Tag Archives: ntb

Labuan Bajo, Pesona Surga Tersembunyi di Indonesia



Manggarai Barat

Terletak di ujung barat pulau besar Flores di Nusa Tenggara Timur, Labuan Bajo adalah permata tersembunyi yang mendapat banyak puji.

Labuan Bajo berawal dari desa nelayan kecil, alam dan budaya yang indah membuat kawasan ini menjadi pusat wisata NTB yang mulai mendapat banyak perhatian.

Yang membuat desa ini begitu menonjol adalah reptil purba komodo yang tinggal di Pulau Komodo. Sebagai salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO, Pulau Komodo terus bersolek untuk mempertahankan statusnya.


Kamu yang mau liburan ke Labuan Bajo, bisa intip destinasinya berikut ini:

1. Wisata Perahu Pulau Komodo

komodo di Loh Liangkomodo di Loh Liang (Bonauli/detikcom)

Perjalanan ke Pulau Komodo adalah daya tarik utama kawasan ini. Pulau ini merupakan taman nasional yang terletak di sebelah barat Labuan Bajo. Komodo adalah reptil terbesar di dunia dan melihat salah satu makhluk luar biasa ini dari dekat adalah pengalaman yang istimewa dan mengesankan.

Yang paling populer adalah Live on Board Phinisi, wisatawan bisa staycation di kapal sambil berlayaar ke beberapa pulau di sekitar taman nasional.

Turun dari perahu di Loh Liang di Taman Nasional Komodo seperti melakukan perjalanan kembali ke masa lalu, ke zaman ketika kadal purba menguasai planet ini. Pemandu lokal dalam safari berjalan kaki akan mengajak kamu untuk melihat langsung kehidupan rusa, babi hutan, dan banyak spesies burung di alam liar.

Destinasi populer lainnya adalah Pink Beach. Pantai ini memiliki pasir pink dan sangat cantik. Airnya jenih, terumbu karangnya sangat indah. Kamu bisa melakukan beberapa kegiatan seperti snorkeling, berjemur atau banana boat.

2. Gua Pangkat

Gua di Labuan Bajo.Gua di Labuan Bajo. (eko_tarnando/d’Traveler)

Sekitar 10-15 km timur laut Labuan Bajo terdapat Gua Rangko yang menakjubkan. Gua ini terkenal dengan perairan biru kehijauan yang mencolok, diterangi oleh sinar matahari yang menembus langit-langit gua. Di dalam gua bisa menjadi sangat hangat, membuat berenang yang menyegarkan di air yang jernih dan sejuk menjadi lebih menarik.

Saat berada di dalam air, pastikan untuk mengagumi formasi batu kapur yang rumit dan menikmati permainan cahaya dan bayangan yang mempesona. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah saat matahari tengah hari ketika efeknya paling kuat.

Gua Rangko dapat diakses dengan naik perahu singkat menuju pantai di depan gua. Titik keberangkatan kapal ditandai di Google Maps sebagai “Mulai Kapal ke Gua Rangko” (pada koordinat: -8.455861, 119.951083). Biaya perahunya adalah Rp 100.000 per orang dan ada biaya masuk sebesar Rp 50k (sekitar $3,25) per orang untuk gua.

Untuk opsi bebas repot, kamu juga dapat memesan kombinasi Perjalanan Gua Rangko dan Snorkeling dengan penjemputan dan pengantaran ke hotel.

3. Batu Cermin Cave – Mirror Stone Cave

Gua di Labuan BajoGua di Labuan Bajo (Johanes Randy)

Sebuah keajaiban geologis, Gua Batu Cermin (atau Batu Cermin) mendapatkan namanya dari kilauan dinding kalsit di bawah sinar matahari pagi. Pertunjukan cahaya menawan ini memberikan ilusi cermin besar yang memantulkan sinarnya.

Gua ini ditutupi pola rumit yang terbentuk dari fosilisasi karang dan makhluk laut lainnya. Tiket masuknya seharga Rp 50 ribu per orang dan tur berpemandu dikenakan biaya tambahan Rp 50 ribu per grup, yang sangat kami rekomendasikan. Sebagai permulaan, informasi tambahan meningkatkan pengalaman gua, dan kedua, banyak hal menarik yang mudah terlewatkan oleh mata yang tidak terlatih.

(bnl/fem)



Sumber : travel.detik.com

Bali Butuh Bandara Baru! Pakar UI Sebut Denpasar Sudah Over Capacity



Jakarta

Pembangunan Bandara Bali Utara dinilai cukup penting. Pakar perencanaan lingkungan Universitas Indonesia Dr. Rudy Parluhutan Tambunan M. Si. mengatakan sejumlah alasannya.

