Tag Archives: provinsi bali

Fakta-Fakta Lift Kaca Pantai Kelingking, Kini Harus Dibongkar



Jakarta

Pemerintah Provinsi Bali menghentikan proyek lift kaca di Pantai Kelingking, Nusa Penida. Keputusan itu dilakukan karena proyek tersebut dinilai berisiko merugikan ekologis Bali. Berikut fakta-fakta sejauh ini.

Instruksi pembangunan lift kaca itu dihentikan dilayangkan karena proyek lift kaca tersebut dinilai tidak memenuhi standar keamanan dan dapat mengancam kelestarian serta nuansa alami di kawasan Pantai Kelingking.

“Memerintahkan kepada PT Indonesia Kaishi Tourism Property Investment Developmemt Group (PT Bina Nusa Property) untuk menghentikan seluruh pembangunan lift kaca,” ujar Gubernur Bali Wayan Koster dalam konferensi pers di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Minggu (23/11/2025), dilansir detikBali.


Instruksi Pembongkaran dan Sanksi

Pemprov Bali melayangkan tiga surat peringatan kepada investor untuk menghentikan proyek lift kaca Pantai Kelingking. “Akan ada surat peringatan, satu, dua, tiga. Kalau sampai nggak (dibongkar) akan diambil tindakan,” ujar Koster.

Koster menyampaikan bahwa Pemprov Bali memberi waktu enam bulan untuk pembongkaran proyek, dan apabila tidak ada tindakan dari investor maka pemerintah akan turun tangan melakukan pembongkaran paksa.

Selain itu, pengembang bertanggung jawab melakukan pemulihan fungsi dan kondisi tata ruang usai pembongkaran. Koster memberi tenggat tiga bulan untuk pemulihan ini.

Respons Pemkab Klungkung

Bupati Klungkung I Made Satria tidak mengomentari perintah penghentian proyek lift kaca ini. Satria menegaskan akan memperketat proses perizinan investasi untuk mendukung keputusan Pemprov Bali.

“Saya tidak berkomentar karena itu kewenangan Pemerintah Provinsi Bali. Tapi, kami akan melakukan pengawasan melekat,” kata Satria.

Selain itu, Wakil Bupati Klungkung, Tjokorda Gge Surya Putra meminta investor untuk mematuhi aturan yang ada. “Berkaca dari pengalaman ini, kami mengimbau kepada seluruh investor ketika berinvestasi agar melengkapi dahulu perizinannya,” ujarnya.

Respons Wamenpar

Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar) Ni Luh Puspa mengatakan kementeriannya masih melakukan koordinasi dengan Pemprov Bali dan pihak terkait. Dia mendorong semua pihak memperhatikan setiap hal dalam melakukan pembangunan proyek.

“Kawasan ini bukan hanya destinasi wisata yang menakjubkan, tetapi juga memiliki nilai ekologis dan estetika yang sangat tinggi,” ujar Ni Luh.

Pelanggaran Proyek Lift Kaca Pantai Kelingking

Proyek kerja sama antara investor China PT BNP (Bina Nusa Properti) dan Banjar Adat Karang Dawa, di Desa Bungamekar, Nusa Penida dimulai sejak peletakan baru pertamanya pada 7 Juli 2023.

Proyek senilai Rp 200 miliar dengan tinggi mencapai 182 meter itu dibangun untuk diklaim untuk mempermudah wisatawan yang berkunjung ke Pantai Kelingking, karena selama ini wisatawan harus mendaki perbukitan yang curam dan berbahaya.

Namun, Pemprov Bali menegaskan proyek itu bermasalah karena dipandang melanggar tata ruang ekologis Bali, pembangunan proyek berada di zona mitigasi berencana, dan penggunaan material yang tidak sesuai standar keamanan.

Sebagaimana tertera dalam Perda Bali Nomor 3 Tahun 2020, proyek ini dipandang belum mengantongi rekomendasi resmi Gubernur dan izin pemanfaaran ruang laut (KKPRL) dan Kementerian KKP.

“(Investor) hanya memiliki rekomendasi UKL-UPL yang diterbitkan Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Kabupaten Klungkung,” ujar Koster.

Selain itu pembangunan proyek ini dinilai melanggar konsep wisata budaya karena merusak orisinalitas kawasan Pantai Kelingking. “Mengubah orisinalitas daerah tujuan wisata. (Pelanggaran) yang ini sanksinya pidana,” dia menambahkan.

