Tag Archives: pengharaman

Pengertian, Hukum dan Dampak Sosialnya



Jakarta

Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dalam kehidupan manusia. Para ulama fikih mendefinisikan pernikahan sebagai kepemilikan sesuatu melalui jalan yang disyariatkan dalam agama dengan tujuan menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan serta memelihara keturunan manusia.

Dalam pernikahan di mata Islam, terdapat beberapa jenis, salah satunya adalah nikah tahlil. Lantas, apa itu nikah tahlil dan bagaimana hukumnya dalam Islam?


Pengertian Nikah Tahlil

Mengutip buku 150 Masalah Nikah dan Keluarga karya Miftah Faridl, nikah tahlil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah bercerai untuk sementara waktu, kemudian diceraikan kembali. Tujuan dari pernikahan ini adalah agar wanita tersebut menjadi halal untuk dinikahi kembali oleh mantan suami pertamanya.

Secara etimologi, kata tahlil berarti mencarikan jalan halal atau membuat sesuatu menjadi diperbolehkan. Oleh karena itu, nikah tahlil sering disebut juga dengan istilah nikah muhalil, yang mengandung makna mencari jalan agar mantan pasangan dapat kembali bersama secara sah.

Dalam praktiknya, laki-laki yang melakukan nikah tahlil disebut muhalil, sedangkan wanita yang dicarikan jalan halal untuk kembali kepada mantan suaminya disebut muhallal. Istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan nikah tahlil menurut pandangan fikih Islam.

Hukum Nikah Tahlil di Kalangan Ulama

Jumhur ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, sepakat bahwa nikah tahlil yang dilakukan dengan syarat atau kesepakatan sebelumnya adalah batal. Kesepakatan tersebut dianggap menyalahi tujuan pernikahan yang sesungguhnya, karena menjadikan akad nikah sebagai sarana rekayasa hukum, bukan sebagai ikatan yang sah dan tulus.

Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil yang dilakukan dengan syarat agar wanita bisa kembali kepada suami pertamanya harus difasakh atau dibatalkan. Menurut beliau, pernikahan seperti ini tidak memenuhi maqasid pernikahan dalam Islam yang menekankan keikhlasan dan keabadian hubungan suami istri.

Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat tahlil, lalu di tengah jalan ia berniat mempertahankan pernikahan itu, maka ia harus menceraikannya dan melakukan akad baru. Pandangan ini menunjukkan bahwa pernikahan yang diawali dengan niat rekayasa hukum tidak dapat dianggap sah tanpa pembaruan akad yang tulus.

Ibrahim An-Nakha’i berpendapat bahwa nikah tahlil tidak diperbolehkan, kecuali jika dilakukan karena keinginan yang tulus untuk berumah tangga. Apabila salah satu pihak, baik suami pertama, suami kedua, maupun pihak perempuan, memiliki niat untuk menghalalkan hubungan dengan suami pertama, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah.

Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa nikah tahlil batal apabila syaratnya disebutkan saat akad nikah berlangsung. Beliau mengqiyaskan praktik ini dengan nikah mut’ah, karena keduanya memiliki kesamaan dalam unsur sementara dan bertentangan dengan prinsip pernikahan yang langgeng dalam Islam.

Menurut Mazhab Maliki dan Hanbali, nikah tahlil tetap haram dan batal meskipun tanpa adanya syarat yang diucapkan secara eksplisit. Selama niatnya hanya untuk menjadikan wanita tersebut halal bagi suami pertamanya, maka akad tersebut dianggap tidak sah dan tidak membuat wanita itu halal kembali bagi mantan suaminya.

Dalil pengharaman nikah tahlil diperkuat dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah bersabda,

اال اخبركم بالتى المستعار؟ هو المحلل لعن هللا المحلل
والمححلل له.

Artinya: Maukah kalian aku beri tahu mengenai kemaluan kambing yang dipinjam? “Dia adalah yang melakukan nikah tahlil Allah melaknat orang yang menghalalkan dan orang yang dihalalkan.”

Dampak Sosial Praktik Nikah Tahlil

Dikutip dari jurnal Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Nikah Tahlil oleh Aulia Diningrum, dkk, berikut ini adalah dampak sosial dari praktik nikah tahlil dalam masyarakat.

