Tag Archives: rpjmn 2025 – 2029

Desain Bandara Baru Bali Utara yang Mirip Kura-kura, Dibangun Offshore?


Jakarta

Desain bandara baru yang bakal berlokasi di area Bali Utara resmi diluncurkan PT BIBU Panji Sakti yang menggawangi mega proyek tersebut. Dalam rilis yang diterima detikTravel, secara umum rancangan North Bali International Airport (NBIA) tersebut mirip punggung penyu atau kura-kura.

“Konsep arsitektur bandara bandara terinspirasi dari makhuk dalam cerita legenda Bali Bedawang Nala, yaitu kura-kura kosmik yang menjadi penyangga alam manusia (Bhurloka) dengan dukungan naga Anantabhoga dan Basuki,” tulis rilis tersebut.

Desain arsitektur Bandara Bali UtaraDesain arsitektur Bandara Bali Utara Foto: Dok. Alien DC

Bentuk cangkang ditranslasikan menjadi lengkung, pola geometris, dan pola organik lainnya yang mengisi elemen interior serta keseluruhan bentuk massa terminal. Pembangunan bandara juga memegang teguh prinsip Tri Hita Karana yaitu harmoni dengan Tuhan, alam, dan manusia.


Konsep Tri Hita Karana diwujudkan dalam desain tata ruang yang terbuka dan hijau (natah), serta sesuai dengan arsitektur bandara secara keseluruhan. Interior bandara juga dirancang memberi pengalaman yang memadukan tradisi, iklim khas tropis, dan kenyamanan.

Dengan tatanan ini, Bandara Bali Utara diharapkan bisa bercerita tentang Bali sejak pengunjung memasuki area airport. Pembangunan bandara mengedepankan prinsip sustainability dengan efisiensi energi, penggunaan renewable energy, dan menyediakan akses transportasi publik serta ramah lingkungan.

Bandara Bali Utara Dibangun Offshore?

Desain arsitektur Bandara Bali UtaraDesain arsitektur Bandara Bali Utara (dok. Alien DC)

Bali Utara, seperti kawasan lain di Pulau Dewata, sarat dengan tradisi dan areal pertanian produktif. Banyak situs religi tersebar di lahan bandara yang pastinya tidak boleh diganggu atau diganti. Selain itu, ada desa dan tanah adat yang punya arti penting bagi warga Bali.

Dengan kondisi tersebut, sempat ada wacana Bandara Bali Utara akan dibangun offshore. Dikutip dari situs CROSS Celesta Nusa Penida, pembangunan lepas pantai mencegah rusaknya tempat peribadatan, alih fungsi lahan produktif, dan perubahan desa adat.

Pemerintah juga tak perlu melakukan proses pembebasan lahan yang rumit dan panjang, jika memilih offshore. Namun wacana ini belum menemukan titik terang karena pembangunan offshore mengancam keanekaragaman pesisir, meningkatkan risiko abrasi, dan menurunkan daya dukung lingkungan.

Pembangunan Bandara Bali Utara menghadapi masalah besar terkait isu lingkungan dan sosial kemasyarakatan. Dengan kebijakan yang terus berganti, banyak pihak terus memperhatikan progress perizinan dan pembangunan bandara.

“Terkait Bandara Bali Utara kami belum memiliki informasi dan tidak mengikuti isunya,” ujar Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Bali Made Krisna Dinata pada detikTravel.

Meski masuk dalam RPJMN 2025-2029, pemerintah belum menegaskan lokasi pasti pembangunan bandara. Bandara Bali Utara sempat disebut akan berlokasi di Kecamatan Kubutambahan, setelah sebelumnya dipilih Kecamatan Gerokgak tepatnya Desa Adat Sumberklampok.

(row/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Bandara Bali Utara Belum Pastikan Lokasi, Ini Evaluasi dan Saran dari Pakar UI



Jakarta

Bandara Bali Utara masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, desain juga sudah diluncurkan, namun lokasi resmi belum jelas hingga kini. Pakar perencanaan lingkungan dari Universitas Indonesia, Dr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Si., membeberkan evaluasi dan saran agar rencana itu segera terealisasi.

