Tag Archives: rumah bersejarah

Simbol Perjuangan, Toleransi, dan Kemanusiaan



Cianjur

Di Jalan Moch Ali No. 64, Cianjur terdapat sebuah rumah berwarna hijau yang berusia hampir satu setengah abad. Lokasinya agak menjorok sekitar 10 meter dari jalan raya dan dikelilingi pepohonan yang cukup rimbun sehingga seperti tersembunyi.

Rumah yang dibangun pada 1886 ini merupakan kediaman Bupati Cianjur ke-10 RAA Prawiradiredja II yang berkuasa pada 1864-1910. Sejak 2010 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menetapkan rumah ini sebagai Benda Cagar Budaya Nasional.


“Di masa pendudukan Jepang menjadi basis pergerakan PETA (tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Tokohnya antara lain Gatot Mangkoepraja dan Raden Ayu Tjitjih Wiarsih (anak dari Bupati Prawiradiredja II) selaku pemilik waris rumah in,” kata Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025).

Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025).Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025). (Sudrajat)

Pada 1963, Bumi Ageung Cikidang pernah menjadi tempat singgah dan perlindungan ratusan warga Tionghoa. Umumnya mereka para orang tua, perempuan, dan anak-anak.

Kala itu terjadi kerusuhan yang bermula dari keributan di kampus Institut Teknologi Bandung. Entah kenapa dan siapa yang menggerakkan lalu pecah menjadi kerusuhan di Cirebon yang merembet ke tempat lain seperti Bogor, Cianjur, Sukabumi, Garut, Cipayung, dan beberapa daerah di provinsi lain.

Kala itu,kata Fajar, warga pribumi mengeluarkan barang-barang milik dari pertokohan di sekitar Pecinan lalu membakarnya. Tidak ada yang menjarah dan tindakan kriminal lainnya, orang-orang Tionghoa juga tidak menjadi sasaran amuk massa. “Namun karena ketakutan banyak warga Tionghoa akhirnya memilih bermalam di rumah ini,” kata Fajar.

Rachmat Fajar, cucu buyut Prawiradiredja II saat menerima rombongan Komunitas Japas (Jalan Pagi Sejarah) Bogor, Rabu (20/8/2025).Potret Prawiradiredja II (Sudrajat)

Sebelum dikenal dengan sebutan Bumi Ageung Cikidang, rumah seluas 510m2 di atas lahan lebih dari 3.000 m2 itu, lebih dikenal oleh warga sekitar dengan sebutan Rumah Dokter Toki Syamsudin. Di rumah ini lah warga yang sakit datang untuk berbobat dengan ongkos sangat murah.

“Jadi Ayah saya itu tidak pernah menetapkan tarif berobat, seikhlasnya saja. Karena itu bisa disebut ini rumah kemanusiaan. Ayah prakek di rumah ini dari 1970an – 2015, beliau juga salah seorang pendiri RSUD Cianjur,” kata Fajar.

Rumah ini dominan terbuat dari kayu. Bukan kayu Jati, tapi Rasamala. Maklum, kayu yang juga populer dengan sebutan Gadog ini di Jawa Barat banyak ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Untuk dinding luar, kusen pintu dan kusen jendela, tiang struktur utama dan balok struktur terbuat dari kayu Rasamala.

Meski kualitasnya masih di bawah kayu Jati tapi Rasamala tergolong tahan rayap. Teksturnya yang cenderung halus membuatnya tak perlu lagi diamplas terlalu lama sehingga cukup baik digunakan untuk dinding.

Untuk dinding ruangan dalam utama, menurut Fajar, terbuat dari anyaman pohon kajang yang dimensinya lebih kecil dan teksturnya lebih halus daripada bilik. Sementara langit plafon terbuat dari anyaman bambu (bilik).

Jendela dan pintu rata-rata memiliki tinggi sekitar tiga meter dengan ventilasi krepyak khas era Belanda. Untuk lantai sudah menggunakan tegel bermotif seperti batik.

Sebelum ke Bumi Ageung Cikidang, detikTravel bersama Komunitas Japas yang dipimpin ‘Kuncen Bogor’ Johnny Pinot dan Abdullah Abubakar Batarfie mengunjungi Pabrik Tauco Cap Meong yang legendaris, Pabrik Roti Tan Keng Cu yang khusus melayani para tentara Belanda di era kolonial, dan Istana Cipanas.