Berdasarkan catatan detikBali, terdapat setidaknya lima pelanggaran dari proyek kaca di Pantai Kelingking:

1. Pelanggaran tata ruang dalam Perda Bali Nomor 3 Tahun 2020. Pembangunan berada di kawasan sempadan jurang tanpa rekomendasi Gubernur dan tanpa KKPRL dari KKP. Sebagian bangunan berada di perairan pesisir tanpa izin pemanfaatan ruang laut.
2. Pelanggaran lingkungan hidup dalam PP Nomor 5 Tahun 2021. Investor tak memiliki izin kegiatan PMA, hanya rekomendasi UKL-UPL dari DLHP Klungkung.
3. Pelanggaran perizinan terkait ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan KPPR. Izin bangunan yang dikantongi hanya untuk loket tiket, tidak mencakup jembatan penghubung atau lift kaca.
4. Pelanggaran tata ruang laut dalam UU Nomor 27 Tahun 2007. Fondasi beton dibangun di zona perikanan tradisional yang tidak boleh digunakan untuk bangunan wisata.
5. Pelanggaran wisata budaya dalam Perda Bali Nomor 5 Tahun 2020. Proyek dinilai mengubah orisinalitas kawasan wisata.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Pembangunan Bandara Bali Utara Perlu Berdamai dengan Lingkungan



Jakarta

Pembangunan bandara Bali utara hingga deretan rencana pembangunan untuk wilayah Bali disorot lagi setelah tarik ulur lokasi. Ahli tanah mengatakan pembangunan sah-sah saja selagi prasyaratannya terpenuhi.

Rencana pembangunan bandara Bali utara itu dicantumkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.

“Kalau mau bikin bandara itu pasti nanti infrastruktur lainnya, seperti jalan, kemudian pemukiman, perkantoran pasti akan mengikuti, kan? Nah, itu yang harus diatur. Pastikan persyaratan-persyaratan lingkungannya terpenuhi dulu,” kata peneliti BRIN, Destika Cahyana, saat dihubungi detikcom, Rabu (8/10/2025).


Selain soal lokasi, poin penting lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan kontraktor dalam pembangunan Bandara Bali Utara adalah desain yang ramah lingkungan. Destika mencontohkan pengalaman di Kalimantan, bahwa sebagian besar wilayahnya merupakan rawa. Jika jalan dibangun langsung di atas tanah tanpa perencanaan khusus, akan muncul warung, rumah, bahkan pemukiman baru di sepanjang jalan tersebut. Akibatnya, lahan yang awalnya alami dan sensitif bisa rusak karena pembangunan yang tidak terkendali.

Untuk menghindari hal itu, pembangunan jalan di Kalimantan digunakan desain jalan layang yang ditopang dengan tiang-tiang penyangga. Jalan itu melintas di atas rawa tanpa harus menimbun atau merusak tanah di bawahnya. Karena jalannya berada di ketinggian, aktivitas seperti membangun warung atau rumah di pinggir jalan otomatis tidak bisa dilakukan. Dengan begitu, lingkungan tetap terjaga, dan pembangunan tidak memicu kerusakan lanjutan.

“Contohnya di Kalimantan, kan di sana rawa ya landscape-nya. Kalau pembuatan jalan itu di atas permukaan tanah, bisa saja pembangunan itu memancing aktivitas manusia di sekitarnya, di pinggir-pinggir jalan tumbuh warung-warung, kemudian tumbuh kota dan lainnya. Dan lahan jadinya rusak,” kata Destika.

“Tetapi akhirnya konsep jalan itu dibuat tidak di-ground. Jalan itu bisa melewati rawa dan lingkungan terjaga dengan jalan dibangun menggunakan tiang-tiang penyangga. Jadinya, seperti jalan layang. Nah, tak mungkin di sepanjang jalan tumbuh pemukiman, kan?” ujar dia lagi.

“Kendati belum tahu lokasi pembangunan bandara Bali utara, tapi konsep yang menyesuaikan dengan landscape tanpa merusak dan merubah lahan ini harus dipertimbangkan,” dia menegaskan.

Lebih lanjut, Destika juga menyarankan ke pemerintah Bali untuk menerapkan ‘one island one management‘ supaya satu kebijakan diterapkan untuk seluruh kawasan Bali.

“Bali itu pulau kecil dan terbagi beberapa kabupaten-kabupaten. Nah, sementara di pulau kecil itu DAS (daerah aliran sungai) dan sub-dasnya itu melewati batas-batas administrasi? Jadi satu das satu das tapi misalnya dua kabupaten atau tiga kabupaten. Nah, jadi kadang-kadang antara bupati yang satu dengan bupati yang lain ini kan beda kebijakannya,” kata dia.

“Nah, kalau ‘one island one management‘, jadi bisa utuh pengelolaannya dan pengembangan Bali mau dibawa ke mananya itu lebih utuh,” ujar dia.

Ya, desain bandara Bali Utara telah dikenalkan ke publik, namun hingga saat ini belum jelas lokasi pasti yang akan menjadi titik pembangunan. Sebelumnya, Plt Kepala Dinas Perhubungan Bali, Nusakti Yasa Weda, menekankan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tidak secara eksplisit menyebutkan lokasi pembangunan bandara tersebut.

