Tag Archives: polutan

Polusi yang Tak Berkesudahan di India



Delhi

New Delhi konsisten menduduki peringkat di antara ibu kota paling tercemar di dunia, dengan kabut asap pekat menyelimuti cakrawala setiap musim dingin. Udara yang lebih dingin memerangkap polutan di dekat tanah, menciptakan campuran emisi mematikan dari pembakaran lahan, pabrik, dan lalu lintas yang padat.

Selama beberapa hari terakhir, udara di Delhi dan kota-kota sekitarnya berada di antara kategori ‘buruk’ dan ‘sangat buruk’. Polusi meningkat minggu ini setelah kembang api diluncurkan selama berhari-hari untuk memperingati Diwali, festival cahaya Hindu, yang membuat kadar PM2.5 mencapai lebih dari 56 kali batas.

Dilansir dari BBC, Jumat (24/10/2025) media melaporkan bahwa ini adalah kualitas udara pasca Diwali terburuk yang pernah dialami kota ini dalam empat tahun terakhir. Dan penyebab polusi selalu oleh masalah yang sama, meskipun tahun ini banyak laporan yang saling bertentangan.


Laporan media India, mengutip sebuah perusahaan riset iklim, menyebutkan telah terjadi penurunan 77% dalam insiden pembakaran jerami tahun ini karena banjir besar yang sebelumnya menghancurkan sebagian besar tanaman di wilayah tersebut. Perusahaan tersebut menyalahkan petasan sebagai penyebab utama buruknya udara Delhi selama periode perayaan.

Namun, data resmi dari Punjab menunjukkan hal yang berbeda. Menurut badan pengendalian polusi regional, insiden pembakaran jerami di negara bagian tersebut telah meningkat tiga kali lipat dalam 10 hari terakhir, dengan lebih dari 350 kasus dilaporkan, naik dari hanya 116 yang tercatat hingga 11 Oktober.

Beberapa tahun terakhir, pihak berwenang telah meluncurkan kampanye terarah untuk menyoroti dampak buruk pembakaran jerami dan mempromosikan penggunaan mesin sebagai alternatif. Dan upaya-upaya ini telah menunjukkan beberapa hasil di lapangan.

Misalnya, kebakaran lahan di Punjab turun menjadi 10.909 kasus tahun lalu dibandingkan dengan 36.663 kasus pada tahun 2023. Meskipun menurun, hal ini terus berlanjut karena alasan sederhana yaitu keterjangkauan. Pembakaran jerami tetap menjadi cara termurah untuk membersihkan lahan.

Penyumbang utama polusi Delhi lainnya pada musim ini adalah petasan. Beberapa hari sebelum festival Diwali, pengadilan tinggi India melonggarkan larangan lima tahun atas penjualan dan peledakan petasan di Delhi dan sekitarnya.

Pengadilan mengizinkan penggunaan ‘petasan hijau’ yang kurang berpolusi selama enam jam selama dua hari selama festival. Para ahli mengkritik perintah tersebut dengan mengatakan bahwa ‘petasan hijau’ hanya 20- 30% lebih rendah polusinya dan tetap melepaskan partikel berbahaya yang menurunkan kualitas udara.

Selain itu, kenyataan di lapangan jauh dari yang diamanatkan pengadilan dan pembatasan tersebut dilanggar secara terbuka.

Udara tercemar yang mau tak mau dihirup, membuat warga mengeluh batuk, mata berair, dan sesak napas. Dokter mengatakan paparan jangka panjang secara bertahap melemahkan pertahanan alami tubuh, membuat orang lebih rentan terhadap berbagai penyakit serius.

Atasi polusi dengan hujan buatan

Dilansir dari France24, pemerintah kota New Delhi bekerja sama dengan Institut Teknologi India Kanpur meluncurkan uji coba pada Kamis sore menggunakan pesawat ringan Cessna di atas wilayah Burari di utara kota. Mereka melakukan penyemaian awan untuk memicu hujan.

“Penerbangan uji coba penyemaian telah dilakukan… di mana suar penyemaian awan ditembakkan. Penerbangan ini merupakan uji coba untuk memeriksa kemampuan penyemaian awan, kesiapan dan daya tahan pesawat, penilaian kemampuan perlengkapan dan suar penyemaian awan, serta koordinasi antar semua instansi terkait,” ujar Menteri Delhi, Manjinder Singh Sirsa, dalam sebuah pernyataan, Kamis malam.

Hal ini dilakukan menjelang peluncuran skema yang direncanakan. Kepala Menteri Delhi, Rekha Gupta, mengatakan bahwa jika kondisi tetap kondusif, Delhi akan mengalami hujan buatan pertamanya pada 29 Oktober.

