Tag Archives: nasa

NASA Pertama Kali Bikin Hijab Khusus untuk Astronaut Nora Al Matrooshi

Arab Saudi

NASA mengembangkan hijab khusus untuk astronaut setelah Nora Al Matrooshi lulus mengikuti program pelatihan NASA. Siapa sosok Nora Al Matrooshi?

Nora Al Matrooshi mencuri atensi publik karena ia menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat atau NASA. Wanita yang berusia 30 tahun itu menjelaskan, NASA mengembangkan strategi untuk menjaga rambutnya tetap tertutup saat mengenakan setelan dan helm ruang angkasa ikonik, yang dikenal secara resmi sebagai Unit Mobilitas Extravehicular atau EMU.

“Setelah kamu masuk ke EMU, kamu mengenakan topi (dilengkapi dengan mikrofon dan speaker), yang menutupi rambutmu,” kata Nora Al Matrooshi kepada AFP, dilansir dari France24.


Foto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh NoraFoto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh Nora. Foto: Dok. Instagram @astronaut_nora.

Tantangan datang pada saat Nora Al Matrooshi melepas hijab yang biasanya ia pakai, sebelum dia mengenakan helm khusus tersebut. Hal tersebut semakin pelik karena hanya bahan khusus yang dapat dipakai di dalam EMU.

“Para insinyur pakaian akhirnya menjahit hijab darurat untuk saya, sehingga saya bisa memakainya, masuk ke dalam pakaian, dan kemudian mengenakan topi komunikasi, dan kemudian melepasnya dan rambut saya akan tertutupi. Jadi saya sangat, sangat menghargai mereka melakukan itu untuk saya,” ucap Nora.

Foto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh NoraFoto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh Nora. Foto: Dok. Instagram @astronaut_nora.

Nora Al Matrooshi akan siap untuk melangkah ke luar angkasa bersama rekan-rekan astronautnya, dengan pakaian yang sudah dirancang khusus oleh NASA. NASA berencana mengirim Nora ke bulan pada 2026 untuk misi Artemis 3.

“Saya pikir menjadi astronot itu sulit, terlepas dari apa agama atau apa latar belakang kamu,” jelas Nora.

Nora Al Matrooshi merupakan insinyur mesin yang pernah bekerja di industri minyak, menjadi inspirasi bagi wanita berhijab lainnya untuk terus menggapai impian.

“Saya tidak berpikir menjadi seorang Muslim membuatnya lebih sulit. Tetapi menjadi seorang Muslim membuat saya sadar akan kontribusi nenek moyang saya, para cendekiawan dan ilmuwan Muslim yang datang sebelum saya yang sedang mempelajari bintang-bintang. Saya menjadi astronaut hanya membangun warisan dari apa yang mereka mulai ribuan dan ribuan tahun yang lalu,” ungkap Nora.

Astronaut UEA Mohammad Al Mulla dan Nora Al Matrooshi.Astronaut UEA Mohammad Al Mulla dan Nora Al Matrooshi. Foto: NASA/James Blair.

Setelah dua tahun kerja keras termasuk berlatih spacewalks, Nora Al Matrooshi bersama rekannya dari Emirat, Mohammad AlMulla dan 10 orang lainnya di kelas pelatihan, sudah memenuhi syarat sebagai astronot. Kelompok itu, yang dikenal sebagai “The Flies,” sekarang memenuhi syarat untuk misi NASA ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), peluncuran Artemis ke Bulan. Dan jika semuanya berjalan dengan baik, mereka bahkan bisa terbang ke Mars.

“Saya ingin mendorong umat manusia lebih jauh dari sebelumnya. Saya ingin umat manusia kembali ke bulan, dan saya ingin umat manusia melangkah lebih jauh melampaui bulan. Dan saya ingin menjadi bagian dari perjalanan itu,” ujar Nora.

Nora Al Matrooshi mengunggah berbagai kegiatannya sebagai astronaut melalui Instagram @astronaut_nora. Dia juga aktif dalam misi kemanusiaan terutama menyuarakan untuk membela Palestina.

Foto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh NoraFoto Nora al-Matrooshi baru saja menjadi wanita Arab pertama yang lulus dari program pelatihan astronot NASA. Sosok Nora al-Matrooshi juga mencuri atensi karena NASA menciptakan hijab khusus untuk astronot berhijab yang akan dikenakan oleh Nora. Foto: Dok. Instagram @astronaut_nora.

(gaf/eny)



Sumber : wolipop.detik.com

NASA Temukan ‘Bukti’ Baru di Mars, Benarkah Ada Potensi Kehidupan?



Jakarta

Benarkah Mars pernah menyimpan rahasia kehidupan? Pertanyaan ini terus menjadi misteri bagi para ilmuwan. Sejak lama, para ilmuwan telah melakukan eksplorasi luar angka ke Mars untuk mencari tanda-tanda kehidupan.

