Tag Archives: perkawinan

Suku Anak Dalam Jambi, Asal-usul, Kehidupan, dan Tradisi



Jakarta

Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu kelompok etnis yang mendiami wilayah Indonesia. Mereka tinggal di Jambi dan memiliki tradisi tertentu.

Melansir situs detikSumbagsel, Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) yang tersebar di sekitar wilayah Jambi dan Sumatera Selatan.

Mengutip informasi dari situs Komunitas Konservasi Indonesia Waris, Suku Anak Dalam disebut juga Suku Rimba atau Suku Kubu. Nama Rimba mengacu pada tempat tinggal mereka di hutan, sedangkan Kubu dalam bahasa Melayu bisa diartikan sebagai orang-orang kotor, primitif, dan terbelakang.


Selain Suku Rimba dan Suku Kubu, Suku Anak Dalam juga ditujukan kepada beberapa suku lain yang mendiami area hutan Jambi seperti Suku Batin Sembilan dan Talang Mamak.

Perbedaannya tampak dari pola hidup antara keduanya, Orang Rimba Hidup Secara Nomaden sedangkan Suku Batin Sembilan dan Talang Mamak hidup menetap dengan becocok tanam untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Asal-usul Suku Anak Dalam

Melansir penelitian dari jurnal “Sejarah Sosial dan Kehidupan Ekonomi Suku Anak Dalam Muslim Kecamatan Air Hitam Kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas” bahwa asal-usul nama Suku Anak Dalam ini ditetapkan oleh Departemen Sosial pada 1970. Nama itu digunakan untuk membedakan masyarakat yang mendiami hutan dengan masyarakat umum yang disebut orang terang.

Secara secara fisik, Suku Anak Dalam diyakini sebagai keturunan Etnis Weddoid. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kesamaan ciri fisik antara Suku Anak Dalam dan Etnis Weddoid seperti, badan yang kecil, kepala berbentuk sedang, rambut keriting, kulit sawo matang, mata menjorok ke dalam, dan kaki kulit yang tebal.

Adapun, secara kebudayaan, suku ini dikaitkan dengan Suku Minangkabau karena sistem Matrilenial yang mereka gunakan dan logat bahasa Suku Anak Dalam yang mirip dengan bahasa Melayu-Minang.

Selain itu, banyak versi yang menulis mengenai asal-usul Suku Anak Dalam. Aliansi Masyarakat Nusantara menyebut bahwa nenek moyang suku ini adalah Maalau Sesaat yang melarikan diri dari keluarganya ke kawasan Air Hitam yang saat itu dikenal dengan Puyang Segayo.

Sumber lain mencatat bahwa Suku Anak Dalam berasal dari keturunan orang Pagaruyung, Sumatera Barat. Kelompok ini diutus oleh Raja Pagaruyung saat itu untuk menjalankan sebuah tugas kerajaan. Namun, karena gagal dalam menjalankan tugas, mereka malu untuk kembali ke kerajaan dan memilih melarikan diri ke area hutan.

Kehidupan Sehari-hari Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam sudah menetap di kawasan hutan sejak lama, sehingga pola kehidupan mereka jauh dari pengaruh peradaban modern. Kondisi ini membentuk pola hidup khas yang menjadi bagian kearifan lokal dan diatur melalui hukum adat yang mereka percayai.

Suku Anak Dalam menjalani kehidupan secara tradisional dengan bergantung kepada alam, suku ini terkenal menggunakan pola kehidupan nomaden.

Suku ini akan berpindah tempat tinggal karena beberapa kondisi seperti, ada anggota keluarga yang meninggal, adanya pergantian musim yang memaksa mereka mencari tempat lain untuk berlindung dan menyesuaikan diri, juga karena kehabisan sumber makanan dari alam.

Dalam kehidupan sehari-hari pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dibagi berdasarkan peran alami dan kebutuhan komunitas. Kaum laki-laki biasanya bertugas untuk berburu dan mencari sumber makanan.

