Tag Archives: rasulullah saw

Nabi yang Memiliki Kekayaan dan Mampu Berkomunikasi dengan Hewan, Ini Sosoknya



Jakarta

Nabi Sulaiman adalah nabi yang memiliki kekayaan dan mampu berkomunikasi dengan hewan. Beliau adalah salah satu putra Nabi Daud yang diangkat menjadi raja bagi Bani Israil untuk menggantikan ayahnya.

Nabi Sulaiman juga dikenal memiliki kekayaan berupa kerajaan yang sangat luas dan kekuasaan yang besar. Ia mampu menaklukkan bangsa jin dengan izin Allah SWT. Melalui bantuan jin inilah beliau mampu membangun istana yang megah dan benteng yang tinggi. Namun, kekayaan ini tidak membuatnya menjadi sosok yang angkuh dan sombong.

Allah SWT telah mengajarkan Nabi Sulaiman bahasa burung dan semua bahasa hewan. Hal ini membuat Nabi Sulaiman mampu berkomunikasi dengan hewan dan mengerti pembicaraan hewan yang umumnya tidak diketahui oleh manusia.


Kekayaan Nabi Sulaiman

Dikisahkan dalam buku Cara Kaya Seperti Nabi Sulaiman karya Ahmad Zainal Abidin, dari catatan sejarah, Nabi Sulaiman adalah orang yang paling kaya seantero dunia. Ia menguasai seluruh dunia selama 40 tahun dan memiliki istana yang terbuat dari kayu gaharu serta memiliki bau harum emas. Bagian dari istananya juga ada yang terbuat dari kristal berkilau.

Bisa dikatakan, Nabi Sulaiman menjadi satu-satunya nabi memiliki teknologi yang maju di masanya. Di istananya, banyak karya seni dan benda berharga yang mengesankan bagi semua orang yang menyaksikannya. Pintu gerbang istananya terbuat dari gelas sehingga tidak heran jika istana Nabi Sulaiman menjadi istana paling besar di dunia.

Namun, meski Nabi Sulaiman memiliki kekayaan berupa kerajaan yang megah dan luas, ia tetap menunjukkan sikap berserah diri dan rendah diri kepada Allah SWT dan manusia.

Nabi Sulaiman menyadari bahwa seluruh kekuasaan yang dimilikinya tidak ada apa-apanya di hadapan Allah SWT. Ia menggunakan semua kekayaannya hanya untuk menegakkan kebaikan. Sebagaimana ayahnya yang selalu bertasbih, Nabi Sulaiman juga kerap memuji Allah SWT.

Tujuan Nabi Sulaiman meminta diberikan kerajaan dan kekayaan kepada Allah SWT tidak terlepas dari tujuan luhur untuk berdakwah.

Dalam salah satu riwayat, Rasulullah SAW berkata, “Permintaan yang diajukan oleh Nabi Sulaiman AS untuk mendapatkan pemerintahan yang besar dan meluas bertujuan agar ia bisa mengalahkan kefasikan dan kerusakan para setan.” (HR Bukhari).

Karunia Allah SWT kepada Nabi Sulaiman berupa kekayaan yang melimpah juga menjadi teladan bagi orang-orang yang memiliki kekayaan. Dalam kondisi sekaya apapun, seseorang tidak boleh melampaui batas atau bahkan merasa sombong atas kekayaannya.

Kemampuan Nabi Sulaiman yang Berkomunikasi dengan Hewan

Selain menjadi nabi yang memiliki kekayaan, Nabi Sulaiman juga memiliki kemampuan berkomunikasi dengan hewan. Disebutkan dalam buku Sulaiman: Raja Segala Makhluk karya Humam Hasan Yusuf Salom, Nabi Sulaiman dapat memahami bahasa burung dan saling berbincang satu sama lain atas izin Allah SWT. Hal ini juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 16, sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاوٗدَ وَقَالَ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَاُوْتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍۗ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِيْنُ

Artinya: “Sulaiman telah mewarisi Daud dan dia (Sulaiman) berkata, “Wahai manusia, kami telah diajari (untuk memahami) bahasa burung dan kami dianugerahi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar karunia yang nyata.” (QS An-Naml: 16).

Terdapat pula kisah Nabi Sulaiman berkomunikasi dengan semut yang diceritakan dalam buku Hikmah Kisah Nabi dan Rasul karya H. Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad Kadri.

Suatu hari ketika Nabi Sulaiman berpergian dalam rombongan kafilah yang terdiri dari manusia, jin, dan binatang-binatang, Nabi Sulaiman mendengar seekor semut berkata kepada kawanannya.

“Hai semut-semut, masuklah kamu semuanya ke dalam sarangmu agar kamu selamat dan tidak menjadi binasa diinjak oleh Nabi Sulaiman dan tentaranya tanpa sadar dan sengaja.”

Nabi Sulaiman tersenyum tertawa setelah mendengar suara semut yang ketakutan itu. Beliau kemudian memberitahukan hal tersebut kepada pra pengikutnya untuk tidak menginjak jutaan semut dan sarangnya yang ada di depan mereka.

Nabi Sulaiman sangat mensyukuri karunia yang diberikan Allah SWT kepadanya sehingga menjadikan dirinya dapat mendengar dan menangkap maksud suara semut. Kisah ini juga dikisahkan dalam Al-Qur’an surat An-Naml ayat 17-19

وَحُشِرَ لِسُلَيْمٰنَ جُنُوْدُهٗ مِنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ وَالطَّيْرِ فَهُمْ يُوْزَعُوْنَ

حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ

Artinya: (17) Untuk Sulaiman di kumpulkanlah bala tentara dari (kalangan) jin, manusia, dan burung, lalu mereka diatur dengan tertib. (18) hingga ketika sampai di lembah semut, ratu semut berkata, “Wahai para semut, masuklah ke dalam sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (19) Dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridhai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS An-Naml: 17-19).

Keistimewaan Nabi Sulaiman yang mampu berkomunikasi dengan semut mengajarkan kepada umat manusia agar peduli terhadap semua makhluk ciptaan Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah mengajarkan kepada umatnya untuk menyelamatkan semut yang sedang berada di tengah air dan akan tenggelam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abdullah Bin Amr Bin Hiram, Jasadnya Utuh Setelah Dimakamkan 40 Tahun



Jakarta

Abdullah bin Amr bin Hiram adalah ayah dari Jabir bin Abdullah, seorang sahabat Rasulullah SAW. Abdullah meninggal dalam keadaan syahid ketika Perang Uhud. Setelah puluhan tahun dimakamkan, jasadnya masih utuh dan bahkan masih mengeluarkan darah layaknya orang yang baru saja meninggal dunia.

Kisah tentang jasad Abdullah bin Amr bin Hiram yang masih utuh ini menjadi salah satu kisah yang terkenal. Peristiwa ini juga sekaligus menunjukkan bahwa Allah SWT berkuasa atas segala kehendak-Nya.

Mengutip buku Kisah Karomah Para Wali Allah oleh Abul Fida’ Abdurraqib bin Ali Al-Ibi, kisah Abdullah ayah Jabir ini diceritakan oleh banyak sahabat Nabi SAW.