Sejauh ini, belum ada bukti valid apakah ada kehidupan di Mars atau tidak. Namun, penemuan NASA dari misi rover Perseverance 2024 mengungkapkan fakta baru.

Para ilmuwan, menemukan potensi biosignature (tanda-tanda kehidupan) dari inti batu lumpur yang dibor di Sapphire Canyon, Kawah Jezero. Dari situ, terdapat mineral yang jika di Bumi sering dikaitkan dengan aktivitas mikroba.


‘Bukti’ Misterius di Batu Mars

Pada Juli 2024, Perseverance berhasil mengebor batu bernama Air Terjun Chevaya di saluran sungai kuno Neretva Vallis. Analisis sampel dari pengeboran ini menunjukkan adanya dua mineral penting yaitu vivianit (besi fosfat) dan greigit (besi sulfida).

Kedua mineral ini cukup istimewa. Di Bumi, mereka biasanya terbentuk di lingkungan kaya air namun minim oksigen, tempat mikroba kerap beraktivitas.

Tekstur batunya pun menunjukkan pengendapan dari air, bukan dari lava. Temuan ini membuat ilmuwan semakin bersemangat, karena kondisi tersebut mirip dengan habitat yang bisa memungkinkan atas kehidupan sederhana.

Masih Potensi, Bukan Bukti

Meski cukup memberi petunjuk, para peneliti tetap berhati-hati. Mineral dan pola kimia ini memang menyerupai jejak mikroba di Bumi, tetapi belum dipastikan berasal dari makhluk hidup. Ada kemungkinan reaksi kimia nonbiologis juga menghasilkan pola yang sama.

“Itu bukan kehidupan itu sendiri, tapi bisa jadi tanda biologis potensial,” jelas Nicky Fox, Administrator Asosiasi untuk Direktorat Misi Sains NASA, dikutip dari Earth.com.

Pejabat Administrator NASA, Sean Duffy, bahkan menyebut temuan ini sebagai “indikasi paling jelas yang pernah kami dapatkan tentang kemungkinan kehidupan di Mars”. Namun, ia menegaskan NASA masih perlu melalui banyak tahap verifikasi sebelum bisa memastikan.

Jika terbukti hasil dari hal itu merupakan metabolisme mikroba, berarti Mars pernah memiliki lingkungan layak huni dengan siklus kimia mirip Bumi. Sebaliknya, jika terbentuk secara nonbiologis, temuan ini tetap penting karena membuka jendela baru untuk memahami bagaimana unsur-unsur penting (seperti besi, fosfor, dan sulfur) bereaksi di Planet Merah.

Dengan kata lain, apa pun hasil akhirnya, batuan Mars ini menyimpan hal berharga tentang sejarah kimia planet tetangga Bumi.

Sampel Akan Dibawa ke Bumi

Sementara untuk sampel batu lumpur sudah disegel rapi oleh Perseverance untuk kemudian dikirim ke Bumi. Nantinya, para ilmuwan bisa melakukan uji isotop, analisis karbon, hingga mikrotekstur untuk membedakan apakah jejak itu biologis atau murni reaksi kimia.

Selama menunggu misi pengembalian sampel, rover akan terus memetakan area lain yang berpotensi menyimpan petunjuk serupa. Dengan instrumen seperti SHERLOC dan PIXL, NASA berharap bisa menemukan pola konsisten yang memperkuat bukti.

Penemuan ini memang belum bisa disebut sebagai bukti kehidupan di Mars. Namun, hal ini menjadi langkah besar dari pertanyaan, apakah makhluk hidup di Bumi sendirian di alam semesta, atau ada kemungkinan kehidupan pernah muncul di planet lain?

Satu hal pasti, setiap lapisan batu Mars yang dibawa Perseverance mendekatkan pada pengetahuan baru.

*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama

(faz/faz)



Sumber : www.detik.com

Supermoon Cerah dan Besar Akan Terjadi Oktober Ini, Cek Waktunya!


Jakarta

Fenomena Bulan purnama supermoon pada Oktober ini akan menjadi tontonan langit yang menarik. Pasalnya, supermoon kali ini menjadi yang terbesar dan tercerah selama 2025.

Supermoon atau disebut juga Harvest Moon ini diperkirakan muncul pada 7 Oktober 2025. Bulan purnama bisa tampak lebih cerah 30% dari biasanya.

“Supermoon bisa tampak hingga 14% lebih besar dan 30% lebih terang dibanding Bulan purnama biasa,” tulis laporan BBC dikutip dikutip Sabtu (4/10/2025).


Apa Itu Fenomena Supermoon?

Di Indonesia, istilah supermoon dikenal sebagai Bulan purnama. Namun, supermoon berbeda dengan Bulan purnama pada umumnya karena ukurannya yang lebih besar.

Ukuran Bulan tidak mengalami perubahan. Saat supermoon, Bulan menjadi seolah lebih besar karena jarak Bulan ke Bumi sangat dekat.