Belum jelas bahan kimia apa yang digunakan dalam uji coba untuk memicu hujan tersebut.

(sym/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Polusi Mikroplastik Tingkatkan Resistensi Antimikroba


Jakarta

Kontaminasi mikroplastik yang berlebihan dapat memicu antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antimikroba. Sebuah penelitian baru mengungkap, masalah ini semakin meningkat di seluruh dunia.

Laporan yang diterbitkan dalam The Journal of Hazardous Materials menemukan bahwa plastik berperan sebagai wadah bagi biofilm, komunitas bakteri dan mikroba lain yang menempel pada permukaannya. Biofilm ini dapat mempercepat penyebaran resistensi obat dengan menciptakan lapisan pelindung yang menghalangi masuknya antibiotik ke dalam mikroba, dan membantu gen resistensi untuk bertransmisi lebih mudah dalam komunitas biofilm.


Plastik menjadi masalah bagi AMR

Laporan tersebut memperingatkan bahwa plastik dapat berperan dalam mendorong pengembangan dan penularan AMR sepanjang seluruh siklus hidupnya. Selama ekstraksi bahan baku untuk industri bahan bakar fosil, termasuk minyak mentah, gas alam, dan batu bara, biosida digunakan untuk mencegah bakteri mengkolonisasi pipa dan peralatan pengangkut minyak atau cairan tambang.

Bahan kimia ini dapat terlepas secara tidak sengaja ke lingkungan, memicu AMR di area yang terdampak tumpahan. Paparan mikroba terhadap konsentrasi biosida yang dapat memicu munculnya resistensi dan penyebaran gen resistensi dalam komunitas biofilm.

Demikian pula, zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan kualitas plastik dalam industri kemasan dapat mendorong pertumbuhan mikroba yang resistan terhadap antibiotik, terutama pada orang yang terpapar bahan kimia yang larut dari kemasan makanan melalui saluran pencernaan atau pernapasan.

Makanan panas, misalnya, meningkatkan pelarutan logam berat dari plastik, yang beberapa di antaranya dapat membantu pertumbuhan mikroba yang resistan. Kekhawatiran utamanya adalah partikel plastik kecil ini bertindak sebagai permukaan bagi mikroorganisme untuk menempel dan membentuk biofilm.

“Di dalam biofilm ini, bakteri dapat secara selektif mengakumulasi gen resistensi antimikroba dan spesies patogen, menciptakan ekosistem mikroba unik yang berbeda dari perairan di sekitarnya,” kata Keerthi Guruge, ilmuwan dari National Agricultural and Food Research Organization (NARO) Jepang, dikutip dari Nature.

Tahapan lain dalam siklus hidup plastik juga dapat menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi mikroba yang resistan terhadap obat, termasuk tempat pembuangan sampah dan pabrik daur ulang plastik. TPA mengakumulasi kontaminan kimia, dan curah hujan yang tinggi dapat menyebarkannya ke tanah dan air tanah di sekitarnya, menciptakan reservoir mikroba AMR.

“Pada tahap ini, sangat sulit untuk mengukur kontribusi relatif mikroplastik dalam mendorong evolusi dan penyebaran AMR,” kata Emily Stevenson dari University of Exeter Medical School di Inggris, yang turut menulis laporan tersebut.

“Yang kami ketahui adalah bahwa mikroplastik dan entitas AMR seperti gen, bakteri, patogen, dan residu antibiotik hidup berdampingan di beberapa kompartemen lingkungan, terutama air limbah, limbah padat, dan pelarutan TPA,” tambahnya.

Mikroba menyukai plastik

Mikroplastik telah menjadi masalah polusi global. Mikroplastik mengapung di laut, sungai, danau, dan bahkan di air minum. Sebuah tinjauan tentang mikroplastik dan AMR dalam sistem perairan yang ditulis oleh Guruge dan rekan-rekannya, dan diterbitkan di NanoImpact pada Mei 2025, melaporkan bahwa gen yang resistan terhadap antibiotik lebih kaya pada mikroplastik dibandingkan pada substrat non-plastik.

Kesimpulannya adalah bahwa mikroplastik dapat secara selektif mendorong pertumbuhan mikroorganisme patogen dan berperan sebagai pembawa resistensi antibiotik di lingkungan perairan. Kombinasi mikroplastik dengan polutan lain dalam sistem air tawar dapat semakin meningkatkan potensi dampaknya terhadap kesehatan, demikian peringatan laporan tersebut.

“Kekhawatiran utamanya adalah partikel plastik kecil ini bertindak sebagai permukaan bagi mikroorganisme untuk menempel dan membentuk biofilm,” kata Guruge.

