Tag Archives: sahabat nabi

Kisah Abu Salamah bin Abdul Asad, Andalan Rasulullah SAW di Medan Perang


Jakarta

Abu Salamah bin Abdul Asad adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kisah penuh perjuangan dan pengorbanan. Ia dikenal sebagai sosok yang beriman kuat, setia pada Rasulullah, serta menjadi bagian penting dalam sejarah awal Islam.

Kisah Abu Salamah bin Abdul Asad tidak hanya mencakup perjalanan hijrahnya, tetapi juga pengabdiannya dalam jihad di medan perang. Ia adalah pejuang yang ikhlas hingga akhir hayatnya, sekaligus suami dari Ummu Salamah yang kelak menjadi salah satu istri Nabi Muhammad SAW.


Mengenal Abu Salamah bin Abdul Asad

Dijelaskan di dalam buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hassan, Abu Salamah bin Abdul Asad adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki nama asli Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi. Ia mendapatkan kunyah “Abu Salamah” dari nama anak pertamanya, Salamah.

Sejak awal Islam disebarkan, Abu Salamah termasuk golongan sahabat yang segera menerima dakwah Rasulullah. Bersama istrinya, Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayah, ia menjadi bagian dari kelompok muslim pertama yang beriman yang dikenal sebagai As Sabiqun Al Awwalun.

Dalam perjalanan hidupnya, Abu Salamah menghadapi berbagai ujian besar, termasuk tekanan dari kaum Quraisy. Meski demikian, keimanan dan keteguhannya tidak pernah luntur sedikit pun.

Ia pernah mengikuti hijrah ke Habasyah untuk mencari tempat aman dalam beribadah. Di sanalah anak pertamanya, Salamah, lahir sebelum akhirnya ia kembali ke Mekah bersama keluarganya.

Saat perintah hijrah ke Madinah datang, Abu Salamah memutuskan untuk taat dan melaksanakan perintah Allah serta Rasul-Nya. Walau harus berpisah dengan istri dan anaknya karena tekanan kaumnya, ia tetap berangkat menuju Madinah.

Setelah satu tahun penuh perpisahan, Ummu Salamah akhirnya diizinkan menyusul ke Madinah bersama anaknya. Kisah perjuangan ini menunjukkan betapa kuatnya kesabaran dan keteguhan Abu Salamah dalam mempertahankan keimanan.

Kisah Abu Salamah di Medan Perang

Masih mengutip dari sumber yang sama, Abu Salamah bin Abdul Asad adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal berani di medan perang. Ia turut serta dalam dua pertempuran besar, yaitu Perang Badar dan Perang Uhud.

Dalam Perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah akibat pertempuran sengit melawan pasukan Quraisy. Luka tersebut membuatnya menderita dalam waktu lama dan tidak segera pulih.

Meskipun kondisi tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, Rasulullah SAW tetap mempercayainya untuk memimpin pasukan. Ia diberi tanggung jawab memimpin 150 sahabat untuk menghadapi ancaman dari Bani Asad bin Khuzaimah.

Bani Asad saat itu tengah mempersiapkan serangan rahasia terhadap Madinah. Pergerakan mereka dipimpin oleh dua bersaudara, Thalhah dan Salamah bin Khuwailid.

Dengan strategi yang matang, Abu Salamah berhasil memimpin pasukan muslim melumpuhkan Bani Asad. Keberhasilan ini terjadi pada bulan Muharram tahun ke-4 Hijriah, dan menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah jihad kaum muslimin.

Namun, kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan penderitaan Abu Salamah. Luka-lukanya dari Perang Uhud kambuh semakin parah hingga akhirnya menyebabkan wafatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-4 Hijriah.

Syahidnya Abu Salamah meninggalkan jejak mendalam bagi keluarganya. Ia meninggalkan istri, Ummu Salamah, serta empat anak, termasuk Zainab yang masih dalam kandungan saat ia wafat.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Suraqah bin Malik dalam Hijrah Nabi Muhammad


Jakarta

Suraqah bin Malik adalah salah satu sahabat Rasulullah yang kisahnya sangat terkenal dalam sejarah hijrah Nabi dari Makkah menuju Madinah. Namanya tercatat sebagai sosok yang awalnya mengejar Nabi karena tergiur iming-iming harta, namun kemudian justru mendapat hidayah dan menjadi pembela Islam.