Selama supermoon, Bulan purnama bertepatan dengan titik terdekat Bulan-Bumi dalam orbit elipsnya (titik perigee), dikutip dari laman Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA).

Pencetus istilah supermoon adalah Richard Nolle, seorang astrolog. Ia menyebut Bulan purnama besar sebagai supermoon pada 1979.

Jadwal Supermoon Tahun 2025

Mengutip BBC Sky at Night Magazine, supermoon 2025 akan terjadi sebanyak tiga kali yakni pada 7 Oktober, 5 November, dan 4 Desember.

Pada waktu-waktu tersebut, Bulan akan tampak sangat cerah di langit malam. Tak perlu teleskop atau teropong, detikers bisa menyaksikannya secara langsung.

Sebenarnya, Bulan purnama tiap tahunnya terjadi sebanyak 12 atau 13 kali. Akan tetapi, tidak semua Bulan purnama memiliki penampakan Bulan yang besar dan terang.

Bahkan, ada beberapa supermoon yang tidak bisa dilihat karena terjadi pada Bulan baru. Fenomena ini disebut sebagai supermoon baru.

Dampak Supermoon terhadap Bumi

Supermoon tidak menyebabkan dampak yang besar, melainkan seperti pada fenomena Bulan purnama biasa. Fenomena Bulan purnama atau bulan baru kerap memengaruhi pasang surut laut, demikian dikutip dari Earth Sky.

Kondisi ini dikenal sebagai pasang surut musim semi. Namun, ketika Bulan purnama atau Bulan baru terjadi bertepatan dengan posisi Bulan berada di titik terdekatnya dengan Bumi (perigee), maka pasang naik yang muncul disebut pasang surut musim semi perigean atau sering juga disebut pasang surut raja.

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini juga populer dengan sebutan pasang surut supermoon. Menurut ahli astronomi Fred Espenak, gravitasi supermoon yang berada paling dekat dengan Bumi hanya sekitar 4% lebih besar dibanding gravitasi Bulan pada jarak rata-rata.

Pasang surut supermoon biasanya terjadi sekitar satu hari setelah fase Bulan baru atau Bulan purnama. Tingginya pasang air laut ini sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca serta bentuk garis pantai di suatu wilayah.

(cyu/twu)



Sumber : www.detik.com

Fenomena Supermoon Pertama 2025 Tampak di Langit, Kapan Muncul Lagi?


Jakarta

Fenomena supermoon atau purnama perigee muncul di langit pada Selasa, 7 Oktober 2025 semalam. Bagi yang melewatkan supermoon pertama 2025 ini, catat jadwal fenomena supermoon selanjutnya.

Berdasarkan catatan Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), supermoon selanjutnya akan tampak pada Rabu, 5 November 2025 pukul 20.19 WIB dan Jumat, 5 Desember 2025 pukul 06.14 WIB.

NASA dalam laman resminya menjelaskan supermoon hanya terjadi 3-4 kali dalam setahun. Rangkaian fenomena supermoon dalam satu tahun tersebut terjadi secara berurutan.


Mengapa Fenomena Supermoon Istimewa?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan supermoon terjadi saat Bulan purnama bertepatan dengan jarak terdekatnya dari Bumi, yang disebut perigee. Posisinya setidaknya berada pada 90 persen perigee.

Pada 7 Oktober 2025 pukul 10.47 WIB, Bulan berjarak 361.458 km dari Bumi. Sedangkan jarak terjauhnya (apogee) bisa sampai 405.500 km.

Posisi ini membuat dampak berikut:

  • Bulan tampak lebih besar dan lebih terang dari biasanya, sampai 14 persen lebih besar dan 30 persen lebih terang dari Bulan paling redup dalam setahun.
  • Air pasang lebih tinggi dari biasanya
  • Air surut lebih rendah dari biasanya hingga lebih banyak ikan bisa terbawa ke pinggir pantai.

Mengapa Jarak Bulan ke Bumi Berubah-ubah?

Rupanya, jarak Bulan ke Bumi tidak selalu sama karena jalur orbit Bulan mengorbit Bumi tidak berbentuk bulat sempurna. Bentuknya cenderung elips.

Karena itu, ada waktu-waktu tertentu yang membuat Bulan berada di titik terjauh dari Bumi. Ada pula waktu Bulan berjarak terdekat dari Bumi. Ketika berjarak terdekat dan ternyata sedang Bulan purnama, maka terjadilah supermoon.

NASA menyatakan supermoon bukan istilah resmi astronomi. Namun, supermoon lazim digunakan untuk menyebut Bulan purnama yang berada di setidaknya 90 persen perigee. Yuk, hidupkan pengingat agar tak ketinggalan supermoon 2025 terdekat!