(jat/ddn)

Sumber : travel.detik.com

Alhamdulillah اللهم صلّ على رسول الله محمد wisata mobil
image : unsplash.com / Thomas Tucker

Cikini 82, Dari Rumah Ahmad Soebardjo Jadi Ruang Seni Elegan



Jakarta

Di balik tembok bergaya kolonial di kawasan Menteng, berdiri rumah bersejarah milik Ahmad Soebardjo, tokoh perumus kemerdekaan Indonesia. Kini, Cikini 82 bertransformasi menjadi ruang seni dan pameran batik yang menawan, mengajak pengunjung menjelajah sejarah lewat estetika.

Rumah Cikini 82 mencolok. Berada di jantung Cikini, yang berada di Jakarta Pusat, rumah kuno dengan gaya arsitektur kolonial itu memang tampak megah dan terawat dari balik pagar. Rupanya, rumah itu memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Bangunan Cikini 82 itu dulu tempat tinggal dari Ahmad Soebardjo, seorang tokoh penting sebagai Menteri Luar Negeri pertama di Republik Indonesia.


Rumah itu telah berdiri sejak 1860. Rumah tersebut sempat digunakan sebagai kantor pertama bagi Kementerian Luar Negeri setelah kemerdekaan Indonesia.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Kini, rumah itu bukan lagi milik keluarga Achmad Soebardjo, tetapi menjadi milik pribadi dari Lukas Budiono, seorang advokat di Indonesia. Kendati sudah pindah kepemilikan, kondisi di dalam rumah itu masih sama alias tidak ada perubahan, baik dari ruangan atau pun keramik lantai. Semua masih serupa aslinya.

Menurut penjelasan dari salah seorang petugas bernama Sarah, rumah itu dibuka saat ada event dan penyewaan venue.

“Pada tanggal 11 sampai 17 Oktober ini ada acara khusus, tetapi di hari biasa rumah ini tidak dibuka karena merupakan milik pribadi. Kami menyewa tempat ini khusus untuk mengadakan pameran batik,” ujar Sarah saat ditemui oleh detikTravel pada hari Rabu (15/10/2025).

Bangunan Klasik Bernuansa Kolonial

Cikini 82 didirikan di atas lahan yang luasnya mencapai 2.951 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 1.796 meter persegi. Kompleks rumah ini terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu Main House, East Pavilion, dan West Pavilion.

Di Main House, para pengunjung dapat melihat ruang kerja dari Ahmad Soebardjo yang masih terjaga dengan baik, lengkap dengan koleksi buku-buku langka yang dimilikinya. Ruangan ini diberi pembatas berupa tali agar pengunjung tidak memasuki area pribadi.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Selain ruang kerja, terdapat juga ruang tamu (holding room) dan ballroom yang dindingnya dihiasi dengan berbagai karya seni dari pelukis terkenal Indonesia, seperti Affandi, Lee Man Fong, Widayat, Hendra Gunawan, Dullah, serta Walter Spies.

Tidak hanya itu, area rumah ini juga dilengkapi dengan pendopo, kantor kecil, mushola, serta fasilitas toilet untuk pria dan wanita. Suasana kolonial yang menenangkan langsung terasa saat memasuki halaman rumah.

Salah seorang pengunjung bernama Dinda mengungkapkan bahwa dirinya sangat terkesan dengan suasana yang ada.

“Bangunannya sangat khas kolonial, saat masuk terasa sejuk dan masih sangat asli. Di bagian belakang juga terdapat teras yang sangat estetik untuk berfoto,” kata Dinda.

Di dalam rumah, berbagai furnitur antik seperti lampu gantung, meja kayu, kursi klasik, hingga rak buku tua semakin memperkuat kesan bersejarah dari tempat ini.

Lokasi dan Akses ke Cikini 82

Bagi detikers yang ingin mengunjungi rumah bersejarah ini, lokasinya berada di Jalan Cikini Nomor 82, Jakarta Pusat. Akses menuju lokasi ini cukup mudah, detikers dapat menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Cikini, atau menggunakan bus TransJakarta dengan rute 5M dan 6H (arah Cikini). Sebagai alternatif, Anda juga dapat menggunakan rute JakLingko Jak10A.

