Tag Archives: pemerintah china

500 Pendaki Terjebak Badai di Gunung Everest Berhasil Dievakuasi



Jakarta

Pemerintah China berhasil mengevakuasi 580 pendaki dari lereng timur Gunung Everest. Mereka sempat terjebak badai salju besar.

Dikutip dari Antara yang melansir Xinhua, Rabu (8/10/2025), para pendaki dan lebih dari 300 personel, termasuk pemandu lokal dan penggembala yak, telah tiba dengan selamat di Kota Qudeng dan wilayah sekitarnya.

Pada Minggu (5/10), media lokal sebelumnya melaporkan sedikitnya satu pendaki tewas dan hampir 1.000 orang terjebak akibat badai salju mendadak yang melanda wilayah Tibet dan Qinghai akhir pekan lalu. Badai tersebut menyebabkan akses jalan tertutup dan sejumlah tenda roboh.


Hujan salju lebat melanda wilayah Dingri pada Sabtu malam, mempengaruhi para pendaki di jalur pendakian sekitar Qudeng. Menanggapi situasi itu, pemerintah Kabupaten Dingri segera mengerahkan tim darurat untuk memulihkan komunikasi serta melaksanakan operasi penyelamatan di area terdampak.

Pada Minggu, pihak berwenang di Kabupaten Dingri mengumumkan penutupan sementara beberapa lokasi wisata, termasuk kawasan wisata Gunung Qomolangma (Gunung Everest dalam bahasa Tibet), karena kondisi cuaca ekstrem.

Saat itu, tim penyelamat dikerahkan ke lereng terpencil Gunung Everest di Tibet, tempat ratusan pendaki terjebak badai salju di sisi timur gunung, lapor media pemerintah China. Ratusan warga desa setempat dan tim penyelamat telah dikerahkan untuk membersihkan salju yang menghalangi akses ke daerah yang terletak di ketinggian lebih dari 4.900 meter itu.

“Cuaca saat itu sangat basah dan dingin sehingga hipotermia menjadi risiko nyata,” kata Chen Geshuang, salah satu pendaki yang mencapai Qudang, kepada Reuters.

“Cuaca tahun ini tidak normal. Pemandu wisata berkomentar bahwa ia belum pernah mengalami cuaca seperti ini di bulan Oktober sebelumnya. Dan itu terjadi begitu tiba-tiba,” ujar dia.

(fem/row)



Sumber : travel.detik.com

China Tuding Amerika Bobol Pusat Waktu Nasional


Jakarta

Ketegangan digital antara Amerika Serikat dan China kembali naik level. Pemerintah China menuduh Badan Keamanan Nasional AS (NSA) melakukan operasi penyusupan siber jangka panjang terhadap National Time Service Center, lembaga yang menjadi penjaga waktu standar nasional Negeri Tirai Bambu.

Dalam pernyataan resmi di akun WeChat Kementerian Keamanan Negara China, Beijing menyebut ditemukan bukti pencurian data dan kredensial sejak 2022. Informasi itu disebut digunakan untuk memata-matai perangkat seluler dan sistem jaringan internal para staf lembaga tersebut.

Yang bikin meresahkan, operasi itu disebut tidak hanya berupa pengintaian. China mengklaim serangan juga menyasar sistem komunikasi dan infrastruktur sensitif. Jika berhasil, dampaknya bisa mengganggu jaringan finansial, pasokan listrik, telekomunikasi, hingga sinkronisasi waktu internasional yang dipakai sistem digital global.


Menariknya, kementerian tidak menyebut merek ponsel yang menjadi celah serangan, hanya mengatakan NSA mengeksploitasi kerentanan dari layanan pesan milik “produsen smartphone asing” untuk masuk ke perangkat karyawan, demikian dikutip detikINET dari Reuters, Senin (20/10/2025).