Al-Bukhari Rahimahullah berkata, “Kami mendengar cerita dari Ali bin Abdullah, dari Sufyan, dari Ibnu al Munkadir, ia berkata, Aku pernah mendengar Jabir bin Abdullah Radhiyalahu Anhuma bercerita, ‘Pada Perang Uhud orang tuaku didatangkan dalam keadaan tertutup sekujur tubuhnya. Ternyata beliau telah terbunuh dalam keadaan yang sangat mengerikan. Ketika aku bermaksud membuka pakaiannya, orang-orang melarangku. Sekali lagi aku bermaksud membuka pakaiannya, tetapi mereka tetap melarangku. Akhirnya, Rasulullah sendiri yang membukakannya, atau beliau menyuruh untuk dibukakan.

Tiba-tiba saja beliau mendengar suara tangisan atau jeritan. Beliau bertanya, “Siapa itu?”

Para shahabat menjawab, Putri atau saudara perempuannya, Amr. Beliau bersabda, ‘Mengapa ia menangis? Malaikat sekarang ini masih selalu menaungi Abdullah dengan sayap-sayapnya sampai dia diberangkatkan'”

Firasat Abdullah bin Amr tentang Kematiannya

Imam Al-Bukhari Rahimahullah berkata, “Bisyr bin Al Mufadhdhal bercerita kepada kami, dari Husain Al-Mu’allim, dari Atha’, dari Jabir Radhiyallahu Anhu, ia berkata, ‘Menjelang Perang Uhud, tengah malam ayahku memanggilku. la berkata, ‘Aku merasa diriku adalah orang pertama dari sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam yang akan terbunuh. Bagiku, sepeninggalku nanti aku tidak akan membiarkan ada yang lebih mulia daripada kamu selain jiwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Sesungguhnya aku masih punya tanggungan hutang. Oleh karena itu, bayarlah dan berilah wasiat yang baik kepada adik-adik perempuanmu’.

Esoknya ayahku adalah orang yang pertama kali terbunuh. la dimakamkan bersama orang lain dalam satu kubur. Karena merasa tenang, enam bulan kemudian aku membongkar kuburnya. Ternyata keadaannya masih seperti ketika ia diletakkan, kecuali bagian telinga saja yang rusak.

Abdullah bin Amr Dimakamkan Tanpa Dimandikan

Orang-orang yang mati syahid dimakamkan tanpa dimandikan, hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,

لَا تُغَسِّلُوهُمْ، فَإِنَّ كُلَّ جُرْحٍ – أَوْ كُلَّ دَمٍ – يَفُوحُ مِسْكًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Jangan kalian memandikan mereka (orang yang mati syahid dalam jihad) karena setiap luka dan setiap darah akan mengeluarkan minyak beraroma kasturi di hari kiamat. (HR Ahmad).

Rasulullah SAW sendiri mencontohkannya melalui pemakaman jenazah para syuhada Uhud. Meski jenazah mereka dalam kondisi berdarah, Rasulullah SAW menganjurkan untuk tidak dimandikan maupun disalati.

Ibnu Sa’ad Rahimahullah dalam kitab Ath-Thabagat (I/562) berkata, “Kami mendapat cerita dari Al-Walid bin Muslim, dari ALAuza’i, dari Az-Zuhri, dari Jabir bin Abdullah, ‘Bahwasanya Rasulullah SAW ketika keluar rumah untuk mengebumikan para shahabat yang gugur sebagai syahid dalam Perang Uhud bersabda, ‘Selimutilah mereka sekalian dengan luka mereka karena sesungguhnya aku adalah saksi bagi mereka. Setiap orang Muslim yang terluka dalam perang di jalan Allah, niscaya pada hari Kiamat kelak ia akan datang dengan darah yang mengalir yang warnanya laksana warna minyak za’faran dan aromanya laksana aroma kesturi’.

Jabir bercerita, ‘Jenazah ayahku dibungkus dengan selembar kain selimut. Rasulullah SAW menyeleksi di antara para korban yang gugur. Beliau menyuruh mendahulukan yang paling banyak hafal Al-Qur’an untuk dimasukkan ke dalam liang lahat.

Abdullah bin Amr bin Hiram adalah pasukan Uhud pertama yang gugur di medan perang. la dibunuh oleh seorang pasukan musyrik bernama Sufyan bin Abdu Syams Abu Al-A’war As-Sulami. Rasulullah menyalatkannya sebelum pasukan kaum Muslimin berlarian. Beliau bersabda, ‘Makamkan Abdullah bin Amr dan Amr bin Jamuh dalam satu kubur karena keduanya adalah sepasang shahabat karib. Makamkan kedua orang yang saling men cintai di dunia ini dalam satu lubang’.

Jasad Abdullah bin Amr Masih Utuh

Abdullah bin Amr adalah orang yang berkulit merah, berkepala botak dan memiliki postur tubuh tinggi. Sementara Amr bin Jamuh memiliki postur tinggi sehingga keduanya bisa dikenali. Letak kubur mereka berada di tempat yang mudah terkena banjir.

Hal inilah yang membuat makamnya dibongkar dengan maksud untuk dipindahkan ke tempat yang lebih aman.

Setelah dibongkar, jasad mereka kedapatan masih utuh berikut kain kafannya. Luka di wajah Abdullah juga masih ada, dan posisi tangannya memegang luka itu.

Jabir berkata, “ketika aku berusaha menyingkirkan tangannya dari luka, darah mengalir cukup deras. Ketika aku kembalikan pada posisi semula, darah menjadi berhenti.

Aku melihat keadaan ayahku seperti orang yang sedang tidur nyenyak. Sedikit pun tidak ada yang berubah. Kain selimut yang digunakan untuk kafan dan menutupi wajahnya masih dalam keadaan utuh. Demikian pula dengan mantel yang ditutupkan pada sepasang kakinya. Padahal, itu sudah berlangsung selama empat puluh enam tahun yang lalu.”

Jabir yang hendak memindahkan makam ayahnya ini urung melakukan niatnya karena para sahabat Rasulullah SAW merasa keberatan.

Orang yang Syahid Dijamin Surga

Tirmidzi Rahimahullah berkata, “Kami mendapatkan riwayat dari Yahya bin Habib bin Arabi, dari Musa bin Ibrahim bin Katsir Al Anshari, dari Thalhah bin Kharrasy, ia berkata, ‘Aku pernah mendengar Jabir bin Abdullah mengatakan, ‘Aku bertemu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Beliau bertanya kepadaku, Wahai Jabir, kenapa aku melihat kamu nampak bersedih?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ayahku gugur pada saat peristiwa Perang Uhud. la meninggalkan keluarga dan tanggungan hutang.

Beliau bersabda, ‘Maukah aku berikan kabar gembira kepadamu atas apa yang dianugerahkan oleh Allah kepada mendiang ayahmu?’ Aku menjawab, “Tentu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda, Sesungguhnya Allah tidak berfirman kepada siapa pun, kecuali dari balik tirai. Setelah menghidupkan kembali ayahmu, Allah berfirman kepadanya secara terang-terangan. Allah berfirman, Wahai hamba Ku, sampaikan keinginanmu, niscaya Aku akan meluluskan keinginanmu itu’.