Pameran Batik di Rumah Ahmad Soebardjo

Ketika detikTravel berkunjung pada Rabu (15/10/2025), rumah Ahmad Soebardjo sedang digunakan sebagai lokasi untuk pameran batik karya Quoriena Ginting.

Terdapat sekitar 30 karya batik dan songket yang dipamerkan, sebagian besar berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Pameran itu membuktikan bahwa rumah bersejarah tidak hanya menyimpan cerita masa lalu, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk ekspresi seni dan budaya masa kini.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Cikini 82, Dari Rumah Ahmad Soebardjo Jadi Ruang Seni Elegan



Jakarta

Di balik tembok bergaya kolonial di kawasan Menteng, berdiri rumah bersejarah milik Ahmad Soebardjo, tokoh perumus kemerdekaan Indonesia. Kini, Cikini 82 bertransformasi menjadi ruang seni dan pameran batik yang menawan, mengajak pengunjung menjelajah sejarah lewat estetika.

Rumah Cikini 82 mencolok. Berada di jantung Cikini, yang berada di Jakarta Pusat, rumah kuno dengan gaya arsitektur kolonial itu memang tampak megah dan terawat dari balik pagar. Rupanya, rumah itu memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Bangunan Cikini 82 itu dulu tempat tinggal dari Ahmad Soebardjo, seorang tokoh penting sebagai Menteri Luar Negeri pertama di Republik Indonesia.


Rumah itu telah berdiri sejak 1860. Rumah tersebut sempat digunakan sebagai kantor pertama bagi Kementerian Luar Negeri setelah kemerdekaan Indonesia.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Kini, rumah itu bukan lagi milik keluarga Achmad Soebardjo, tetapi menjadi milik pribadi dari Lukas Budiono, seorang advokat di Indonesia. Kendati sudah pindah kepemilikan, kondisi di dalam rumah itu masih sama alias tidak ada perubahan, baik dari ruangan atau pun keramik lantai. Semua masih serupa aslinya.

Menurut penjelasan dari salah seorang petugas bernama Sarah, rumah itu dibuka saat ada event dan penyewaan venue.

“Pada tanggal 11 sampai 17 Oktober ini ada acara khusus, tetapi di hari biasa rumah ini tidak dibuka karena merupakan milik pribadi. Kami menyewa tempat ini khusus untuk mengadakan pameran batik,” ujar Sarah saat ditemui oleh detikTravel pada hari Rabu (15/10/2025).

Bangunan Klasik Bernuansa Kolonial

Cikini 82 didirikan di atas lahan yang luasnya mencapai 2.951 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 1.796 meter persegi. Kompleks rumah ini terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu Main House, East Pavilion, dan West Pavilion.

Di Main House, para pengunjung dapat melihat ruang kerja dari Ahmad Soebardjo yang masih terjaga dengan baik, lengkap dengan koleksi buku-buku langka yang dimilikinya. Ruangan ini diberi pembatas berupa tali agar pengunjung tidak memasuki area pribadi.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Selain ruang kerja, terdapat juga ruang tamu (holding room) dan ballroom yang dindingnya dihiasi dengan berbagai karya seni dari pelukis terkenal Indonesia, seperti Affandi, Lee Man Fong, Widayat, Hendra Gunawan, Dullah, serta Walter Spies.

Tidak hanya itu, area rumah ini juga dilengkapi dengan pendopo, kantor kecil, mushola, serta fasilitas toilet untuk pria dan wanita. Suasana kolonial yang menenangkan langsung terasa saat memasuki halaman rumah.

Salah seorang pengunjung bernama Dinda mengungkapkan bahwa dirinya sangat terkesan dengan suasana yang ada.

“Bangunannya sangat khas kolonial, saat masuk terasa sejuk dan masih sangat asli. Di bagian belakang juga terdapat teras yang sangat estetik untuk berfoto,” kata Dinda.

Di dalam rumah, berbagai furnitur antik seperti lampu gantung, meja kayu, kursi klasik, hingga rak buku tua semakin memperkuat kesan bersejarah dari tempat ini.

