Tag Archives: proses geologi

Sosok Gerry Utama, Peneliti Termuda Indonesia di Antarktika yang Raih Rekor MURI



Jakarta

Gerry Utama berhasil meraih rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai pemuda Indonesia termuda yang berhasil menjelajahi Benua Antarktika. Seperti apa kisahnya?

Gerry merupakan alumnus Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 2011. Sebelum menginjak usia 30 tahun, Gerry telah tergabung dalam misi riset 69th Russia Antarctica Expedition yang diselenggarakan Arctic Antarctic Research Institute (AARI).


Keikutsertaan Gerry dalam misi menjelajah Antarktika ini merupakan bagian dari kurikulum yang ditawarkan sewaktu ia menempuh pendidikan magister Paleogeografi di Saint Petersburg State University. Capaian Gerry mencatatkan sejarah sebagai orang pertama dari Indonesia sekaligus Asia yang memperoleh akses untuk menjalankan program riset yang dilakukan oleh Pemerintah Rusia.

“Saat itu momentum baik, menjelang hubungan persahabatan Indonesia-Rusia yang memasuki 74 tahun,” kata mahasiswa doktoral penerima beasiswa Pemerintah Rusia ini, dikutip dari laman UGM, Rabu (1/10/2025).

Bekerja di Suhu Minus 50 Derajat Celcius

Dalam ekspedisi tersebut, Gerry bercerita, dirinya harus bekerja di tengah cuaca ekstrem. Bahkan, ia juga tetap beraktivitas saat suhu mencapai minus 50 derajat Celcius.

Gerry terlibat dalam pembuatan peta geomorfologi Pulau King George dan menemukan fosil kayu berusia sekitar 130 juta tahun.

“Temuan ini yang kemudian menjadi bukti bahwa kawasan Antarktika pada masa lampau pernah ditutupi vegetasi hijau yang subur,” ujarnya.

Gerry menjelaskan, penelitian di Antarktika merupakan bagian penting untuk melakukan rekonstruksi terhadap kondisi yang terjadi di Bumi, baik secara paleogeomorfologi ataupun paleoclimate.

“Antarktika itu ibarat memory card tentang proses geologi dan geomorfologi yang pernah terjadi di permukaan Bumi,” ungkapnya, dikutip dari laman Fakultas Geografi UGM.

Momen yang paling berkesan menurut Gerry adalah saat mendarat pertama kali di StasiunMirny, stasiun Antarktika pertama yang dimiliki oleh Pemerintah Rusia.

“Ini momen penting bagaimana mobilisasi yang dilakukan dengan sangat rapi, dilakukan dengan Kapal Akademik Tyroshnikov yang membawa perjalanan menuju ke Antarktika”, Ungkap Gerry.

Gerry mengungkapkan jika penghargaan ini menjadi motivasi dalam misi eksplorasi Antarktika yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun periset Tanah Air. Menurut Gerry, Indonesia berpotensi menjadi pusat Hub-Antarktika di kawasan ASEAN.

“Riset Antarktika ini penting sekali, mengaitkan data Antarktika dengan melakukan revalidasi pada wilayah-wilayah tropis, khususnya di Indonesia, memberikan dukungan analisis yang komprehensif dan sangat kuat, sehingga pengetahuan ini sangat penting di dalam bidang keilmuan geografi,” terangnya.

Ia juga berpesan kepada mahasiswa atau peneliti muda yang memiliki mimpi serupa untuk mulai mewujudkankannya. Salah satunya dimulai dari kebiasaan bangun tidur lebih awal, berolahraga, dan menjaga fisik agar tetap prima.

“Sebagai peneliti tidak hanya dituntut matang secara ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang Antarktika, kita dituntut untuk punya fisik yang sehat karena bekerja dengan kondisi cuaca yang sangat ekstrem dingin,” pungkasnya.

(nir/twu)



Sumber : www.detik.com

Satelit Deteksi Gravitasi Aneh, Berdampak Perubahan Bumi


Jakarta

Satelit mendeteksi sinyal gravitasi aneh di lepas pantai Afrika hampir 20 tahun lalu, yang menunjukkan sesuatu yang tidak biasa telah terjadi jauh di dalam planet yang menyebabkan distorsi medan gravitasinya, menurut sebuah studi terkini.