Pusat waktu nasional berada di bawah Chinese Academy of Sciences dan bertugas menjaga, menghasilkan, serta menyiarkan waktu standar resmi China. Menurut penyelidikan internal, percobaan peretasan juga terjadi pada sistem penentuan waktu presisi berbasis darat pada 2023 dan 2024.

Hingga kini, Kedutaan AS belum memberikan komentar. Namun tudingan ini muncul di tengah suasana yang sudah panas lebih dulu, terutama setelah kedua negara saling menuding sebagai ancaman siber utama dalam beberapa tahun terakhir.

Situasinya diperkeruh dengan tensi dagang yang kembali naik, mulai dari kebijakan kontrol ekspor mineral langka hingga ancaman kenaikan tarif baru dari Washington terhadap produk China. Persaingan teknologi–dari chip hingga infrastruktur komputasi–kini merembet ke wilayah sensitif keamanan siber.

(asj/afr)



Sumber : inet.detik.com

Xinjiang dan Muslim Uighur di Antara Fakta dan Propaganda



Jakarta

Selepas memimpin salat subuh, 30 Juli 2014, Imam Masjid Id Kah di Kota Kashgar – Xinjiang, Jumah Tahir, tiba-tiba disergap beberapa lelaki berpisau. Keduanya langsung menghujani tubuh sang Imam berusia 74 tahun itu dengan tusukan pisau. Begitu tubuh Jumah terkapar bersimbah darah, kedua lelaki itu pun kabur meninggalkan masjid.

Jumah Tahir menjadi imam di masjid tersebut sejak 2003, dan pernah menjadi anggota DPR China mewakili etnis Uighur, 2008 – 2013. Dia menolak upaya sekelompok etnis Uighur untuk memerdekakan diri dan terpisah dari China.

Insiden tersebut menjadi titik balik keberadaan masjid di seluruh daratan China serta para imam dan perangkat lainnya. Di dalam dan di luar kompleks masjid kemudian dipasangi banyak kamera CCTV, dan pendeteksi metal di pintu masuk.


“Untuk mencegah tindakan terorisme dan melindungi nyawa para pemuka agama serta jemaahnya,” kata Direktur Urusan Etnis Daerah Otonomi Xinjiang, Mehmut Usman seperti ditulis M. Irfan Ilmie dalam bukunya, ‘Di Balik Kontroversi Xinjiang’.

Mehmut mengungkapkan hal itu untuk menepis anggapan seolah pemerintah China membatasi ruang gerak ibadah kaum muslim di Xinjiang. Isu lain yang kerap muncul di media-media Barat terkait Xinjiang dalam satu dekade terakhir adalah terkait pelanggaran HAM, kamp konsentrasi, serta diskriminasi sosial dan agama terhadap etnis Uighur di sana.

Salah satu bangunan masjid megah di Xianjiang China yg ditampilkan dalam Buku di Balik Kontroversi XinjiangSalah satu bangunan masjid megah di Xianjiang China yg ditampilkan dalam Buku di Balik Kontroversi Xinjiang Foto: detikcom/Sudrajat

Nyatanya, menurut Irfan Ilmie yang juga Kepala Biro Antara di Beijing, 2016 – 2023, etnis Uighur yang mayoritas muslim dapat menjalankan ibadah di masjid-masjid yang bertebaran di berbagai pelosok dengan leluasa. Begitu pun dengan puasa dan ibadah haji. Di Xinjiang, tulis Irfan,teradapat 24.400 masjid, 59 wihara, satu kelenteng Taoisme, 227 gereja Protestan, 26 gereja Katolik, dan tiga gereja Kristen Ortodoks.

Terkait benih separatisme dan terorisme, sudah bersemi di Xinjiang sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun 1940-an. Mereka hendak mendirikan Republik Islam Turkistan Timur pada 12 November 1933. Tapi hanya bertahan 3 bulan, karena ditolak mayoritas etnis di Xinjiang. Lalu muncul lagi pada 1944, tapi hanya bertahan 1 tahun.