(twu/pal)



Sumber : www.detik.com

Ternyata Ada Hujan yang ‘Mengerikan’ di Matahari, Ilmuwan Ungkap Fakta Ini



Jakarta

Para peneliti di Institut Astronomi Universitas Hawaiʻi (IfA) mengungkap fenomena hujan yang ada di Matahari. Hujan deras yang terjadi di Matahari, disebut sangat mengerikan. Kenapa?

Berbeda dengan hujan di Bumi yang berupa air, hujan di Matahari terjadi di korona Matahari. Wilayah itu merupakan plasma super panas di atas permukaan lapisan terluar Matahari.

Plasma sendiri merupakan suatu wujud materi di mana atom-atom terionisasi dan berperilaku kolektif di bawah gaya magnet dan listrik. Di korona, suhu plasma melonjak hingga lebih dari satu juta derajat Celcius, tetapi pendinginan lokal dapat menciptakan gumpalan padat yang jatuh ke bawah di sepanjang garis medan magnet.


Hujan di Matahari Terdiri dari Apa?

Mengutip laman resmi University of Hawaiʻi, hujan di Matahari terdiri dari gumpalan plasma yang lebih dingin dan lebih padat yang jatuh kembali setelah terbentuk di bagian atas korona. Selama beberapa dekade, para ilmuwan berjuang untuk menjelaskan bagaimana hujan ini terbentuk begitu cepat selama jilatan matahari.

Sejak tahun 1970-an, para ilmuwan telah mengusulkan beberapa mekanisme untuk hujan Matahari. Namun, tidak ada yang dapat menjelaskan kemunculannya yang tiba-tiba dalam flare.

Salah satu teorinya adalah nonequilibrium termal, di mana pemanasan berkepanjangan di dasar loop magnetik menciptakan gradien yang memicu hujan. Teori lainnya adalah ketidakstabilan termal, di mana ketidakseimbangan dalam pemanasan dan pendinginan berputar menjadi kondensasi yang tak terkendali.

Sayangnya, model ini secara konsisten gagal mereproduksi pengamatan. Hampir setiap suar menunjukkan hujan koronal, tapi simulasi tanpa kelimpahan variabel tidak menunjukkan hujan koronal. Ketidakcocokan ini menandakan bahwa terdapat bagian fundamental fisika matahari yang hilang.

Sementara pada penemuan terbaru, para peneliti berhasil menambahkan bagian yang hilang pada model-model surya yang telah ada selama puluhan tahun. Penelitian tim IfA menunjukkan bahwa pergeseran kelimpahan unsur dapat menjelaskan bagaimana hujan dapat terbentuk dengan cepat.

Dengan penemuan ini, ilmuwan bisa memodelkan dengan lebih baik bagaimana Matahari berperilaku selama flare. Temuan ini juga akan memberi wawasan yang suatu hari nanti dapat membantu memprediksi cuaca luar angkasa yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

“Penemuan ini penting karena membantu kita memahami cara kerja Matahari yang sebenarnya,” kata astronom IfA, Jeffrey Reep.

“Kita tidak bisa melihat proses pemanasan secara langsung, jadi kita menggunakan pendinginan sebagai proksi. Namun, jika model kita tidak memperhitungkan kelimpahan dengan tepat, waktu pendinginan kemungkinan telah ditaksir terlalu tinggi. Kita mungkin perlu kembali ke dasar pemikiran tentang pemanasan koronal, jadi masih banyak pekerjaan baru dan menarik yang harus dilakukan,” urainya lebih lanjut.

Penemuan menyoal hujan di Matahari ini telah diterbitkan di Astrophysical Journal, pada 1 Oktober 2025.

Pentingnya Penemuan bagi Cuaca Luar Angkasa

Untuk diketahui, bahwa suar matahari memicu badai yang memengaruhi satelit Bumi, seperti jaringan listrik, dan komunikasi. Untuk memprediksi peristiwa ini, para ilmuwan mengandalkan model tentang bagaimana Matahari memanaskan dan mendinginkan atmosfernya.

Hujan koronal yang diteliti para ilmuwan merupakan sinyal pendinginan yang terlihat. Namun hingga saat ini, simulasi belum mampu mereproduksinya dalam kondisi suar yang sebenarnya.

Para ilmuwan hanya dapat menciptakan model jilatan matahari yang lebih realistis. Ini berarti prakiraan cuaca antariksa dapat menjadi lebih akurat, dengan peringatan dini akan gangguan pada teknologi Bumi.

Penelitian baru ini juga menunjukkan bahwa pendorong utama hujan di Matahari adalah melimpahnya unsur-unsur dengan potensial ionisasi pertama yang rendah, seperti besi, magnesium, dan silikon. Unsur-unsur ini meningkat di korona relatif terhadap permukaan Matahari.

Sementara unsur-unsur potensial tinggi seperti helium dan oksigen hampir tidak berubah. Pola ini disebut efek Potensial Ionisasi Pertama, demikian dilansir The Watchers.