Perjalanan hidup Suraqah bin Malik menggambarkan perubahan besar dari cinta dunia menuju cinta kepada Rasulullah. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang keimanan, mukjizat, dan janji Allah yang selalu benar.


Dari Cinta Harta Menjadi Cinta Rasulullah

Dikutip dari buku Kisah Teladan dan Hikmah Terbaik Para Sahabat Rasulullah SAW oleh Mutthia Asma’ dan Junaidil Awani, kisah Suraqah bin Malik merupakan salah satu cerita yang penuh hikmah dalam sejarah Islam. Sosok ini dikenal sebagai sahabat Rasulullah, meski awalnya ia justru berangkat untuk menangkap Nabi karena tergiur oleh imbalan dunia.

Saat Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan perjalanan hijrah menuju Madinah, kaum Quraisy kehilangan jejak keduanya. Mereka pun mengumumkan sayembara besar dengan hadiah 100 ekor unta bagi siapa pun yang berhasil menangkap Rasulullah.

Berita ini sampai kepada Suraqah bin Malik yang saat itu sedang bersama kaumnya di Qudaid. Ia segera menaruh ambisi besar untuk mendapatkan hadiah tersebut, namun menyembunyikan niatnya dari orang lain.

Ketika seorang lelaki mengatakan bahwa ia melihat tiga orang yang diduga Rasulullah, Abu Bakar, dan seorang penunjuk jalan, Suraqah langsung membantah. Ia pura-pura mengatakan bahwa mereka hanyalah kabilah lain yang sedang mencari unta hilang agar tidak ada orang lain yang mengejar.

Begitu suasana tenang, Suraqah menyiapkan kuda terbaiknya untuk mengejar Rasulullah. Keahliannya dalam menunggang kuda dan melacak jejak membuatnya yakin bisa menangkap beliau lebih dulu.

Namun, perjalanan itu tidak berjalan mulus. Saat ia memacu kudanya mendekat ke arah Rasulullah, tiba-tiba kaki kudanya terperosok ke tanah hingga membuatnya terpelanting.

Ia bangkit kembali dan mencoba mendekat, tetapi kudanya justru terperosok lebih dalam. Dalam keadaan sulit, Suraqah akhirnya memohon doa Rasulullah agar kudanya bisa bangkit kembali.

Rasulullah pun berdoa, dan kuda Suraqah benar-benar bisa bebas. Meski begitu, saat mencoba mendekat untuk ketiga kalinya, kudanya kembali tersungkur lebih parah hingga ia benar-benar menyerah.

Peristiwa itu membuka mata Suraqah bahwa ada pertolongan Allah yang menjaga Rasulullah. Ia pun luluh, lalu menghampiri Nabi dengan niat berbeda dan menawarkan perbekalannya.

Rasulullah menolak pemberian tersebut dan hanya menyuruh Suraqah pulang. Namun, Suraqah berjanji akan menghalangi orang Quraisy lain yang masih berusaha mencari jejak Rasulullah.

Nabi senang dengan janji itu, bahkan memberikan kabar gembira kepada Suraqah. Beliau bersabda bahwa suatu saat Suraqah akan memakai gelang milik Kisra, Kaisar Persia.

Waktu terus berjalan, dan meski sejak peristiwa itu Suraqah membenarkan kenabian Rasulullah, ia baru benar-benar masuk Islam setelah Fathu Makkah. Ia kemudian hidup sebagai sahabat Nabi yang setia hingga akhir hayatnya.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, janji Rasulullah terbukti nyata. Setelah Persia ditaklukkan, harta rampasan perang dibawa ke Madinah, dan Umar memakaikan gelang Kisra kepada Suraqah bin Malik, sehingga genaplah nubuwat Rasulullah dalam kisah yang agung ini.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nu’aim bin Mas’ud dan Peran Strategisnya di Perang Khandaq


Jakarta

Nu’aim bin Mas’ud merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang terkenal karena kecerdikannya dalam strategi perang. Ia berasal dari suku Ghatafan di Najd dan dikenal mampu mempengaruhi musuh sekaligus membantu kaum Muslimin dalam situasi genting.

Kecerdikan Nu’aim bin Mas’ud terlihat jelas saat Perang Khandak, di mana ia berhasil memecah belah barisan musuh tanpa bertempur secara langsung. Keahliannya dalam berdiplomasi dan meredakan konflik menjadikannya sosok yang strategis dan dihormati oleh kaum Muslimin maupun lawan mereka.