1. Merendahkan Martabat Pernikahan

Nikah tahlil menjadikan pernikahan yang seharusnya sakral dan penuh nilai ibadah sebagai sarana rekayasa hukum semata. Hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam yang menekankan keharmonisan, cinta, dan ketenangan dalam rumah tangga.

2. Melanggar Prinsip Keabsahan Pernikahan

Praktik nikah tahlil dilakukan dengan niat yang tidak tulus dan bertentangan dengan hukum Islam. Akad yang didasarkan pada niat sementara atau rekayasa hukum menjadikan pernikahan tersebut batal dan tidak sah menurut syariat.

3. Menyebabkan Eksploitasi terhadap Perempuan

Dalam praktik nikah tahlil, perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan karena dijadikan objek untuk menghalalkan hubungan dengan suami pertama. Hal ini menurunkan martabat perempuan dan bertentangan dengan prinsip keadilan serta perlindungan terhadap hak-hak wanita dalam Islam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Cegah Dana Subsidi Haji Terkuras Habis, Ini Strategi BPKH



Jakarta

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mengakui adanya ancaman dana cadangan subsidi atau nilai manfaat yang dikelolanya terkuras habis pada musim haji beberapa tahun mendatang. Permasalahan ini juga sudah dibicarakan secara internal maupun forum-forum diskusi.

Sampai saat ini, BPKH tengah mendesain skema pengelolaan dana haji yang mengarah pada self-financing. Skema ini juga akan meningkatkan proporsi saldo virtual account dalam pembayaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).

BPIH terdiri dari komponen biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) atau biaya yang dibayarkan jemaah dan nilai manfaat atau subsidi dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan investasi oleh BPKH.


Deputi Kesekretariatan Badan dan Kemaslahatan BPKH Ahmad Zaky memaparkan, proporsi nilai manfaat mengalami peningkatan pada 4-5 tahun terakhir. Pembiayaan haji sekarang ini, kata Zaky, menjadi isu karena adanya skema nilai manfaat yang menggunakan dana jemaah antre.

“Subsidi mulai tahun 2017, mulai ada tren peningkatan proporsi yang dibayarkan oleh BPKH, yang selama ini hanya sedikit kemudian menjadi besar,” katanya dalam diskusi dengan wartawan bertajuk BPKH Connect, di gedung kantornya, Setiabudi, Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Zaky menjelaskan, proporsi subsidi nilai manfaat mengalami tren peningkatan tinggi terutama pada masa peralihan antara periode sebelum dan sesudah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.

Ia mengulas balik penyelenggaraan haji beberapa tahun lalu. Disebutnya, proporsi nilai manfaat dalam total BPIH lebih besar dibandingkan dengan total setoran awal dan setoran lunas dari jemaah ditambah saldo virtual account.

“Ini nilai manfaat yang dipersoalkan karena pada masa peralihan, trennya meningkat terus sampai ada waktu pernah, mungkin kurang lebih 45-55 persen (besar nilai manfaat yang dipakai). Jadi 45 persen biaya haji yang seharusnya dibayarkan tiap jemaah itu menggunakan dana subsidi nilai manfaat,” katanya.

Nilai manfaat BPKHRasionalisasi komposisi setoran jemaah, virtual account, dan nilai manfaat dalam BPIH. Foto: Rahma Indina Harbani/detikcom

Untuk itu, Zaky menjelaskan, BPKH mendesain target jangka menengah dan jangka panjang untuk menjaga keberlanjutan dana nilai manfaat ini dalam pembiayaan haji jemaah. Rencana yang dilakukan dengan meningkatkan proporsi saldo virtual account secara bertahap dengan prinsip self-financing.

“Nah, kami berharap di jangka panjang, setoran awal, setoran lunas dan saldo virtual account itu, mungkin kalaupun ada subsidi jumlahnya sangat kecil. Jadi kita memang mengarah kepada self-financing,” papar Zaky.

“Jadi kalau misalnya (besar BPIH) 93,4 juta, biaya (haji) terakhir ‘kan, kalau misalnya dia setor 25 juta, mungkin dari tabungannya dalam beberapa tahun, ditambah setoran lunas misalnya 25 juta, tapi 40 juta itu (sisa BPIH) dari saldo-saldo (virtual account) setiap tahun,” sambungnya.