Mereka berburu berbagai jenis hewan seperti babi hutan, rusa, kancil, ikan, hingga monyet. Sedangkan kaum perempuan biasanya berperan dalam memasak, mengasuh anak, dan mengumpulkan bahan makanan dari alam seperti buah-buahan, sayur-sayuran, atau umbi-umbian.

Dalam proses adat dan sosial, Suku Anak Dalam menerapkan seloko adat, yaitu sistem nilai dan tatanan sosial yang tumbuh serta dipatuhi oleh masyarakatnya.

Terdapat beberapa istilah penting yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari Suku Anak Dalam, sebagai berikut:

1. Bertubuh Onggok atau Bermukim

Istilah ini menggambarkan Suku Anak Dalam yang mulai menetap di satu tempat dan tidak lagi hidup secara nomaden. Mereka mulai membangun tempat tinggal sederhana di sekitar hutan atau di kawasan yang disediakan pemerintah. Meski masih memegang tradisi lama, kelompok ini sudah mulai berinteraksi dengan masyarakat.

2. Berpisang Cangko atau Bercocok Tanam

Berpisang Cangko merujuk kepada kegiatan bercocok tanam yang dilakukan Suku Anak Dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mulai beradaptasi dengan pola hidup agraris dan tidak hanya bergantung pada hasil berburu.

3. Beratap Tikai atau Beratap Daun Kayu

Beratap Tikai merujuk pada rumah atau tempat tinggal Suku Anak Dalam. Rumah-rumah yang mereka tinggali bersifat sederhana, hanya memanfaatkan bahan dari alam seperti daun dan kayu yang digunakan untuk pondasi dan atap rumah.

4. Berdinding Baner

Rumah yang ditinggali Suku Anak Dalam biasanya terbuat dari dinding kulit kayu hutan yang biasa disebut dengan istilah Baner.

5. Melemak Buah Betatal

Melemak Buah Betatal berarti mengolah buah betatal sebagai sumber makanan. Buah Betatal merupakan jenis buah hutan yang dijadikan sebagai bahan makan yang mengandung minyak dan lemak nabati.

6. Minum Air dari Bonggol Kayu

Untuk mendapatkan sumber mata air, Suku Anak Dalam biasanya meminum air yang keluar dari pohon. Selain untuk menghilangkan dahaga, minum air dari bonggol kayu ini dipercaya memiliki khasiat sebagai obat.

Tradisi dan Kebudayaan Suku Anak Dalam

Melansir situs detikSumbagsel, berikut beberapa tradisi dan kebudayaan yang berlaku di masyarakat Suku Anak Dalam:

1. Budaya Melangun

Budaya Melangun adalah tradisi masyarakat Suku Anak Dalam yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan dalam masa berkabung. Dalam tradisi ini, mereka meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke wilayah lain untuk menenangkan diri selama masa duka.

Dahulu, Melangun bisa berlangsung selama 10 hingga 12 tahun, namun kini masyarakat Suku Anak Dalam hanya melakukan Budaya Melangun selama 4 bulan hingga 1 tahun.

2. Seloko dan Mantera

Seloko dan Mantera merupakan aturan adat dan pedoman hidup untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Seloko menjadi prinsip dan moral kehidupan yang mereka percaya.

Contohnya seperti ungkapan, “Di mano bumi dipijak di situ langit dijunjung” yang memiliki arti di mana kita berada, selalu ada adat yang kita junjung tinggi, kita dituntut untuk menyesuaikan diri.

3. Besale

Besale merupakan upacara adat yang dilakukan dengan duduk bersama-sama meminta permohonan kepada tuhan untuk diberi kedamaian dan kesehatan, serta dilindungi dari bahaya.

Selain itu, Besale juga dilakukan sebagai upcara pengobatan atau tolak bala. Upacara ini dilakukan pada malam hari, dilengkapi dengan sesajen yang terdiri dari kemenyan, bunga, dan sajen perkawinan.

