surga.

4. Taat pada Suami

Setelah menikah, seorang muslimah harus taat pada suaminya. Namun perlu dipahami, suami yang dimaksud ialah yang dapat menuntun keluarganya menuju kebaikan, baik dari segi agama maupun kehidupan sosial.

5. Wanita yang Sabar

Terkait kriteria ini, dalam surah Al Ahzab ayat 35 Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Berdasarkan ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa ada sejumlah kriteria untuk mereka yang ingin mendapat ampunan dan pahala yang besar, termasuk wanita yang sabar. Dengan demikian, sabar akan mengantarkan pada ampunan Allah SWT dan dari ampunan itu maka seseorang bisa mendapat rahmat-Nya yang berupa surga.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Muslimah Diwajibkan Memakai Jilbab?



Yogyakarta

Dalam Islam, seringkali dikatakan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab. Apa alasannya?

Jilbab merupakan bagian dari hijab (pakaian wanita) yang menutupi dari kepala hingga badan. Wanita dianjurkan untuk menggunakan jilbab untuk menutupi auratnya.

Disebutkan dalam buku Wanita, Jilbab & Akhlak oleh Halim Setiawan, semua badan wanita adalah aurat, kecuali muka dan telapak tangannya. Seorang wanita muslimah yang sengaja membuka auratnya pada orang bukan muhrimnya, maka ia telah berbuat dosa.


Karena itulah, menutup aurat dihukumi wajib dan biasanya mengenakan jilbab bagi wanita muslimah sama halnya seperti kewajiban-kewajiban lain seperti sholat, puasa, dan zakat.

Kewajiban Menggunakan Jilbab dalam Al-Qur’an dan Hadits

Kewajiban berjilbab dalam Al-Qur’an salah satunya diterangkan dalam surat Al-Ahzab ayat 59, Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab: 59).

Melalui ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum perempuan hendaknya mengulurkan jilbabnya ke tubuhnya ketika keluar rumah. Hal yang demikian itu dilakukan supaya mereka berbeda dari budak perempuan sebagaimana dijelaskan oleh Zaitunah Subhan dalam buku Al-Qur’an dan Perempuan.

Tentunya, mengenakan jilbab juga disertai dengan pakaian yang sesuai dengan tuntunan syariat, seperti menutup aurat, tidak menerawang, dan tidak ketat yang menampakkan lekuk tubuh perempuan.

Selain itu, perintah mengenakan jilbab dalam Al-Qur’an juga dijelaskan dalam surat An-Nur ayat 31, sebagaimana firman Allah SWT:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita” (QS An-Nur: 31).

Ayat tersebut secara jelas menunjukkan ketidakbolehan menampakkan perhiasan di hadapan laki-laki yang bukan mahram sekaligus dalil tentang wajibnya menggunakan jilbab.

Sementara itu, hadits yang menjelaskan bahwa wanita sebaiknya menggunakan jilbab diterangkan dalam sebuah riwayat dari Ummu ‘Athiyyah, beliau berkata:

“Kamu diperintahkan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha agar menyuruh keluar mereka, yaitu gadis-gadis muda, perempuan-perempuan yang sedang haid, dan perempuan-perempuan pingitan. Adapun perempuan-perempuan yang sedang haid mereka menjauhi tempat sholat, mereka menyaksikan kebaikan dan undangan kaum muslimin.”

Beliau berkata lagi, “Wahai Rasulullah! Seseorang di antara kami tidak memiliki jilbab.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah saudarinya meminjamkan dari jilbab yang dia miliki.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Hajar, hadits tersebut menjadi dalil dilarangnya perempuan keluar (dari rumahnya) tanpa memakai jilbab.

Dengan demikian, alasan wanita sebaiknya menggunakan jilbab yaitu karena anjuran tersebut telah diperintahkan dalam Al-Qur’an dan hadits sebagai hal yang wajib dilakukan oleh kaum perempuan baligh untuk menutup auratnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

7 Perempuan Paling Berpengaruh dalam Sejarah Islam, Siapa Saja?



Jakarta

Tak hanya laki-laki, dikenal sejumlah nama perempuan yang turut berperan dan berpengaruh dalam sejarah Islam. Siapa saja?

Sebelumnya, mari kita bahas kedudukan wanita di mata Islam.

Banyak rumor beredar bahwa Islam merendahkan dan tak memikirkan hak-hak kaum wanita. Tentu saja hal itu keliru, karena Islam begitu memuliakan perempuan.


Menukil arsip detikHikmah, Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi dalam bukunya Fiqhu al-Mar’ah berpandangan, wanita justru punya keadaan yang kelam nan menyedihkan sebelum datangnya Islam.