Zaky juga menambahkan, kemungkinan pemerintah dan DPR tidak ingin mencabut langsung nilai manfaat tersebut dalam skema pembayaran haji. Untuk itu, BPKH menyusun pengurangan proporsi pemakaiannya dalam pelunasan biaya haji dan mengalihkannya pada peningkatan proporsi saldo virtual account.

Adapun Anggota Badan Pelaksana BPKH Bidang Keuangan Amri Yusuf menambahkan, sejak musim haji 2022, pemerintah dan DPR berkomitmen menurunkan besaran nilai manfaat tersebut sebanyak 5 persen secara bertahap.

BPIH pada haji 2022 disepakati sebesar Rp 81.747.844,04 per jemaah. Kemudian, ditetapkan Bipih yang dibayar jemaah rata-rata Rp 39.886.009 per orang atau 48,7% dari BPIH, dan sisanya sekitar 51,3% ditutupi dengan dana nilai manfaat.

Dilanjut pada haji 2023, pemerintah dan DPR menetapkan BPIH di angka median Rp 90.050.637,26. Dari situ disepakati, Bipih yang harus dibayar jemaah rata-rata Rp 49.812.711,12 atau 55,3% dari BPIH dan yang bersumber dari nilai manfaat sebesar Rp 40.237.937 atau 44,7% dari BPIH.

Sebelumnya, Ketua Komnas Haji Mustolih Siradj menyebut skema pengelolaan dana haji saat ini merugikan jemaah haji yang antre hingga terancam ‘buntung’. Pihak yang diuntungkan adalah jemaah haji yang lebih dahulu berangkat.

“Mereka yang puluhan tahun masih harus antri nasibnya tidak jelas, terancam ‘buntung’ bahkan tidak bisa turut menikmati subsidi, dananya sudah dikuras dan terpakai lebih dahulu apalagi ada bayang-bayang ancaman inflasi, krisis global, liberalisasi kebijakan haji dan kenaikan pajak di Arab Saudi yang makin tinggi yang terus menggerus nilai keuangan haji,”paparnya dalam keterangan yang diterima detikHikmah, Minggu (28/7/2024).

Menurut penuturan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, subsidi dana haji bagi jemaah yang berangkat lebih dulu pada tahun berjalan dinilai jorjoran hingga puluhan juta yakni, berkisar antara Rp 37-57 juta per orang. Sementara itu, jemaah haji yang masih antre disebutnya hanya mendapat bagian Rp 260-560 ribu per orang untuk tiap tahunnya dari hasil investasi yang didistribusikan melalui virtual account.

MUI Haramkan Pemanfaatan Investasi Setoran Haji untuk Jemaah Lain

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) calon jemaah untuk membiayai jemaah lain. Landasannya merujuk pada ayat Al-Qur’an hingga dalil hadits ketidakhalalan menggunakan harta orang lain seizinnya, hadits perintah menunaikan amanah, hadits akad wakalah SAW, dan hadits tentang keutamaan bekerja sama antarsesama muslim.

Pengharaman ini tertuang dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 tentang Hukum Memanfaatkan Hasil Investasi Setoran Awal BIPIH Calon Jamaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji Jamaah Lain.

“Hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah Haram,” bunyi keputusan poin pertama fatwa tersebut seperti dilihat detikHikmah, Jumat (26/7/2024).

MUI menilai pemanfaatan hasil investasi untuk membiayai jemaah lain dapat berdampak pada pengurangan hak calon jemaah lain dan dalam jangka panjang ini akan menimbulkan masalah serius.

Disebutkan MUI, pada praktiknya, tidak seluruh nilai manfaat hasil investasi dana setoran haji yang dimiliki calon jemaah haji tersebut dikembalikan untuk pemilik dengan memasukkan ke dalam virtual account milik masing-masing calon jemaah haji. Ada sejumlah nilai manfaat yang digunakan untuk kebutuhan lainnya.

