Tag Archives: pemda

Menyempurnakan Kebahagiaan Warga Maluku Lewat Literasi Keuangan


Ambon

“Hai, aku Sore; istri kamu dari masa depan.”

Penggalan kalimat di atas adalah salah satu dialog yang berasal dari web series dan film layar lebar garapan Yandy Laurens dengan judul serupa: Sore.

Namun Sore kali ini datang bukan demi menyadarkan Jonathan agar hidup sehat, melainkan untuk menjalani hidup yang benar dalam merencanakan keuangannya. Sore ingin pasangannya mengubah kebiasaan-kebiasaan finansialnya yang buruk agar tidak mengorbankan risiko masa depan yang boncos, utang menumpuk, tabungan kosong, atau jatuh miskin saat krisis.


Sore datang memberi peringatan dan membawa pengetahuan supaya kita bisa memperbaiki kebiasaan finansial sebelum terlambat.

Re-imajinasi Sore dalam semesta lain tersebut adalah upaya ‘menyusun ulang’ masa depan yang lebih baik dengan meningkatkan literasi keuangan masyarakat. Bukan sekadar agar terhindar dari miskin atau boncos, tapi supaya hidup bisa dinikmati dengan lebih tenang, lega, dan bahagia di masa depan.

Menyempurnakan Kebahagiaan Warga Maluku

Literasi keuangan menjadi tantangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Masih rendahnya literasi keuangan di sejumlah daerah berpotensi menimbulkan kerugian berbiaya mahal di kemudian hari.

Seperti halnya yang kami temui di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku. Pada sejumlah titik wilayah dan segmen masyarakat yang kami temui di wilayah tersebut, diketahui masih banyak masyarakat yang memilih menggunakan jasa rentenir dengan bunga hingga 20%, dibandingkan meminjamnya ke bank yang notabene legal dan punya bunga kredit jauh lebih wajar.

Panorama Pulau Geser dan Ambon di Maluku UtaraAnak-anak di Pulau Geser, Maluku. Foto: Didik DH

Rentenir masih sering menjadi pilihan utama masyarakat ketika membutuhkan dana cepat lantaran mudah diakses dan tanpa syarat yang rumit. Namun, di balik kemudahan itu, ada risiko besar yang mengintai. Mulai dari bunga yang mencekik, beban utang berlipat, hingga potensi tekanan sosial yang tinggi. Tak jarang masyarakat malah terjebak dalam lingkaran setan dengan mencari utang baru untuk menutup utang lama.

Beda halnya dengan lembaga keuangan resmi seperti bank misalnya. Memang, prosesnya terkesan lebih panjang, seperti persyaratan administrasi, penilaian kelayakan, hingga perhitungan bunga. Tapi di balik itu semua, ada perlindungan hukum, transparansi biaya, dan sistem bunga yang terukur. Nasabah tahu apa yang mereka bayar, apa risikonya, dan hak-hak apa yang mereka miliki sebagai peminjam.

“Saya berharap akan ada peningkatan pada semangat masyarakat untuk berinteraksi ke penyedia jasa keuangan yang legal, sehingga perekonomian dari daerah pun bisa meningkat juga.” kata Bupati SBT, Fachri Husni Alkatiri, saat ditemui detikcom di kantornya.

Hal tersebut juga cukup menggambarkan kondisi literasi keuangan masyarakat di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, terluar) yang ada di Kabupaten SBT. Penetrasi masyarakat yang sudah tersentuh layanan perbankan jauh lebih rendah dibandingkan wilayah perkotaan seperti Ambon atau Tual.

Angka literasi keuangan Provinsi Maluku juga tergolong rendah dan di bawah rata-rata nasional. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), provinsi Maluku memiliki tingkat literasi keuangan sebesar 40,78% dan inklusi keuangan 78,7%.

Angka literasi tersebut masih di bawah rata-rata nasional 2022 yang berada di level 49,68% (tingkat literasi keuangan nasional 2025 sebesar 66,46%). Posisi Maluku bahkan berada di lima terbawah bersama dengan Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Bengkulu.

Padahal, tanpa literasi keuangan yang baik dan timpang dengan inklusivitasnya, dapat membuka celah terjadinya kegagalan yang berulang, bahkan kejahatan.

“Literasi keuangan perlu menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mengembangkan inklusinya. Terciptanya inklusi keuangan, atau penetrasi masyarakat unbankable untuk memiliki akses ke produk keuangan formal, harus dibarengi dengan literasi keuangan untuk menciptakan pemahaman dan kepercayaan,” ujar Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Muhammad Nidhal.