“Di dalam biofilm ini, bakteri dapat secara selektif mengakumulasi gen resistensi antimikroba dan spesies patogen, menciptakan ekosistem mikroba unik yang berbeda dari perairan di sekitarnya,” tambahnya.

Pada 2023, sekitar satu dari enam infeksi bakteri yang dikonfirmasi laboratorium di seluruh dunia disebabkan oleh strain yang resistan terhadap antibiotik. Penelitian ini menjelaskan bagaimana plastik yang dilapisi biofilm ini dapat terkumpul dalam ‘plastiome’, menyebarkan kuman dan gen berbahaya yang membuat infeksi lebih sulit diobati.

Mikroplastik yang tahan lama dan mudah bergerak dapat membawa bakteri dan gen yang resistan terhadap obat lintas batas, dari darat ke laut, bahkan ke dalam rantai makanan. Baik AMR maupun mikroplastik merupakan tantangan lingkungan dan kesehatan masyarakat global.

“Interaksi keduanya dapat membuat keduanya lebih berbahaya jika digabungkan daripada jika dipisahkan,” ujar Guruge.

Beberapa negara berisiko lebih tinggi

Penelitian tentang hubungan antara mikroplastik dan AMR masih dalam tahap awal, dengan studi yang sejauh ini dilaporkan dari Jepang, China, dan beberapa negara Eropa. Namun, karena mikroplastik tersebar secara global, dari Arktik hingga sedimen laut dalam, kemungkinan besar masalah ini tersebar luas di semua wilayah.

Negara-negara berkembang mungkin sangat rentan, karena terbatasnya fasilitas pengolahan air limbah dan infrastruktur pengelolaan limbah meningkatkan risiko pencemaran mikroplastik dan penyebaran mikroba resistan yang tidak terkendali.

Para ahli yang menangani AMR menyoroti meningkatnya ancaman di negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah. Laporan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia WHO tentang AMR menggemakan kekhawatiran ini.

Berdasarkan lebih dari 23 juta infeksi yang dikonfirmasi secara bakteriologis di 104 negara, dan perkiraan resistensi terhadap 22 antibiotik terhadap delapan patogen bakteri umum, ditemukan bahwa pada 2023, sekitar satu dari enam infeksi bakteri yang dikonfirmasi laboratorium di seluruh dunia disebabkan oleh strain yang resistan terhadap antibiotik.

Resistensi tertinggi terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Mediterania Timur (hampir satu dari tiga infeksi), diikuti oleh Kawasan Afrika (satu dari lima), semuanya di atas median global. Resistensi lebih rendah di Kawasan Eropa (satu dari sepuluh) dan terendah di Kawasan Pasifik Barat (satu dari sebelas), menunjukkan disparitas regional yang lebar.

Mengingat AMR dan mikroplastik hidup berdampingan di tempat pembuangan sampah dan air limbah, hal ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, mengingat mikroplastik dapat memengaruhi beban, persistensi, dan penyebaran AMR.

Artinya, di wilayah dunia yang pengelolaan limbahnya kurang efektif, mungkin terdapat lebih banyak kontaminan, dan karenanya bebannya mungkin lebih besar.

“Di banyak negara berkembang, antibiotik seringkali diresepkan secara berlebihan, terkadang bahkan ketika tidak diperlukan secara medis,” kata Guruge.

Emily Stevenson dari Fakultas Kedokteran University of Exeter menyebutkan, pertahanan terkuat adalah meningkatkan pengelolaan limbah untuk menghentikan masuknya kontaminan ini ke lingkungan sejak awal.

Akses antibiotik yang dijual bebas atau daring semakin memicu penyalahgunaan, menciptakan tekanan selektif yang mendorong bakteri resistan yang membawa gen resistansi antibiotik untuk berkembang biak.

“Ketika air limbah yang tidak diolah atau diolah dengan buruk dari rumah tangga, rumah sakit, dan industri masuk ke lingkungan, air tersebut membawa residu antibiotik dan bakteri resisten,” ujarnya.

“Dikombinasikan dengan keberadaan mikroplastik, yang menyediakan permukaan stabil bagi pertumbuhan mikroba, kondisi ini menciptakan lingkungan ideal untuk amplifikasi dan pertukaran gen resistensi, yang memperburuk krisis AMR,” tambahnya lagi.

Kekhawatiran serupa juga muncul di tempat lain. Misalnya, sebuah studi Jerman baru-baru ini, yang diterbitkan di Nature, mendeteksi jumlah bakteri patogen yang lebih tinggi dalam sampel air Sungai Oder yang terkontaminasi plastik, menggarisbawahi bagaimana polusi dapat mempercepat penyebaran resistensi di ekosistem alami.