“Lampiran IV Perpres tentang Arah Pembangunan Kewilayahan untuk Provinsi Bali, memang tercantum sejumlah rencana intervensi strategis, termasuk pembangunan Bandara Internasional Bali Baru/Bali Utara, namun, dokumen tersebut tidak memuat penetapan lokasi maupun nama resmi bandara,” kata dia.

Nusakti menjelaskan bahwa penetapan lokasi bandara Bali utara tidak mungkin dilakukan tanpa adanya studi yang solid, master plan yang telah disepakati pemerintah, serta ketersediaan lahan yang sudah dikuasai oleh pemrakarsa.

Oleh sebab itu, Pemprov Bali mengajak masyarakat tak terpengaruh dan ikut memahami bahwa saat ini statusnya masih arahan pembangunan tanpa ada keputusan lokasi.

(sym/fem)



Sumber : travel.detik.com

Bali Butuh Bandara Baru! Pakar UI Sebut Denpasar Sudah Over Capacity



Jakarta

Pembangunan Bandara Bali Utara dinilai cukup penting. Pakar perencanaan lingkungan Universitas Indonesia Dr. Rudy Parluhutan Tambunan M. Si. mengatakan sejumlah alasannya.

Pemerintah memasukkan Bandara Bali Utara dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Desain arsitektur bandara itu juga sudah dirilis pada akhir September di Buleleng. Namun, lokasi belum bisa dipastikan.

Pemerintah Provinsi Bali sempat mengusulkan lokasi bandara baru itu di Desa Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, tetapi kemudian membatalkan dan mengajukan lokasi baru di Desa Sumberklampok. Sumberklampok berada di perbatasan Kabupaten Buleleng di sisi timur dan Kabupaten Jembrana di sisi barat.


Desa Sumberklampok dilewati jalan raya provinsi antara Gilimanuk dan Singaraja. Gilimanuk adalah pintu masuk Bali dari Jawa sedangkan Singaraja bekas ibu kota Provinsi Sunda Kecil yang dulunya meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kalau dilihat urgensinya sangat urgen. Bali itu jadi Origin and Destination, Bali bisa jadi tempat awal perjalanan dan juga tujuan utama wisata. Bali bukan hanya tempat tujuan wisata utama, tapi juga bisa jadi tempat awal perjalanan wisatawan. Kalau wisatawan mau ke Bali atau dari Bali lewat jalur darat, mereka bisa naik kapal menyeberang ke timur menuju NTB. Untuk perjalanan udara, semua penerbangan utama bertumpu di Bandara Ngurah Rai, Denpasar,” kata Rudy dalam perbincangan dengan detikTravel, Kamis (9/10.2025).

“Karena semua bertumpu di Denpasar, implikasinya banyak, mulai over destination, over capacity, hingga mengakibatkan perubahan land use sekitar kabupaten Karangasem, Badung, dan Gianyar. Akhirnya, lokasi-lokasi pertanian yang selama ini menjadi destinasi andalan Bali justru hilang,” ujar Rudy.

Rudy, yang juga menjadi dosen di Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu, membandingkan kondisi Bali selatan dan bali utara. Dia menilai bahwa Bali selatan lebih unggul soal pertanian ketimbang Bali utara. Soal lain adalah kapasitas transportasi Bali selatan.

“Subak di Bali utara berfungsi sebagai sistem tata air tradisional. Namun, di daerah utara curah hujannya lebih sedikit dibandingkan bagian selatan, jadi kalau mau mengembangkan pertanian sawah di sana kurang ideal,” kata dia.

“Pada aspek transportasi, arus transportasi menuju Denpasar sudah melebihi kapasitas, baik untuk kedatangan maupun keberangkatan wisatawan. Karena itu, perlu ada pengaturan supaya aktivitas di kota tidak terlalu menumpuk hanya di bagian selatan, timur, atau barat. Jadi, aktivitas perkotaan harus dibagi lebih merata antara bagian selatan, timur, barat, dan tengah Bali. Dengan begitu, transportasi juga bisa diselaraskan agar lebih seimbang dan tidak terlalu padat di satu titik saja,” dia menjelaskan.

Rudy mengingatkan kendati diperlukan, pembangunan Bandara Bali Utara diminta untuk memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, tidak hanya ekonomi. Apalagi, berkaca kepada peristiwa saat Bali terendam banjir setelah hujan dua hari beruntun.

Ya, salah satu alasan utama Bandara Bali utara dibangun adalah dengan tujuan mendorong pemerataan perkembangan ekonomi dan pariwisata di Bali Utara yang selama ini dinilai kurang berkembang. Dengan adanya bandara baru, akses ke wilayah utara digadang-gadang menjadi lebih mudah dan berdampak membuka peluang investasi dan lapangan kerja baru, serta meningkatkan daya saing Bali sebagai destinasi wisata dan pusat bisnis di Indonesia.