(fem/fem)

Sumber : travel.detik.com

Alhamdulillah اللهم صلّ على رسول الله محمد wisata mobil
image : unsplash.com / Thomas Tucker

Apa Itu Fasakh? Ini Pengertian dan Penyebabnya dalam Islam


Jakarta

Setiap pasangan suami istri tentu menginginkan pernikahan yang langgeng dan harmonis hingga akhir hayat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perjalanan rumah tangga, terkadang muncul masalah dan ketidakcocokan yang dapat berujung pada perceraian.

Dalam fikih Islam, perceraian tidak hanya terjadi melalui talak yang dijatuhkan oleh suami, tetapi juga dapat dilakukan melalui fasakh. Fasakh menjadi salah satu bentuk pembatalan pernikahan yang diakui dalam hukum Islam dengan alasan tertentu yang sah secara syariat.

Lantas, apa itu fasakh sebenarnya?


Pengertian Fasakh

Fasakh merupakan salah satu bentuk pembatalan pernikahan yang diakui dalam fikih Islam. Mengutip buku Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari oleh Muh. Hambali, secara bahasa, fasakh berarti “rusak” atau “putus,” yang merujuk pada terhentinya hubungan pernikahan antara suami dan istri.

Secara istilah, fasakh adalah pembatalan nikah berdasarkan dakwaan istri dengan syarat dan sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam. Dalam hal ini, keputusan untuk mengakhiri pernikahan bukan berasal dari suami, melainkan dari pihak istri yang mengajukan permohonan kepada pengadilan.

Berbeda dengan talak yang bisa dijatuhkan secara langsung oleh suami secara lisan, fasakh hanya dapat diputuskan oleh hakim atau pengadilan agama. Hal ini menunjukkan proses fasakh memiliki dasar hukum yang kuat dan harus melalui pertimbangan serta bukti yang sah.

Selain itu, perceraian melalui fasakh memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dengan talak biasa. Jika pasangan ingin rujuk setelah fasakh, mereka tidak dapat kembali begitu saja, melainkan harus melangsungkan akad nikah baru dengan mahar dan syarat yang sah.

Hukum fasakh dalam Islam bersifat mubah, artinya diperbolehkan, tidak diperintahkan, dan tidak pula dilarang. Namun, pelaksanaannya sangat bergantung pada kondisi rumah tangga dan alasan yang diajukan, sehingga fasakh menjadi solusi bagi istri dalam situasi pernikahan yang sudah tidak dapat dipertahankan.

Penyebab Fasakh dalam Pernikahan

Mengutip buku Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita karya Abdul Syukur al-Azizi, fasakh hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.

Berbeda dengan talak yang bisa dilakukan tanpa sebab tertentu, fasakh memerlukan dasar yang kuat dan bukti yang jelas. Adapun beberapa penyebab terjadinya fasakh antara lain sebagai berikut:

1. Tidak Ada Kesetaraan

Fasakh dapat terjadi jika antara suami dan istri tidak memiliki kesetaraan atau kesepadanan (kufu’) dalam pernikahan. Ketidaksepadanan ini dapat mencakup perbedaan dalam hal agama, nasab, status sosial, penghasilan, atau kehormatan, terutama dalam aspek keagamaan yang dikhawatirkan dapat menjauhkan salah satu dari ajaran Islam.

2. Adanya Aib atau Cacat pada Pasangan

Jika salah satu pihak memiliki aib atau cacat yang menghalangi kehidupan rumah tangga yang normal, fasakh dapat diajukan. Misalnya, suami menderita penyakit kronis, gangguan mental, lemah syahwat, atau memiliki kondisi fisik yang tidak wajar sehingga menimbulkan mudarat bagi pasangan.