Desain Bandara Bali utara diluncurkan pda 24 September. Desain bandara Bali utara yang dibuat oleh firma arsitektur Alien Design Consultant (DC) diluncurkan di kantor PT BIBU Panji Sakti, Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

Dalam peluncuran itu, disebutkan lokasi bandara Bali utara ada di Kubutambahan, Buleleng. Namun beberapa hari kemudian Plt. Kepala Dinas Perhubungan Bali, Nusakti Yasa Weda, menyatakan lokasi bandara belum ditentukan.


Awalnya, Pemprov Bali mengajukan usulan lokasi bandara Bali utara di Desa Kubutambahan, namun kemudian membatalkan dan mengajukan lokasi baru di Desa Adat Sumberklampok. Perubahan itu tercantum dalam Surat Gubernur Bali tertanggal 19 November 2020.

Rudy menilai belum adanya kepastian lokasi bandara Bali utara saat desain sudah diluncurkan itu menjadi gambaran lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Persoalan itu pun menjadi kendala utama yang bisa menghambat realisasi proyek strategis itu.

Rudy menyatakan kendati sempat menuai pro dan kontra, rencana pembangunan Bandara Bali Utara memiliki urgensi yang tak bisa diabaikan. Saat ini, Bali hanya memiliki satu pintu masuk udara utama, yakni Bandara I Gusti Ngurah Rai di selatan. Kawasan itu sudah lama menanggung beban operasional tinggi akibat konsentrasi pariwisata, penduduk, dan pembangunan yang terkonsentrasi di kawasan tersebut.

Nah, bandara baru di wilayah utara bukan hanya alternatif logistik dan transportasi, tapi juga digadang-gadang sebagai solusi strategis untuk pemerataan pembangunan pulau. Wilayah utara Bali seperti Buleleng, Jembrana, dan Bangli selama ini belum mendapat porsi pertumbuhan ekonomi yang seimbang dibanding selatan.

Kehadiran bandara itu diharapkan membuka akses langsung ke potensi wisata alam dan budaya juga memperkuat ketahanan transportasi Bali, khususnya dalam menghadapi situasi darurat seperti bencana alam atau gangguan operasional di selatan

“Yang saya tangkap, antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi ada perbedaan perspektif. Seharusnya, bandara dan transportasi udara adalah urusan konkuren pemerintahan, urusan bersama antara pusat, provinsi, dan kabupaten,” kata Rudy dalam perbincangan dengan detiktravel, Kamis (/10/2025).

Dr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Sc., pakar perencanaan lingkungan, SIL UIDr. Rudy Parluhutan Tambunan, M.Sc., pakar perencanaan lingkungan, SIL UI (dok. pribadi)

“Pusat mengatur hal strategis nasional, provinsi merinci, dan kabupaten harus memastikan implementasi benar-benar cocok di lapangan. Bagaimanapun kabupaten yang harus menangani kecamatan dan desa-desa sebagai pemilik lokasi,” Rudy menambahkan.

Rudy, yang juga dosen Sekolah Ilmu Lingkungan UI itu, mengatakan polemik lokasi bandara Bali utara itu bisa diselesaikan melalui KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang memang sudah diwajibkan pada pasal 16-18 UU No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 46 Tahun 2016.

“KLHS wajib dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota pada tahapan penyusunan kebijakan, rencana, dan program pembangunan. KLHS itu dilakukan untuk menilai kebijakan, rencana, dan program sektor yang berpotensi menimbulkan dampak dan risiko lingkungan,” ujar Rudy.

“Jika pemerintah melakukan KLHS untuk pembangunan Bandara Bali Utara maka kajian tersebut harus mengacu pada arahan dan pesan yang tercantum dalam RPJMN 2025-2029. Selanjutnya, perlu melihat pembagian kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota,” dia menjelaskan.