Latar Belakang Nu’aim bin Mas’ud

Dikutip dari buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Nu’aim bin Mas’ud (bahasa Arab: نعيم بن مسعود) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Najd, di dataran tinggi utara Arabia. Ia lahir dari suku Ghatafan, sebuah suku yang dikenal kuat dan berpengaruh pada masanya.

Pertemuan pertamanya dengan Nabi Muhammad terjadi ketika Abu Sufyan mengutusnya ke Madinah. Tugasnya adalah meyakinkan kaum Muslim agar tidak melawan pasukan Quraisy dengan cara melebih-lebihkan jumlah mereka.

Peristiwa ini terkait dengan Perang Badar kedua yang sebelumnya telah disepakati kedua pihak dalam konteks Perang Uhud. Nu’aim hadir sebagai sosok yang memiliki peran diplomatis dan strategis dalam interaksi antar suku.

Saat Pertempuran Khandak, Nu’aim menunjukkan kecerdikannya dalam membantu kaum Muslimin. Ia berhasil memecah belah barisan musuh melalui kemampuan propaganda dan negosiasi tanpa harus bertempur langsung.

Kisah Nu’aim bin Mas’ud dalam Perang Khandaq

Diceritakan dalam buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hassan, Nu’aim bin Mas’ud tiba di Madinah dengan hati yang gelisah, namun hatinya mulai terbuka ketika cahaya hidayah masuk. Ia sadar bahwa Islam adalah kebenaran, dan dirinya harus berdiri di sisi Nabi Muhammad.

Di tengah malam yang sunyi, Nu’aim memutuskan untuk menyatakan keislamannya secara diam-diam. Ia menemui Rasulullah dan bersyahadat, bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan di tengah musuhnya sendiri.

Rasulullah memercayakan tugas berat kepadanya: menimbulkan keraguan di hati musuh tanpa terlibat dalam pertempuran fisik. Nu’aim memahami betul karakter orang-orang yang akan dihadapinya, karena hubungan lama dengan kaum Yahudi dan Ghathfan memberinya keunggulan.

Langkah pertama Nu’aim adalah menemui Bani Quraizhah, sekutu Yahudi yang menjadi teman dekatnya sejak Jahiliyah. Ia berbicara dengan lembut dan meyakinkan mereka bahwa Quraisy dan Ghathfan tidak berniat tulus terhadap mereka.

Nu’aim menjelaskan bahwa negeri, harta benda, dan keluarga mereka akan terancam jika mereka ikut membantu musuh. Kata-katanya membuat Bani Quraizhah mulai mempertanyakan kesetiaan pasukan Quraisy dan Ghathfan.

Tidak berhenti di situ, Nu’aim kemudian mendekati pasukan Quraisy dan Ghathfan. Ia menyampaikan bahwa Bani Quraizhah sedang mempertimbangkan untuk menarik dukungan mereka, menimbulkan kecurigaan dan ketidakpastian di barisan musuh.

Sikap cerdik Nu’aim membuat kedua pihak saling curiga dan menahan diri. Strategi ini membuat moral musuh menurun drastis tanpa setetes darah pun tertumpah.

Pada malam-malam berikutnya, ia terus menyebarkan kebingungan dengan pesan-pesan yang tepat sasaran. Setiap kata yang diucapkannya memecah konsentrasi musuh, sehingga mereka ragu-ragu untuk melanjutkan serangan.

Usahanya berpadu dengan doa-doa kaum Muslimin yang memohon pertolongan Allah. Ketenangan hati Muslimin menjadi semakin kuat, meski mereka dikepung dari segala penjuru oleh musuh yang bersekutu.

Allah pun menurunkan bantuan-Nya dalam bentuk angin kencang yang mengguncang kemah-kemah musuh. Periuk makanan, perbekalan, dan tenda-tenda mereka hancur, memperparah kekacauan di barisan Quraisy dan Ghathfan.

Esok harinya, musuh memutuskan untuk mundur, menyadari bahwa serangan mereka gagal total. Nu’aim bin Mas’ud tersenyum dalam diam, mengetahui bahwa kecerdikannya telah menyelamatkan banyak nyawa dan mempertahankan Madinah.