3. Tidak Diberi Nafkah oleh Suami

Seorang istri berhak mengajukan fasakh jika suami tidak memenuhi kewajibannya dalam memberikan nafkah, baik nafkah lahir maupun batin. Termasuk juga ketika suami menolak melunasi mahar atau bersikap lalai terhadap tanggung jawabnya, padahal Allah SWT memerintahkan agar suami istri saling menjaga dan memenuhi hak satu sama lain.

4. Salah Satu Pihak Pindah Agama

Apabila salah satu pasangan keluar dari Islam (murtad) sementara yang lain tetap beriman, maka pernikahan mereka dapat difasakh. Hal ini karena perbedaan akidah menjadi penghalang utama dalam ikatan pernikahan menurut hukum Islam.

5. Adanya Hak Khiyar (Pilihan untuk Membatalkan)

Khiyar memberi hak kepada salah satu pihak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan pernikahan apabila ditemukan hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan rumah tangga. Jika situasi tersebut menimbulkan mudarat yang berat, istri atau suami berhak memutuskan hubungan melalui fasakh.

6. Cacat pada Akad Nikah

Fasakh juga wajib dilakukan bila ditemukan adanya cacat atau ketidaksahan dalam akad nikah. Misalnya, akad dilakukan tanpa saksi yang sah atau tidak memenuhi rukun dan syarat pernikahan sebagaimana ditetapkan oleh syariat.

7. Terbukti Bersaudara Sepersusuan

Dalam Islam, menikah dengan saudara sepersusuan termasuk pernikahan yang haram karena memiliki hubungan mahram. Apabila setelah menikah diketahui bahwa pasangan adalah saudara sepersusuan, maka pernikahan tersebut wajib dibatalkan melalui fasakh.

Wallahu a’lam.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Suami Menceraikan Istri yang Sedang Hamil? Ini Hukum dan Dalilnya


Jakarta

Pernikahan bukan hanya penyatuan antara dua insan, tetapi juga merupakan perjanjian suci yang melibatkan Allah SWT. Ikatan ini dibangun atas dasar cinta, tanggung jawab, dan komitmen untuk saling menjaga dalam suka maupun duka.

Namun dalam perjalanan rumah tangga, tidak semua pasangan mampu mempertahankan hubungan hingga akhir hayat. Perselisihan, ketidakharmonisan, atau perbedaan prinsip sering kali menjadi penyebab berakhirnya ikatan tersebut melalui perceraian.

Menariknya, dalam beberapa kasus, perceraian justru terjadi ketika sang istri sedang mengandung. Kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan umat Islam tentang apakah talak saat hamil diperbolehkan? Bagaimana hukum cerai saat sedang hamil menurut syariat Islam?


Hukum Talak Saat Sedang Hamil

Dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man Hasan, dijelaskan bahwa jumhur ulama sepakat hukum cerai saat istri hamil adalah mubah atau boleh. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal menyebut jenis perceraian ini sebagai bentuk talak yang sesuai dengan syariat.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda,

“Kemudian, ceraikanlah ia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi dasar bahwa menjatuhkan talak pada istri yang sedang mengandung diperbolehkan dalam Islam dan tidak termasuk kategori cerai yang dilarang.

Apabila seorang istri diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya akan berakhir ketika ia melahirkan anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat At-Thalaq ayat 4,

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا ۝٤

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

Hak dan Kewajiban Istri yang Diceraikan

Dalam jurnal Iddah dan Ihdad dalam Islam karya Abdul Moqsith disebutkan bahwa perempuan yang ditalak memiliki hak untuk memperoleh tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, serta kebutuhan hidup lainnya dari mantan suaminya.

Rasulullah SAW pun menegaskan hal tersebut melalui sabdanya yang menjelaskan kewajiban suami terhadap istri yang masih berada dalam masa iddah.

“Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”

Selama menjalani masa iddah, seorang wanita tidak diperbolehkan menerima lamaran dari laki-laki lain, baik secara langsung maupun melalui sindiran (ta’ridh). Larangan ini berlaku hingga ia melahirkan dan tetap harus dipatuhi sesuai ketentuan syariat.