“Nah, ini perlu dipertimbangkan beberapa kejadian akibat perubahan iklim dan cuaca, musim pun tidak lagi sesuai dengan garis khayal musiman. Pemilihan site lokasinya harus benar-benar cermat dari aspek topografi, iklim dan cuaca, dan kegiatan sekitarnya, karena kalau kita memilih bandara itu terkait keselamatan penerbangan, selamat mendarat dan selamat berangkat,” kata Rudy.

(fem/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Viral Restoran Berdiri di Lahan Konservasi, BKSDA Bali Minta Maaf



Bangli

Viral sebuah restoran berdiri di dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan yang merupakan lahan konservasi. BKSDA Bali pun meminta maaf.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali buka suara atas desakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bangli untuk menghentikan seluruh kegiatan pembangunan di Taman Wisata Alam (TWA) Penelokan.

Hal ini terkait berdirinya restoran di lahan konservasi tersebut. Semua bermula ketika beredar foto dan video yang menunjukkan bangunan berbeton yang diketahui sebagai sebuah restoran di lahan tersebut.


Tentu saja hal itu ramai menjadi perbincangan di media sosial. Diduga telah terjadi pembukaan lahan demi pembangunan fasilitas wisata di wilayah konservasi seluas 574,27 hektare tersebut.

“Tidak pernah tahu ada bangunan itu. Menurut informasi di lapangan, sudah mulai 8 bulanan kegiatannya di situ. Masyarakat baru tahunya setelah kelihatan dari desa kami. Kok ada bangunan di tengah hutan. Sangat memprihatinkan karena ada pembabatan hutan yang seharusnya tidak boleh dilakukan di sana,” ungkap Perbekel Desa Kedisan, I Nyoman Gamayana.

Sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Bangl bahkan telah merekomendasikan agar Kepala BKSDA Bali memerintahkan kepada pemilik restoran, I Ketut Oka Sari Merta, agar membongkar bangunan di kawasan konservasi TWA Penelokan.

Dijelaskan bahwa hak pemegang sertifikat standar hanya memanfaatkan fasilitas pariwisata alam yang menjadi milik negara sesuai ketentuan perundang-undangan sehingga tidak memerlukan bangunan gedung.

Terkait hal itu, Kepala BKSDA Bali, Ratna Hendratmoko, menjelaskan bangunan tersebut berada pada Blok Pemanfaatan, salah satu bagian dari Blok Pengelolaan TWA Penelokan.

I Ketut Oka Sari Merta yang merupakan warga Desa Batur Tengah yang telah mengantongi Perizinan Berusaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (PB-PJWA) dengan Sertifikat Standar: 23082200271370004 yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, tanggal 7 Oktober 2024.

“Berdasarkan pemahaman I Ketut Oka Sari Merta, dalam merealisasikan izin jasa wisata alam dan menjalankan usahanya, perlu membuat bangunan yang akan digunakannya sebagai fasilitas penyediaan makanan dan minuman. Bangunan yang telanjur berdiri dan belum memiliki legalitas akan ditempuh melalui proses hibah kepada negara sehingga statusnya dapat ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN). Selanjutnya, BKSDA Bali akan menentukan nilai sewa mendasarkan pada nilai kewajaran,” terang Moko dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (13/10/2025).

Meskipun sudah membangun restoran ukuran 10,9 x 10 meter, toilet dan dapur ukuran 7,4 x 4,8 meter, area taman depan 14,3 x 36 meter, maupun area parkir 11,7 x 38,7 meter, tidak menutup kemungkinan jasa wisata alam itu dievaluasi secara partisipatif bersama masyarakat adat dan para pemangku kepentingan.

Tujuannya untuk mengecek kelengkapan administrasi hingga kesesuaian rencana usaha dengan daya dukung kawasannya. Untuk itu, BKSDA mengagendakan bertemu tokoh adat Desa Kedisan, Bupati Bangli, maupun Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali pada 13-15 Oktober 2025.

Sebelumnya BKSDA sudah melaporkan permasalahan ini kepada Direktur Jenderal KSDAE dan pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten.

“BKSDA Bali menyampaikan permohonan maaf atas terjadinya dinamika yang timbul. BKSDA Bali mengakui bahwa dalam proses pembangunan kedai makanan terdapat keterlambatan dalam pemenuhan aspek administrasi, khususnya terkait dukungan dan persetujuan dari masyarakat sekitar. Ke depannya, BKSDA Bali akan lebih berhati-hati dalam memberikan pertimbangan dan persetujuan kegiatan pemanfaatan di kawasan konservasi, dengan mengedepankan prinsip transparansi dan pelibatan masyarakat sekitar,” ucap Moko.

——–

Artikel ini telah naik di detikBali.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com