Peran Nu’aim dalam Perang Khandaq menjadi bukti bahwa peperangan tidak selalu dimenangkan dengan pedang. Kepintaran, strategi, dan keberanian dalam berdiplomasi mampu menaklukkan musuh lebih efektif daripada kekuatan fisik semata.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Kumpulan Kata-kata Bijak Umar bin Khattab tentang Kehidupan yang Inspiratif


Jakarta

Umar bin Khattab RA merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW sekaligus Khulafaur Rasyidin. Ia memiliki sifat yang tegas dan berani.

Dikutip dari buku Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad SAW yang disusun Yoli Hemdi, Umar bin Khattab RA dulunya termasuk salah satu orang yang menentang ajaran Rasulullah SAW. Ia sangat membenci sang rasul dan menganggapnya sebagai orang yang memecah belah kesatuan masyarakat Makkah.


Seiring berjalannya waktu, beliau mendapat hidayah dan masuk Islam. Kala itu ia mendengar lantunan ayat suci dan bergetar. Prasangka buruknya terhadap Nabi SAW langsung sira begitu saja.

Kemudian Umar RA berkata, “Demi Allah! Ini (benar) adalah (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!”

Lalu, saat Nabi Muhammad SAW membaca surah Al-Haqqah ayat 40-41, Umar RA berkata lagi pada dirinya, “Ini adalah (ucapan) tukang tenung (juru ilmu hitam)!”

Dilanjutkannya oleh Rasulullah dengan bacaan surah Al-Haqqah sampai akhir ayat. Pada kemudian hari Umar berujar, “Ketika itulah Islam memasuki relung hatiku.” Itulah awal benih-benih kebenaran Islam masuk ke hati Umar bin Khattab.

Kata-kata Mutiara Umar bin Khattab RA Semasa Hidup

Semasa hidupnya, Umar bin Khattab banyak mengucap kata-kata bijak dan mutiara. Berikut beberapa di antaranya seperti dikutip dari buku 2.000 Kata Mutiara dari 200 Tokoh Dunia oleh Budi Santoso serta buku Kumpulan Kata Bijak Khulafaur Rasyidin tulisan Amir Mubarak.

1. “Aku khawatir akan datangnya hari di mana orang-orang yang tidak beriman merasa bangga dengan kedustaannya, sementara orang-orang yang beriman malu dengan keimanannya.”

2. “Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab, dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah akan datangnya hari besar ditampakkannya amal.”

3. “Sabar adalah bahan ramuan paling menyehatkan dalam hidup kita.”

4. “Jika pasanganmu sedang marah, maka kamu harus tenang. Karena ketika satu di antaranya adalah api, maka satu yang lainnya harus bisa menjadi air yang bisa meredam amarah tersebut.”

5. “Bila engkau menemukan celah pada seseorang dan engkau hendak mencacinya, maka cacilah dirimu, karena celahmu lebih banyak darinya.”

6. “Duduklah bersama orang-orang yang mencintai Allah. Itu karena bergaul bersama orang seperti mereka akan mencerahkan pikiran.”

7. “Wanita bukanlah pakaian yang bisa kamu kenakan dan kamu tanggalkan sesuka hati. Wanita itu terhormat dan memiliki haknya.”

8. “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, maka dia akan rendah hati. Jika dia memasuki tahapan ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya.”

9. “Mahkota seseorang adalah akalnya. Derajat seseorang adalah agamanya. Sedangkan kehormatan seseorang adalah budi pekertinya.”

10. “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, maka dia akan rendah hati. Jika dia memasuki tahapan ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya.”

11. “Kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata lemah lembut.”

12. “Aku tidak pernah sekalipun menyesali diamku. Tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku.”

13. “Andai terdengar suara dari langit yang berkata, ‘Wahai manusia, kalian semua sudah dijamin pasti masuk surga kecuali satu orang saja’. Sungguh aku khawatir satu orang itu adalah aku.”

14. “Jagalah sholatmu. Karena saat kamu kehilangan sholat, maka kamu akan kehilangan segalanya.”

15. “Hindarilah sifat malas dan bosan, karena keduanya kunci keburukan. Sesungguhnya jika engkau malas, engkau tidak akan banyak melaksanakan kewajiban. Jika engkau bosan, engkau tidak akan tahan dalam menunaikan kewajiban.”