Selain itu, wanita yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperkenankan keluar rumah kecuali untuk keperluan yang mendesak. Ketentuan ini disepakati oleh para ulama fiqih, seperti Imam Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Layts.

Dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Muhammad Zaenal Arifin, dijelaskan bahwa masa iddah memiliki beberapa konsekuensi yang dianggap kurang menguntungkan bagi suami, misalnya larangan menikahi perempuan kelima jika masih memiliki empat istri. Sebab, wanita yang berada dalam masa iddah masih berstatus sebagai istri sah, dan baru setelah masa iddah berakhir, sang suami diperbolehkan menikahi perempuan lain yang halal baginya.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Hukum Talak Saat Marah dalam Islam, Apakah Sah?


Jakarta

Ketika menikah, setiap pasangan tentu berharap agar pernikahan tersebut menjadi pernikahan yang langgeng dan penuh kebahagiaan. Namun, dalam perjalanan rumah tangga, tak jarang muncul tantangan yang membuat pasangan suami-istri tidak sejalan dalam pandangan dan sikap terhadap suatu hal.

Perbedaan pendapat yang tidak diselesaikan dengan tenang sering kali berujung pada pertengkaran dan luapan emosi. Dalam kondisi seperti ini, kata-kata bisa meluncur tanpa kendali, termasuk ucapan talak yang diucapkan dalam keadaan marah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan yang kerap muncul di benak banyak orang: bagaimana hukum talak yang diucapkan saat sedang marah dan emosi? Apakah talak tersebut tetap sah di mata Islam, atau justru tidak dianggap karena diucapkan tanpa kesadaran penuh?


Hukum Talak Saat Emosi

Dikutip dari website resmi Kementerian Agama, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan marah atau emosi. Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi tersebut tetap sah dan memiliki kekuatan hukum.

Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Zainuddin al-Malibari dari mazhab Syafi’i, yang menjelaskan bahwa talak orang yang marah tetap dianggap sah selama ia masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب

Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah itu tetap jatuh, meskipun ia mengklaim bahwa kesadarannya hilang karena marah.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in [Semarang, Thoha Putra: t.t], halaman 112).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa talak yang diucapkan suami dalam keadaan marah berat atau emosi yang memuncak tidak dianggap sah. Alasannya, pada tingkat kemarahan tersebut, seseorang tidak lagi sepenuhnya sadar terhadap ucapan dan tindakannya.

Kondisi ini bahkan disamakan dengan keadaan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi saat kambuh.

وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون. وفي معناه المغمى عليه، والنائم، والمكرَه

Artinya: “Empat orang yang penyataan talaknya dianggap tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila – termasuk di dalamnya adalah penderita epilepsi-, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa”. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib, [Semarang, Thoha Putra: t.t] halaman 48).

Tingkat Kemarahan Suami Saat Mengucap Talak

Masih mengutip dari laman Kemenag, Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2003), juz IV, halaman 262, menjelaskan bahwa tingkat kemarahan seorang suami saat mengucapkan talak dibagi menjadi tiga.

Pertama, marah tingkat awal, yaitu ketika seseorang mulai marah namun masih mampu mengendalikan diri dan menyadari setiap ucapannya. Dalam kondisi ini, talak yang diucapkan tetap sah karena dilakukan dalam keadaan sadar.

Kedua, marah tingkat puncak, yakni saat emosi telah memuncak hingga menghilangkan akal dan kesadaran. Orang dalam kondisi ini disamakan dengan orang gila, sehingga talaknya tidak sah dan tidak berlaku.