Rudy menilai dengan kebutuhan mendesak pembangunan Bandara Bali Utara itu, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus segera mencapai kesepakatan. Dia mengingatkan bahwa kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah itu harus segera dicapai agar proses pengambilan keputusan tidak hanya berdasarkan logika strategis nasional semata, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan struktur sosial dan ekonomi lokal.

“Pemerintah pusat mengatur hal-hal yang bersifat umum dan strategis secara nasional, sementara provinsi mengatur secara lebih rinci. Di tingkat kabupaten, pelaksanaan kebijakan harus didasarkan pada justifikasi land use atau penggunaan lahan yang jelas. KLHS tidak sekadar menakar dampak lingkungan, tapi juga melihat kesesuaian rencana dengan tata ruang, daya dukung lahan, hingga potensi risiko sosial,” kata Rudy.

“Buleleng memiliki kawasan pertanian produktif dan zona lindung yang vital. Tanpa kajian yang matang, proyek ini justru bisa merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan wilayah,” dia menambahkan.

“Jangan sampai bandara dibangun di lahan yang seharusnya dilindungi, atau malah mengorbankan sumber penghidupan utama masyarakat,” Rudy menegaskan.

(fem/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Komdigi Kaji Teknologi Satelit Langsung ke HP, Ala Direct to Cell Starlink


Jakarta

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka konsultasi publik terkait dokumen Call for Information (CFI) Kajian Regulasi dan Kebijakan Potensi Implementasi Teknologi Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) di Indonesia.

Dokumen CFI ini membahas potensi pemanfaatan pita frekuensi 2 GHz untuk pengembangan dua teknologi strategis, Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) dan Air-to-Ground (A2G).

NTN-D2D memungkinkan konektivitas langsung antara ponsel dan satelit, sedangkan A2G memungkinkan komunikasi langsung antara pesawat dan jaringan darat.


Teknologi NTN-D2D memungkinkan perangkat seluler berkomunikasi langsung dengan satelit tanpa bergantung pada menara BTS, sehingga dapat menjangkau masyarakat di wilayah terpencil, perbatasan, dan perairan yang sulit dijangkau jaringan terestrial.

Secara konsep, teknologi ini serupa dengan layanan ‘Direct to Cel’ milik Starlink, yang memungkinkan ponsel biasa mengirim pesan atau melakukan komunikasi langsung melalui satelit tanpa perangkat tambahan. Model ini tengah menjadi tren global karena dianggap mampu menutup “blank spot” sinyal seluler di berbagai wilayah.

Komdigi menjelaskan bahwa kajian ini disusun oleh Direktorat Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit, dan Standardisasi Infrastruktur Digital, Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital.

Tujuannya untuk menghimpun pandangan, data, serta praktik terbaik dari para pemangku kepentingan mengenai potensi pemanfaatan teknologi NTN-D2D sebagai solusi pemerataan konektivitas digital nasional.

Komdigi menilai, penerapan teknologi NTN-D2D di Indonesia berpotensi memperluas jangkauan layanan seluler, memperkuat ketahanan komunikasi nasional, serta menciptakan dampak ekonomi digital di daerah.

“Teknologi ini memungkinkan perangkat seluler berkomunikasi langsung dengan satelit tanpa bergantung pada jaringan terestrial, sehingga berpotensi memperluas konektivitas hingga ke wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal),” dikutip dari siaran pers, Selasa (21/10/2025).

Adapun, kajian ini juga menjadi bagian dari pelaksanaan Rencana Strategis Komdigi 2025-2029 dan mendukung sasaran RPJMN 2025-2029, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 dan agenda Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dalam dokumen CFI tersebut, pemerintah mengundang masukan dari operator telekomunikasi, penyedia layanan satelit, industri perangkat, asosiasi, akademisi, dan masyarakat umum.

“Masukan yang diberikan akan menjadi bahan penting dalam penyusunan kebijakan dan regulasi, termasuk aspek teknis, manajemen spektrum frekuensi, model bisnis, dan skema kerja sama antaroperator,” ungkap Komdigi.

(agt/rns)



Sumber : inet.detik.com