Sebagai prioritas, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya mekanisme mikroplastik memengaruhi AMR di lingkungan, serta konsekuensinya bagi manusia dan hewan,. Sejauh ini, mitigasi paling sederhana menurut para peneliti adalah meningkatkan pengelolaan sampah untuk mencegah kontaminan ini memasuki lingkungan sejak awal.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Tak Cuma Air Hujan, Mikroplastik di Mana-mana Sampai Masuk Tubuh Manusia


Jakarta

Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengungkap air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya mungkin mengejutkan. Namun sebenarnya, hal ini tak terlalu mengagetkan, mengingat sudah banyak studi yang memperingatkan bahaya mikroplastik.

Tak hanya ada di air hujan, mikroplastik kini begitu umum sehingga kita minum, makan, dan menghirupnya. Akibatnya, mikroplastik muncul di kotoran, plasenta, organ reproduksi, bahkan otak kita.


Sebuah studi terbaru bahkan menemukan partikel berukuran kurang dari 5 mm yang berasal dari bahan bakar fosil ini, ada di dalam tulang manusia. Sebuah tinjauan baru terhadap 62 studi menunjukkan mikroplastik dan nanoplastik yang lebih kecil memengaruhi kesehatan rangka kita dalam berbagai cara.

“Sejumlah besar penelitian menunjukkan bahwa mikroplastik dapat mencapai jauh ke dalam jaringan tulang, seperti sumsum tulang, dan berpotensi menyebabkan gangguan metabolisme,” kata ilmuwan medis Rodrigo Bueno de Oliveira dari State University of Campinas di Brasil, dikutip dari Science Alert.

Beberapa penelitian pada manusia menemukan bahwa sisa-sisa plastik ini terakumulasi di jaringan tulang melalui darah setelah tertelan. Di sana, penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hal ini dapat menghambat pertumbuhan tulang.

Terlebih lagi, gangguan pada osteoklas, sel yang mendukung pertumbuhan dan perbaikan tulang, dapat menyebabkan melemahnya struktur tulang, membuat tulang yang rusak ini lebih rentan terhadap kelainan bentuk dan patah tulang.

Sumber mikroplastikSumber mikroplastik. Foto: Raubenheimer

“Studi in vitro dengan sel jaringan tulang menunjukkan bahwa mikroplastik mengganggu kelangsungan hidup sel, mempercepat penuaan sel, dan mengubah diferensiasi sel, selain memicu peradangan,” jelas Bueno de Oliveira.

“Dampak buruk yang diamati berpuncak, yang mengkhawatirkan, pada terganggunya pertumbuhan rangka hewan,” ujarnya.

Meskipun hal ini mungkin tidak berdampak pada tulang manusia, terdapat peningkatan prevalensi osteoporosis di seluruh dunia, suatu kondisi ketika tulang menjadi lebih rapuh dan rentan patah. Para peneliti menduga bahwa mikroplastik mungkin menjadi faktor penyebabnya, bersama dengan risiko lain yang telah diketahui seperti konsumsi alkohol dan populasi yang menua.

Namun, para ahli memperingatkan, kita terus meningkatkan ‘bahaya yang tidak disadari’ ini, menghasilkan sedikitnya 400 juta metrik ton plastik setiap tahun, sebuah proses yang menyumbang 1,8 miliar metrik ton gas rumah kaca per tahun.

Selama bertahun-tahun, para peneliti telah meminta lebih banyak sumber daya untuk menyelidiki dampak polutan petrokimia bermasalah ini terhadap tubuh kita. Sementara itu, kita dapat mengurangi paparan terhadap mikroplastik dengan menyaring air minum kita dan membatasi produk plastik, dari pakaian sintetis hingga botol minuman plastik.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Makin Parah, Mikroplastik Sudah Menyusup ke Jaringan Otak Manusia


Jakarta

Polusi plastik tak bisa hilang begitu saja. Mikroplastik, serpihan-serpihan kecil polusi plastik ini, sebelumnya telah muncul di paru-paru manusia, bebatuan purba, feses bayi, dan air minum kemasan. Sebuah studi baru mengungkap sejauh mana mereka juga menyusup ke otak.

Tim ilmuwan internasional mengamati bulbus olfaktorius, massa jaringan otak yang menyerap informasi bau dari hidung, pada 15 manusia yang telah meninggal. Studi mereka menemukan keberadaan mikroplastik pada delapan jasad di antaranya.


Para peneliti sebelumnya telah menemukan mikroplastik dalam gumpalan darah otak, tetapi penelitian yang telah dirilis di JAMA Network Open ini merupakan studi pertama yang dipublikasikan yang mendeteksi material tersebut di jaringan otak yang sebenarnya. Penelitian serupa lainnya kini sedang dalam tahap tinjauan sejawat.