16. “Jikalau kita letih karena kebaikan, maka sesungguhnya keletihan itu akan hilang dan kebaikan akan kekal. Namun jikalau kita bersenang-senang dengan dosa, maka sesungguhnya kesenangan itu akan hilang dan dosa itu akan kekal.”

17. “Orang yang banyak tertawa itu kurang wibawanya.”

18. “Janganlah kamu berburuk sangka dari kata-kata tidak baik yang keluar dari mulut saudaramu, sementara kamu masih bisa menemukan makna lain yang lebih baik.”

19. “Aku tidak pernah mengkhawatirkan apakah doaku akan dikabulkan atau tidak, tapi yang lebih aku khawatirkan adalah aku tidak diberi hidayah untuk terus berdoa.”

20. “Jangan berlebihan dalam mencintai sehingga menjadi keterikatan, jangan pula berlebihan dalam membenci sehingga membawa kebinasaan.”

21. “Perbanyaklah mengingat Allah, karena itu adalah obat. Janganlah buat dirimu terlalu banyak mengingat manusia, karena itu adalah penyakit”

22. “Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah keadaan tenang dan sabar”.

23. “Tidak ada rasa bersalah yang dapat mengubah masa lalu dan tidak ada kekhawatiran yang dapat mengubah masa depan”

24. “Keyakinan (iman) adalah di mana seharusnya tidak ada perbedaan antara perbuatan, perkataan, dan apa yang kamu pikirkan.”

25. “Ketahuilah saudara-saudaraku, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu (keras) hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin,” kata Umar.

26. “Tetapi buat orang yang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil saya lebih lembut dari mereka semua,” Umar melanjutkan.

27. “Ya Allah, saya ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku! Ya Allah, saya sangat lemah, maka berilah saya kekuatan! Ya Allah, saya ini kikir, jadikanlah saya orang dermawan!”

28. “Mahkota seseorang adalah akalnya. Derajat seseorang adalah agamanya. Sedangkan kehormatan seseorang adalah budi pekertinya.”

29. “Ilmu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, dia akan sombong. Jika dia memasuki tahapan kedua, maka dia akan rendah hati. Jika dia memasuki tahapan ketiga, maka dia akan merasa bahwa dirinya tidak ada apa-apanya.”

30. “Biasakan diri dengan hidup susah, karena kesenangan tidak akan kekal selamanya.”

31. “Jika tidur pada malam hari, aku telah menyia-nyiakan diriku. Jika aku tidur pada siang hari, aku telah menyia-nyiakan rakyatku.”

32. “Duduklah dengan orang-orang yang bertaubat, sesungguhnya mereka menjadikan segala sesuatu lebih berfaedah.”

33. “Barangsiapa takut kepada Allah SWT niscaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut kepada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki.”

34. “Sesungguhnya kita adalh kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, maka janganlah kita mencari kemuliaan dengan selainnya.”

35. “Seandainya kejujuran merendahkanku dan sedikit yang bisa dilakukan, maka hal tersebut lebih aku cintai dari kebohongan yang dapat menaikkan posisiku, meski sedikit yang bisa dilakukan.”

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

50 Kata-Kata Mutiara Para Sahabat Nabi Muhammad SAW



Jakarta

Para sahabat Nabi Muhammad SAW adalah generasi terbaik umat Islam. Mereka bukan hanya saksi hidup perjuangan Rasulullah, tetapi juga penerus risalah yang menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dalam kehidupan mereka yang penuh kesederhanaan dan keikhlasan, tersimpan banyak nasihat dan kata-kata bijak yang menjadi pelajaran berharga bagi umat hingga kini.

Kata-kata mutiara para sahabat tidak hanya mencerminkan keteguhan iman dan akhlak mulia, tetapi juga menunjukkan bagaimana mereka memahami hakikat hidup, sabar dalam ujian, dan tulus dalam beramal.


Melalui ungkapan-ungkapan penuh hikmah ini, kita dapat belajar tentang ketawadhuan, kesabaran, dan keteguhan hati dalam menjalani kehidupan sesuai ajaran Islam.