Lokasi dan Akses ke Cikini 82

Bagi detikers yang ingin mengunjungi rumah bersejarah ini, lokasinya berada di Jalan Cikini Nomor 82, Jakarta Pusat. Akses menuju lokasi ini cukup mudah, detikers dapat menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Cikini, atau menggunakan bus TransJakarta dengan rute 5M dan 6H (arah Cikini). Sebagai alternatif, Anda juga dapat menggunakan rute JakLingko Jak10A.

Pameran Batik di Rumah Ahmad Soebardjo

Ketika detikTravel berkunjung pada Rabu (15/10/2025), rumah Ahmad Soebardjo sedang digunakan sebagai lokasi untuk pameran batik karya Quoriena Ginting.

Terdapat sekitar 30 karya batik dan songket yang dipamerkan, sebagian besar berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Pameran itu membuktikan bahwa rumah bersejarah tidak hanya menyimpan cerita masa lalu, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk ekspresi seni dan budaya masa kini.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Tak Masuk Cagar Budaya, Kondisi Rumah Eks Bupati Gunungkidul Makin Terbengkalai



Gunungkidul

Rumah eks Bupati Gunungkidul ke-18, Prawiro Suwignyo kondisinya sangat terbengkalai. Bangunan itu belum termasuk dalam bangunan cagar budaya.

Dinas Kebudayaan (Disbud) atau Kundha Kabudayan Kabupaten Gunungkidul menyebut rumah bersejarah yang berada di tengah kebun jati itu belum termasuk dalam daftar cagar budaya. Disbud mengungkap data primer terkait rumah tersebut masih minim.

“Belum (masuk cagar budaya), rumah itu baru terdaftar sebagai potensi objek diduga cagar budaya,” kata Kepala Kundha Kabudayan Gunungkidul, Agus Mantara, Jumat (26/9).


Agus mengungkapkan, dua tahun lalu Disbud pernah melakukan kajian awal guna mengumpulkan data-data terkait rumah tersebut. Akan tetapi, semua itu terhenti karena minimnya data yang diperoleh.

“Pernah kami tugaskan rekan untuk melakukan kajian awal, untuk mendapatkan data-data awal. Kemudian, karena ada beberapa data yang masih mentok maka belum bisa kami tindak lanjuti untuk proses selanjutnya,” ujarnya.

Agus menyebut, pihaknya masih kesulitan mendapatkan data primer. Padahal kajian itu sangat memerlukan data primer hingga sekunder yang nantinya menjadi acuan dalam penentuan cagar budaya.

“Data primer yang kami butuhkan belum ketemu. Karena dalam kajian itu kami perlu data primer, data sekunder dan selanjutnya kami komparasi dengan standar-standar penulisan sejarah yang menjadi dasar atau acuan untuk kajian bangunan warisan itu menjadi cagar budaya,” ucapnya.

Terlebih, saat ini rumah tersebut tidak berpenghuni dan sulit untuk mencari data dari keluarga Prawiro Suwignyo.

“Apalagi selama ini tidak ada penghuninya dan itu salah satu kendala data primer yang kami butuhkan. Sebenarnya itu kan punya calon Wakil Bupati, tapi kami mencari beliau juga belum bisa ketemu untuk wawancara, mencari data. Karena sejarah itu harus data dan fakta, tidak boleh legenda,” katanya.

Akan tetapi, Agus memastikan bahwa Disbud Gunungkidul tetap berupaya untuk melakukan kajian terhadap rumah tua tersebut. Di mana nantinya akan menjadi cagar budaya.

“Tapi masih tetap menjadi daftar urutan kajian objek diduga cagar budaya,” ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, rumah Bupati ke-18 Gunungkidul, Prawiro Suwignyo di Pati, Genjahan, Ponjong yang sempat viral karena berada di tengah kebun jati, kondisinya semakin terbengkalai.

Bahkan, bagian atap depan rumah rusak akibat tertimpa pohon jati berukuran cukup besar. Sedangkan, dinding sisi barat rumah yang terbuat dari kayu tampak roboh, sehingga orang bisa langsung melihat isi dalam tumah tersebut.

Selanjutnya, untuk dinding sisi timur rumah masih berdiri meski kondisinya sudah lapuk. Tampak pula bagian dalam rumah terdapat banyak tumpukan kayu. Selain itu, beberapa kursi hingga meja masih berada di rumah tersebut.