“Meskipun mikroplastik telah terdeteksi di berbagai jaringan manusia, keberadaannya di otak manusia belum terdokumentasikan, sehingga menimbulkan pertanyaan penting tentang potensi efek neurotoksik dan mekanisme yang memungkinkan mikroplastik mencapai jaringan otak,” tulis para peneliti dalam makalah yang mereka terbitkan, dikutip dari Science Alert.

Para peneliti mencatat bahwa partikel dan serat merupakan bentuk yang paling umum, dan polipropilena juga merupakan polimer yang paling umum ditemukan. Polipropilena merupakan salah satu plastik yang paling banyak digunakan, ditemukan dalam berbagai hal mulai dari kemasan hingga suku cadang mobil dan peralatan medis. Ukuran partikelnya berkisar antara 5,5 mikrometer hingga 26,4 mikrometer, tidak lebih dari seperempat lebar rata-rata rambut manusia.

Penelitian sebelumnya menemukan partikel polusi udara masuk ke jalur olfaktorius. Sedangkan penelitian terbaru ini menunjukkan bahwa mikroplastik dapat menggunakan rute yang sama ke otak, melalui lubang-lubang kecil di lempeng cribiform, tepat di bawah bulbus olfaktorius.

“Identifikasi mikroplastik di hidung dan sekarang di bulbus olfaktorius, bersama dengan jalur anatomi yang rentan, memperkuat gagasan bahwa jalur olfaktorius merupakan tempat masuk yang penting bagi partikel eksogen ke otak,” tulis para peneliti.

Terlepas dari semua risiko dan dampak kesehatan ini, kita tampaknya tidak dapat mengurangi ketergantungan kita pada bahan plastik. Meskipun ada upaya berkelanjutan untuk memproduksi plastik yang lebih mudah terurai secara hayati, faktanya produksi plastik telah berlipat ganda dalam 20 tahun terakhir.

Yang belum jelas adalah kerusakan apa yang dapat ditimbulkan oleh mikroplastik ini terhadap kesehatan manusia itu sendiri. Namun yang jelas, peningkatan konsentrasi bahan sintetis di dalam otak bukanlah kabar baik. Kerusakan neuron dan peningkatan risiko gangguan neuronal mungkin terjadi, berdasarkan penelitian terkini.

Ada juga hubungan dengan hidung yang perlu dipertimbangkan. Hubungan antara polusi udara dan masalah kognitif telah diketahui dengan baik, dan jika mikroplastik masuk ke saluran hidung kita, kemungkinan besar keadaan akan menjadi lebih buruk.

“Beberapa penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit Parkinson, tampaknya memiliki hubungan dengan kelainan hidung sebagai gejala awal,” tulis para peneliti.

(rns/afr)



Sumber : inet.detik.com

Polusi Mikroplastik Makin Parah Sampai Ada di Jantung Manusia


Jakarta

Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada Agustus 2023, untuk pertama kalinya mikroplastik ditemukan di jantung manusia dan jaringan terdalamnya. Konsekuensi temuan mikroplastik di jantung terhadap kesehatan manusia masih belum diketahui. Namun studi terbaru ini adalah satu lagi pengingat suram tentang parahnya polusi plastik di dunia.

Dalam sebuah studi, ilmuwan di Rumah Sakit Anzhen Beijing di China mengumpulkan sampel jaringan jantung dari 15 pasien yang menjalani operasi jantung, serta sampel darah yang diambil sebelum dan sesudah operasi.


“Menggunakan sejumlah teknik pencitraan yang berbeda, tim mendeteksi puluhan hingga ribuan potongan mikroplastik di sebagian besar sampel jaringan,” demikian tulis laporan tersebut seperti dikutip dari IFL Science.

Meskipun jelas bahwa proses operasi memang memperkenalkan bahan mikroplastik, ada juga bukti bahwa bahan plastik asing tertanam di jaringan, jauh sebelum pasien dibaringkan di meja operasi.

Sebagai permulaan, semua sampel darah mengandung mikroplastik. Sampel darah yang diambil pasca operasi mengandung mikroplastik dengan ukuran lebih kecil dan memiliki jenis plastik yang lebih beragam. Ini menunjukkan bahwa beberapa mikroplastik masuk ke tubuh selama operasi.

Dari sampel jaringan, para peneliti menemukan sembilan jenis plastik di lima jenis jaringan jantung. Beberapa dari mikroplastik ini ternyata sudah ada sebelum operasi apa pun dilakukan.