Di mana dahulu, hak kekuasaan para perempuan sebelum menikah hanya dimiliki oleh ayah dan saudara laki-lakinya. Setelah menikah, hak tersebut berpindah menjadi milik suaminya. Sehingga bisa dikatakan bahwa wanita tak punya peran sama sekali, bahkan tak mendapat kemerdekaan bagi dirinya.

Kemudian hadirlah Islam yang dibawa oleh Nabi SAW. Posisi wanita terangkat oleh agama ini, hingga kedudukannya begitu ditinggikan. Seperti turunnya Surat An-Nisa yang artinya ‘perempuan’, hingga seluruh ayatnya pun membicarakan hal yang berhubungan dengan wanita. Dan Ini menjadi bukti Islam memuliakan para perempuan.

Dalam hadits pula, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada perempuan.” (HR Hakim, kitab Al-Jami’us Shaghir, hadits nomor 4101)

Juga banyak dalil dan riwayat lain yang berbicara tentang perempuan beserta keistimewaannya. Muhammad Ibrahim Salim melalui bukunya Nisaa Haular-Rasul SAW berpendapat, “Sesungguhnya Islam telah memuliakan wanita, baik sebagai ibu, gadis, istri, saudari maupun sebagai seorang anak.”

Tingginya kedudukan perempuan dalam Islam juga terbukti sebagai sosok yang membantu syiar agama Islam pada masa awalnya. Di mana terdapat sejumlah nama wanita muslim yang berperan aktif dan turut berjuang dalam berdakwah menyebarkan ajaran Allah SWT ini.

7 Wanita Muslim Paling Berpengaruh dalam Sejarah Islam

Melansir laman Muhammadiyah dan AlQuranClasses, ada sejumlah nama perempuan dalam sejarah yang punya kontribusi dan dampak bagi dakwah Islam. Berikut di antaranya:

1. Khadijah binti Khuwailid

Yakni istri pertama Nabi SAW, yang menjadi sosok terkenal paling berpengaruh dan inspiratif. Ia merupakan orang pertama yang menerima Islam dan mengakui kenabian Muhammad SAW.

Khadijah RA lahir pada tahun 555 M di Arab Saudi. Sebelum menikah dengan Rasul SAW, ia adalah seorang pedagang wanita sukses dan tokoh yang dihormati di Makkah. Ia juga dikenal karena kecerdasan, ketajaman bisnis, dan komitmennya yang tak tergoyahkan terhadap keadilan sosial.

Kemudian ia menyatakan ketertarikannya untuk menikahi Nabi SAW. Dan ia menjadi pendukung terkuat suaminya dan memainkan peran penting dalam perkembangan awal Islam.

Khadijah RA adalah ibu dari empat putri dan dua putra Rasul SAW, termasuk ibu dari Fatimah RA. Hingga akhir hayatnya di tahun 619 M, ia terus memercayai, menyemangati dan mendukungnya suaminya itu.

2. Aisyah binti Abu Bakar

Ialah istri termuda Rasulullah SAW. Aisyah RA merupakan ulama paling terkemuka dalam sejarah Islam, lantaran pengetahuannya yang luas tentang hukum syariat dan hadits, juga kepribadiannya yang kuat.

Diketahui Aisyah RA telah meriwayatkan 2210 hadits Nabi SAW, dengan menceritakan sunnah dan praktik sehari-hari beliau. Hadits yang diriwayatkan Aisyah RA ini menjadi sumber utama bimbingan bagi kaum muslim selain dari Al-Qur’an.

3. Fatimah binti Muhammad SAW

Merupakan putri Rasul SAW dari istrinya Khadijah RA. Ia menjadi panutan bagi wanita muslim dan terkenal karena kesholehan, keberanian, dan dedikasi kepada keluarganya. Ia diajarkan langsung oleh Nabi SAW mengenai ajaran dan syariat Islam.

Ia memiliki hubungan cinta yang solid dan dekat dengan ayahnya. Hingga Rasulullah SAW pernah bersabda tentangnya, “Siapapun yang melukai Fatimah, dia melukaiku; dan siapa pun yang melukai saya, melukai Allah; dan siapa pun yang melukai Allah melakukan kekafiran.”

Fatimah RA menikah dengan salah satu sahabat dari ayahnya dan juga kerabatnya, yakni Ali bin Abi Thalib. Ia kemudian menjadi seorang istri dan ibu, dengan keturunannya yang sangat dihormati di dunia Islam.