Ayahmu berkata, “Ya Tuhan, Engkau telah memberikan kehidupan padaku, lalu aku berjuang di jalan-Mu sebanyak dua kali. Lalu, Allah Yang Maha mulia lagi Mahaagung berfirman, ‘Sesungguhnya Aku sudah tahu bahwa mereka tidak akan kembali. Kemudian, turunlah ayat dalam surat Ali Imran ayat 169

وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Arab-Latin: Wa lā taḥsabannallażīna qutilụ fī sabīlillāhi amwātā, bal aḥyā`un ‘inda rabbihim yurzaqụn

Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Akhir dari Kisah Cinta Beda Agama Putri Rasulullah



Jakarta

Putri sulung Rasulullah SAW dan Khadijah RA, Zainab RA, menikah dengan seorang lelaki kafir Quraisy, Abul Ash bin Rabi’. Keduanya menjalani cinta beda agama sejak Zainab RA memeluk Islam mengikuti sang ayah.

Kisah cinta beda agama yang dijalani Zainab RA ini sampai membuat Rasulullah SAW iba melihat perjuangan dan ketulusan cinta putrinya kepada Abul Ash. Menurut Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakputri, Abul Ash merupakan putra bibi Zainab RA yang bernama Halah binti Khuwailid.

Sejak kecil, Abul Ash sudah bergaul dengan Zainab RA seperti bergaul dengan saudara sendiri. Abul Ash diasuh oleh Khadijah RA dengan kasih sayang seperti anak kandung sendiri. Ia diizinkan keluar-masuk rumah Rasulullah SAW seperti rumah sendiri, sebagaimana diceritakan dalam buku Rumah Tangga Seindah Surga karya Ukasyah Habibu Ahmad.


Setelah dewasa, Abul Ash menjadi pemuda kaya, rupawan, dan mempesona bagi setiap orang yang memandangnya. Sebagai bangsawan, ia juga termasuk kaum Quraisy yang mewarisi bakat dan keterampilan berdagang. Banyak masyarakat Makkah yang menyetor harta mereka kepada Abul Ash untuk diperdagangkan.

Abul Ash kemudian menikahi Zainab RA. Pernikahan ini berlangsung sebelum masa kenabian atau sebelum turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW.

Kegelisahan Sayyidah Zainab kala Perang Badar

Singkat cerita, setelah mendapat wahyu kenabian, Zainab RA masuk Islam di tangan ayahnya. Ia tetap tinggal bersama suaminya, Abul Ash. Ketika itu, suami dan keluarganya masih dalam kemusyrikan, sebagaimana diceritakan Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal dalam Ummu Al-Mukminin Khadijah binti Khuwailid: Al-Mitslu Al-A’la li Nisa’i Al-‘Alamin.

Usai menjalani dakwah yang sangat sulit di Makkah, Rasulullah SAW memutuskan hijrah. Pada saat itu, Zainab RA tidak diperbolehkan oleh Abul Ash dan keluarganya meninggalkan Makkah.

Hingga Perang Badar meletus, Zainab RA menjadi satu-satunya muslimah yang tinggal bersama kafir Quraisy di Makkah.

Pada saat itu, Abul Ash turut serta dalam pertempuran untuk memerangi kaum muslimin dan mertuanya, Rasulullah SAW.

Peperangan tersebut jelas membuat Zainab RA merasa gelisah. Bagaimana tidak, saat itu sang suami berada di pihak musuh yang melawan ayahnya, padahal keduanya merupakan orang yang sangat dicintai Zainab RA.

Zainab RA hanya bisa berdoa semoga Allah SWT memberikan kemenangan kepada kaum muslimin, namun ia juga berharap suaminya dijauhkan dari bahaya dan mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam.

Pada akhirnya, kaum muslimin memenangkan peperangan dan Abul Ash menjadi salah satu tawanan. Ia digiring menuju Madinah dan Rasulullah SAW mewajibkan setiap tawanan menebus diri mereka jika ingin bebas.

Rasulullah SAW menetapkan uang tebusan antara 1.000-4.000 dirham sesuai dengan kedudukan dan kekayaan para tawanan di kaumnya.

Akhirnya, Zainab RA mengirimkan uang tebusan dan sebuah kalung pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwailid. Ketika Rasulullah SAW melihat Zainab RA beserta dengan kalung tersebut beliau terharu, air mata pun menetes di pipi beliau.

Melihat duka Rasulullah SAW, para sahabat setuju untuk membebaskan Abul Ash bin Rabi’ tanpa harus membayar tebusan. Kemudian Rasulullah SAW mengembalikan kalung tersebut dan meminta Abul Ash untuk menceraikan Zainab RA.

Sayyidah Zainab Sempat Berpisah dengan Abul Ash

Abul Ash kemudian menyetujui permintaan Rasulullah SAW agar menceraikan Zainab RA. Begitu kembali ke Makkah, keluarga Abul Ash juga menyetujui hal tersebut.

Mereka berkata, “Biarlah engkau menceraikan istrimu itu, dan kami akan mencarikan bagimu gadis yang jauh lebih cantik daripadanya.”

Namun, Abul Ash sangat mencintai Zainab RA sehingga ia berkata, “Di suku Quraisy tidak ada gadis yang dapat menandingi istriku.”

Meskipun dihalang-halangi orang Quraisy, pada akhirnya Abul Ash melepaskan Zainab RA ke Madinah. Di tengah perjalanan, beberapa orang Quraisy mengganggu unta Zainab RA dan membuatnya terjatuh. Putri Rasulullah SAW yang saat itu tengah mengandung akhirnya harus kehilangan bayinya karena keguguran.

Abul Ash Akhirnya Memeluk Islam

Setibanya di Madinah, Zainab RA dikabarkan masih sakit-sakitan dan lukanya sulit diobati. Hingga pada suatu ketika, Abul Ash akhirnya mendapat hidayah dari Allah SWT dan ia pun masuk Islam. Abul Ash kemudian menyusul Zainab RA pada tahun ke-7 Hijriah.

Rasulullah SAW amat senang menerima menantunya kembali. Zainab RA pun bahagia di sisa-sisa hidupnya bersama suami tercinta. Hingga akhirnya, Zainab RA wafat pada awal tahun 8 Hijriah di Madinah.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar dengan Janda Tua yang Masak Batu untuk Makan



Jakarta

Banyak sekali kisah inspiratif dan menambah keimanan dalam berbagai keterangan dalam dunia Islam. Salah satunya adalah kisah dari sahabat, Umar bin Khattab RA dengan janda tua.

Umar bin Khattab atau yang kerap dipanggil Umar merupakan salah satu orang terhebat di dalam sejarah Islam mungkin setelah Rasulullah SAW. Beliau merupakan Amirul Mukminin atau pemimpin orang-orang yang beriman sekaligus menjadi khalifah pertama setelah sepeninggalnya Rasulullah SAW.