Ke depan, studi lebih lanjut kemungkinan akan menguji bagaimana variasi kelimpahan berinteraksi dengan peristiwa berskala lebih kecil seperti nanoflare dan mikroerupsi. Pergeseran ini juga dapat memengaruhi komposisi angin di Matahari, yang membentuk heliosfer dan kondisi cuaca antariksa di seluruh Tata Surya.

Misi-misi mendatang seperti Solar Orbiter milik ESA dan observatorium-observatorium NASA di masa mendatang akan menyediakan data spektroskopi resolusi tinggi untuk menguji prediksi-prediksi ini. Dengan mengukur perubahan kelimpahan secara langsung, para ilmuwan dapat menyempurnakan model mereka dan memperdalam pemahaman mereka tentang pemanasan koronal, salah satu pertanyaan besar yang belum terpecahkan dalam fisika soal Matahari.

(faz/pal)



Sumber : www.detik.com

Ada Benda ‘Berbulu’ Misterius Jatuh di Negara Ini, Dari Luar Angkasa?



Jakarta

Warga sebuah kota kecil di Argentina dikejutkan dengan jatuhnya benda misterius berukuran raksasa yang menghantam area pertanian. Objek silinder berwarna gelap dengan permukaan menyerupai “bulu” ini membuat geger karena ukurannya tak biasa. Lalu dari mana asal-usulnya?

Menurut laporan The Independent, dikutip Sabtu (11/10/2025), menyebut benda misterius ditemukan di Puerto Tirol, Provinsi Chaco, Argentina. Benda tersebut ditemukan oleh seorang petani pada akhir September 2025 lalu.

Laporan media lokal, mengungkapkan, benda berbentuk silinder itu memiliki diameter hampir satu meter dengan panjang sekitar 1,7 meter. Ukuran ini cukup besar hingga menimbulkan kerusakan ringan di area pertanian setempat.


Merespons hal ini, polisi setempat segera mengamankan lokasi untuk mencegah warga mendekat.

Diduga Bagian dari Roket

Dilansir metro.co.uk, investigasi awal menyebut, objek itu diperkirakan merupakan Composite Overwrapped Pressure Vessel (COPV) tangki bahan bakar bertekanan tinggi yang biasa digunakan dalam roket atau satelit.

Kepala polisi di Chaco menjelaskan, benda itu terbuat dari serat karbon dan berpotensi mengandung hidrazin, bahan bakar beracun yang kerap dipakai dalam wahana antariksa. Karena itu, area penemuan langsung dipasangi garis polisi dan objek dibawa ke Buenos Aires untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Bukan Kasus Pertama

Fenomena jatuhnya puing antariksa sebenarnya bukan hal baru. COPV sering ditemukan kembali di Bumi setelah misi luar angkasa karena tahan panas dan tidak habis terbakar di atmosfer. Kasus serupa juga pernah terjadi di India, Australia, hingga Brasil dalam beberapa tahun terakhir, demikian dilansir Mirror (11/102025).

NASA dalam publikasi teknisnya menyebut COPV dirancang dari material komposit yang sangat kuat untuk menahan tekanan tinggi, sehingga relatif sering bertahan ketika roket memasuki kembali atmosfer. Hal ini membuat benda semacam ini kerap ditemukan utuh, bahkan berisiko jika jatuh di area berpenduduk.

Misteri Belum Terpecahkan

Meski dugaan kuat mengarah pada sisa roket, hingga kini identitas pasti benda “berbulu” raksasa itu masih menunggu hasil investigasi resmi. Nomor seri yang ditemukan di permukaan objek sedang ditelusuri untuk mengidentifikasi wahana antariksa mana yang menjadi asal-usulnya.

Sementara itu, warga Puerto Tirol sendiri masih diliputi rasa penasaran. Bagi mereka, peristiwa ini seolah nyata sekaligus misterius: sebuah benda raksasa jatuh dari langit, menimbulkan spekulasi mulai dari puing satelit, sisa roket, hingga objek asing yang tak dikenal.

*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama

(faz/faz)



Sumber : www.detik.com

Ngeri! Ramalan Stephen Hawking Soal Kiamat Bumi

Jakarta

Stephen Hawking, fisikawan legendaris sekaligus salah satu pemikir terbesar abad ke-21, pernah mengeluarkan ramalan mengerikan tentang nasib Bumi. Dalam berbagai kesempatan sebelum wafat pada 2018, ia memperingatkan bahwa planet ini bisa berubah menjadi “bola api raksasa” akibat ulah manusia sendiri – mulai dari ledakan populasi, perang nuklir, hingga kecerdasan buatan (AI) yang tak terkendali.

Populasi dan Energi Berlebih Bikin Bumi Jadi Bola Api

Dalam konferensi Tencent WE Summit 2017, Hawking menegaskan bahwa pertumbuhan populasi dan konsumsi energi yang melonjak drastis dapat membuat Bumi memanas ekstrem pada tahun 2600. Ia menggambarkan dunia masa depan yang begitu padat hingga manusia “berdesakan bahu-membahu,” sementara penggunaan listrik berlebihan memicu suhu planet melonjak.