4. Asma binti Abu Bakar

Asma RA adalah putri dari sahabat Abu Bakar dan kakak dari Aisyah RA. Ia termasuk jajaran orang yang pertama kali masuk Islam di Makkah. Ia dikenal sebagai salah satu sahabat terpelajar serta punya integritas, ketabahan dan keberanian yang besar.

Ia menikah dengan Zubair bin Awwam RA, dan dari keduanya lahirlah keturunan yang menjadi tokoh politik dan intelektual terkemuka selama abad pertama Islam. Seperti putranya yaitu Urwah bin Zubair, yang menjadi salah satu ulama terbaik di bidang hadits.

5. Nusaiba binti Ka’ab Al-Anshariyyah

Dikenal sebagai Umm ‘Ammara, ia turut menjadi orang yang paling awal memeluk agama Islam. Ia merupakah salah satu sahabat Nabi SAW yang diketahui begitu setia kepada beliau.

Nusaiba RA diingat sebagai perempuan tangguh. Ia ikut terjun dalam perang Uhud dengan membawa pedang dan perisai untuk melawan orang kafir. Selama pertempuran ia mendapati beberapa luka hingga pingsan. Kemudian setelah bangun dan sadar, yang pertama kali ditanyakan olehnya adalah kondisi dari Rasulullah SAW.

6. Ummul Darda Hujaima binti Uyyay Al-Sughra

Ia merupakan cendekiawan perempuan muslim yang terkenal di generasi kedua setelah masa Nabi SAW. Ummul Darda adalah seorang perawi hadits, guru, serta ahli hukum. Ia mempelajari dan menurunkan hadits dari Aisyah RA, Salman Al-Farisi, Abu Hurairah dan sahabat lainnya.

Ummul Darda juga seorang penghafal Al-Qur’an di usianya yang belia. Ia kemudian pindah ke Damaskus, dan mengajar ratusan murid muslim. Banyak dari siswa-siswi didikannya yang berhasil menjadi ulama terkemuka dan dihormati dalam dunia Islam.

7. Rabi’ah Al-Adawiyyah

Dirinya dikenal sebagai salah satu sufi terpenting. Ia dianggap sebagai salah satu pendiri aliran sufi “Cinta Ilahi” yang menegaskan kecintaan akan Tuhan yang tanpa syarat, bukan karena takut hukuman di neraka atau keinginan untuk mendapat imbalan di surga.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Tabarruj Bahaya bagi Muslimah, Jangan Sampai Dilakukan!



Jakarta

Dalam Al-Qur’an, tabarruj disebutkan pada dua ayat surat yang berbeda. Pertama, tabarruj tercantum dalam Surat An Nur ayat 60, Allah SWT berfirman:

وَٱلْقَوَٰعِدُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ ٱلَّٰتِى لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَٰتٍۭ بِزِينَةٍ ۖ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Arab latin: Wal-qawā’idu minan-nisā`illātī lā yarjụna nikāḥan fa laisa ‘alaihinna junāḥun ay yaḍa’na ṡiyābahunna gaira mutabarrijātim bizīnah, wa ay yasta’fifna khairul lahunn, wallāhu samī’un ‘alīm


Artinya: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana,”

Sementara itu, yang kedua terdapat dalam Surat Al Ahzab ayat 33.

وَقَرْنَ فِى بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ ٱلْجَٰهِلِيَّةِ ٱلْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعْنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ ٱلرِّجْسَ أَهْلَ ٱلْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Arab latin: Wa qarna fī buyụtikunna wa lā tabarrajna tabarrujal-jāhiliyyatil-ụlā wa aqimnaṣ-ṣalāta wa ātīnaz-zakāta wa aṭi’nallāha wa rasụlah, innamā yurīdullāhu liyuż-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum taṭ-hīrā

Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya,”

Menurut Tafsir Kementerian Agama (Kemenag RI) pada Surat Al Ahzab ayat 33 Allah SWT memerintahkan istri nabi untuk tetap tinggal di rumah mereka masing-masing dan tidak keluar kecuali bila ada keperluan. Mereka juga dilarang memamerkan perhiasannya dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah masa dahulu sebelum zaman Nabi SAW.

Apa yang Dimaksud Tabarruj?

Dalam buku Fikih Sunnah Jilid 3 tulisan Sayyid Sabiq, tabarruj diartikan sebagai upaya untuk menampakkan apa yang harus disembunyikan. Asal mula makna tabarruj ini keluar dari menara yang artinya istana.

