Tag Archives: penyelenggaraan ibadah haji

Pansus Haji DPR Beri 5 Rekomendasi, Kemenag RI Bilang Begini



Jakarta

Pansus Angket Haji DPR membacakan rekomendasi untuk pelaksanaan ibadah haji Indonesia dalam rapat paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 hari ini. Kementerian Agama (Kemenag) beri tanggapan.

Rekomendasi tersebut dibacakan Ketua Pansus Nusron Wahid. Di antaranya tentang revisi undang-undang, penetapan kuota haji, pelaksanaan ibadah haji khusus, penguatan fungsi pengawasan, dan sosok menteri yang kompeten.

Juru Bicara Kemenag Sunanto mengatakan inti rekomendasi seputar perubahan regulasi. “Saya melihat rekomendasi Pansus intinya adalah revisi regulasi untuk perbaikan. Ini tentu kita hormati dan apresiasi,” terang Sunanto dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/9/2024).


Cak Nanto, sapaan akrabnya, lalu menanggapi rekomendasi dari Pansus satu per satu. Rekomendasi pertama, dibutuhkan revisi terhadap UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi.

“Sedari awal Kementerian Agama sudah meminta agar ada revisi regulasi, utamanya Undang-undang No 8 Tahun 2019. Sebab, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler, Kemenag merasakan betul kebutuhan akan revisi regulasi, terlebih melihat dinamika kebijakan penyelenggaraan haji di Arab Saudi,” tegas Cak Nanto.

Cak Nanto mencontohkan, Arab Saudi sejak 2023 mengumumkan kuota haji lebih awal dari biasanya. Pada saat yang sama, Kementerian Arab Saudi menerbitkan jadwal tahapan persiapan penyelenggaraan ibadah haji dengan kalender Hijriah. Sementara proses pengelolaan program dan anggaran pemerintah Indonesia menggunakan kalender Masehi.

“Dalam hal tertentu, ada momen yang menuntut penyelenggara mengambil kebijakan lebih cepat dan melakukan persiapan lebih awal. Hal seperti ini belum terakomodir dalam regulasi,” sebut Cak Nanto.

Contoh lainnya, kata dia, terkait pembiayaan bagi jemaah penggabungan mahram atau pendamping. Regulasi saat ini tidak membedakan biaya yang harus dibayar jemaah yang ikut penggabungan mahram meski masa tunggu mereka lebih singkat dari jemaah yang masuk kuota. Masa antrean jemaah yang berangkat dengan penggabungan mahram dan pendamping, secara regulasi paling lama lima tahun. Namun pembiayaannya disamakan dengan jemaah yang sudah menunggu dalam waktu yang lebih lama, bisa 12 sampai 13 tahun.

“Hal semacam ini perlu direspons dalam perbaikan regulasi. Saat ini Kemenag terus melakukan harmonisasi regulasi,” ujar Cak Nanto.

Soal alokasi kuota haji tambahan di halaman selanjutnya

Rekomendasi kedua, diperlukan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji, terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan. Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan diinformasikan secara terbuka kepada publik.

“Sistem penetapan kuota selama ini bersifat terbuka dan mengacu pada Undang-Undang No 8 tahun 2019, khususnya Pasal 8 dan Pasal 9. Penetapan kuota haji memang wewenang atribusi yang diberikan undang-undang kepada Menteri Agama. Pasal 64 juga jelas bahwa alokasi kuota haji khusus sebesar 8% itu dari kuota haji Indonesia yang itu adalah kuota pokok, bukan kuota tambahan,” jelasnya.

Dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia setidaknya tiga kali menerima kuota tambahan. Praktik pembagiannya tidak pernah sama.

Pada 2019, Indonesia mendapat 10.000 kuota tambahan dan itu seluruhnya diberikan untuk jemaah haji reguler. Pada 2023, Indonesia mendapat 8.000 kuota tambahan. Sebanyak 92% untuk jemaah haji reguler dan 8% untuk jemaah haji khusus. Sementara pada 2024, Indonesia mendapat 20.000 kuota tambahan, dibagi rata untuk haji reguler dan haji khusus.