Catatan dan rekaman sepak terjangnya semenjak masih menjadi musuh Islam hingga akhirnya menjadi ujung tombak Islam menyimpulkan dirinya sebagai orang yang besar dan tangguh. Namun, dalam satu kisah kita dapat mengetahui bagaimana hati seorang Umar yang ternyata lembut dan sangat perasa.


Umar diceritakan gemar melakukan blusukan ke rumah-rumah rakyatnya untuk mengetahui secara langsung bagaimana kondisi mereka. Seperti dikisahkan dalam buku Memang untuk Dibaca, 100 Kisah Islami Inspiratif Pembangkit Jiwa karya Rian Hidayat Abi, kisah ini berawal ketika suatu malam pada salah satu jadwal blusukan rutin sang khalifah.

Suatu malam, Umar bersama seorang sahabat bernama Aslam mengunjungi sebuah desa terpencil. Ketika sedang berkeliling, ia mendengar terdapat suara tangisan anak kecil yang bersumber dari sebuah rumah.

Rumah tersebut dihuni oleh seorang perempuan tua dan anaknya yang sedang menangis tadi. Alangkah terkejutnya ketika Umar ini mengetahui ternyata ibu tersebut sedang memasak batu seolah-olah sedang memasak makanan.

Hal ini membuat Khalifah umar merasa penasaran sekaligus merasa iba dengan perilaku yang ditunjukkan oleh janda tua tersebut, sehingga ia bertanya kepadanya perihal anaknya yang sedang menangis itu. Wanita tersebut kemudian menjawab,

“Saya memasak batu-batu ini hanya untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan yang dilakukan Umar bin Khattab (wanita itu tidak mengetahui sedang berbicara dengan Umar) yang tidak mau melihat rakyatnya sengsara. Sungguh kejam! Seharian ini kami belum makan satu suap pun, bahkan anakku pun sampai harus berpuasa. Ketika waktu berbuka tiba, saya mengharap bakal ada rezeki yang datang, namun kenyataannya tidak! Saya harus mengumpulkan batu-batu ini kemudian memasaknya untuk membohongi anakku yang kelaparan dengan harapan dia akan lekas tertidur. Ternyata anakku tidak bisa tertidur, kemudian ia menangis meminta makan.”

Sembari mendengar keluh kesah yang diutarakan oleh perempuan tua itu, Amirul Mukminin berlinang air mata. Kemudian. Umar segera beranjak dari tempat itu dan kembali ke Madinah untuk mengambil gandum yang dipikul di punggungnya untuk diantar ke janda tua itu.

Tanpa istirahat, Umar kemudian sampai ke rumah janda tua itu dan membawakan gandum serta beberapa liter minyak samin untuk bisa dimasak oleh janda tua itu. Setelahnya, janda tua itu bergegas memasak makanan untuk dia dan anaknya.

Setelah mampu menikmati makanan tersebut, wanita tua itu berkata, “Terima kasih, Semoga Allah SWT membalas amal perbuatanmu.”

Setelah kejadian yang menguras hati dan tenaga itupun akhirnya Umar lega karena bisa membantu rakyatnya agar tidak kelaparan lagi sekaligus menghentikan tangisan anak kecil tersebut. Umar kemudian berpamitan, sebelum pergi, ia menyampaikan kepada wanita tua itu untuk segera menemui Umat karena akan diberikan kepadanya hak penerima santunan negara.

Esok harinya, wanita itu bergegas untuk menemui Umar bin Khattab. Alangkah terkejutnya ia ketika mengetahui ternyata yang semalaman membantunya mengangkat gandum dan minyak adalah Umar sendiri.

Dikutip dari buku Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad. Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya.

Umar yang merasa bertanggung jawab melakukan berbagai usaha untuk membantu rakyatnya, termasuk mendistribusikan makanan dari Dar Ad-Daqeeq. Umar membagikan hingga berdoa memohon pengampunan pada Allah SWT hingga akhirnya turun hujan dan mengakhiri bencana tersebut.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Sayyidah Aisyah pada 17 Ramadan



Jakarta

Tepat hari ini, 17 Ramadan 58 H silam, Sayyidah Aisyah RA menghembuskan napas terakhirnya. Ummul Mukminin wafat setelah salat Witir.

Sayyidah Aisyah RA adalah istri ketiga dan merupakan istri kesayangan Rasulullah SAW. Satu hal yang membuat Rasulullah SAW sangat mencintai dan menyayangi Sayyidah Aisyah RA adalah kecerdasan dan keleluasaan wawasannya.

Semasa hidupnya Sayyidah Aisyah RA memiliki akhlak yang sangat baik, hingga menjelang wafatnya Sayyidah Aisyah RA juga menunjukkan sifat rendah hatinya.


Dalam buku The Way of Muslimah karya Nurfaisya dikatakan, kecerdasan yang dimiliki oleh istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW itu sudah terlihat sejak dia masih kecil.

Sayyidah Aisyah RA mampu mengingat dengan baik apa yang terjadi pada masa kecilnya, termasuk hadis-hadis yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

Dia mampu memahami, meriwayatkan, menarik kesimpulan, serta memberikan penjelasan detail hukum fiqih yang terkandung di dalam hadits. Sayyidah Asiyah RA juga sering menjelaskan hikmah-hikmah dari peristiwa yang dialaminya pada masa kecil.

Selain itu, Sayyidah Aisyah RA mampu mengingat dan memahami rahasia-rahasia hijrah secara terperinci hingga bagian-bagian terkecilnya.

Wafatnya Sayyidah Aisyah pada Malam 17 Ramadan

Merangkum dari buku Agungnya Taman Cinta sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni dan buku Aisyah Ummul Mukminin, Keanggunan Sejati karya Sulaiman an-Nadawi, menjelang wafatnya Sayyidah Aisyah RA berkeinginan untuk menjadi hamba Allah SWT yang biasa dan tak dikenang. Ia bahkan merasa malu jika dimakamkan di dekat Rasulullah SAW.

Sayyidah Aisyah RA tidak menghendaki hal tersebut dan berpesan agar kelak jika wafat, ia dikubur bersama dengan para sahabat lainnya di Baqi’.

Sayyidah Aisyah RA berwasiat supaya beliau dikebumikan pada waktu malam. Imam Muhammad meriwayatkan dalam Kitab al-Muwatta’ yang Aisyah pernah ditanya mengapa beliau tidak mau dikebumikan di sisi Nabi Muhammad SAW? Aisyah RA menjawab, “Jika saya dikuburkan bersama mereka, saya adalah satu-satunya orang yang pernah melakukan amalan buruk yang dikuburkan di sana.”

Aisyah meninggal dunia pada malam 17 Ramadan tahun 58 Hijriah setelah salat Witir. Utsman bin Abu Atiq berkata bahwa, “Saya melihat perempuan berkumpul di Baqi’ pada malam Sayyidah Aisyah RA meninggal dunia seolah-olah itu malam Raya.” Kisah ini diambil dari Kitab ath-Thabbaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Pada malam itu pula, Ummu Salamah mendengar bunyi hiruk pikuk seperti orang bergaduh. Beliau menyuruh pembantunya melihat apakah yang sudah terjadi. Tidak lama kemudian, pembantunya pulang dan menyampaikan berita bahwa Sayyidah Aisyah RA sudah meninggal dunia.