Ketiga, marah tingkat pertengahan, yaitu ketika kemarahan sudah tinggi dan membuat seseorang keluar dari kebiasaannya, tetapi belum sampai kehilangan kesadaran. Dalam kondisi ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya tetap sah, karena pelaku masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

Menentukan tingkat kemarahan suami saat mengucapkan talak perlu dilakukan dengan penilaian yang objektif melalui bukti, saksi, serta pertimbangan pihak berwenang seperti petugas KUA atau tokoh agama agar keputusan sesuai dengan syariat.

Cara Menahan Amarah dalam Islam

Emosi yang tidak terkendali dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan bertindak rasional. Dalam konteks pernikahan, hal ini bisa memicu pertengkaran yang berujung pada retaknya hubungan suami-istri.

Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan untuk menahan amarah dan tidak mengambil keputusan saat emosi memuncak. Islam pun mengajarkan umatnya untuk mengendalikan amarah sebagai bentuk menjaga diri dan keharmonisan rumah tangga.

Menurut Buku Ajar Akidah Akhlak karya Syafiuddin dan Machnunah Ani Zulfah, salah satu cara menahan amarah dalam Islam adalah dengan beristighfar. Dalam menghadapi tantangan rumah tangga, seperti perbedaan pendapat atau kesalahpahaman dengan pasangan, beristighfar membantu menenangkan hati agar tidak terbawa emosi.

Cara kedua adalah menahan diri dari melampiaskan kemarahan. Rasulullah SAW pernah memberi wasiat agar seseorang tidak marah, dan hal ini sangat relevan dalam pernikahan, karena kemampuan menahan diri dapat mencegah ucapan atau tindakan yang bisa melukai pasangan.

Ketiga, amarah juga bisa diredam dengan berwudhu, karena wudhu menyucikan diri dari emosi negatif dan menurunkan panas hati. Dalam kehidupan rumah tangga, berwudhu sebelum melanjutkan pembicaraan dapat membantu suami-istri berpikir lebih jernih dan bijak dalam menyelesaikan masalah.

Cara keempat adalah berdiam diri dan membaca ta’awudz ketika marah. Dengan diam, seseorang dapat menghindari kata-kata yang memperkeruh suasana, dan dengan membaca ta’awudz, ia memohon perlindungan Allah SWT agar setan tidak memperbesar konflik dalam rumah tangga.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Pengertian, Hukum dan Dampak Sosialnya



Jakarta

Pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dalam kehidupan manusia. Para ulama fikih mendefinisikan pernikahan sebagai kepemilikan sesuatu melalui jalan yang disyariatkan dalam agama dengan tujuan menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan serta memelihara keturunan manusia.

Dalam pernikahan di mata Islam, terdapat beberapa jenis, salah satunya adalah nikah tahlil. Lantas, apa itu nikah tahlil dan bagaimana hukumnya dalam Islam?


Pengertian Nikah Tahlil

Mengutip buku 150 Masalah Nikah dan Keluarga karya Miftah Faridl, nikah tahlil adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita yang telah bercerai untuk sementara waktu, kemudian diceraikan kembali. Tujuan dari pernikahan ini adalah agar wanita tersebut menjadi halal untuk dinikahi kembali oleh mantan suami pertamanya.

Secara etimologi, kata tahlil berarti mencarikan jalan halal atau membuat sesuatu menjadi diperbolehkan. Oleh karena itu, nikah tahlil sering disebut juga dengan istilah nikah muhalil, yang mengandung makna mencari jalan agar mantan pasangan dapat kembali bersama secara sah.

Dalam praktiknya, laki-laki yang melakukan nikah tahlil disebut muhalil, sedangkan wanita yang dicarikan jalan halal untuk kembali kepada mantan suaminya disebut muhallal. Istilah-istilah ini digunakan untuk membedakan peran masing-masing pihak dalam pelaksanaan nikah tahlil menurut pandangan fikih Islam.

Hukum Nikah Tahlil di Kalangan Ulama

Jumhur ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, sepakat bahwa nikah tahlil yang dilakukan dengan syarat atau kesepakatan sebelumnya adalah batal. Kesepakatan tersebut dianggap menyalahi tujuan pernikahan yang sesungguhnya, karena menjadikan akad nikah sebagai sarana rekayasa hukum, bukan sebagai ikatan yang sah dan tulus.