Pemerintah memasukkan Bandara Bali Utara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Desain arsitektur bandara itu juga sudah dirilis pada akhir September di Buleleng. Namun, lokasi belum bisa dipastikan.

Pemerintah Provinsi Bali sempat mengusulkan lokasi bandara baru itu di Desa Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, tetapi kemudian membatalkan dan mengajukan lokasi baru di Desa Sumberklampok. Sumberklampok berada di perbatasan Kabupaten Buleleng di sisi timur dan Kabupaten Jembrana di sisi barat.


Desa Sumberklampok dilewati jalan raya provinsi antara Gilimanuk dan Singaraja. Gilimanuk adalah pintu masuk Bali dari Jawa sedangkan Singaraja bekas ibu kota Provinsi Sunda Kecil yang dulunya meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kalau dilihat urgensinya sangat urgen. Bali itu jadi Origin and Destination, Bali bisa jadi tempat awal perjalanan dan juga tujuan utama wisata. Bali bukan hanya tempat tujuan wisata utama, tapi juga bisa jadi tempat awal perjalanan wisatawan. Kalau wisatawan mau ke Bali atau dari Bali lewat jalur darat, mereka bisa naik kapal menyeberang ke timur menuju NTB. Untuk perjalanan udara, semua penerbangan utama bertumpu di Bandara Ngurah Rai, Denpasar,” kata Rudy dalam perbincangan dengan detikTravel, Kamis (9/10.2025).

“Karena semua bertumpu di Denpasar, implikasinya banyak, mulai over destination, over capacity, hingga mengakibatkan perubahan land use sekitar kabupaten Karangasem, Badung, dan Gianyar. Akhirnya, lokasi-lokasi pertanian yang selama ini menjadi destinasi andalan Bali justru hilang,” ujar Rudy.

Rudy, yang juga menjadi dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu, membandingkan kondisi Bali selatan dan bali utara. Dia menilai bahwa Bali selatan lebih unggul soal pertanian ketimbang Bali utara. Soal lain adalah kapasitas transportasi Bali selatan.

“Subak di Bali utara berfungsi sebagai sistem tata air tradisional. Namun, di daerah utara curah hujannya lebih sedikit dibandingkan bagian selatan, jadi kalau mau mengembangkan pertanian sawah di sana kurang ideal,” kata dia.

“Pada aspek transportasi, arus transportasi menuju Denpasar sudah melebihi kapasitas, baik untuk kedatangan maupun keberangkatan wisatawan. Karena itu, perlu ada pengaturan supaya aktivitas di kota tidak terlalu menumpuk hanya di bagian selatan, timur, atau barat. Jadi, aktivitas perkotaan harus dibagi lebih merata antara bagian selatan, timur, barat, dan tengah Bali. Dengan begitu, transportasi juga bisa diselaraskan agar lebih seimbang dan tidak terlalu padat di satu titik saja,” dia menjelaskan.

Rudy mengingatkan kendati diperlukan, pembangunan Bandara Bali Utara diminta untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, tidak hanya ekonomi. Apalagi, berkaca kepada peristiwa saat Bali terendam banjir setelah hujan dua hari beruntun.

Ya, salah satu alasan utama Bandara Bali utara dibangun adalah dengan tujuan mendorong pemerataan perkembangan ekonomi dan pariwisata di Bali Utara yang selama ini dinilai kurang berkembang. Dengan adanya bandara baru, akses ke wilayah utara digadang-gadang menjadi lebih mudah dan berdampak membuka peluang investasi dan lapangan kerja baru, serta meningkatkan daya saing Bali sebagai destinasi wisata dan pusat bisnis di Indonesia.

“Nah, ini perlu dipertimbangkan beberapa kejadian akibat perubahan iklim dan cuaca, musim pun tidak lagi sesuai dengan garis khayal musiman. Pemilihan site lokasinya harus benar-benar cermat dari aspek topografi, iklim dan cuaca, dan kegiatan sekitarnya, karena kalau kita memilih bandara itu terkait keselamatan penerbangan, selamat mendarat dan selamat berangkat,” kata Rudy.

(fem/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Gili Gede Direklamasi? Pemprov NTB Bantah Keluarkan Izin



Jakarta

Belakangan ramai beredar kabar reklamasi Gili Gede yang telah memperoleh izin dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB). Izin diberikan pada PT Thamarind Gili Gede yang beroperasi di wilayah perairan Sekotong, Lombok Barat.

Pemprov NTB seperti diberitakan detikBali pada Jumat (17/10/2025) membantah kabar tersebut. Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) NTB, Lalu Hamdi menyatakan, izin yang keluar pada 2019 tersebut adalah untuk pembangunan terminal khusus (tersus) dan water bungalow bukan reklamasi.