Kebahagiaan warga Maluku pun terancam tak lagi sama di masa depan. Maluku diketahui menjadi salah satu wilayah dengan indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia. Maluku bahkan menempati tiga besar provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi sejak 2014. Kedekatannya dengan alam, seni, dan budaya membuat warga Maluku menemukan kebahagiaannya sendiri.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam Indeks Kebahagiaan Menurut Provinsi 2021, Maluku menjadi provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi di bawah Maluku Utara dan Kalimantan Utara. Namun sayang, tingkat kebahagiaan ini tidak berbanding lurus dengan capaian ekonominya.

Pada 2022, laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) provinsi Maluku hanya berada di angka 5,31. Angka tersebut kalah jauh dibandingkan Maluku Utara yang PDB-nya tumbuh 22,94% pada 2022, namun juga punya indeks kebahagiaan tertinggi di Indonesia. Maluku juga masuk dalam 10 besar provinsi di Indonesia dengan persentase penduduk miskin terbesar.

Kepala OJK Maluku, Andi Muhammad Yusuf menjelaskan, indeks kebahagiaan di suatu daerah memang tak serta merta berbanding lurus dengan tingkat literasi keuangannya. Andi bilang, unsur kebahagiaan pada masyarakat Maluku bisa jadi tak hanya dari ekonomi, melainkan kedekatannya dengan alam dan budaya masyarakatnya yang lekat dengan seni seperti musik dan tarian.

“Masyarakat petani dan nelayan di sini dengan sangat mudah mendapatkan pangannya. Protein itu dengan sangat mudah didapat di sini karena 97% wilayahnya laut. Jadi itu dimanjakan. Karena tidak ada struggling, itu mendorong ekonominya merasa cepat puas.” jelas Andi.

Namun demikian, Andi mendorong masyarakat Maluku dan wilayah 3T yang ada untuk terus ditingkatkan literasi keuangannya. Peningkatan literasi keuangan dipercaya dapat menyempurnakan kebahagiaan warga Maluku dan menjaga keberlanjutannya di masa depan.

“Tentu saja aspek ekonomi bisa menambah kebahagiaan. Kita mendorong kemandirian ini tercipta, termasuk dari APBD agar ekonominya mendapatkan nilai tambah. Melalui tim percepatan akses keuangan daerah (TPAKD), kita kolaborasi dengan Pemda.” kata Andi.

Panorama Pulau Geser dan Ambon di Maluku UtaraMaluku menyimpan sejuta pesona keindahan bahari. Salah satunya Tanusang, pasir timbul yang cantik di Pulau Geser. Foto: Didik DH

Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai tujuan finansial, perencanaan anggaran, dan keputusan keuangan akan dapat membantu mengurangi kesalahan dalam penggunaan produk keuangan, terutama dalam membedakan kebutuhan dan keinginan. Itu pula yang saat ini tengah digencarkan oleh OJK Maluku.

Pihaknya mendorong perbankan untuk memperbanyak agen laku pandai sehingga masyarakat memilih menggunakan layanan bank resmi, skema kredit pembiayaan melawan rentenir, hingga kerja sama dengan pemda dan bank daerah untuk memberikan pembiayaan yang terjangkau dengan subsidi bunga.

OJK juga melakukan Training of Trainers (ToT) bagi guru dan perangkat desa agar mereka menjadi agen literasi keuangan lokal. Selain itu, OJK memperkuat sinergi dengan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) yang saat ini sudah terbentuk di semua provinsi.

Di Maluku, OJK bersama TPAKD dan Women’s World Banking membangun Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) di perdesaan-mulai dari pra‑inkubasi, pembukaan rekening, agen Laku Pandai, hingga penguatan pendanaan mikro untuk nelayan dan petani

Pemahaman tentang produk keuangan, kegunaannya, risiko dalam konteks tujuan finansial, diharapkan dapat mendukung keselarasan literasi keuangan dan inklusi keuangan masyarakat dalam upaya menakar kebutuhan dan mencapai kesejahteraan.

Jangan sampai literasi keuangan yang rendah menggerogoti kebahagiaan masyarakat Maluku di masa depan. Tak jarang masyarakat yang terjerumus dalam bahaya disebabkan oleh minimnya literasi keuangan hingga akhirnya gagal mempertahankan kebahagiaannya.

Hal tersebut salah satunya bisa dilihat dari jumlah kerugian yang diderita masyarakat dengan adanya investasi bodong. OJK mencatat, kerugian masyarakat akibat terjerat pada investasi ilegal atau bodong di Indonesia mencapai angka Rp 139,67 triliun pada rentang 2017-2023.

Sementara Indonesia Anti-Scam Centre (IASC) mencatat total dana kerugian masyarakat yang menjadi korban scam yang dilaporkan kepada mereka mencapai Rp 700,2 miliar pada periode 22 November 2024 hingga 9 Februari 2025.