——–

Artikel ini telah naik di detikJogja.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Cikini 82, Dari Rumah Ahmad Soebardjo Jadi Ruang Seni Elegan



Jakarta

Di balik tembok bergaya kolonial di kawasan Menteng, berdiri rumah bersejarah milik Ahmad Soebardjo, tokoh perumus kemerdekaan Indonesia. Kini, Cikini 82 bertransformasi menjadi ruang seni dan pameran batik yang menawan, mengajak pengunjung menjelajah sejarah lewat estetika.

Rumah Cikini 82 mencolok. Berada di jantung Cikini, yang berada di Jakarta Pusat, rumah kuno dengan gaya arsitektur kolonial itu memang tampak megah dan terawat dari balik pagar. Rupanya, rumah itu memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Bangunan Cikini 82 itu dulu tempat tinggal dari Ahmad Soebardjo, seorang tokoh penting sebagai Menteri Luar Negeri pertama di Republik Indonesia.


Rumah itu telah berdiri sejak 1860. Rumah tersebut sempat digunakan sebagai kantor pertama bagi Kementerian Luar Negeri setelah kemerdekaan Indonesia.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Kini, rumah itu bukan lagi milik keluarga Achmad Soebardjo, tetapi menjadi milik pribadi dari Lukas Budiono, seorang advokat di Indonesia. Kendati sudah pindah kepemilikan, kondisi di dalam rumah itu masih sama alias tidak ada perubahan, baik dari ruangan atau pun keramik lantai. Semua masih serupa aslinya.

Menurut penjelasan dari salah seorang petugas bernama Sarah, rumah itu dibuka saat ada event dan penyewaan venue.

“Pada tanggal 11 sampai 17 Oktober ini ada acara khusus, tetapi di hari biasa rumah ini tidak dibuka karena merupakan milik pribadi. Kami menyewa tempat ini khusus untuk mengadakan pameran batik,” ujar Sarah saat ditemui oleh detikTravel pada hari Rabu (15/10/2025).

Bangunan Klasik Bernuansa Kolonial

Cikini 82 didirikan di atas lahan yang luasnya mencapai 2.951 meter persegi, dengan luas bangunan sekitar 1.796 meter persegi. Kompleks rumah ini terdiri dari tiga bangunan utama, yaitu Main House, East Pavilion, dan West Pavilion.

Di Main House, para pengunjung dapat melihat ruang kerja dari Ahmad Soebardjo yang masih terjaga dengan baik, lengkap dengan koleksi buku-buku langka yang dimilikinya. Ruangan ini diberi pembatas berupa tali agar pengunjung tidak memasuki area pribadi.

Rumah bergaya kolonial Cikini 82Rumah bergaya kolonial Cikini 82 (Qonita Hamidah/detikcom)

Selain ruang kerja, terdapat juga ruang tamu (holding room) dan ballroom yang dindingnya dihiasi dengan berbagai karya seni dari pelukis terkenal Indonesia, seperti Affandi, Lee Man Fong, Widayat, Hendra Gunawan, Dullah, serta Walter Spies.

Tidak hanya itu, area rumah ini juga dilengkapi dengan pendopo, kantor kecil, mushola, serta fasilitas toilet untuk pria dan wanita. Suasana kolonial yang menenangkan langsung terasa saat memasuki halaman rumah.

Salah seorang pengunjung bernama Dinda mengungkapkan bahwa dirinya sangat terkesan dengan suasana yang ada.

“Bangunannya sangat khas kolonial, saat masuk terasa sejuk dan masih sangat asli. Di bagian belakang juga terdapat teras yang sangat estetik untuk berfoto,” kata Dinda.

Di dalam rumah, berbagai furnitur antik seperti lampu gantung, meja kayu, kursi klasik, hingga rak buku tua semakin memperkuat kesan bersejarah dari tempat ini.

Lokasi dan Akses ke Cikini 82

Bagi detikers yang ingin mengunjungi rumah bersejarah ini, lokasinya berada di Jalan Cikini Nomor 82, Jakarta Pusat. Akses menuju lokasi ini cukup mudah, detikers dapat menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Cikini, atau menggunakan bus TransJakarta dengan rute 5M dan 6H (arah Cikini). Sebagai alternatif, Anda juga dapat menggunakan rute JakLingko Jak10A.