Ummu Salamah berkata, “Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, Aisyah adalah orang yang paling dicintai pesuruh Allah SWT setelah ayahnya (Abu Bakar). Hakim mencatatkan kisah ini.

Sewaktu Sayyidah Aisyah RA meninggal dunia, Abu Hurairah RA merupakan gubernur sementara di Kota Madinah. Beliau menjadi imam sembahyang jenazah. Setelah selesai Aisyah dikebumikan di Baqi’ yang menurunkan jenazah Aisyah ke dalam kubur adalah Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Atiq, Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin Zubair.

Pada saat itu pula, Madinah seolah-olah sedang dilanda kiamat pada malam itu, mereka sedang tenggelam pada masa-masa kesedihannya. Cahaya yang terang-benderang menyinari kota Madinah sudah padam untuk selama-lamanya.

Masruq, salah seorang pemimpin tabiin berkata, “Jika bukan karena takut timbulnya masalah, tentu saya sudah dirikan tempat berkabung untuk Aisyah, Ummul Mukminin.”

Sementara itu, ada pendapat lain sebagaimana diceritakan dalam buku Aisyah Ummul Mu’Minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah RA wafat pada malam Selasa, 17 Ramadan. Salah satu ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Ibnu Katsir.

Sayyidah Aisyah RA wafat pada usia 66 tahun.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Utsman bin Affan yang Masuk Islam Atas Ajakan Abu Bakar



Yogyakarta

Utsman bin Affan adalah salah seorang sahabat Nabi dan khulafaur rasyidin ketiga setelah Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Utsman bin Affan dilahirkan dari keluarga suku Quraisy Bani Umayyah dan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah.

Disebutkan dalam buku Biografi Utsman bin Affan oleh Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Utsman bin Affan termasuk salah satu Assabiqunal Awwalun, yaitu golongan orang-orang yang pertama masuk Islam. Ia adalah umat laki-laki keempat yang masuk Islam, setelah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Utsman bin Affan masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ash-Shiddiq. Saat Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi, Utsman berusia 34 tahun. Tidak ada perasaan bimbang dalam dirinya untuk segera memeluk Islam dan masuk ke agama Allah SWT.


Ajakan Abu Bakar kepada Utsman bin Affan untuk Masuk Islam

Mengutip dari buku Tarikh Khulafa karya Ibrahim Al-Quraibi, Utsman bin Affan memiliki bibi yang bernama Sa’da binti Kuraiz, seorang peramal di masa Jahiliyah. Bibinya pernah menyampaikan kepada Utsman mengenai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Sa’da mengatakan bahwa Muhammad itu berada di pihak yang benar serta agama yang diajarkannya akan unggul dan mengalahkan seluruh kaum yang memusuhinya. Pernyataan bibinya tersebut selalu terngiang dalam benaknya. Kemudian ia mendapati Abu Bakar yang sedang sendirian lalu duduk di sampingnya.

Abu Bakar yang melihat kegundahan Utsman bin Affan kemudian bertanya tentang persoalannya. Lantas, Utsman menceritakan semua hal yang didengar dari bibinya.

Abu Bakar kemudian berkata, “Celakalah engkau wahai Utsman! Demi Allah engkau adalah orang yang punya tekad kuat. Tidak sulit bagimu membedakan antara kebenaran dan kebatilan. Bukanlah berhala-berhala yang disembah kaum mu itu hanyalah batu yang tuli, tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, tidak bisa mencelakai, dan tidak bisa memberikan pertolongan?”

Utsman menjawab, “Benar. Demi Allah, begitulah berhala-berhala itu.”

Abu Bakar lalu melanjutkan, “Demi Allah, bibimu telah berkata benar kepadamu. Sesungguhnya, Muhammad bin Abdullah telah diutus oleh Allah dengan risalah-Nya untuk segenap makhluk. Apakah engkau mau menemui beliau dan mendengar penyampaian beliau?”

Utsman langsung menjawab dengan yakin, “Ya, aku mau.”

Tak selang lama, Rasulullah SAW bersama Ali bin Abi Thalib lewat. Abu Bakar pun langsung berdiri menghampiri beliau dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Ketika duduk, Rasulullah SAW menghadap Utsman lalu beliau bersabda, “Wahai Utsman, sambutlah panggilan Allah menuju surga-Nya. Sesungguhnya aku adalah utusan-Nya kepadamu dan seluruh makhluk-Nya.”

Utsman menuturkan, “Ketika mendengar ucapan beliau, aku tidak bisa menahan diri untuk masuk Islam dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.”

Keislaman Utsman bin Affan

Sama halnya dengan orang-orang yang telah masuk Islam lainnya, ketika kaumnya mendengar dan mengetahui keislaman Utsman bin Affan, ia mendapat penentangan dan tekanan yang keras dari kaumnya, Bani Abdusy Syams. Penentangan tersebut terutama berasal dari pamannya sendiri, Hakam bin Ash bin Umayyah.

Dikisahkan dalam buku Utsman bin Affan Ra. karya Abdul Syukur al-Azizi, Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim bin Harits at-Taimi, ia mengisahkan bahwa sewaktu Utsman bin Affan memeluk Islam, pamannya menangkapnya lalu membelenggunya dengan tali.

Pamannya mengatakan, “Apakah kamu membenci agama nenek moyangmu sehingga mengganti dengan agama baru? Demi Tuhan, tidak akan kulepas belenggumu sampai kamu meninggalkan agama yang kau anut sekarang!”

Utsman bin Affan menjawab dengan tegas, “Demi Allah, aku tidak akan pernah meninggalkan agamaku ini selama-lamanya. Aku juga tidak akan berpisah dari nabiku sepanjang hayat.”

Melihat keteguhan Utsman bin Affan r.a. dalam memegang agama barunya, Hakam pun meninggalkannya.

Semenara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa Utsman bin Affan merupakan pemuda Quraisy terkemuka yang memiliki harta melimpah, berakhlak mulia, dan memiliki nasab yang terhormat di antara kaumnya.

Namun, setelah orang-orang mengetahui keislaman Utsman bin Affan, mereka menjadi membencinya. Mereka menganggap apabila seseorang laki-laki sekaliber Utsman masuk Islam, maka keislamannya akan membuat banyak pemuda di Makkah ikut masuk Islam dan meniru jejaknya.

Seperti banyak sahabat lainnya yang disiksa karena keislamannya, Utsman bin Affan juga mengalami nasib serupa. Disebutkan dalam riwayat, Utsman bin Affan diikat dengan tali-tali dan tidak diberi makan oleh pamannya, Hakam bin Ash.

Pamannya berkata padanya, “Kembalilah kepada agama bapak-bapakmu! Demi Allah aku tidak akan meninggalkanmu sampai kamu meninggalkan agama Muhammad!”

Namun, Utsman tetap teguh dengan pilihannya memeluk agama Rasulullah SAW. Ia sabar dan rela menanggung siksaan agar tetap berada di jalan-Nya. Hakam tidak menemukan cara penyiksaan lain selain siksaan setan.