“Pada tahun 2022, Indonesia mendapat kuota 100.051, dibagi 92.825 untuk haji reguler dan 7.226 untuk haji khusus. Prosentase kuota haji khusus hanya 7,2% tidak sampai 8%. Kemenag waktu itu akan digugat PIHK. Tapi memang keputusan dari Arab Saudinya pembagiannya sudah seperti itu,” terang Cak Nanto.

“Kemenag tentu melakukan berbagai kajian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam alokasi kuota tambahan. Kemenag juga saat ini memperbaiki prosedur dan mekanisme pengisian kuota serta memperkuat transparansi dalam menyampaikan informasi ke publik yang lebih luas. Misalnya, kuota dasar dan kuota tambahan diumumkan secara terbuka kepada publik melalui kanal-kanal berita resmi Kemenag,” lanjut Cak Nanto.

Rekomendasi ketiga, dalam pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus merekomendasikan, hendaknya dalam pelaksanaan mendatang, peran negara dalam fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus, harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.

“Rekomendasi ketiga ini sejalan dengan semangat kita untuk melakukan penguatan pengawasan. Kita sudah melakukan beberapa hal, terutama untuk penyelenggaraan umrah. Kita sudah bentuk satgas pengawasan umrah. Ke depan ini bisa diperluas termasuk pada satgas pengawasan haji khusus,” ucap Cak Nanto.

Rekomendasi keempat, panitia angket mendorong penguatan peran lembaga pengawasan internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan BPKP) agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan haji. Manakala kerja Pansus membutuhkan tindak lanjut, dapat melibatkan pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).

“Dalam proses penyelenggaraan ibadah haji, Kemenag sudah melibatkan berbagai pihak, untuk pengawasan, mulai dari Itjen, BPK, DPR, dan DPD RI, serta kementerian dan lembaga lain sebagai pengawas internal dan eksternal. Dalam hal tertentu, misalnya, dalam layanan akomodasi/hotel di Arab Saudi, klausul kontrak membuka peluang keterlibatan aparat penegak hukum Indonesia dalam penanganan tindak pidana korupsi,” ujarnya.

“Kemenag sedari awal juga telah memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk pencegahan dan mitigasi segala bentuk penyelewengan penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya.

Rekomendasi kelima, Pansus mengharapkan pemerintah mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama RI dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola ibadah haji. Soal ini, Cak Nanto menyebut itu sepenuhnya hak presiden, tapi ia menilai capaian kinerja era Yaqut Cholil Qoumas memuaskan.

“Soal menteri, ini hak prerogatif presiden. Termasuk penilaian kecakapan dan kompetensinya. Faktanya baik secara kuantitatif dan kualitatif, Kementerian Agama dalam tiga tahun terakhir berhasil mencapai prestasi sangat memuaskan dalam pelayanan ibadah haji,” tandas Cak Nanto.

Beberapa capaian Menag Yaqut, seperti disampaikan Cak Nanto, antara lain revitalisasi KUA, sertifikasi tanah wakaf, prestasi siswa madrasah dan perguruan tinggi keagamaan, hingga layanan keagamaan digital.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Haji Furoda dan Perbedaannya dengan Haji Plus


Jakarta

Haji furoda menjadi salah satu pilihan bagi umat Islam di Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah haji tanpa harus menunggu antrean panjang. Program ini menawarkan berbagai kelebihan, termasuk keberangkatan yang lebih cepat dan fasilitas eksklusif yang membuat perjalanan ibadah lebih nyaman.

Berbeda dengan haji plus yang dikelola langsung oleh Kementerian Agama RI, haji furoda diatur oleh Pemerintah Arab Saudi melalui visa khusus yang dikenal sebagai visa Mujamalah. Kedua program ini memiliki perbedaan mendasar, mulai dari proses keberangkatan hingga fasilitas yang ditawarkan kepada jemaah.