Pameran Batik di Rumah Ahmad Soebardjo

Ketika detikTravel berkunjung pada Rabu (15/10/2025), rumah Ahmad Soebardjo sedang digunakan sebagai lokasi untuk pameran batik karya Quoriena Ginting.

Terdapat sekitar 30 karya batik dan songket yang dipamerkan, sebagian besar berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.

Pameran itu membuktikan bahwa rumah bersejarah tidak hanya menyimpan cerita masa lalu, tetapi juga dapat menjadi wadah untuk ekspresi seni dan budaya masa kini.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Ragam Batik dan Wastra Nusantara Dipamerkan di Cikini 82



Jakarta

Cikini 82, rumah Menteri Luar Negeri RI pertama, Ahmad Soebarjo kini bertransformasi jadi ruang pameran. Mari lihat pameran batik dan wastra Nusantara di sini:

Ketika detikTravel berkunjung ke Cikini 82, Rabu (15/10/2025), rumah Ahmad Soebardjo itu sedang digunakan sebagai lokasi untuk pameran batik karya Quoriena Ginting.

Terdapat sekitar 30 karya batik dan songket yang dipamerkan, sebagian besar berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan Sumatera.


Quoriena Ginting adalah seorang kolektor wastra Nusantara. Ini adalah pameran koleksi kainnya yang ke-10 dengan tema Rangkaian Bunga dan Budaya pada Wastra Nusantara.

Pameran bertajuk Nusawastra Silang Budaya ini menampilkan kekayaan wastra dari berbagai daerah di Indonesia. Quoriena Ginting pun menceritakan perjalanannya menjadi kolektor wastra yang dimulai sejak sekitar 20 tahun lalu. Semua berawal dari ketertarikannya pada sehelai kain company tua.

“Saya memulai koleksi saya sekitar 20 tahun yang lalu. Awalnya saya tidak terlalu tertarik soal kain, tapi suatu ketika ada tukang antik menawarkan kain company yang kondisinya robek-robek. Dari situ saya mulai belajar, kenapa kain seperti ini dikoleksi,” ujar Quoriena, dikutip Kamis (16/10/2025).

Pameran Wastra di Cikini 82Pameran Wastra di Cikini 82 Foto: (dok. Istimewa)

Pameran ini pun bisa jadi seperti museum berjalan agar masyarakat dapat melihat langsung dan mengapresiasi keindahan wastra Nusantara.

“Ini adalah salah satu cara saya supaya orang juga bisa melihat betapa luar biasanya Indonesia dan saya juga bisa sharing passion saya. Saya ingin supaya kesenangan saya, kecintaan saya, pengetahuan saya itu tidak berhenti di saya, tapi saya bisa sharing-kan ke banyak orang,” jelas dia.

Pameran Wastra di Cikini 82Pameran Wastra di Cikini 82 Foto: (dok. Istimewa)

Tema pameran kali ini, Rangkaian Bunga dan Budaya pada Wastra Nusantara terinspirasi dari keindahan motif buketan atau rangkaian bunga yang banyak terdapat pada koleksi kainnya, termasuk batik lawas karya Eliza van Zuylen yang diperkirakan dibuat sejak tahun 1800-an.

Kecintaannya terhadap wastra Nusantara juga mendorong dia untuk membuat buku Nusawastra Silang Budaya yang terbit dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris. Proses pembuatan buku ini memakan waktu tiga tahun.

Selama 3 tahun, Quoriena aktif berkeliling Indonesia untuk bertemu dengan para seniman wastra di daerah-daerah seperti Padang, Pekalongan, dan Bangkalan.

“Suami saya [Danil Ginting] bilang, ‘Bagusnya kamu buat buku, supaya yang bisa menikmati kain kamu bukan hanya teman-teman kita. Kalau kita buat buku kan semua orang bisa lihat’,” kenang Quoriena.

Buku yang terbit tahun 2016 ini memuat 245 kain pilihan dan sengaja dibuat dengan narasi yang mudah dibaca agar lebih menarik bagi pembaca Indonesia.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com