Imam Malik berpendapat bahwa nikah muhallil yang dilakukan dengan syarat agar wanita bisa kembali kepada suami pertamanya harus difasakh atau dibatalkan. Menurut beliau, pernikahan seperti ini tidak memenuhi maqasid pernikahan dalam Islam yang menekankan keikhlasan dan keabadian hubungan suami istri.

Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika seorang laki-laki menikahi wanita dengan niat tahlil, lalu di tengah jalan ia berniat mempertahankan pernikahan itu, maka ia harus menceraikannya dan melakukan akad baru. Pandangan ini menunjukkan bahwa pernikahan yang diawali dengan niat rekayasa hukum tidak dapat dianggap sah tanpa pembaruan akad yang tulus.

Ibrahim An-Nakha’i berpendapat bahwa nikah tahlil tidak diperbolehkan, kecuali jika dilakukan karena keinginan yang tulus untuk berumah tangga. Apabila salah satu pihak, baik suami pertama, suami kedua, maupun pihak perempuan, memiliki niat untuk menghalalkan hubungan dengan suami pertama, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah.

Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa nikah tahlil batal apabila syaratnya disebutkan saat akad nikah berlangsung. Beliau mengqiyaskan praktik ini dengan nikah mut’ah, karena keduanya memiliki kesamaan dalam unsur sementara dan bertentangan dengan prinsip pernikahan yang langgeng dalam Islam.

Menurut Mazhab Maliki dan Hanbali, nikah tahlil tetap haram dan batal meskipun tanpa adanya syarat yang diucapkan secara eksplisit. Selama niatnya hanya untuk menjadikan wanita tersebut halal bagi suami pertamanya, maka akad tersebut dianggap tidak sah dan tidak membuat wanita itu halal kembali bagi mantan suaminya.

Dalil pengharaman nikah tahlil diperkuat dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, bahwa Rasulullah bersabda,

اال اخبركم بالتى المستعار؟ هو المحلل لعن هللا المحلل
والمححلل له.

Artinya: Maukah kalian aku beri tahu mengenai kemaluan kambing yang dipinjam? “Dia adalah yang melakukan nikah tahlil Allah melaknat orang yang menghalalkan dan orang yang dihalalkan.”

Dampak Sosial Praktik Nikah Tahlil

Dikutip dari jurnal Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Nikah Tahlil oleh Aulia Diningrum, dkk, berikut ini adalah dampak sosial dari praktik nikah tahlil dalam masyarakat.

1. Merendahkan Martabat Pernikahan

Nikah tahlil menjadikan pernikahan yang seharusnya sakral dan penuh nilai ibadah sebagai sarana rekayasa hukum semata. Hal ini bertentangan dengan tujuan pernikahan dalam Islam yang menekankan keharmonisan, cinta, dan ketenangan dalam rumah tangga.

2. Melanggar Prinsip Keabsahan Pernikahan

Praktik nikah tahlil dilakukan dengan niat yang tidak tulus dan bertentangan dengan hukum Islam. Akad yang didasarkan pada niat sementara atau rekayasa hukum menjadikan pernikahan tersebut batal dan tidak sah menurut syariat.

3. Menyebabkan Eksploitasi terhadap Perempuan

Dalam praktik nikah tahlil, perempuan sering menjadi pihak yang dirugikan karena dijadikan objek untuk menghalalkan hubungan dengan suami pertama. Hal ini menurunkan martabat perempuan dan bertentangan dengan prinsip keadilan serta perlindungan terhadap hak-hak wanita dalam Islam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Adab Istri terhadap Suami Menurut Ajaran Islam


Jakarta

Ketika terikat melalui perkawinan, seorang suami dan istri diharuskan memenuhi hak dan kewajibannya. Istri memiliki kewajiban dalam rumah tangga termasuk yang berkaitan dengan adab terhadap suami.