“Dampaknya, ada calon jamaah haji yang haknya terkurangi, dan ada jamaah haji yang tidak menggunakan hak jamaah haji lainnya. Dalam jangka panjang, jika tidak dibenahi ini akan menimbulkan masalah yang serius dalam hal likuiditas,” paparnya.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

Setoran Awal Dana Haji Biayai Jemaah Lain: MUI Haramkan, Mudzakarah Bolehkan



Jakarta

Mudzakarah Perhajian Indonesia yang baru saja selesai digelar di Bandung menghasilkan sejumlah keputusan penting yang akan berdampak signifikan pada penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun mendatang. Pertemuan yang dihadiri para ahli fikih, akademisi, dan praktisi haji ini menghasilkan beberapa keputusan hukum terkait pelaksanaan ibadah haji.

Salah satu keputusan penting yang dihasilkan adalah terkait pemanfaatan hasil investasi dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Para peserta mudzakarah sepakat bahwa penggunaan hasil investasi tersebut untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain hukumnya diperbolehkan.

“Hukum memanfaatkan hasil investasi Setoran Awal BPIH calon jemaah haji untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji jemaah lain adalah mubah,” kata KH Aris Ni’matullah, salah satu peserta Mudzakarah dari Pesantren Buntet Cirebon, pada upacara penutupan, Sabtu (9/11/2024).


Menurut KH Aris Ni’matullah, persentase penggunaan hasil investasi dana haji harus ditentukan secara hati-hati. Tujuannya agar menguntungkan semua pihak, baik jemaah haji yang sedang menunggu maupun yang akan berangkat. Selain itu, pengelolaan dana haji juga harus berkelanjutan agar hak semua jemaah terjamin.

“Presentasi pemanfaatan juga harus memastikan sustainabilitas dana haji dalam jangka panjang. Sehingga memberikan jaminan keamanan hak-hak jemaah haji daftar tunggu dan keringanan jemaah haji yang akan berangkat pada tahun berjalan,” tuturnya.

Beliau menambahkan, pemerintah melalui BPKH memiliki wewenang mengelola dana haji. Namun, pengelolaannya harus sesuai dengan prinsip syariah dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.

Pemanfaatan hasil investasi ini diharapkan dapat membantu mengurangi masa tunggu calon jemaah haji dan memberikan kemudahan bagi jemaah yang sedang menjalankan ibadah haji.

Keputusan ini berbeda dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mereka mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) calon jemaah untuk membiayai jemaah lain.

Pengharaman ini tercantum dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 mengenai Hukum Pemanfaatan Hasil Investasi Setoran Awal BIPIH Calon Jamaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji bagi Jamaah Lain.

“Hukum memanfaatkan hasil investasi setoran awal BIPIH calon jamaah haji untuk membiayai penyelenggaraan haji jamaah lain adalah Haram,” bunyi keputusan poin pertama fatwa tersebut seperti dilihat detikHikmah.

Dasar hukum fatwa MUI ini bersumber dari beberapa ayat Al-Qur’an, seperti surah Al Baqarah ayat 188 dan 196, surah An Nisa ayat 58, dan surah Al Maidah ayat 1. Serta hadits-hadits yang menekankan pentingnya menjaga amanah dan tidak merugikan hak orang lain. Seperti hadits tentang tidak halal menggunakan harta orang lain tanpa izin, hadits perintah menunaikan amanah, hadits akad wakalah SAW, hingga hadits tentang keutamaan bekerja sama antarsesama muslim.

MUI menilai bahwa pemanfaatan hasil investasi dana haji untuk membiayai jemaah lain berpotensi melanggar prinsip-prinsip tersebut dan dapat menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks di kemudian hari.

“Dalam praktiknya, tidak seluruh nilai manfaat hasil investasi dana setoran haji yang dimiliki calon jemaah haji tersebut dikembalikan untuk pemilik dengan memasukkan ke dalam rekening virtual milik masing-masing calon jemaah haji. Ada sejumlah nilai manfaat yang digunakan untuk kebutuhan lainnya,” jelas MUI dalam paparan masalahnya.

“Dampaknya, ada calon jamaah haji yang haknya terkurangi, dan ada jamaah haji yang tidak menggunakan hak jamaah haji lainnya. Dalam jangka panjang, jika tidak dibenahi ini akan menimbulkan masalah yang serius dalam hal likuiditas,” lanjutnya.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com