Anomali gravitasi besar ini berlangsung selama sekitar dua tahun di Samudra Atlantik bagian timur. Puncaknya terjadi pada Januari 2007. Para peneliti baru-baru ini menemukan sinyal tersebut saat menganalisis data yang dikumpulkan oleh satelit Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) antara tahun 2003 hingga 2015.


Anomali gravitasi tersebut terjadi sekitar waktu yang sama dengan ‘sentakan’ geomagnetik, yakni perubahan mendadak dalam variasi medan magnet Bumi.

Para peneliti menduga anomali aneh dan sentakan tersebut disebabkan oleh proses geologi yang sebelumnya tidak diketahui. Temuan mereka, yang dipublikasikan pada 28 Agustus di jurnal Geophysical Research Letters, menunjukkan bahwa pergeseran mineral mungkin telah menyebabkan redistribusi massa yang cepat di mantel dalam, dekat inti, yang mengubah medan magnet Bumi.

Rekan penulis studi Mioara Mandea, seorang ahli geofisika di National Centre for Space Studies (CNES) di Prancis dan peneliti utama untuk proyek Gravimetry, Magnetism, Rotation and Core Flow Dewan Riset Eropa. Pada awalnya, ia mempertanyakan validitas sinyal tersebut.

“Seperti yang sering terjadi dalam penelitian ilmiah, respons awal saya adalah pertanyaan: apakah sinyal itu asli, bagaimana cara memvalidasinya, dan bagaimana seharusnya ditafsirkan?,” ujar Mandea seperti dikutip dari Live Science.

“Meskipun hasil dan publikasinya tentu saja memuaskan, pikiran utamanya adalah mempertimbangkan langkah selanjutnya dan kemungkinan implikasinya,” ujarnya.

Satelit GRACE adalah sepasang wahana antariksa identik yang dioperasikan sebagai bagian dari misi gabungan antara NASA dan Pusat Antariksa Jerman (DLR). Para ilmuwan menggunakan satelit-satelit ini, yang aktif sejak 2002 hingga kehabisan bahan bakar pada 2017, untuk mengukur variasi gravitasi Bumi. Satelit-satelit tersebut bergerak beriringan mengelilingi Bumi, dan para peneliti mengukur jarak antara kedua objek tersebut untuk mencari perubahan yang terjadi akibat variasi gaya gravitasi Bumi.

Variasi gravitasi semacam itu sering kali disebabkan oleh variasi konsentrasi massa. Semakin banyak massa, semakin besar gravitasinya. Misalnya, arus air menggeser massa di lautan, yang dapat menyebabkan variasi lokal pada medan gravitasi Bumi.

Dalam studi baru ini, para peneliti meneliti data GRACE untuk mencari sinyal gravitasi anomali yang berpotensi berasal dari dalam Bumi, alih-alih dari pergeseran air di permukaan atau di dekat permukaan.

Sinyal tersebut merupakan anomali gravitasi yang berorientasi utara-selatan, membentang sekitar 7.000 kilometer, mendekati panjang seluruh benua Afrika, dari tahun 2006 hingga 2008.

Para peneliti masih mempelajari mantel dalam Bumi dan batas antara lapisan batuan dan inti luar cair planet kita, tetapi bagian bawah mantel sebagian besar terdiri dari magnesium silikat (MgSiO3). Para penulis studi berpendapat bahwa redistribusi massa yang mereka kaitkan dengan sinyal tersebut terjadi sebagai akibat dari transformasi fase perovskit menjadi pasca-perovskit di bagian mantel bawah ini, yang mengakibatkan struktur magnesium silikat berubah di bawah tekanan, menggeser massa jauh di dalam Bumi.

Mandea mencatat bahwa pesan utama penelitian tersebut adalah bahwa Bumi itu kompleks dan diperlukan kumpulan data dan metode yang berbeda untuk memahami proses internalnya.

“Bumi adalah sistem kompleks yang harus dipelajari menggunakan beragam data dan metode analisis yang saling melengkapi. Sinergi ini memberi kita kesempatan untuk mengungkap dan lebih memahami proses tersembunyi di kedalaman Bumi,” ujar Mandea.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com