Tim mengidentifikasi partikel mikroskopis dari polimetil metakrilat, plastik yang biasa digunakan sebagai bahan alternatif kaca yang tahan pecah, terdapat di pelengkap atrium kiri, jaringan adiposa epikardial, dan jaringan adiposa perikardial. Menurut mereka, temuan microplastik tersebut tidak dapat dikaitkan dengan paparan yang tidak disengaja selama operasi.

Jenis plastik lain yang ditemukan dalam sampel termasuk polietilen tereftalat, yang banyak digunakan dalam wadah pakaian dan makanan, dan polivinil klorida yang meresap dalam bangunan dan konstruksi.

“Pendeteksian mikroplastik (MP) in vivo mengkhawatirkan, dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menyelidiki bagaimana MP memasuki jaringan jantung dan efek potensial MP pada prognosis jangka panjang setelah operasi jantung,” kata penulis dalam kesimpulan mereka.

Mikroplastik telah ditemukan di hampir setiap sudut dan celah lingkungan Bumi, mulai dari es Antartika hingga salju di Kutub Utara. Ada semakin banyak bukti bahwa mikroplastik juga semakin menyebar di tubuh manusia.

Para ilmuwan telah menemukan bahwa kotoran manusia penuh dengan mikroplastik, yang menunjukkan bahwa bahan tersebut meresap ke dalam usus manusia. Ada juga bukti mikroplastik tertanam di banyak organ dan jaringan lain di dalam tubuh. Mereka bahkan mengidentifikasinya ada di plasenta manusia.

Dampak mikroplastik pada kesehatan hewan belum banyak disepakati atau dipahami sepenuhnya, meskipun bukti mulai muncul bahwa hal itu memiliki efek yang merugikan. Di luar itu semua, sungguh luar biasa namun memprihatinkan bahwa bahan plastik bisa menyebar begitu luas sejak diproduksi secara massal kurang dari satu abad lalu.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Viral Air Hujan di DKI Mengandung Mikroplastik, Benarkah? Ini Faktanya


Jakarta

Belakangan, media sosial diramaikan dengan narasi air hujan di DKI Jakarta mengandung mikroplastik berbahaya. Faktanya, sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2022 bertajuk ‘Marine Pollution Bulletin’ mengkonfirmasi hal tersebut.

Meski demikian, ilmuwan menegaskan bukan berarti setiap tetes air hujan di Ibu Kota beracun.

“Tetapi bahwa ada partikel plastik berukuran sangat kecil, lebih halus dari debu yang ikut turun bersama hujan,” kata Muhammad Reza Cordova, salah satu peneliti dalam jurnal ilmiah tersebut, saat dihubungi detikcom, Kamis (16/10/2025).


Reza yang juga peneliti di BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), mengatakan jenis mikroplastik yang ditemukan di udara dan hujan Ibu Kota adalah serat sintetis seperti poliester dan nilon, serta fragmen kecil dari plastik kemasan seperti polietilena dan polipropilena. Ditemukan juga polibutadiena yang jadi polimer sintetis dari ban kendaraan.

“Mikroplastik ini berasal dari aktivitas manusia di kota besar. Misalnya serat sintetis dari pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran terbuka sampah plastik, serta degradasi plastik di lingkungan terbuka,” katanya.

Lalu Apa Bahayanya Bagi Manusia?

Karena ukurannya yang sangat kecil, lanjut Reza, mikroplastik ini terbawa angin dan naik ke atmosfer kemudian turun kembali lewat hujan. Menurutnya, tetap ada bahaya di balik mikroplastik yang turun bersamaan dengan hujan tersebut.

“Untuk istilah ‘bersifat toksik’ sebenarnya karena merujuk pada potensi dampak negatifnya. Mikroplastik ini kan bisa membawa bahan kimia tambahan dari proses produksi plastik (misalnya BPA, platat) atau polutan lain yang menempel di permukaannya (seperti logam berat dan POPs),” kata Reza.

“Jadi sifat beracunnya bukan dari air hujannya langsung, tapi dari partikel mikroplastik, bahan additive dan pollutan lain yang terbawa di dalamnya,” sambungnya.

Dampak yang mungkin terjadi apabila terpapar atau terhirup dalam jangka waktu lama bisa bervariasi, seperti dapat memicu peradangan jaringan paru, stres oksidatif, dan gangguan sistem imun.

“Nah di Indonesia kan masih minim nih. Jadi ya memang riset terkait masih terus berjalan untuk memastikan seberapa besar efeknya terhadap manusia,” kata Reza.