Apa Itu Haji Furoda?

Mengacu pada buku Ekosistem Haji karya Endang Jumali, dkk, haji furoda adalah program haji resmi nonkuota yang dikelola oleh pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Haji Saudi.


Program ini disediakan khusus untuk jamaah yang mendapatkan undangan haji mujamalah dari Kerajaan Arab Saudi dan dilaksanakan melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

Haji furoda menjadi solusi bagi jemaah yang ingin melaksanakan haji tanpa harus menunggu antrean panjang seperti pada program haji reguler, meskipun biayanya cenderung lebih tinggi.

Secara hukum, pelaksanaan haji furoda diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tepatnya pada Pasal 18.

Pasal tersebut menjelaskan bahwa visa haji Indonesia terdiri dari visa kuota reguler dan visa mujamalah yang merupakan undangan resmi dari Kerajaan Arab Saudi. Warga Negara Indonesia (WNI) yang mendapatkan visa mujamalah wajib berangkat melalui PIHK, dan PIHK yang memberangkatkan jamaah tersebut diwajibkan melapor kepada Menteri Agama.

Fasilitas Haji Furoda

Fasilitas yang diterima oleh jamaah haji furoda jauh lebih lengkap dibandingkan dengan haji reguler maupun haji plus. Berdasarkan catatan dari detikcom, berikut beberapa fasilitas yang disediakan bagi jemaah haji furoda:

  • Proses antrean yang jauh lebih singkat dibandingkan dengan haji reguler.
  • Mendapatkan visa haji resmi yang tercatat secara online melalui aplikasi e-Hajj Saudi Arabia dengan Tasreh khusus untuk ibadah haji.
  • Akomodasi berupa penginapan di hotel bintang lima, bergantung pada jenis paket yang dipilih.
  • Perjalanan menggunakan maskapai Saudi Airlines dengan penerbangan langsung menuju Jeddah atau Madinah.
  • Fasilitas maktab khusus untuk haji furoda (nomor 93-96).
  • Disediakan hotel transit di Mina.
  • Tenda ber-AC di Arafah.
  • Durasi pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi dapat disesuaikan dengan kebutuhan jamaah.

Perbedaan Haji Furoda dan Haji Plus

Dikutip dari buku Ekosistem Haji oleh Endang Jumali, haji plus dan haji furoda memiliki perbedaan mendasar dalam kuota dan pengelolaannya.

Haji plus merupakan program haji yang dikelola oleh pemerintah Indonesia melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dengan kuota resmi yang telah ditetapkan. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus (Bipih) untuk haji plus disertai jaminan kemampuan finansial, termasuk adanya jaminan bank untuk mendapatkan tempat dari 8 persen kuota haji Indonesia.

Sementara itu, haji furoda adalah program haji nonkuota yang diatur langsung oleh pemerintah Arab Saudi melalui undangan visa mujamalah. Program ini juga dikelola oleh PIHK, tetapi kuotanya tidak termasuk dalam kuota haji yang ditetapkan pemerintah Indonesia, sehingga jemaah dapat berangkat lebih cepat tanpa antrean panjang seperti haji plus atau reguler.

Selain itu, berikut ini adalah perbedaan lengkap antara haji plus dan haji furoda:

1. Biaya

Dari segi biaya, pada umumnya haji furoda lebih mahal dari haji plus. Sebagai contoh, biaya haji plus tahun 2024 berkisar antara Rp 159,7 juta hingga Rp 958,4 juta, tergantung pada paket yang dipilih. Sementara itu, biaya keberangkatan haji furoda lebih tinggi, yaitu sekitar Rp 373,4 juta hingga Rp 974,2 juta.

2. Visa

Visa haji plus diterbitkan oleh Kementerian Agama RI sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan. Sebaliknya, visa haji furoda dikeluarkan langsung oleh pemerintah Arab Saudi dan dikenal sebagai visa mujamalah atau visa khusus.