Kata-kata Mutiara Sahabat Rasulullah SAW

  1. “Ilmu adalah cahaya bagi hati dan petunjuk bagi jalan.” – Abu Bakar RA
  2. “Kesabaran menghadapi ujian adalah kunci kebahagiaan.” – Umar bin Khattab RA
  3. “Jadilah orang yang menebar manfaat bagi sesama.” – Ali bin Abi Thalib RA
  4. “Amal kebaikan kecil lebih baik daripada menunda amal besar.” – Utsman bin Affan RA
  5. “Hargai waktu, karena ia tidak akan kembali.” – Abu Hurairah RA
  6. “Jangan sombong, karena semua berasal dari Allah.” – Bilal bin Rabah RA
  7. “Kejujuran adalah fondasi persaudaraan sejati.” – Salman Al-Farisi RA
  8. “Belajarlah sepanjang hayat, ilmu tak mengenal usia.” – Talhah bin Ubaidillah RA
  9. “Ridha Allah lebih berharga daripada pujian manusia.” – Sa’ad bin Abi Waqqas RA
  10. “Hati yang lembut membawa kedamaian dalam hidup.” – Abu Darda RA
  11. “Tegaslah dalam kebenaran, walau sendirian.” – Abdullah bin Mas’ud RA
  12. “Bersyukurlah atas nikmat kecil maupun besar.” – Aisyah RA
  13. “Berdoalah tanpa henti, karena doa senjata orang mukmin.” – Abu Bakrah RA
  14. “Jangan berhenti berbuat baik meski sedikit.” – Ibn Abbas RA
  15. “Keimanan sejati tampak dari akhlak yang mulia.” – Umar bin Khattab RA
  16. “Jauhi kemarahan, karena ia merusak hati.” – Abu Hurairah RA
  17. “Persaudaraan adalah harta paling berharga.” – Talhah bin Ubaidillah RA
  18. “Senyum kepada sesama adalah sedekah.” – Abdullah bin Umar RA
  19. “Hidup sederhana, hati tenang, jiwa bahagia.” – Salman Al-Farisi RA
  20. “Jangan menunda kebaikan, lakukan sekarang juga.” – Ali bin Abi Thalib RA
  21. “Ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah.” – Ibn Mas’ud RA
  22. “Bersikap lemah lembut menenangkan jiwa.” – Abu Darda RA
  23. “Berani menegakkan kebenaran, meski berbeda pendapat.” – Umar bin Khattab RA
  24. “Doa tulus membuka pintu rahmat Allah.” – Aisyah RA
  25. “Jangan iri, karena setiap orang punya rezeki berbeda.” – Utsman bin Affan RA
  26. “Hati yang bersih menenangkan diri dan orang lain.” – Abu Bakr RA
  27. “Sabar menghadapi musibah adalah bagian dari iman.” – Abdullah bin Mas’ud RA
  28. “Kebaikan kecil jika konsisten lebih mulia dari besar tapi jarang.” – Ali bin Abi Thalib RA
  29. “Ridha Allah adalah kebahagiaan sejati.” – Bilal bin Rabah RA
  30. “Ilmu bermanfaat bagi diri sendiri dan umat.” – Salman Al-Farisi RA
  31. “Bersyukur membuat hidup ringan dan tentram.” – Abu Darda RA
  32. “Jangan sombong dengan harta, karena ia sementara.” – Talhah bin Ubaidillah RA
  33. “Memaafkan orang lain menenangkan hati.” – Aisyah RA
  34. “Setiap langkah menuju kebaikan dicatat sebagai pahala.” – Abu Hurairah RA
  35. “Jangan takut berbuat benar meski sulit.” – Umar bin Khattab RA
  36. “Keikhlasan adalah kunci diterimanya amal.” – Ibn Abbas RA
  37. “Hargai teman yang menasihati dengan tulus.” – Abu Bakrah RA
  38. “Menjaga lisan dari ucapan buruk adalah tanda iman.” – Abdullah bin Umar RA
  39. “Sedekah menyejukkan hati dan memperkuat persaudaraan.” – Ali bin Abi Thalib RA
  40. “Kesederhanaan adalah jalan menuju ketenangan.” – Abu Darda RA
  41. “Ilmu tanpa berbagi akan sia-sia.” – Salman Al-Farisi RA
  42. “Jangan menunda taubat, lakukan segera.” – Ibn Mas’ud RA
  43. “Bersikap rendah hati mendekatkan diri kepada Allah.” – Umar bin Khattab RA
  44. “Hidup untuk memberi manfaat, bukan hanya menerima.” – Abu Bakr RA
  45. “Jangan menilai seseorang dari harta atau kedudukannya.” – Ali bin Abi Thalib RA
  46. “Senyum dan salam mempererat ukhuwah Islamiyah.” – Bilal bin Rabah RA
  47. “Bersyukur dalam segala keadaan adalah tanda orang beriman.” – Abu Hurairah RA
  48. “Belajar dan beramal adalah jalan hidup seorang Muslim.” – Ibn Abbas RA
  49. “Kesabaran menghadapi ujian membentuk karakter kuat.” – Talhah bin Ubaidillah RA
  50. “Jadilah cahaya bagi orang lain melalui kebaikanmu.” – Aisyah RA