Konon, ia juga pernah membungkus Utsman bin Affan dengan tikar lalu menyalakan api di bawahnya hingga keluar asap. Akibatnya, Utsman r.a. hampir tercekik mati tetapi tetap tidak bergeming. Ia berteriak dengan lantang, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan meninggalkan agamaku, aku tidak akan berpisah dengan Nabiku!”

Setiap pamannya menambah siksaan pada dirinya, maka bertambah pula keteguhan Utsman bin Affan dalam memegang agamanya. Pada akhirnya, pamannya putus asa dalam menyiksa sehingga ia meninggalkan Utsman r.a. begitu saja.

Itulah kisah Utsman bin Affan yang masuk Islam atas ajakan Abu Bakar. Meskipun mendapatkan penyiksaan dari kaum dan pamannya sendiri, ia tetap memegang teguh keislamannya.

Hal tersebut juga dapat dijadikan sebagai teladan bagi umat muslim agar menjadi pribadi layaknya Utsman bin Affan yang kuat meyakini keimanannya dan ikhlas melakukan perjuangan karena Allah SWT.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Pingsan saat Puasa, Siapakah Dia?



Jakarta

Qais bin Shirmah Al-Anshari namanya. Sahabat Rasulullah SAW yang satu ini berasal dari golongan kaum Anshar.

Kala itu pada bulan Ramadan, suhu udara di Madinah sangat terik. Sampai-sampai, panas Matahari terasa seperti menyengat tubuh.

Setelah selesai bekerja tepat pada waktu berbuka, Qais pulang ke rumah dan bertanya kepada sang istri, “Apa kita punya makanan?”


Si istri yang tidak berpuasa karena tengah haid, menjawab Qais dengan perasaan sedih bahwa tidak ada makanan di rumah. Merasa tak tega, ia berkata “Tunggulah sebentar, aku akan mencarikan makanan untukmu,”

Dikisahkan dalam buku Pesona Ibadah Nabi oleh Ahmad Rofi’ Usmani, sang istri lalu pergi mencari makanan untuk Qais. Merasa lelah setelah seharian bekerja, Qais pun tertidur pulas.

Sekembalinya si istri membawa makanan, ia merasa tak tega membangunkan suaminya yang tengah terlelap karena seharian bekerja. Akhirnya, tidurlah Qais semalaman tanpa berbuka.

Walau begitu, keesokan harinya Qais tetap berpuasa. Alhasil, pada tengah hari dirinya jatuh pingsan karena belum makan dan minum sejak kemarin.

Peristiwa tersebut lantas sampai ke telinga Rasulullah SAW. Lalu turunlah surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Arab latin: Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, ‘alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba ‘alaikum wa ‘afā ‘angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum ‘ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la’allahum yattaqụn

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa,”

Mengutip dari buku Bekal Ramadhan dan Idhul Fitri 2 oleh Saiyid Mahadhir Lc MA, pada ayat tersebut dijelaskan terkait benang putih dan benang hitam. Maksud dari kata benang ialah gelapnya malam dan terangnya siang atau fajar.

Hal tersebut dikatakan oleh salah seorang sahabat Rasulullah yang bernama Adi bin Hatim RA, ia bertanya kepada Nabi SAW mengenai maksud dari benang putih dan benang hitam pada surah Al Baqarah ayat 187, beliau bersabda: “(Bukan) akan tetapi ia adalah gelapnya malam dan terangnya siang (fajar).” (HR Bukhari)

Pada zaman itu, puasa Ramadan baru diwajibkan sehingga belum ada ketentuan jelas terkait batasan-batasan kapan diperbolehkan makan-minum serta kapan tidak boleh. Sebagian sahabat yang berpuasa bahkan tertidur sebelum berbuka hingga sepanjang malam.

Ada juga yang tertidur lelap sampai-sampai tidak melaksanakan sahur, namun tetap harus puasa keesokan harinya, seperti yang dialami oleh Qais ibn Shirmah. Dengan demikian, turunnya surah Al Baqarah ayat 187 menjadi pedoman bagi kaum muslimin menjalankan puasa Ramadan.

Terlebih, pada ayat tersebut dijelaskan mengenai waktu berpuasa Ramadan, yaitu dari terbit fajar hingga terbenamnya Matahari.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Sahabat Nabi yang Diberi Julukan ‘Pintu Ilmu’, Siapakah Dia?



Jakarta

Sahabat yang disebut Nabi sebagai pintu ilmu adalah Ali bin Abi Thalib. Sebagai salah satu sahabat, Ali bin Abi Thalid dianugerahi gelar Babul ‘Ilm atau pintu ilmu pengetahuan karena kepribadian dan dedikasinya yang luar biasa di mata Rasulullah SAW.

Kisah yang terkait dengan Ali bin Abi Thalib sebagai pintu ilmu, disampaikan salah satunya melalui Buku Oase Spiritual 1 karya M. Syaiful Bakhri. Kisah tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Kisah Ali bin Abi Thalib, Sang Pintu Ilmu

Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan, “Aku adalah kota ilmu sedangkan Ali adalah pintunya.” Ketika orang-orang Khawarij (penentang Ali bin Abi Thalib) mendengar hadits ini, mereka menjadi tidak suka kepada Ali. Sepuluh orang pembesar Khawarij segera berkumpul.


Mereka semua kemudian berkata, “Kami hendak bertanya kepada Ali tentang satu masalah agar bisa meyakinkan kami, bagaimana kira-kira jawaban Ali. Apabila Ali dapat menjawab setiap pertanyaan dengan jawaban yang berlainan, maka kami percaya bahwa Ali adalah seorang yang banyak pengetahuannya, sebagaimana ucapan Nabi Muhammad SAW.”

Kemudian datanglah satu demi satu dari mereka dan bertanya, “Ya Ali, manakah yang lebih utama apakah ilmu ataukah harta?” Ali lantas menjawab, “Ilmu lebih utama daripada harta.” Kemudian orang itu bertanya lagi “Mana dasarnya?” Ali menjawab, “Ilmu adalah peninggalan para Nabi sedangkan harta adalah warisan Qarun, Syaddat, Fir’aun, dan lain- lainnya.”

Setelah mendengar jawaban tersebut, kemudian orang kedua Khawarij datang dan bertanya sebagaimana pertanyaan orang pertama, kemudian Ali menjawab, “Ilmu adalah lebih utama daripada harta.” Orang itu bertanya lagi, “Mana dasarnya?” Ali menjawab, “Ilmu akan menjaga dirimu, sedangkan harta engkaulah yang harus menjaganya.”

Orang ketiga dari mereka kemudian datang mengajukan pertanyaan sebagaimana pertanyaan orang pertama dan kedua, lalu Ali menjawab, “Ilmu adalah lebih utama daripada harta.” Orang yang datang ketiga itu menjawab balik, “Tunjukkan dasarnya.” Ali kemudian menjawab, “Kepada si pemilik harta akan mempunyai banyak musuh dan kepada orang yang memiliki banyak ilmu akan mempunyai banyak teman.’