“Populasi dunia akan sangat padat dan konsumsi energi membuat Bumi membara. Ini tidak dapat diterima,” ujar Hawking. Ia memperingatkan bahwa laju perkembangan teknologi dan ilmiah tidak akan berhenti, namun jika dibiarkan tanpa kontrol, bumi akan kehilangan keseimbangannya.

Perang Nuklir dan Kecerdasan Buatan

Selain masalah populasi, Hawking menyoroti bahaya perang nuklir sebagai ancaman terbesar bagi peradaban manusia. Dengan sembilan negara pemilik senjata atom – termasuk AS, Rusia, dan Korea Utara – risiko konflik global selalu mengintai. Ia memperingatkan bahwa satu kesalahan diplomatik saja bisa memicu kehancuran total.

Tak hanya itu, kemajuan kecerdasan buatan juga menjadi momok baru. Menurutnya, AI dapat melampaui kemampuan manusia dan “mengambil alih” jika tidak diawasi. Laporan UNCTAD bahkan memproyeksikan nilai pasar AI global melonjak hingga USD 4,8 triliun pada 2033 – potensi besar sekaligus ancaman nyata jika disalahgunakan.

Perubahan Iklim dan Pandemi

Dalam wawancaranya bersama BBC tahun 2016, Hawking menegaskan bahwa perubahan iklim adalah faktor paling mendesak dalam ancaman kiamat Bumi. Ia menyebut pemanasan global dan efek rumah kaca sebagai “bom waktu” yang sudah berdetak.

“Peluang bencana di Bumi setiap tahun mungkin kecil, tapi jika terus bertambah, hampir pasti akan terjadi dalam seribu tahun ke depan,” ujarnya.

Pandemi global juga masuk daftar ancaman menurut Hawking. Ia menilai wabah penyakit menular bisa menjadi katalis kehancuran umat manusia, apalagi di era globalisasi dengan mobilitas tinggi dan ketimpangan akses kesehatan.

Peringatan Soal Alien

Dengan nada setengah bercanda, Hawking juga menyinggung kemungkinan bahwa manusia bisa dihancurkan oleh peradaban asing yang lebih maju. “Mungkin alasan kita belum dihubungi alien adalah karena peradaban yang mencapai tahap seperti kita biasanya menghancurkan dirinya sendiri,” katanya.

Meski begitu, ia menekankan bahwa ancaman terbesar tetap datang dari manusia sendiri – dari keserakahan, eksploitasi alam, hingga eksperimen berisiko tinggi tanpa perhitungan matang.

NASA Membantah

Sempat beredar kabar bahwa NASA mendukung teori kiamat versi Hawking. Namun badan antariksa AS itu membantah, menegaskan bahwa misinya adalah memahami dan melindungi planet ini. “Selama lebih dari 50 tahun kami mempelajari Bumi dan memberi data penting bagi kelangsungan umat manusia,” demikian pernyataan resmi NASA.

Meski terdengar menakutkan, pesan Hawking bukan untuk menebar ketakutan, melainkan mengingatkan agar manusia bertindak sebelum terlambat. Ia menyerukan pengelolaan energi berkelanjutan, pengurangan emisi karbon, serta eksplorasi luar angkasa sebagai solusi jangka panjang.

“Umat manusia harus terus mencari tempat baru untuk hidup, tapi juga menjaga rumahnya sendiri – Bumi,” tuturnya.

(afr/afr)



Sumber : inet.detik.com

Sampah Antariksa Mendarat di Gurun Australia, Kondisinya Terbakar


Jakarta

Kepolisian Australia Barat mengumumkan temuan sebuah objek di jalan akses menuju tambang di wilayah Pilbara. Unggahan media sosial mereka menggambarkan objek tersebut terbakar, dan pakar sampah antariksa Profesor Steven Tingay dari Curtin University mengatakan bahwa gambar-gambar tersebut menunjukkan kemungkinan besar objek tersebut terbakar saat mendarat.

“Saya belum pernah melihat hal seperti ini terjadi sebelumnya,” ujar Tingay seperti dikutip dari IFL Science.


Namun mengingat jumlah peluncuran antariksa meningkat pesat, ia khawatir hal seperti ini akan menjadi lebih umum. Menurutnya, risiko dari langit mungkin lebih besar dari yang kita duga.

“Semua orang khawatir tertabrak, tetapi kemungkinannya kecil. Namun, sebuah benda yang mencapai permukaan tanah saat masih terbakar dapat memicu kebakaran hutan jika mendarat di hutan pada hari yang kering,” Tingay memperingatkan.

sampah antariksaFoto: Pilbara Police

Kekhawatiran ini beralasan, mengingat hutan menempati wilayah yang jauh lebih luas daripada wilayah yang dihuni manusia, sehingga kemungkinannya mungkin perlu dipertimbangkan.