“Tapi arah bukti global sudah cukup kuat bahwa paparan jangka panjang harus diwaspadai. Karena itu, prinsip pencegahan dan pengendalian jadi langkah utama,” sambungnya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Menurut Reza, masalah mikroplastik memang tidak bisa diselesaikan oleh individu saja, tapi perubahan kecil di tingkat masyarakat tetap sangat penting. Kuncinya adalah dengan semaksimal mungkin untuk mengurangi sumbernya.

“Kita bisa mulai dari menghindari plastik sekali pakai, memilah sampah dari rumah, dan tidak membakar plastik terbuka,” kata Reza.

“Industri juga perlu berperan, misalnya dengan sistem EPR menyaring serat di pabrik tekstil atau laundry besar. Industri dan riset juga harus mengembangkan bahan yang tidak mudah lepas ke udara,” sambungnya.

Dari sisi pemerintah dan lembaga riset yang dibutuhkan adalah pemantauan secara rutin kualitas udara dan air hujan, serta pengembangan teknologi filtrasi dan pengolahan air. Untuk di riset nanti harus ada kolaborasi level regional dan global, pasalnya polusi mikroplastik ini bisa melintasi batas negara.

“Intinya, kita harus beralih dari budaya membuang ke budaya mengurangi dan menggunakan kembali. Sebab setiap plastik yang tidak lepas ke lingkungan berarti mengurangi satu sumber mikroplastik di udara dan air kita,” tutupnya.

(dpy/up)



Sumber : health.detik.com

Viral Air Hujan Jakarta Mengandung Mikroplastik, Bagaimana Bisa Terjadi?


Jakarta

Air hujan selama ini dianggap simbol kesegaran yang ternyata tidak sepenuhnya bersih. Hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya yang berasal dari aktivitas manusia di perkotaan.

Temuan ini menjadi peringatan bahwa polusi plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi juga atmosfer.

Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan penelitian yang dilakukan sejak 2022 menunjukkan adanya mikroplastik dalam setiap sampel air hujan di ibu kota. Partikel-partikel plastik mikroskopis tersebut terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia.


“Mikroplastik ini berasal dari aktivitas manusia di kota besar. Misalnya serat sintetis dari pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran terbuka sampah plastik, serta degradasi plastik di lingkungan terbuka,” katanya saat dihubungi detikcom, Kamis (16/10/2025).

Bagaimana Bisa Terjadi?

Menurut Reza, fenomena ini terjadi karena siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer. Mikroplastik dapat terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri, kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan. Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition.

“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” ujarnya.

Temuan ini menimbulkan kekhawatiran karena partikel mikroplastik berukuran sangat kecil, bahkan lebih halus dari debu biasa, sehingga dapat terhirup manusia atau masuk ke tubuh melalui air dan makanan.

Plastik juga mengandung bahan aditif beracun seperti ftalat, bisfenol A (BPA), dan logam berat yang dapat lepas ke lingkungan ketika terurai menjadi partikel mikro atau nano. Di udara, partikel ini juga bisa mengikat polutan lain seperti hidrokarbon aromatik dari asap kendaraan.

“Jadi sifat beracunnya bukan dari air hujannya langsung, tapi dari partikel mikroplastik, bahan additive dan polutan lain yang terbawa di dalamnya,” tegas Reza.

Senada, Guru Besar IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Prof Etty Riani menjelaskan fenomena ini secara ilmiah memang sangat mungkin terjadi.

Menurut Prof Etty, mikroplastik, terutama yang berukuran sangat kecil atau nanoplastik, memiliki massa sangat ringan sehingga mudah terangkat ke atmosfer.

“Partikel ini bisa berasal dari berbagai sumber di darat seperti gesekan ban mobil, pelapukan sampah plastik yang kering dan terbawa angin, hingga serat pakaian berbahan sintetis,” ujarnya, dikutip dari laman IPB, Senin (20/10).

Saat partikel mikroplastik berada di udara, ia dapat terbawa arus angin dan akhirnya turun kembali ke bumi bersama air hujan.

“Hujan berperan seperti pencuci udara. Mikroplastik yang melayang di atmosfer akan menyatu dengan tetesan air hujan. Karena ukurannya sangat kecil, partikel itu tidak terlihat, sehingga seolah-olah air hujan bersih,” jelas Prof Etty.

Dampak Mikroplastik pada Kesehatan

Meski penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan, studi global menunjukkan bahwa paparan mikroplastik dapat menimbulkan dampak kesehatan serius, seperti stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan. Sementara dari sisi lingkungan, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air permukaan dan laut, yang akhirnya masuk ke rantai makanan.

“Dampaknya pada manusia terutama jika terhirup atau tertelan berulang dalam jangka panjang (tidak cepat seperti keracunan insektisida misalnya),” kata Reza.