Datanglah orang keempat yang kemudian dia bertanya ilmu ataukah harta yang lebih utama? Ali menjawab, “Ilmu adalah lebih utama daripada harta.” Laki-laki itu minta ditunjukkan dasarnya. Ali menjawab, “Apabila kamu memberikan harta kepada orang lain maka sesungguhnya harta itu menjadi berkurang dan apabila kamu memberikan ilmu maka ilmu itu akan bertambah.”

Kemudian datang orang kelima, dia mengajukanpertanyaan sebagaimana pertanyaan teman-temannya. Ali menjawab bahwasanya ilmu lebih utama daripada harta. Dia juga meminta dasar yang menunjukkan pendapat tersebut. Ali lalu menunjukkan, “Orang yang mempunyai harta mendapat julukan bakhil (pelit) dan tercela, sedangkan orang yang berilmu mendapatkan sebutan terhormat dan mulia.”

Selanjutnya datang lagi orang keenam dan bertanya masih mengenai persoalan yang sama. Maka Ali menjawab, “Ilmu adalah lebih utama daripada harta.” Orang itu bertanya “Tunjukkan dasarnya.” Ali menjawab, “Harta itu perlu dijaga dari para pencuri sedangkan ilmu tidak perlu dijaga dari pencuri.” Maka orang itu pun pergi dengan membawa jawaban.

Kemudian datang lagi orang ketujuh dan bertanya dengan soal yang sama, selanjutnya setelah terjawab mereka bertanya, “Mana dasarnya?” Ali menjawab, “Orang yang mempunyai harta akan dihisab kelak di hari kiamat, sedangkan ilmu akan memberikan pertolongan pada hari kiamat.”

Lalu datang lagi orang kedelapan dan bertanya, “Lebih utama mana ilmu ataukah harta?” Ali menjawab, “Harta akan menjadi musnah jika diendapkan terlalu lama, sedangkan ilmu tidak akan musnah dan tidak menjadi busuk.”

Berikutnya datang lagi orang urutan kesembilan sembari bertanya dengan pertanyaan yang sama, Ali tetap menjawab ilmu lebih utama. Orang itu bertanya, “Apa dasarnya?” Ali menjelaskan bahwa harta dapat mengeraskan hati sedangkan ilmu akan menerangi hati.

Kemudian datang orang terakhir atau kesepuluh, dia kemudian bertanya tentang perihal yang sama. Ali menjawab,”Ilmu lebih utama daripada harta.” Lalu dia juga melanjutkan pertanyaan, “Apa dasarnya?” Ali menjelaskan bahwa, “Orang yang memiliki harta mengagung-agungkan diri karena hartanya, sedangkan ilmu menjadikan manusia mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Andaikan semua orang Khawarij bertanya kepadaku tentang pertanyaan di atas, maka akan aku jawab dengan masing-masing jawaban yang berlainan pula sepanjang hidupku, maka justru merekalah yang akan datang dan menjalankan Islam dengan benar.” Subhanallah.

Itulah kisah mengenai sahabat yang disebut Nabi sebagai pintu ilmu yaitu Ali bin Abi Thalib. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan sekaligus bermanfaat bagi kita semua. Amiin yaa Rabbalalamiin.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Paman Nabi Muhammad yang Merawat dan Mengajaknya Berdagang



Yogyakarta

Abu Thalib adalah paman Nabi Muhammad yang mengasuh dan merawatnya selepas meninggalnya sang kakek, Abdul Muththalib. Abu Thalib juga menjadi sosok yang mengajak dan mengajari Nabi Muhammad untuk berdagang, berikut kisahnya.

Nabi Muhammad di Bawah Asuhan Sang Paman

Diceritakan dalam buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Nabi Muhammad SAW dulunya lahir tanpa seorang ayah. Beliau juga hanya diasuh oleh ibu kandungnya dalam waktu yang sangat singkat.

Dalam tradisi bangsa Arab saat itu, anak yang baru lahir tidak boleh disusui oleh ibunya sehingga mereka mencari wanita yang bisa menyusui anaknya. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari penyakit yang bisa menjalar di daerah perkotaan serta agar tubuh bayi menjadi kuat.


Pada usia enam tahun, Nabi Muhammad SAW baru diserahkan kembali kepada ibunda kandungnya. Tatkala perjalanan pulang dari makam ayahnya di Kota Yatsrib, ibunda Nabi, Siti Aminah, jatuh sakit dan meninggal dunia di kota Abwa’ yang terletak di antara Makkah dan Madinah.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW telah menjadi seorang yatim piatu di usianya yang keenam tahun. Kemudian ia hidup bersama kakeknya, Abdul Muthalib, di kota Makkah. Namun, Allah SWT berkehendak lain. Di usia delapan tahun, Abdul Muthalib wafat dan Muhammad kecil kembali kehilangan kasih sayang dari kakek tercintanya.

Sepeninggalan kakeknya, Abdul Muththalib, Nabi Muhammad SAW dirawat oleh pamannya, Abu Thalib. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan sebelumnya untuk menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayah beliau.

Abu Thalib melaksanakan hak pengasuhan anak saudaranya dengan sepenuh hati dan menganggap Nabi Muhammad seperti anaknya sendiri. Bahkan, Abu Thalib lebih mendahulukan kepentingan beliau daripada anak-anaknya sendiri.

Sikap Abu Thalib tetap sama hingga Nabi Muhammad berusia lebih dari empat puluh tahun. Beliau mendapatkan kehormatan di sisi Abu Thalib, hidup di bawah penjagaannya, rela menjalin persahabatan dan bermusuhan dengan orang lain demi membela beliau.

Abu Thalib Mengajak Nabi Muhammad Berdagang ke Syiria dan Bertemu dengan Bahira

Mengutip dari buku Muhammad di Makkah dan Madinah karya Tabari, suatu hari Abu Thalib melakukan perjalanan dagang ke Syiria dengan kelompok Quraisy. Ketika semua persiapannya telah selesai dan siap untuk pergi, Rasulullah SAW tidak mau ditinggal oleh pamannya.

Abu Thalib yang merasa kasihan padanya lalu berkata, “Sungguh, aku akan membawanya bersamaku dan kita tidak boleh saling terpisah.”

Abu Thalib mengajak Nabi Muhammad pergi berdagang bersamanya ke Syiria di usianya yang masih sembilan tahun. Tatkala rombongan pedagang berhenti di Bushra, Syria, di sana terdapat seorang rahib bernama Bahira yang tinggal dalam biaranya.

Di dalam biara tersebut, ada seorang biarawan beragama Kristen yang memiliki pengetahuan tentang tanda-tanda kenabian yang tertulis dalam kitab terdahulu. Saat rombongan pedagang tersebut berhenti di biaranya dan singgah di sana, Bahira menyiapkan hidangan yang banyak.

Bahira dapat melihat Rasulullah SAW yang selalu dipayungi oleh awan sehingga membuatnya terlihat mencolok di antara orang-orang dalam rombongannya. Ketika melihat Rasulullah SAW dari dekat, Bahira mengamati beliau dengan sungguh-sungguh. Ciri-ciri fisik pada diri Nabi Muhammad benar-benar persis dengan yang tertulis dalam kitabnya.