3. Waktu Tunggu

Jemaah haji furoda tidak perlu menunggu lama untuk keberangkatan karena dapat berangkat di tahun yang sama dengan penerbitan visa. Di sisi lain, calon jemaah haji plus biasanya harus menunggu selama 5-9 tahun untuk mendapatkan giliran keberangkatan.

4. Durasi Tinggal

Durasi tinggal untuk jemaah haji plus di Arab Saudi adalah sekitar 25 hari. Sedangkan jemaah haji furoda memiliki masa tinggal yang lebih singkat, yakni sekitar 16-24 hari.

5. Fasilitas

Haji plus menawarkan fasilitas penginapan yang dekat dengan Masjidil Haram, konsumsi, dan akomodasi yang sudah termasuk dalam biaya paket. Sementara itu, fasilitas pada haji furoda umumnya lebih eksklusif, seperti penerbangan langsung dengan Saudi Airlines dan hotel transit di Mina.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

BP Haji Akan Kawal Revisi UU Haji dan Umrah, Selaraskan dengan Kondisi Terkini



Jakarta

Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) akan mengawal proses revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Hal ini disampaikan oleh Kepala BP Haji, Muhammad Irfan Yusuf atau Gus Irfan.

Gus Irfan menyebut, revisi UU dianggap penting untuk menyelaraskan peraturan dengan kondisi terkini. Tujuannya untuk memperkuat payung hukum penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia.

Terlebih lagi, mengingat perpindahan kewenangan penyelenggaraan haji reguler dari Kementerian Agama (Kemenag) ke BP Haji yang akan terjadi pada musim haji 2026. Maka, Gus Irfan menyatakan bahwa perlu adanya masukan dari Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI).


“Untuk merevisi undang-undang ini, kami perlu masukan dari stakeholder terkait, termasuk asosiasi haji dan umrah seperti AMPHURI yang sejauh ini selalu berkontribusi aktif dalam penyelenggaraan haji dan umrah,” kata Gus Irfan, dilansir dari laman AMPHURI, Jumat (24/1/2025).

AMPHURI, sebagai asosiasi yang mewakili para penyelenggara haji dan umrah, menyambut positif inisiatif BP Haji tersebut. Sekjen AMPHURI, Zaky Zakariya Anshari, menyatakan kesiapan pihaknya untuk berkolaborasi dalam merevisi UU.

“Sebelumnya kami juga kerap dilibatkan oleh Komisi VIII DPR-RI maupun DPD-RI dalam upaya mereka melakukan kajian atas UU haji ini. Kami sering berdiskusi baik secara formal ke rapat dengar pendapat umum DPR maupun dalam pertemuan informal,” ujar Zaky.

Menurut Gus Irfan, pihaknya tengah menyiapkan usulan revisi undang-undang haji yang kemudian akan disampaikan ke DPR RI. Dia berharap pada tahun 2026, undang-undang haji yang baru sudah bisa dipakai.

“Insyaallah, kami tengah siapkan usulan revisiannya. Kami pun sudah berdiskusi dengan Komisi VIII khususnya Panja Haji,” jelas Gus Irfan.

“Mudah-mudahan sebelum penyelenggaraan haji di tahun 2026 sudah ada perubahan atas undang-undang yang ada,” tukasnya.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Soal Usulan BP Haji Jadi Kementerian, Gus Irfan: Tanggung Jawab Makin Luas



Jakarta

Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Mochamad Irfan Yusuf menanggapi usulan perubahan lembaga yang dipimpinnya menjadi Kementerian Haji dan Umrah. Menurutnya, perubahan tersebut tidak sekadar status dan nama melainkan terkait tugas dan tanggung jawab yang lebih luas.