Mengenai adab istri terhadap suami, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, halaman 442) menjelaskan tentang adab istri terhadap suami sebagai berikut:

آداب المرأة مع زوجها: دوام الحياء منه، وقلة المماراة له، ولزوم الطاعة لأمره، والسكون عند كلامه، والحفظ له في غيبته، وترك الخيانة في ماله، وطيب الرائحة، وتعهد الفم ونظافة الثوب، وإظهار القناعة، واستعمال الشفقة، ودوام الزينة، وإكرام أهله وقرابته، ورؤية حاله بالفضل، وقبول فعله بالشكر، وإظهار الحب له عند القرب منه، وإظهار السرور عند الرؤية له..


Artinya: “Adab istri terhadap suami, yakni: selalu merasa malu, tidak banyak mendebat, senantiasa taat atas perintahnya, diam ketika suami sedang berbicara, menjaga harta suami, menjaga badan tetap berbau harum, mulut berbau harum dan berpakaian bersih, menampakkan qana’ah, menampilkan sikap belas kasih, selalu berhias, memuliakan kerabat dan keluarga suami, melihat kenyataan suami dengan keutamaan, menerima hasil kerja suami dengan rasa syukur, menampakkan rasa cinta kepada suami kala berada di dekatnya, menampakkan rasa gembira di kala melihat suami.”

Syaikh Khalid Abdurrahman Al-‘Ak dalam bukunya Adab Berumah Tangga Sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah menjelaskan ada tiga poin adab penting yang harus dimiliki seorang istri. Apa saja itu? Berikut rinciannya.

1. Akhlak Istri dalam Berperilaku

  • Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suami.
  • Istri taat dan patuh terhadap suami.
  • Mengatur rumah tangga dengan baik.
  • Istri bergaul baik dengan keluarga suami.
  • Selalu hemat dan suka menabung.
  • Tidak keluar rumah tanpa izin suami.
  • Usahakan tidak membebani suami dengan banyak menuntut.
  • Bersikap selalu santun dan sabar.
  • Menerima kesalahan suami dengan bersikap lemah lembut.
  • Jauhkan diri dari hal yang menyulitkan suami.
  • Tidak bermuka asam di depan suami.
  • Bersikap sopan dan penuh senyum kepada suami.
  • Ridha dan bersyukur atas pemberian suami.
  • Jangan terlalu cemburu.
  • Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disukai suami.
  • Menerima apapun kondisi dan rezeki yang diberikan suami.
  • Menjaga suaminya baik saat keluar rumah maupun di dalam rumah.
  • Tidak boleh berpuasa sunnah tanpa izin suami.
  • Tidak mengkhianati suami.
  • Bersalaman ketika suami hendak bekerja dan pulang kerja.

2. Akhlak Istri dalam Bertutur Kata

Ketika berbicara hendaknya selalu bertutur kata dengan lemah lembut, sehingga dapat menarik hati sang suami. Perkataan yang halus dan lembut dapat mendorong suami untuk menjaga keutuhan serta keharmonisan rumah tangga.

Sebab, perkataan yang lembut dan manis akan membuat hubungan rumah tangga semakin erat. Hal ini tidak hanya berlaku untuk istri, melainkan suami juga harus bertutur kata lemah lembut.

3. Akhlak Istri dalam Bergaul dengan Suami

  • Berdandan dan mengenakan wewangian ketika hendak tidur, menyikat gigi, jangan sampai mulut berbau tidak sedap.
  • Bersolek ketika suami berada di rumah, bukan hanya ketika pergi keluar rumah.
  • Tidak boleh menolak ajakan suami.
  • Saat ingin melakukan hubungan, keduanya harus menutup aurat. Maka hendaklah keduanya berada di dalam selimut.

(hnh/nwk)



Sumber : www.detik.com