Selain itu, kata tabarruj mengacu pada keluarnya perempuan dari rasa malu, menampakkan sisi-sisi yang menarik dari dirinya, dan memperlihatkan keelokan-keelokan pada tubuhnya. Sementara dalam buku Perempuan Bertanya, Fikih Menjawab yang disusun oleh Nurul Asmayani, tabarruj identik diartikan dengan berhias.

Makna tabarruj semakin meluas dan didefinisikan sebagai keluarnya muslimah dari kesopanan dengan menampakkan auratnya sehingga menyebabkan fitnah. Mujahid mengartikan tabarruj sebagai seorang wanita yang keluar dan berjalan di hadapan laki-laki.

Adapun, Qatadah mengatakan tabarruj adalah wanita yang cara berjalannya dibuat-buat untuk menunjukkan keelokannya. Definisi tabarruj menurut Muqatil ialah melepas kerudung dari kepalanya sehingga kalung dan lehernya tampak semua.

Menurut buku Ternyata Kita Tak Pantas Masuk Surga oleh H Ahmad Zacky El-Syafa, tabarruj dalam pandangan sar’i adalah setiap perhiasan atau kecantikan yang ditunjukkan wanita kepada mata-mata orang yang bukan mahram. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tabarruj adalah segala perbuatan berhias yang berlebih-lebihan sehingga mengundang syahwat dari lawan jenis.

Tabarruj bukan saja karena tidak menutup aurat, melainkan berhias yang bertujuan menarik syahwat kaum lelaki. Kategori wanita bisa dikatakan tabarruj jika mempertontonkan bagian tubuhnya di depan lelaki yang bukan suaminya.

Selain itu, jika wanita tersebut menampakkan perhiasan yang seharus tertutup di dalam kerudung bisa disebut tabarruj. Melenggok-lenggokkan badan ketika berjalan juga termasuk ke dalam tabarruj.

Bahaya Sikap Tabarruj bagi Muslimah

Setelah mengetahui makna tabarruj, berikut ini akan dipaparkan mengenai bahaya dari tabarruj dan keburukan yang terkandung di dalam sikap tersebut seperti dikutip dari buku Jilbab Itu Cahayamu susunan Dr Muhammad ibn Ismail al-Muqaddam.

Yang pertama, tabarruj termasuk ke dalam dosa besar. Ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi SAW yang kala itu datang Umamah binti Raqiqah kepada beliau untuk berbaiat atas Islam.

Rasulullah bersabda,

“Saya membaiatmu untuk tidak mempersekutukan Allah, dan janganlah kamu mencuri, jangan berzina, jangan membunuh anakmu, jangan berbuat dusta yang kamu ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, jangan berjalan sambil melenggak-lenggok, dan janganlah kamu berlebih-lebihan dalam berhias (tabarruj), sebagaimana perilaku pada jahiliyah dulu,”

Selain itu, tabarruj juga tergolong ke dalam sifat penghuni neraka. Ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi,

“Terdapat dua golongan penghuni neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencantumkannya ke tubuh manusia. Kemudian sekelompok wanita yang mengenakan pakaian tetapi terlihat telanjang, berjalan melenggak-lenggok dan kepalanya bergoyang seperti goyangnya punggung unta. Mereka tidak akan masuk surga, bahkan tidak akan dapat mencium baunya. Sesungguhnya bau surga itu dapat tercium dalam jarak perjalanan segini-segini,” (HR Muslim).

Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim al-Jarullah dalam bukunya yang bertajuk Hak dan Kewajiban Wanita Muslimah Menurut Al-Quran dan As-Sunnah, juga menuturkan bahaya tabarruj lainnya yaitu membawa dampak buruk karena dapat mengundang fitnah.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Hukum Sholat Jumat Bagi Perempuan, Bolehkah?



Jakarta

Hari Jumat merupakan hari yang penuh berkah bagi umat muslim. Pada hari ini, ada satu ibadah wajib yang harus dilaksanakan oleh laki-laki, yaitu sholat Jumat.

Kewajiban ini tercantum dalam Al Quran dan juga dijelaskan dalam beberapa hadits. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al Jumu’ah ayat 9 sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ


Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sholat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”

Adapun dalam buku Fiqih Praktis I yang ditulis oleh Muhammad Bagir disebutkan bahwa syarat melaksanakan sholat Jumat adalah setiap laki-laki muslim yang sudah baligh, berakal (tidak gila), mukim di kotanya, mampu (atau kuasa) pergi ke tempat diselenggarakan sholat Jumat, dan tidak mempunyai alasan (udzur) tertentu yang membolehkannya meninggalkan sholat tersebut.

Lantas, bagaimana hukumnya jika sholat Jumat dilaksanakan oleh perempuan?