“Partikel halus juga bisa membawa bahan kimia berbahaya seperti ftalat, BPA, atau logam berat, yang dikenal dapat mengganggu hormon dan metabolisme tubuh. Nah di Indonesia kan masih minim nih. Jadi ya memang riset terkait masih terus berjalan untuk memastikan seberapa besar efeknya terhadap manusia,” lanjutnya.

(suc/up)



Sumber : health.detik.com

Air Hujan di Jakarta Ternyata Mengandung Mikroplastik, Seberapa Bahaya?



Jakarta

Selama ini hujan identik dengan kesegaran dan kebersihan alam. Namun, salah satu hasil penelitian pakar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini mengungkap fakta mengejutkan.

Profesor Riset BRIN di bidang oseanografi, Muhammad Reza Cordova menemukan adanya partikel mikroplastik berbahaya dalam air hujan di Jakarta. Mikroplastik tersebut berasal dari degredasi limbah plastik hasil aktivitas manusia di perkotaan.


Mikroplastik Turun Bersama Hujan

Sejak 2022, Reza dan timnya telah meneliti sampel air hujan di Jakarta dan menemukan mikroplastik di setiap sampel yang diperiksa. Mikroplastik yang ditemukan kebanyakan berbentuk fragmen kecil plastik dan serat sintetis.

“Mikroplastik ini berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka,” kata Reza dikutip dari laman BRIN, Jumat (17/10/2025).

Jenis mikroplastik tersebut juga bisa berasal dari poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena. Per harinya, Reza menemukan sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi di kawasan pesisir ibu kota.

Mikroplastik Makin Kini Mengudara

Reza menjelaskan mikroplastik bisa terangkat ke udara lewat debu jalanan, asap pembakaran atau aktivitas industri. Sehingga siklus plastik kini telah menjangkau atmosfer.

Proses tersebut dinamakan sebagai atsmospheric microolatic deposition. Di mana, mikroplastik terangkat ke udara, lalu terbawa angin dan akhirnya turun bersama hujan.

“Siklus plastik tidak berhenti di laut. Ia naik ke langit, berkeliling bersama angin, lalu turun lagi ke bumi lewat hujan,” jelas Reza.

Mikroplastik Jadi Ancaman Kesehatan dan Lingkungan

Partikel mikroplastik berukuran sangat kecil bahkan lebih halus dari debu biasa. Partikel tersebut akan mudah mudah terhirup manusia atau masuk lewat air dan makanan.

Adapun bahan kimia seperti ftalat, BPA, dan logam berat dalam plastik menjadi bahan berbahaya lainnya. Bahan tersebut bisa mengikat polutan seperti hidrokarbon aromatik yang ada dalam asap kendaraan.

“Yang beracun bukan air hujannya, tetapi partikel mikroplastik di dalamnya karena mengandung bahan kimia aditif atau menyerap polutan lain,” ucap Reza.

Dampak dari paparan mikroplastik ini bisa menimbulkan stres oksidatif, gangguan hormon, hingga kerusakan jaringan tubuh. Hal ini juga telah diungkap banyak studi global.

Selain itu, air hujan bermikroplastik berpotensi mencemari sumber air dan laut, masuk ke rantai makanan, dan memperburuk krisis lingkungan.

Gaya Hidup Urban Jadi Penyebab Utama

Adapun aktivitas manusia yang menjadi penyebab utama mikroplatik terbawa ke atmosfer ini menurut Reza adalah gaya hidup urban modern. Ada lebih dari 10 juta penduduk dan 20 juta kendaraan yang menghasilkan limbah plastik dalam jumlah besar setiap hari.

“Sampah plastik sekali pakai masih banyak, dan pengelolaannya belum ideal. Sebagian dibakar terbuka atau terbawa air hujan ke sungai,” ujarnya.

Menurutnya, solusi atas permasalahan ini adalah dengan memperkuat riset dan pemantauan kualitas udara serta air hujan di kota besar. Selain itu, pengelolaan limbah plastik serta pengurangan plastik sekali pakai juga harus digalakkan.

Solusi lainnya adalah mendorong industri tekstil menerapkan sistem filtrasi pada mesin cuci untuk menahan serat sintetis. Tak hanya pemerintah dan industri, masyarakat pun harus semakin paham tentang bahaya penggunaan plastik.

“Langit Jakarta sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya. Plastik yang kita buang sembarangan, asap yang kita biarkan mengepul, sampah yang kita bakar karena malas memilah semuanya kembali pada kita dalam bentuk yang lebih halus, lebih senyap, tapi jauh lebih berbahaya,” ungkap Reza.

(cyu/nah)



Sumber : www.detik.com