Tag Archives: pengolahan

BRI Peduli Beri Pelatihan Pengolahan Limbah Minyak Jelantah di Bogor


Jakarta – Persoalan sampah masih menjadi tantangan serius di berbagai wilayah Indonesia. Setiap harinya, jutaan ton sampah dihasilkan dari aktivitas rumah tangga, industri, dan perkantoran, namun belum seluruhnya terkelola dengan baik. Sampah yang tidak tertangani tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekosistem.

Melalui program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan atau Corporate Social Responsibility BRI Peduli – Yok Kita Gas, BRI terus melakukan berbagai inisiatif dalam mengatasi persoalan sampah melalui berbagai program yang secara nyata dapat membantu mengatasi masalah sampah di berbagai wilayah di Indonesia.

Kali ini, BRI Peduli Yok Kita Gas kembali dilaksanakan melalui kegiatan Pelatihan Pengolahan Limbah Minyak Jelantah yang dilaksanakan di Bank Sampah Azalea, Kel. Babakan, Kec. Bogor Tengah, Kab. Bogor yang melibatkan anggota Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kel. Babakan serta pengurus dan anggota bank sampah.

Corporate Secretary BRI, Dhanny mengungkapkan bahwa melalui pelatihan ini, masyarakat diajak untuk lebih bijak dan kreatif dalam mengelola limbah rumah tangga, khususnya minyak bekas. Dengan diolah menjadi sabun cuci tangan, limbah yang sebelumnya dianggap tidak berguna kini memiliki nilai tambah dan fungsi baru yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

“Proses ini tidak hanya mengurangi potensi pencemaran, tetapi juga mendukung prinsip ekonomi sirkular, di mana limbah diolah kembali menjadi produk yang berguna,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Kamis (23/10/2025).

Dalam pelatihan ini, para peserta dibekali materi pemanfaatan limbah minyak jelantah menjadi produk yang bermanfaat yaitu sabun cuci piring maupun cuci tangan. Tidak hanya dibekali materi, para peserta juga melakukan praktik langsung tentang cara pembuatan sabun cuci dari minyak jelantah.

Selain manfaat lingkungan, Dhanny menegaskan bahwa kegiatan ini juga membuka peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya bagi ibu rumah tangga atau pelaku UMKM, karena produk sabun hasil olahan ini dapat dikembangkan menjadi produk usaha ramah lingkungan yang bernilai jual.

“Tentunya pelatihan ini membawa dampak positif ganda, baik dari sisi pelestarian lingkungan maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan,” imbuhnya.

Dhanny menambahkan, BRI Peduli Yok Kita Gas yang menyelenggarakan ‘Pelatihan Pengolahan Limbah Minyak Jelantah’ di Bogor tidak hanya menciptakan lingkungan bersih dan penguatan ekonomi, tetapi juga menciptakan nilai sosial, di mana program ini dapat memperkuat kesadaran sosial mengenai pentingnya kolaborasi antar masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan berkelanjutan melalui pengelolaan limbah rumah tangga.

Pada kesempatan berbeda, pengurus Bank Sampah Azalea Bogor, Endah Diana mengungkapkan bahwa bagi anggota Bank Sampah Azalea, pelatihan dari BRI Peduli memberikan manfaat yang banyak, baik bagi anggota maupun masyarakat.

Dengan adanya pelatihan tersebut juga pada akhirnya mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Hal ini terlihat dari jumlah warga yang menabung minyak jelantah di Bank Sampah Unit (BSU) Azalea yang terus meningkat.

“Selama ini, kami menjual minyak jelantah tersebut ke bank sampah induk. Namun, setelah mengikuti pelatihan ini, kami dapat mengolah minyak jelantah sendiri menjadi produk yang bisa kami gunakan kembali. Hasil olahan tersebut juga nantinya bisa memberikan keuntungan yang cukup besar apabila kami jual,” ungkap Endah.

Langkah-langkah nyata ini tidak hanya berkontribusi dalam menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi di tingkat lokal. Upaya BRI menjadi bukti bahwa kolaborasi dan inovasi dapat menjadi kunci dalam mengatasi persoalan sampah di Indonesia secara berkelanjutan.

Sebagai informasi, BRI Peduli Yok Kita Gas telah digulirkan sejak 2021 dan telah dilaksanakan di 41 lokasi di wilayah Indonesia yang terdiri dari 5 lokasi di pasar tradisional dan 35 lokasi di lingkungan masyarakat. Program ini diimplementasikan dalam dua bentuk, yaitu Yok Kita Gas – Pasar Tradisional dan Yok Kita Gas – Stand Alone Location, dimana penyaluran program dilakukan di lokasi bank sampah atau Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang telah dikelola oleh masyarakat dan berlokasi di daerah padat penduduk, baik di kota maupun desa.