“Sekarang banyak sekali di medsos bahwa sudah terjadi reklamasi di wilayah laut Sekotong. Itu tidak ada kaitannya dengan izin yang telah diterbitkan DPMPTSP tahun 2019,” ujarnya pada Kamis (16/10/2025).


Terkait izin tersebut, Hamdi menjelaskan prosesnya telah melalui ketentuan yang berlaku. Sebelumnya, permohonan izin telah memperoleh rekomendasi dari Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD). Dalam rekomendasi dikatakan, rencana pembangunan tersus dan water bungalow harus sesuai dengan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Bahwa lokasi tersebut sudah sesuai untuk pembangunan, tidak melanggar wilayah zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau tidak melanggar tata ruang laut sehingga DPMPTSP menerbitkan izin lokasi waktu itu,” terangnya.

Hamdi yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Pemerintahan Desa Kependudukan dan Catatan Sipil (DPMPD Dukcapil) NTB itu juga menjelaskan, izin lokasi yang diberikan kepada PT Thamarind Gili Gede memiliki masa berlaku dua tahun sejak diterbitkan pada 2019.

Sebelum masa berlaku izin tersebut berakhir, pihak perusahaan seharusnya mengajukan izin pengelolaan untuk pembangunan tersus dan water bungalow. Izin pengelolaan inilah yang menjadi dasar hukum bagi investor untuk memulai kegiatan pembangunan.

(row/row)



Sumber : travel.detik.com

Tradisi Adu Kepala Warisan Sultan Bima yang Masih Terjaga



Bima

Di Kabupaten Bima, NTB, ada sebuah tradisi unik, yaitu adu kepala manusia lawan manusia. Tradisi ini merupakan warisan dari Sultan Bima. Bagaimana kisahnya?

Hidup sebuah tradisi unik bernama Ntumbu Tuta di Bima, NTB. Tradisi ini secara harfiah berarti adu kepala.

Tradisi ini bukan sekadar tontonan ekstrem, tetapi bagian dari sejarah panjang dan nilai budaya dari masyarakat Bima yang dilakukan turum temurun..


Ntumbu Tuta berasal dari kesenian bela diri tarekat atau dabus pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid, Sultan Bima ke-11 yang memimpin antara tahun 1773 hingga 1817 Masehi.

“Dulu adik dari Sultan adalah Khalifah Dabus Tarekat Rifaiyah. Itu yang saya tahu,” kata sejarawan Bima, Fahru Rizki, Sabtu (18/10/2025).

Hingga kini, tradisi Ntumbu Tuta masih dilestarikan di Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Wilayah ini dulunya merupakan tempat pemulihan jiwa bagi prajurit Kesultanan Bima usai Perang Makassar pada 1680-an.

“Dulu oleh Sultan Bima ke-II, Abdul Khair Sirajuddin, yang memerintah pada 1640-1682 Masehi, veteran prajuritnya ditempatkan di Wawo,” jelasnya.

Dari penempatan itu, muncul berbagai bentuk kesenian adu fisik. Meski masyarakat pegunungan umumnya dikenal dengan budaya berdendang, Wawo justru mengembangkan tradisi beradu tenaga seperti Ntumbu Tuta.

Fahru menilai, Ntumbu Tuta dan kesenian serupa seperti Manca, Gantao, dan Lanca berfungsi sebagai bentuk terapi untuk memulihkan trauma perang.

“Ntumbu bisa dikatakan sebagai obat penyembuhan trauma pasca perang, atau istilahnya sekarang PTSD (Post Traumatic Stress Disorder),” katanya.

Warisan Budaya yang Masih Terus Dijaga

Kesenian ekstrem ini tetap dilestarikan warga Desa Ntori, Kecamatan Wawo, dan kini menjadi agenda budaya tahunan. Pada 2025, Event Ntumbu Tuta digelar selama tiga hari, yaitu pada 17-19 Oktober di kawasan wisata alam Ina Hami, Desa Ntori.

Acara ini dibuka oleh Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Setda Kabupaten Bima, Fatahullah. Menurut Fatahullah, Ntumbu Tuta bukan sekadar pertunjukan budaya, melainkan simbol warisan seni dan jati diri masyarakat Bima.

“Tradisi ini menyimpan nilai-nilai luhur, seperti keberanian, kehormatan, solidaritas, dan semangat kebersamaan,” ujarnya.

Ia menambahkan, pelestarian tradisi seperti Ntumbu Tuta penting untuk memperkuat identitas dan hubungan sosial di tengah masyarakat.

“Saya percaya, acara budaya seperti ini memiliki peran penting dalam menjaga identitas dan jati diri masyarakat Bima,” tambahnya.

———

Artikel ini telah naik di detikBali.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com