Bolehkan Perempuan Ikut Sholat Jumat?

Islam adalah agama yang penuh kasih sayang, Allah pun menjamin bahwa setiap kewajiban beribadah pasti diikuti oleh kemudahannya. Oleh karenanya, Islam tidak membebani umatnya untuk melakukan ibadah kecuali bagi yang mampu. Dalam hal ini, Islam memiliki kriteria yang mewajibkan seseorang untuk melaksanakan sholat Jumat.

Dari Thariq bin Syihab, Rasulullah SAW bersabda: “Sholat Jumat itu dilaksanakan secara jamaah dan wajib hukumnya bagi seorang muslim selain hamba sahaya, perempuan, anak-anak, atau orang yang sakit,” (HR Abu Dawud).

Kriteria utamanya adalah laki-laki. Namun, tidak berarti kaum perempuan tidak diperkenankan untuk melaksanakan sholat Jumat. Hanya saja, kaum perempuan lebih dianjurkan untuk sholat di rumah. Sebagaimana sabda Rasulullah yang dinukil dari buku Superberkah Shalat Jumat yang ditulis oleh Firdaus Wajdi dan Luthfi Arif berikut ini:

Dari Ibnu ‘Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian mencegah para perempuan (yang berada dalam tanggung jawab) kalian untuk pergi ke masjid, tapi (sholat) di rumah-rumah mereka itu lebih baik lagi bagi mereka,” (HR Abu Dawud).

Salah satu alasan mengapa perempuan lebih diutamakan sholat di rumah adalah karena sholat Jumat dilaksanakan secara berjamaah sehingga dikhawatirkan akan terjadi fitnah apabila antara laki-laki dan perempuan yang berjumlah banyak berkumpul dalam satu tempat.

Namun, apabila hal tersebut diantisipasi seperti misalnya terdapat fasilitas khusus untuk perempuan yang ingin melaksanakan sholat Jumat, maka hal tersebut juga diperbolehkan dan sifatnya tidak wajib (maka terhitung sunnah).

Sementara itu, perempuan yang sholat Jumat berjamaah bersama imam hukumnya sah dan tidak wajib sholat Dzuhur. Akan tetapi, bila ia tidak ingin sholat berjamaah, misalnya ingin sholat di rumah saja, maka perempuan tersebut harus melaksanakan sholat Dzuhur, bukan sholat Jumat. Hal ini dikarenakan sholat Dzuhur adalah sholat fardhu yang wajib dilaksanakan dan lebih utama bagi perempuan.

Adapun bagi perempuan yang melaksanakan sholat Jumat berjamaah dengan sesama perempuan maka hukumnya tidak sah karena pada dasarnya pelaksanaan sholat Jumat bagi perempuan harus mengikuti tata cara pelaksanaan sholat Jumat bagi laki-laki. Sebab, pelaksanaan syiar agama melalui khutbah Jumat hanya dapat dilakukan oleh laki-laki.

Perempuan Sholat Jumat di Masa Rasulullah

Merangkum Buku Saku Dirasat Islamiyah yang disusun oleh KH Mahir M Soleh, dkk., Abu Malik Kamal bin as Sayyid Salim memberikan penjelasan jika para ulama sudah bersepakat jika perempuan muslim bisa mengikuti sholat Jumat di masjid sebagaimana yang dilakukan perempuan pada zaman Rasulullah.

Hal ini dibuktikan dari penjelasan Ummu Hisyam binti Al Harits RA, beliau mengatakan, “Tidaklah aku hafal surat Qaf kecuali dari lisan Rasulullah SAW, beliau berkhutbah dengannya (membacanya) pada setiap hari Jumat.”

Adapun perempuan yang diperbolehkan menghadiri sholat Jumat juga harus memenuhi kriteria tertentu, yakni tidak menimbulkan fitnah. Dalam kitab “Al-Majmu”, Imam an-Nawawi mengutip pendapat Syekh Al-Bandaniji yang memberi pernyataan jika disunnahkan bagi perempuan yang sudah tua untuk mengikuti sholat Jumat. Begitu pula perempuan yang telah diberi izin oleh suami.

Sedangkan bagi perempuan yang masih muda dimakruhkan untuk mengikuti sholat Jumat bersama pria. Hal ini disebabkan karena pada umumnya perempuan yang masih muda dan cenderung gemar bersolek seringkali menimbulkan fitnah.

Demikian penjelasan dari hukum sholat Jumat bagi perempuan. Semoga bermanfaat dan dapat memberikan pencerahan ya, Detikers!

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com