“Memang dengan perubahan nama ini bukan berarti sekedar perubahan nama itu akan berdampak cukup luas bagaimana rentang tanggung jawab kita akan semakin luas dan juga rentang tugas kita akan semakin luas,” katanya saat ditemui selepas acara diskusi publik ‘Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah’ di Kantor DPP PKB, Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Gus Irfan, sapaan akrabnya, menjelaskan jika BP Haji diubah menjadi kementerian, ini juga memudahkan tugas memberi pelayanan haji yang baik. Dengan begitu, penyelenggaraan haji bisa dilaksanakan sendiri tanpa harus berkoordinasi dengan Kementerian Agama.


“Ya tentu saja karena dengan kita memegang sepenuhnya kendali operasi penyelenggaraan haji maka semua hal bisa kita laksanakan dengan sendiri. Tidak harus berkoordinasi dengan Kementerian Agama misalkan,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Gus Irfan, perubahan status menjadi kementerian akan mendorong spesialisasi dan efisiensi. Menurutnya, penyelenggaraan haji merupakan kegiatan yang melibatkan dana cukup besar.

Sementara itu, efisiensi diperlukan agar penyelenggaraan haji tidak dikerjakan oleh dua lembaga. Hal ini membuat pelaksanaan tidak efisien.

“Jadi tidak perlu kalau ada dua lembaga itu akan tidak efisien. Jadi kita harapkan satu lembaga yang menangani,” lanjutnya.

Gus Irfan mengatakan persiapan haji cukup kompleks. Pada praktiknya dibutuhkan waktu setahun untuk mempersiapkan.

“Bulan ini proses haji 2025 selesai misalkan. Minggu depan kita sudah mulai untuk proses haji tahun 2026. Persiapannya (itu) banyak, jadi tidak ada jeda waktu,” tandas cucu pendiri NU itu.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Cak Imin Dorong BP Haji Jadi Kementerian Haji dan Umrah



Jakarta

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, meminta agar Badan Penyelenggara (BP) Haji diubah menjadi kementerian tersendiri. Hal ini disampaikan dalam acara diskusi publik bertajuk “Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah” di DPP PKB, Jakarta, Rabu (19/2/2025).

“Kita berharap UU Haji yang akan kita bentuk nanti Badan Penyelenggaraan Haji, kita usulkan diubah menjadi Kementerian Haji dan Umrah,” kata pria yang akrab disapa Cak Imin itu dalam sambutannya.

Pada kesempatan yang sama, ia juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) terpisah dari Kementerian Agama. Meski demikian, Cak Imin menilai hal tersebut masih setengah jalan.


“Dan setiap pelaksanaan saya menuliskan beberapa perbaikan salah satu usulan kita dari dari awal adalah pemisahan Kementerian Agama dengan Kementerian Haji ini adalah salah satu revolusi penyelenggaraannya,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa tuntutan untuk menjadikan BP Haji sebagai kementerian telah ada sejak lama. Tahun ini menjadi tahun terakhir Kemenag menjadi penyelenggara ibadah haji bagi jemaah Indonesia.

Nantinya, penyelenggaraan haji tahun selanjutnya akan digantikan oleh BP Haji yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto.

Cak Imin berharap ide baru akan muncul dari diskusi tersebut. Dia berharap masukan dari diskusi dapat menjadikan penyelenggaraan haji lebih baik.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Cak Imin Usul Beli Hotel di Makkah dan Madinah sebagai Aset Pelaksanaan Haji



Jakarta

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan revolusi penyelenggara haji harus dilakukan. Ia menyebut tiga penyelenggara haji, yaitu kementerian, pengelolaan keuangan haji, serta lembaga pelaksana di daerah dan lokasi haji.

Menko Pemberdayaan Masyarakat itu mengatakan pentingnya peran Badan Pengelola Keuangan Haji dalam penyelenggaraan haji.

“Bagaimana duit sebesar itu terkelola menjadi kekuatan yang membaik penuh pelaksanaan haji,” kata pria yang akrab disapa Cak Imin saat memberi sambutan acara diskusi publik ‘Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah’ di DPP PKB, Jakarta, Rabu (19/2/2025).