Program ini juga telah menyasar 38 bank sampah dengan total tabungan bank sampah sejumlah Rp 1,79 miliar. Selain itu, program ini juga mampu memproduksi 155 karung pupuk kompos, 1.250 kemasan pupuk organik cair (POC), 6.921,5 maggot, dan 777 eco-enzyme.

Selain itu, program ini juga telah memberikan manfaat dalam mendorong kelestarian lingkungan, di mana jumlah sampah organik terserap sebanyak 108.860 kg dan sampah anorganik sebanyak 88.449,4 kg, dengan potensi reduksi emisi gas metan dan karbon dioksida untuk sampah organik mencapai sebanyak 5.442.000 kg CH₄e dan 4.803.505.000 kg CO₂e, serta potensi reduksi emisi gas metan dari sampah anorganik sebanyak 221.123,5 kg CO₂e.

(akd/ega)



Sumber : finance.detik.com

Gempa M 2,8 Terjadi di Bayah Banten


Jakarta

Gempa bumi berkekuatan magnitudo (M) 2,8 terjadi di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten. Gempa ini ada pada kedalaman 13 kilometer.

“Gempa Mag:2.8 (78 km barat daya Bayah-Banten),” tulis BMKG di akun X, Jumat (24/10/2025).

Gempa ini dilaporkan terjadi pada pukul 02.55 WIB. Titik koordinat gempa berada di 7,62 lintang selatan dan 106,08 bujur timur.

“Informasi ini mengutamakan kecepatan, sehingga hasil pengolahan data belum stabil dan bisa berubah seiring kelengkapan data,” tulis BMKG.

(fas/fas)



Sumber : news.detik.com

Viral Air Hujan di DKI Mengandung Mikroplastik, Benarkah? Ini Faktanya


Jakarta

Belakangan, media sosial diramaikan dengan narasi air hujan di DKI Jakarta mengandung mikroplastik berbahaya. Faktanya, sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2022 bertajuk ‘Marine Pollution Bulletin’ mengkonfirmasi hal tersebut.

Meski demikian, ilmuwan menegaskan bukan berarti setiap tetes air hujan di Ibu Kota beracun.

“Tetapi bahwa ada partikel plastik berukuran sangat kecil, lebih halus dari debu yang ikut turun bersama hujan,” kata Muhammad Reza Cordova, salah satu peneliti dalam jurnal ilmiah tersebut, saat dihubungi detikcom, Kamis (16/10/2025).


Reza yang juga peneliti di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mengatakan jenis mikroplastik yang ditemukan di udara dan hujan Ibu Kota adalah serat sintetis seperti poliester dan nilon, serta fragmen kecil dari plastik kemasan seperti polietilena dan polipropilena. Ditemukan juga polibutadiena yang jadi polimer sintetis dari ban kendaraan.

“Mikroplastik ini berasal dari aktivitas manusia di kota besar. Misalnya serat sintetis dari pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran terbuka sampah plastik, serta degradasi plastik di lingkungan terbuka,” katanya.

Lalu Apa Bahayanya Bagi Manusia?

Karena ukurannya yang sangat kecil, lanjut Reza, mikroplastik ini terbawa angin dan naik ke atmosfer kemudian turun kembali lewat hujan. Menurutnya, tetap ada bahaya di balik mikroplastik yang turun bersamaan dengan hujan tersebut.

“Untuk istilah ‘bersifat toksik’ sebenarnya karena merujuk pada potensi dampak negatifnya. Mikroplastik ini kan bisa membawa bahan kimia tambahan dari proses produksi plastik (misalnya BPA, platat) atau polutan lain yang menempel di permukaannya (seperti logam berat dan POPs),” kata Reza.

“Jadi sifat beracunnya bukan dari air hujannya langsung, tapi dari partikel mikroplastik, bahan additive dan pollutan lain yang terbawa di dalamnya,” sambungnya.

Dampak yang mungkin terjadi apabila terpapar atau terhirup dalam jangka waktu lama bisa bervariasi, seperti dapat memicu peradangan jaringan paru, stres oksidatif, dan gangguan sistem imun.

“Nah di Indonesia kan masih minim nih. Jadi ya memang riset terkait masih terus berjalan untuk memastikan seberapa besar efeknya terhadap manusia,” kata Reza.

“Tapi arah bukti global sudah cukup kuat bahwa paparan jangka panjang harus diwaspadai. Karena itu, prinsip pencegahan dan pengendalian jadi langkah utama,” sambungnya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Menurut Reza, masalah mikroplastik memang tidak bisa diselesaikan oleh individu saja, tapi perubahan kecil di tingkat masyarakat tetap sangat penting. Kuncinya adalah dengan semaksimal mungkin untuk mengurangi sumbernya.