Kata orang, uang tidak bisa membeli kebahagiaan-tetapi cara kita menanganinya mungkin bisa membantu.

(eds/eds)



Sumber : finance.detik.com

Kenaikan Tarif Bikin Orderan Maxim Turun, Rugikan Driver dan Pengguna


Jakarta

Tarif perjalanan adalah hal krusial dalam menjaga kestabilan permintaan dan penawaran layanan transportasi daring. Namun, kebijakan Pemerintah Daerah (Pemda) yang turut mengintervensi regulasi tarif yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat menciptakan masalah baru dalam keseimbangan industri e-hailing.

Seperti yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau, kondisi mitra driver menjadi semakin sulit setelah Pemerintah Daerah mulai menaikkan tarif Angkutan Sewa Khusus (ASK). Salah satu penyedia layanan transportasi online terkemuka di Indonesia Maxim, mengungkapkan bahwa berdasarkan riset dan evaluasi dari implementasi kenaikan tarif ini memberikan dampak signifikan terhadap penurunan jumlah pesanan di aplikasi.

Di Kalimantan Timur, hasil penelitian menunjukkan kenaikan tarif ASK yang terjadi di Kota Samarinda dan Balikpapan telah membuat minat masyarakat untuk menggunakan layanan taksi online menurun tajam. Dalam waktu satu bulan, jumlah pesanan turun lebih dari 20 kali lipat, dengan hanya sekitar 4-5% pesanan transportasi berasal dari wilayah perkotaan.


Kenaikan tarif juga menyebabkan berkurangnya ketersediaan pengemudi dan menurunnya kualitas layanan bagi penumpang. Biaya perjalanan rata-rata naik sekitar 30%, membuat masyarakat enggan memesan untuk jarak dekat.

Sementara itu, banyak pengemudi yang tidak tertarik mengambil order karena kenaikan tarif tidak serta-merta meningkatkan penghasilan mereka. Sebagian besar lebih memilih menerima perjalanan jarak dekat dengan volume pesanan yang lebih tinggi dibandingkan perjalanan jarak jauh yang lebih sedikit. Akibatnya, waktu penjemputan menjadi lebih lama dan tingkat pembatalan pesanan oleh pengemudi meningkat hingga 37%.

“Kami tidak setuju dengan kenaikan tarif karena dengan pendapatan kami saat ini saja tidak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup termasuk kebutuhan dapur apalagi kalau kebutuhan perjalanan semakin mahal. Regulasi harus dikaji kembali karena kami menilai tidak cocok antara mahalnya harga transportasi online dengan kami sebagai masyarakat biasa,” ujar pengguna Maxim, Ina, dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).

Selain itu, di Kepulauan Riau, pendapatan driver di Kota Tanjung Pinang dan Batam menurun drastis setelah kenaikan tarif minimum ASK. Dampak signifikan langsung terlihat dimana telah terjadi penurunan pemesanan sekitar 44% yang merupakan penurunan total orderan harian. Di sisi lain, jumlah penyelesaian order harian juga mengalami rata-rata penurunan sebesar 39% yang membuat rata-rata pendapatan mitra pengemudi berkurang sebanyak 11%.

“Dengan adanya keputusan SK Gubernur mengenai kenaikan tarif ini tentunya membuat orderan kami menjadi berkurang. Oleh karena itu, sebagai driver tentunya kami berharap agar regulasi tarif ini harus kembali dipertimbangkan lagi dengan matang dengan mempertimbangkan dampaknya kepada kami,” ujar driver Maxim di Batam Zarman.

Menanggapi hal ini, Director Development Maxim Indonesia Dirhamsyah turut menyayangkan kenaikan tarif yang diberlakukan oleh Pemerintah Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.

“Sangat disayangkan, hadirnya peraturan tarif baru yang dikeluarkan Gubernur telah membuat kehidupan driver semakin sulit. Alih-alih membuat pendapatan driver meningkat karena tarif yang mahal, ternyata kenaikan tarif ini membuat minat masyarakat untuk menggunakan layanan taksi online menurun drastis sehingga driver kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang layak,” kata Dirhamsyah.

Sebelumnya, kebijakan tarif telah diatur sepenuhnya oleh Kementerian Perhubungan melalui PM 118 2018. Peraturan menteri tersebut secara tegas menyebutkan bahwa tidak ada pengaturan rujukan mengenai tarif minimum dan hanya mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah.

Dengan begitu, kenaikan tarif minimal yang dikeluarkan oleh Pemda melalui SK Gubernur di Kalimantan Timur dan Kepulauan Riau menuai polemik karena tidak sejalan dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat yang menyebabkan implementasinya tidak efektif dan merugikan ekosistem transportasi online.


(akd/ega)



Sumber : inet.detik.com