Lebih lanjut, Tingay mencatat bahwa beberapa benda ini mungkin mengandung material yang cukup berbahaya. Biasanya, masyarakat umum tidak boleh menyentuh sesuatu yang tampak seperti sampah antariksa.

“Namun, benda yang terbakar bisa saja mengeluarkan asap beracun, sehingga semakin menjadi alasan untuk menjauh dan segera menghubungi polisi,” kata Tingay.

Sumber objek tersebut tidak diketahui. Dr. Alice Gorman dari Flinders University mengatakan, “Sepertinya itu adalah tahap keempat dari roket Jielong. Sebuah roket yang diluncurkan pada akhir September.”

sampah antariksaSampah Antariksa Mendarat di Gurun Australia, Kondisinya Terbakar. Foto: Pilbara Police

Namun Tingay enggan berspekulasi tanpa informasi lebih lanjut. “Tidak ada peringatan masuk kembali ke Bumi, tidak ada tanda-tanda masuk kembali terkendali,” kata Tingay.

Sejauh ini, belum ada negara atau perusahaan yang mengaku bertanggung jawab. Tingay berpendapat bahwa pendekatan terbaik adalah mencoba mengidentifikasi komponen-komponen tersebut dan mencocokkannya dengan produsen, meskipun itu akan sangat sulit karena buktinya hancur terbakar.

Situasinya mungkin berbeda jika ada yang melihat objek tersebut menyala di langit. Namun menurut Tingay, mungkin saja objek itu mendarat di siang hari.

“Mungkin terlihat jika Anda melihat di tempat yang tepat, tetapi itu pun Anda harus beruntung. Itu daerah berpenduduk rendah dan dekat pantai, jadi bisa saja objek itu muncul melalui air,” ujarnya.

Pada 1979, kawasan Shire of Esperance di Australia Barat menjadi pemberitaan karena mengirimkan tagihan kepada NASA atas pembuangan sampah sembarangan setelah Skylab mendarat di wilayah mereka. Kanada menghadapi tagihan yang lebih besar setahun sebelumnya ketika sebuah satelit Rusia yang bersifat sangat radioaktif mendarat di wilayah mereka, dan pembayaran akhirnya diperkirakan tidak cukup untuk menutupinya.

(rns/afr)



Sumber : inet.detik.com

Cara Mengenali Perbedaan Asteroid, Meteor, dan Komet



Jakarta

Benda luar angkasa yang melintasi Bumi kerap disebut sebagai meteor. Namun, terkadang disebut juga dengan asteroid dan komet. Sebenarnya apa beda ketiganya?

Dalam astronomi, ada banyak istilah untuk menyebut benda-benda di luar angkasa. Penyebutan ini digunakan untuk memudahkan identifikasi.

Mengutip laman resmi NASA, berikut perbedaan asteroid, meteor, dan komet.


Perbedaan Asteroid, Meteor, dan Komet

1. Asteroid

Asteroid adalah benda langit berupa batu dan logam yang mengitari Matahari. Mayoritas asteroid terletak di sabuk asteroid yang merupakan wilayah antara Mars dan Jupiter.

Menurut NASA, asteroid juga disebut sebagai sisa-sisa pembentukan tata surya, yang tak sempat menjadi planet.

Cara mengenali asteroid:

Komposisi: batuan dan logam, kadang sedikit es.
Ciri khas: tidak memiliki ekor, hanya tampak seperti titik kecil di teleskop.
Contoh: asteroid Ceres yang bahkan dikategorikan sebagai planet kerdil.

2. Meteor

Meteor sebenarnya berawal dari meteoroid, yaitu fragmen kecil dari asteroid atau komet. Ketika meteoroid masuk ke atmosfer bumi dan terbakar karena bergesekan udara, kita melihatnya sebagai meteor atau “bintang jatuh.” Jika sebagian masih bertahan dan jatuh ke permukaan bumi, sisa itu disebut meteorit.

Dikutip dari Scientific American, meteor dapat berukuran sekecil butiran pasir hingga sebesar bongkahan batu. Hujan meteor tahunan yang sering kita lihat, misalnya Perseid, berasal dari debu komet yang masuk atmosfer bumi.

3. Komet

Komet dikenal sebagai “bintang berekor” karena saat mendekati Matahari, panas membuat es di dalamnya menguap dan membentuk coma (atmosfer tipis) serta ekor yang selalu menjauh dari Matahari.

Mengutip planetary.org, komet berasal dari dua wilayah dingin di Tata Surya: Sabuk Kuiper (dekat orbit Neptunus) dan Awan Oort (jauh di luar Tata Surya).

Cara mengenali komet:

Komposisi: es air, karbon dioksida, metana, amonia, bercampur debu dan batuan.
Contoh: Komet Halley yang muncul setiap 76 tahun.

