Tag Archives: proses pendidikan

Hentikan ‘Budaya Lapor’ Berlebihan demi Masa Depan Pendidikan Murid



Jakarta

Belakangan ini, dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan: meningkatnya ‘budaya lapor’ yang dilakukan oleh sebagian orang tua murid terhadap guru, bahkan untuk hal-hal yang dianggap sebagai teguran atau pendisiplinan wajar.

Sedikit saja anak merasa tidak nyaman, entah karena ditegur, dinasihati dengan nada tegas, atau diberi sanksi ringan, orang tua cenderung langsung melapor atau menuntut. Fenomena ini menciptakan iklim ketakutan bagi para guru dan secara perlahan menggerus otoritas serta peran pendidik.


Penting untuk disadari bahwa fungsi guru bukan hanya sekadar mentransfer ilmu akademis, tetapi juga membentuk karakter dan mental murid. Dalam proses pembentukan ini, ketegasan dan teguran adalah bagian yang tak terhindarkan.

Realitas kehidupan di masa depan jauh lebih keras dan kompleks dari lingkungan sekolah yang serba ‘ramah’ dan ‘manis di bibir’. Jika anak terbiasa bahwa setiap rasa tidak nyaman bisa diselesaikan dengan ‘melapor’ dan membuat pihak yang menegur bermasalah, bagaimana mereka akan siap menghadapi tantangan di dunia nyata, dunia kerja, atau dalam kehidupan sosial yang penuh persaingan dan kritik?

Tentu saja, perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan fisik atau perundungan yang melanggar hukum harus diutamakan. Namun, batasan antara pendisiplinan yang mendidik dan kekerasan harus dipahami secara bijaksana, bukan didasarkan pada perasaan subjektif orang tua yang cenderung ingin selalu membela anak.

Peningkatan kasus pelaporan terhadap guru menunjukkan adanya pergeseran cara pandang terhadap peran pendidik. Dulu, ketegasan guru dianggap sebagai bagian dari upaya mendidik dan didukung oleh orang tua. Kini, guru justru rentan diserang dan dituntut. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kolaborasi yang sehat antara sekolah dan orang tua.

Pertama, sekolah dan guru perlu membangun komunikasi efektif dan transparan dengan orang tua sejak awal tahun ajaran, menjelaskan metode pendisiplinan yang diterapkan dan mengapa hal itu penting. Sebaliknya, orang tua harus menggunakan jalur komunikasi yang disediakan sekolah untuk mengklarifikasi masalah, bukan langsung menempuh jalur hukum atau media sosial.

Kedua, perlu adanya edukasi masif kepada orang tua mengenai pentingnya ketahanan mental (resiliensi) dan karakter pada anak. Anak-anak perlu diajarkan untuk menerima kritik, beradaptasi dengan ketidaknyamanan, dan menyelesaikan masalah tanpa selalu bergantung pada intervensi instan dari orang tua.

Ketiga, pemerintah dan organisasi profesi guru harus memperkuat regulasi yang secara jelas melindungi guru yang melakukan tindakan pendisiplinan wajar dan sesuai kode etik. Ini penting untuk mengembalikan rasa aman dan motivasi para pahlawan tanpa tanda jasa.

Pendidikan yang berhasil adalah hasil dari sinergi. Jika guru terus berada di bawah bayang-bayang ketakutan ‘dilaporkan’, kualitas pendidikan-terutama dalam pembentukan karakter-akan menjadi korbannya.

Menghentikan ‘budaya lapor’ yang berlebihan bukan berarti mengabaikan hak anak, melainkan mengembalikan esensi pendisiplinan sebagai bagian integral dari proses pendidikan yang menyiapkan anak untuk kerasnya kenyataan hidup.

*) Odemus Bei Witono, Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detikcom

(nwk/nwk)



Sumber : www.detik.com

Setelah Gencatan Senjata, 300 Ribu Siswa di Gaza Kembali Bersekolah



Gaza

Sekitar 300.000 siswa Palestina mulai kembali bersekolah di Gaza pada Sabtu (18/10/2025) di bawah naungan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Meskipun blokade Israel terus mencegah masuknya bantuan ratusan juta dolar ke wilayah tersebut.

Adnan Abu Hasna, Penasihat Media UNRWA mengatakan bahwa badan tersebut telah menyusun rencan untuk melanjutkan proses pendidikan bagi 300.000 siswa Palestina di UNRWA. Dan menambahkan bahwa jumlah tersebut kemungkinan akan meningkat.

Dilansir dalam Saudi Gazette (18/10/2025), sekitar 10.000 siswa akan menghadiri kelas tatap muka di sekolah dan tempat penampungan sementara dan sebagian besar akan menerima pembelajaran jarak jauh.


“Sangat mustahil untuk menjalani dua tahun tanpa sekolah, didahului oleh dua tahun pandemi Corona,” kata Abu Hasna, seraya menambahkan bahwa 8.000 guru akan berpartisipasi dalam program tersebut.

Pendidikan di Gaza telah dihentikan sejak 8 Oktober 2023, menyusul dimulainya perang Israel di wilayah tersebut. Banyak sekolah telah dihancurkan atau diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga-keluarga pengungsi.

Menurut Kementerian Pendidikan Palestina, Israel telah menghancurkan 172 sekolah negeri, merusak 118 sekolah lainnya, dan menghantam lebih dari 100 sekolah yang dikelola UNRWA sejak konflik dimulai.

Kementerian tersebut menyatakan 17.711 siswa tewas dan 25.897 terluka, sementara 763 pegawai sektor pendidikan kehilangan nyawa.

Abu Hasna mengatakan UNRWA juga berencana untuk merevitalisasi 22 klinik pusat di Gaza dan terus mengoperasikan puluhan titik distribusi makanan dengan ribuan staf. Namun, ia mengatakan bahwa pasokan penting masih terhambat di luar Gaza.

“Banyak kebutuhan pokok, termasuk bahan bangunan tempat tinggal, selimut, pakaian musim dingin, dan obat-obatan, tidak diizinkan masuk ke Gaza dari pihak Israel, sehingga memperburuk situasi kemanusiaan,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa 95% penduduk Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan.

Ia memperingatkan bahwa ratusan ribu pengungsi masih hidup di tempat terbuka setelah kembali ke Kota Gaza menyusul gencatan senjata 10 Oktober antara Israel dan Hamas.

Perjanjian gencatan senjata, yang didasarkan pada rencana yang diajukan oleh Presiden AS Donald Trump, mencakup pembebasan sandera Israel dengan imbalan tahanan Palestina dan kerangka kerja untuk membangun kembali Gaza di bawah mekanisme pemerintahan baru tanpa Hamas.

Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan hampir 68.000 warga Palestina di Gaza, sebagian besar perempuan dan anak-anak, sehingga wilayah tersebut sebagian besar tidak dapat dihuni.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com