“Kita bisa mulai dari menghindari plastik sekali pakai, memilah sampah dari rumah, dan tidak membakar plastik terbuka,” kata Reza.

“Industri juga perlu berperan, misalnya dengan sistem EPR menyaring serat di pabrik tekstil atau laundry besar. Industri dan riset juga harus mengembangkan bahan yang tidak mudah lepas ke udara,” sambungnya.

Dari sisi pemerintah dan lembaga riset yang dibutuhkan adalah pemantauan secara rutin kualitas udara dan air hujan, serta pengembangan teknologi filtrasi dan pengolahan air. Untuk di riset nanti harus ada kolaborasi level regional dan global, pasalnya polusi mikroplastik ini bisa melintasi batas negara.

“Intinya, kita harus beralih dari budaya membuang ke budaya mengurangi dan menggunakan kembali. Sebab setiap plastik yang tidak lepas ke lingkungan berarti mengurangi satu sumber mikroplastik di udara dan air kita,” tutupnya.

(dpy/up)



Sumber : health.detik.com

Alasan Sebaiknya Jangan Makan Sambil Berdiri, Bisa Begini Dampaknya ke Pencernaan


Jakarta

Di tengah rutinitas yang serba cepat, banyak orang kini terbiasa makan sambil berdiri atau berjalan. Misalnya, sarapan cepat sambil berangkat kerja, mengambil camilan di perjalanan menuju acara, atau berdiri sambil makan sudah menjadi kebiasaan umum.

Sebagian orang memilih kebiasaan ini untuk menghemat waktu atau menyeimbangkan pekerjaan kantor yang banyak duduk. Sekilas, kebiasaan ini tampak ‘membantu’ pencernaan. Namun, makan sambil berdiri setiap hari dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan dan sistem pencernaan.

Penting untuk memahami bagaimana postur tubuh, kecepatan makan, dan proses pengolahan makanan saling berinteraksi dengan pencernaan agar usus tetap sehat dan terhindar dari ketidaknyamanan.


Dampak Makan Sambil Berdiri pada Aliran Darah dan Pencernaan

Dikutip dari Times of India, saat seseorang makan sambil berdiri, gravitasi menyebabkan darah mengalir lebih banyak ke kaki. Hal ini mengurangi jumlah darah yang menuju organ pencernaan yang berperan penting dalam memecah makanan secara efisien.

Suplai darah yang tidak cukup dapat mengganggu proses pencernaan dan menimbulkan gas, kembung, atau gangguan pencernaan. Postur tubuh saat makan juga memengaruhi seberapa cepat lambung mengosongkan isinya.

Penelitian yang diterbitkan dalam Canadian Science Publishing Journal menunjukkan makanan bergerak lebih lambat di lambung ketika seseorang duduk atau berbaring dibandingkan saat berdiri.

Penelitian tersebut juga menemukan makan protein dalam posisi duduk tegak dapat memperbaiki pengosongan lambung, pencernaan protein, serta ketersediaan asam amino dalam darah dibandingkan dengan posisi berbaring.

Sementara itu, makan sambil berdiri sering kali dikaitkan dengan cara makan yang lebih cepat. Kebiasaan makan terburu-buru dapat menyebabkan udara tertelan lebih banyak, meningkatkan rasa tidak nyaman akibat gas, dan mengurangi proses mengunyah yang memadai, sehingga lambung memerlukan waktu lebih lama untuk memecah makanan.

Kecepatan makan yang terlalu cepat dapat berdampak buruk terhadap pencernaan dan menimbulkan perut kembung. Karena itu, penting untuk mempertahankan kebiasaan makan yang lebih lambat dan penuh kesadaran agar terhindar dari ketidaknyamanan dan meningkatkan penyerapan zat gizi.

Di sisi lain, sebuah penelitian yang diterbitkan dalam European Journal of Preventive Cardiology menemukan berdiri dapat membantu membakar sedikit lebih banyak kalori.

Studi ini menyebutkan berdiri selama enam jam dapat membakar sekitar 54 kalori lebih banyak dibandingkan duduk, yang secara teoritis dapat menyebabkan penurunan berat badan hingga 10 kilogram dalam empat tahun pada individu dengan berat 65 kilogram.

Makan sambil berdiri memang bisa mempercepat proses pencernaan, tetapi kadang membuat seseorang merasa lebih cepat lapar. Lambung mengirimkan sinyal kenyang ke otak berdasarkan seberapa besar peregangan dan berapa lama tetap penuh.

Makanan yang cepat dicerna, seperti karbohidrat olahan, bisa membuat seseorang cepat merasa lapar lagi, sedangkan makanan tinggi serat dan protein memberi rasa kenyang yang lebih lama.

Dengan demikian, pencernaan yang terlalu cepat akibat makan sambil berdiri bisa tanpa disadari mendorong seseorang makan berlebihan.

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com