Gerakan Turkistan Timur ini tumbuh lagi pada 2001 seiring 11 September 2001 di AS, lalu ada pengeboman di bus pada 1992 yang menewaskan tiga penumpang bus dan melukai 23 orang penumpang bus di Kota Urumqi. Tahun 1997 juga muncul pengeboman di bus yang menewaskan sembilan orang dan melukai 68 orang di Kota Urumqi. Terulang lagi di Kota Kashgar (2011 dan 2012), Kota Urumqi (2014), dan Aksu (2015).

Menyikapi separatisme dan terorisme itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang sejak 2014 telah menumpas 1.588 geng teroris, menangkap 12.995 pelaku teroris, menyita 2.052 jenis bahan peledak, namun perlakuan tegas terhadap bukan berarti Islam menjadi sumber teroris, meski kebijakan kontraterorisme berupa kamp vokasi dan pusat pelatihan itu dinilai berpotensi melanggar HAM, karena peserta hanya dari satu etnis (Uighur).

Untuk menjawab tuduhan itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang membangun gedung pameran Urumqi pada 2014 yang menampilkan foto korban kekerasan selama 1992-2015, rekaman CCTV, senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, serta bom rakitan. Foto dan video kekerasan itu bukan hanya radikalisme/terorisme yang terjadi di Xinjiang saja, tapi juga di Kunning-Yunan dan Kota Terlarang Beijing.

“Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian yang menjadi korban serangkaian serangan terorisme di Xinjiang. Semua bentuk terorisme adalah kejahatan yang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu,” kata Deputi Dirjen Publikasi Partai Komunis China, Komite Regional Xinjiang, Shi Lei.

Irfan Ilmie, alumnus Hubungan Internasional Universitas Darul Ulum, Jombang dan Master Komunikasi Universitas Arilangga, Surabaya berkesempatan beberapa kali mengunjungi Xinjiang untuk berbicara langsung dengan warga lokal, tokoh masyarakat, dan otoritas setempat. Karena itu buku ini diberi anak judul, ‘Catatan Perjalanan Wtawan Indonesai Mengungkap Fakta di Lorong Gelap Kamp Vokasi Uighur’.

Bersama beberapa wartawan dari media Barat ia juga sempat mendapat izin untuk mengunjungi sejumlah lokasi yang oleh pihak Barat dikampanyekan sebagai penjara atau kamp konsentrasi. Lewat reportase lapangan yang mengalir, dalam buku setebal 344 halaman ini Irfan menguraikan bahwa Xinjiang yang berada di ujung barat laut Tiongkok, berbatasan langsung dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan.

Letak ini membuat Xinjiang menjadi gerbang alami Jalur Sutra sejak ribuan tahun lalu. Arus perdagangan lintas benua tidak hanya membawa komoditas, tetapi juga pengetahuan tentang lokasi sumber daya alam sehingga eksplorasi mineral di wilayah ini berlangsung lebih awal dibanding banyak daerah lain di Tiongkok.

Uighur, jelas Irfan, bukan satu-satunya etnis yang mendiami wilayah Xinjiang. Masih ada etnis lain seperti Kazakh, Tajik, Mongol, dan Hui, yang turut membentuk mosaik sosial di wilayah seluas 1,66 juta kilometer persegi itu. Sebagai etnis mayoritas wajar pula bila bahasa Uighur menjadi pengantar utama dalam pergaulan masyarakat. Sementara aksara yang banyak digunakan menyerupai huruf Arab Pegon.

Sekalipun demikian, Islam bukanlah agama leluhur asli etnis Uighur. Islam baru masuk sekitar abad ke-10, sedangkan kepercayaan dan agama lain sudah jauh lebih dulu masuk dan dikenal masyarakat Xinjiang, seperti Shamanisme, Zoroaster, dan Buddha. Dari situ secara perlahan terjadi percampuran, dan memang meski masuk belakangan Islam tumbuh menjadi agama mayoritas di Xinjiang.

(jat/inf)



Sumber : www.detik.com