Nah, itulah perbedaan asteroid, meteor, dan komet. Semoga bermanfaat detikers!

*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama

(faz/faz)



Sumber : www.detik.com

Bumi ‘Diserang’ dari Luar Angkasa? Pakar IPB Ingatkan Pertahanan Planet


Jakarta

Jatuhnya meteor di Cirebon, Jawa Barat menjadi pengingat bahwa ruang angkasa tidak sekosong dan setenang yang orang kira. Ada potensi bahaya dari ruang angkasa yang bisa sewaktu-waktu berdampak pada manusia di Bumi.

Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Fisika Teori IPB University, Prof Husin Alatas.

“Ruang angkasa dipenuhi objek yang bergerak dalam kecepatan tinggi. Ketika salah satu di antaranya keluar dari orbit stabilnya dan kemudian tertarik oleh gravitasi Bumi, maka potensi tumbukan menjadi nyata,” jelasnya, dikutip dari laman IPB University, Kamis (16/10/2025).


Ancaman Langit

Kepunahan Massal

Ia mencontohkan, 66 juta tahun lalu, asteroid raksasa yang menghantam Semenanjung Yucatan, Meksiko menyebabkan kepunahan dinosaurus.

Merespons peristiwa tersebut, lembaga-lembaga angkasa luar dunia seperti Badan Antariksa AS (NASA) mengembangkan sistem pertahanan planet agar dampaknya tidak terulang.

“Misi Double Asteroid Redirection Test (DART) yang berhasil mengubah orbit asteroid pada 2022 menjadi tonggak utama dalam upaya perlindungan Bumi,” kata Husin.

Kelumpuhan Listrik dan Sistem Komunikasi

Sementara itu, aktivitas Matahari seperti letupan besar atau solar flare yang mengirimkan partikel bermuatan tinggi dapat melumpuhkan jaringan listrik serta sistem komunikasi di Bumi. Salah satunya terjadi di Quebec, Kanada, sehingga mengalami listrik padam massal berjam-jam pada 1989. Ia mengatakan, kendati medan magnet Bumi melindungi manusia, kekuatannya tebatas.

“Angin Matahari ekstrem bisa menembus dan memicu kerusakan sistem teknologi modern,” jelasnya.

Sistem Navigasi Terganggu

Sampah antariksa yang bertambah setiap tahun juga menurutnya menjadi salah satu ancaman. Berdasarkan data Badan Antariksa Eropa (ESA), ada sekitar 26.000 puing besar berukuran lebih dari 10 cm di antariksa, sedangkan 1,2 juta objek sampah lainnya berukuran lebih dari 1 cm, yang juga dapat menimbulkan kerusakan.

Husin menjelaskan, ribuan serpihan logam dan puing satelit di orbit dapat menabrak wahana antariksa aktif. Alhasil, tabrakan ini mengganggu sistem navigasi global.

Radiasi Kosmik

Ledakan bintang supernova atau fenomena galaksi jauh bisa memicu radiasi kosmik dengan energi tinggi. Kendati jauh, Husin mengatakan, partikel berenergi sangat tinggi dari ledakan atau fenomena tersebut tetap menimbulkan bahaya bagi astronaut dan satelit di luar orbit rendah.

Pengampu mata kuliah teori relativitas tersebut menambahkan, berdasarkan keterangan sejumlah astronom, bintang Betelgeuse di konstelasi Orion menunjukkan tanda-tanda akan meledak.

Dikutip dari laman Science NASA, bintang super raksasa merah-oranye ini adalah bintang terbesar di alam semesta. ‘Letusan’ Betelgeuse pada 2019 memuntahkan massa ke angkasa luar dengan bobot beberapa kali lipat Bulan.

Pada musim gugur 2019 tersebut, cahaya Betelgeuse sempat tiba-tiba meredup drastis sekitar 60 persen, kendati cerah lagi pada April 2020. Momen peredupan itu diduga astronom sebagai fase pra-supernova atau sebelum meledak.

Pentingnya Riset Pertahanan Planet

Dari ancaman di atas, ia menegaskan potensi ancaman dari langit dalam waktu dekat dapat berupa tumbukan asteroid berukuran sedang, badai Matahari ekstrem, serta paparan radiasi kosmik.

Husin menilai, kemajuan teknologi pemantauan dan kolaborasi internasional saat ini mampu mendeteksi risiko lebih dini. Selaras dengan peningkatan kesadaran global terhadap ancaman luar angkasa tersebut, ia mengajak masyarakat ilmiah dan pemerintah untuk memperkuat riset pertahanan planet.

“Perlindungan Bumi bukan hanya dilakukan dari dalam, tetapi juga dari luar. Menjaga rumah kita berarti memahami dan mengantisipasi ancaman dari semesta,” ucapnya.

(twu/nwk)



Sumber : www.detik.com