Seusai rombongan tersebut selesai makan, rahib itu bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang hal-hal yang telah terjadi, baik ketika beliau sedang terjaga maupun sedang tidur. Ketika mengamati punggung Rasulullah SAW, Bahira dapat melihat tanda (cincin) kenabian di antara kedua pundak beliau.

Bahira pun bertanya kepada Abu Thalib paman Rasulullah SAW, “Apa hubungan anak laki-laki ini denganmu?”

Abu thalib menjawab, “Anakku.”

“Ia bukan anakmu. Ayah anak itu tidak mungkin masih hidup” ucap Bahira.

“Ia anak saudara laki-lakiku,” terang Abu Thalib.

Bahira lalu bertanya kembali, “Apa yang terjadi pada ayahnya?”

“Ayahnya meninggal ketika ia masih ada di dalam kandungan ibunya,” jawab Abu Thalib.

“Kamu mengatakan hal yang sebenarnya. Bawa anak itu kembali ke negaramu dan jadilah pelindungnya dari kaum Yahudi. Sebab, demi Tuhan, jika mereka melihatnya dan mengenali apa yang aku temukan pada dirinya, mereka akan berusaha membinasakannya. Hal-hal luar biasa tersimpan dalam diri anak ini. Maka, segeralah bawa ia kembali ke negaramu,” kata Bahira.

Hal tersebut lantas membuat Abu Thalib segera membawa Nabi Muhammad SAW kembali ke kota Makkah. Sejak saat itulah, Abu Thalib menjadi sosok paman yang selalu melindungi Nabi Muhammad dan membelanya tatkala mendapat perlawanan dari kafir Quraisy.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Julaibib, Sahabat Nabi yang Dirindukan Bidadari Surga



Jakarta

Nabi Muhammad SAW memiliki seorang sahabat yang tak begitu terkenal namun ia dirindukan bidadari-bidadari surga. Ia bernama Julaibib.

Syaikh Mahmud Al-Mishri dalam Kitab Mausu’ah min Akhlaq Rasulillah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan, menurut riwayat Abu Barzah Al-Aslami, Julaibib adalah pria dari kalangan Anshar dan seorang dari sahabat nabi.

Julaibib termasuk sahabat nabi yang mulia. Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi karya Muhammad Nasrulloh, pernah suatu ketika Rasulullah SAW menanyakan kepada Julaibib kenapa ia tidak menikah.


Julaibib mengatakan dirinya tidak yakin akan ada wanita yang mau menikah dengannya. Sebab, ia tahu bahwa dirinya bukanlah pria bernasab, tidak rupawan, dan tidak memiliki harta.

Kisah mengenai Julaibib sebagai sahabat yang dirindukan bidadari surga ini turut diceritakan dalam buku Tarbiyah Cinta Imam Al-Ghazali karya Yon Machmudi dkk.

Dikatakan, Julaibib merupakan nama yang tidak biasa di kalangan bangsa Arab, namanya juga tidak lengkap dan tidak bernasab. Julaibib terlahir tanpa tahu siapa kedua orang tuanya.

Semua orang pun tak tahu atau tak mau tahu tentang dia, tentang nasabnya, atau dari suku apa ia berasal.

Tampilan fisiknya membuat tak ada yang mau berdekat-dekatan dengannya. Wajahnya jelek, posturnya pendek dan bungkuk, kulitnya hitam, miskin, pakaiannya lusuh, dan kakinya pecah-pecah karena tak beralas.

Julaibib adalah orang yang tidak diharapkan. Namun, bila Allah SWT berkehendak menurunkan kasih sayang-Nya, tak ada yang kuasa menghalanginya.

Allah SWT memuliakan Julaibib dengan hidayah, yang semula hina di antara penduduk bumi menjadi mulia di antara penduduk langit.

Julaibib selalu berada di shaf terdepan dalam salat dan jihad. Meski kebanyakan orang tetap menganggapnya tiada, tapi tidak dengan Rasulullah SAW yang selalu menunjukkan perhatian dan cinta kepada umatnya.

Julaibib yang tinggal di selasar Masjid Nabawi suatu hari ditegur oleh Rasulullah SAW, “Julaibib, tidakkah engkau menikah?” lembut suara Nabi SAW memekarkan bunga jiwa Julaibib.

“Siapakah orangnya, ya Nabi, yang mau menikahkan anaknya dengan diriku ini?” Julaibib menjawab dengan senyuman. Tidak ada kesan ia menyesali dan menyalahkan takdir. Rasulullah juga tersenyum, dan ia kembali menanyakan hal yang sama kepada Julaibib hingga tiga hari berturut-turut.

Pada hari ketiga itulah Rasulullah SAW mengajak Julaibib ke rumah salah satu pemimpin Anshar. Betapa bahagianya tuan rumah menerima kunjungan kehormatan dari sang Nabi Allah SWT.

“Aku ingin menikahkan putri kalian,” kata Rasulullah SAW kepada pemilik rumah.

“Masya Allah, alangkah indah dan berkahnya. Duhai betapa kehadiranmu akan menjadi cahaya yang menyingkirkan temaram di rumah kami”, si wali mengira bahwa Rasulullah akan meminang anak gadisnya.

“Bukan untukku,” aku pinang putrimu untuk Julaibib” kata Rasulullah SAW.

Ayah sang gadis tentu sangat terkejut mendengarnya, sedang istrinya berseru, “Dengan Julaibib? Bagaimana mungkin? Julaibib yang jelek dan hitam, tak bernasab, tak berkabilah, tak berpangkat, dan tak berharta? Demi Allah, tidak! Tidak akan pernah anak kita menikah dengannya!”

Sementara itu, anak gadisnya yang mendengar percakapan mereka dari balik tirai angkat bicara. Cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya mengalahkan segalanya.

Ia menerima pinangan dari Rasulullah SAW dan setuju untuk menikah dengan Julaibib. Cintanya kepada Allah SWT ditunjukkan dengan taat dan patuh kepada Rasul-Nya.

Namun, kebersamaan pasangan ini tidak berlangsung lama. Julaibib harus gugur saat berperang dan Rasulullah SAW sangat kehilangan.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW usai pertempuran.

“Tidak, ya Rasulullah,” serempak para sahabat menjawab.

“Apakah kalian kehilangan seseorang?” kata Rasulullah SAW bertanya lagi. Wajahnya mulai memerah.

“Tidak, ya Rasulullah,” Sebagian sahabat menjawab dengan ragu dan was-was, beberapa melihat sekeliling dan memastikan tidak kehilangan seseorang.

Terdengar helaan nafas yang berat, “Aku kehilangan Julaibib, carilah Julaibib!” kata beliau.

Para sahabat tersadar dengan sosok yang dicari Rasulullah SAW, akhirnya mereka menemukan Julaibib. Ia gugur penuh luka, di sekitarnya terdapat tujuh musuh yang telah ia bunuh. Rasulullah SAW dengan tangannya sendiri mengkafani Julaibib dan mensalatinya.

Julaibib telah lama dirindukan oleh para bidadari surga, meski di dunia ia memiliki istri yang salihah. Julaibib lebih diperhatikan oleh penduduk langit daripada penduduk bumi.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com