“Salah satunya, kalau ada duit harus beli hotel di Makkah dan Madinah,” tambahnya.

Menurutnya, hotel dapat menjadi aset dari pelaksanaan haji setiap tahun.

“Beli hotel atau bikin kondominium, atau bikin apartemen, atau apa saja. Yang memungkinkan aset itu menjadi lebih produktif,” lanjut Cak Imin.

Ketum PKB itu juga mengusulkan terkait pembentukan Kementerian Haji dan Umrah. Dengan begitu, Kementerian Haji dan Umrah dipisah dari Kementerian Agama (Kemenag).

“Dan setiap pelaksanaan saya menuliskan beberapa perbaikan salah satu usulan kita dari awal adalah pemisahan Kementerian Agama dengan Kementerian Haji ini adalah salah satu revolusi penyelenggaraannya,” ungkapnya.

Usulan itu, lanjut Cak Imin, telah dilaksanakan separuh oleh Presiden Prabowo Subianto dengan pembentukan BP Haji.

“Alhamdulillah Pak Prabowo telah memulai meskipun baru setengah revolusi. Yaitu ada badan penyelenggara haji tapi belum menjadi kementerian,” jelasnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Tidak Mungkin Dilarang karena Legal



Jakarta

Kepala Badan Penyelenggara (BP) Haji, Mochamad Irfan Yusuf menanggapi soal usulan umrah mandiri yang akan dimuat dalam Revisi Undang-undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Menurutnya, hal tersebut tidak mungkin untuk dilarang karena mereka memiliki dokumen yang legal.

“Saya kira tidak mungkin kalau dilarang karena memang mereka legal semua kan. Ada tiket, ada visa, ada tiket pulang pergi,” katanya saat ditanyai apakah umrah mandiri akan dilarang dalam RUU, usai acara diskusi publik di Gedung DPP PKB, Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Menurut Gus Irfan, sapaan akrabnya, yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengatur dan mengawasi. Jangan sampai umrah mandiri menyebabkan kerugian.


“Karena kemungkinan seperti itu ada. Yang penting ada aturannya bagaimana kita bisa ikut mengawasi, bagaimana kita memastikan bahwa mereka itu berangkat dan pulang dengan baik,” lanjutnya.

Meski demikian, pihaknya terus berkoordinasi dengan asosiasi travel untuk mengantisipasi adanya umrah mandiri. Kepala BP Haji itu menekankan bahwa persoalan umrah mandiri selalu ada dan tak bisa dihindari.

“Tidak bisa kita elakkan, pasti ada. Yang penting kita bisa atur regulasinya bagaimana,” ujarnya.

Pada Senin (17/2/2025) lalu dalam RDPU Komisi VIII DPR dengan para ketua Asosiasi Penyelenggara Haji dan Umrah, Sekretaris Jenderal Sarikat Penyelenggara Umrah dan Haji Indonesia (Sapuhi) Ihsan Fauzi Rahman mendesak DPR agar tidak mengakomodasi konsep umrah mandiri dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

“Ini mohon menjadi pertimbangan umrah mandiri untuk tidak diakomodir dalam draft RUU undang-undang yang baru ini,” kata Ihsan.

Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan risiko yang timbul apabila umrah mandiri diterima dalam undang-undang. Ia menekankan bahwa biro perjalanan haji dan umrah yang sudah berpengalaman puluhan tahun pun masih menghadapi tantangan.

“Jangankan jemaah perorangan, kami saja sebagai penyelenggara resmi yang sudah berpengalaman masih menghadapi kendala. Ada anggota kami yang sudah membooking hotel, tapi tiba-tiba dipindah ke lokasi lain yang lebih jauh,” ungkap Ihsan.

“Kita enggak persoalkan bahwa rezeki kita itu akan kebalik atau bagaimana, tidak. Tapi, kita yang punya spirit melayani jemaah, memastikan pelayanan betul-betul terlaksana dengan baik,” tandasnya.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com