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Inspirasi Kisah Kesederhanaan Ali bin Abi Thalib saat Lebaran



Jakarta

Ali bin Abi Thalib RA adalah sahabat Rasulullah SAW yang menyimpan sejumlah kisah menginspirasi. Salah satunya saat Lebaran tiba.

Merangkum berita Hikmah detikcom, sahabat yang memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim ini lahir di Makkah pada tanggal 13 Rajab. Ali RA lahir pada tahun ke-32 dari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Terdapat juga yang menyebutkan jika Ali RA dilahirkan pada 21 tahun sebelum hijrah.


Menurut beberapa keterangan, disebutkan bahwa ayah beliau adalah paman dari Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay. Sedangkan ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf.

Dilihat secara garis keturunan kedua orang tuanya, Ali RA merupakan keturunan berdarah Hasyimi yang dikenal oleh masyarakat pada zamannya sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, pemegang kepemimpinan masyarakat, dan memiliki sejarah cemerlang di masyarakat Makkah.

Ibunya memberikan nama Haidarah (macan) kepada Ali RA, diambil dari nama kakek Ali RA, Asad. Dengan harapan bahwa buah hati mereka kelak menjadi seorang laki-laki pemberani. Namun, ayahnya memberinya nama Ali (yang leluhur), hingga sekarang nama Ali-lah yang lebih dikenal masyarakat luas.

Ali bin Abi Thalib RA telah memeluk Islam sejak ia masih berusia sangat belia. Dikutip dari buku tulisan Mustafa Murrad berjudul Kisah Hidup Ali Ibn Abi Thalib, ia bahkan disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam.

Rasulullah SAW adalah salah satu orang yang paling berpengaruh yang telah mengasuh, mendidik, dan mengajarinya sejak kecil. Kasih sayang dan kemuliaan Rasulullah SAW inilah yang membentuk karakter Ali RA hingga matang saat dewasa.

Semasa hidupnya, Ali RA hidup dengan sangat sederhana. Bahkan dalam beragam riwayat, dijelaskan bahwa beliau cukup makan dengan lauk cuka, minyak, dan roti kering yang dipatahkan dengan lututnya.

Dikutip dari buku Rezeki Level 9 The Ultimate Fortune karya Andre Raditya, dijelaskan terdapat kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA saat Lebaran. Dikisahkan pada suatu suasana Idul Fitri, seseorang berkunjung ke rumah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah.

Didapatinya beliau sedang memakan roti yang keras. Lalu sang tamu ini berkata,

“Dalam suasana hari raya kenapa engkau memakan roti yang keras ini?”

Maka Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA pun menjawab,

“Sesungguhnya hari ini adalah lebarannya orang yang diterima puasanya, yang bersyukur atas usahanya dan diampuni dosa-dosanya. Hari ini adalah Id bagi kami, demikian juga esok, dan bahkan setiap hari pun engkau juga bisa lebaran (Id) seperti ini.”

Merasa ingin tahu lagi, orang itu kembali bertanya,

“Bagaimana bisa aku berlebaran setiap hari?”

Ali bin Abi Thalib Karamallahu Wajhah pun memberikan jawabannya,

“Jika seorang hamba tidak bermaksiat sedikit pun kepada Allah SWT di hari itu, maka sesungguhnya ia sedang berlebaran (Id).” Subhanallah.

Kisah kesederhanaan Ali bin Abi Thalib RA yang makan roti kasar saat Lebaran turut diceritakan dalam Kitab Ahlur-rahmah fil Qur’an was-Sunnah karya Syekh Thaha Abdullah al-Afifi.

Dikatakan, oleh sebab itulah, Sayyidina Ali RA terus berada dalam hari raya yang berkelanjutan karena ia termasuk di antara orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Ini Sahabat Nabi yang Berniat Tak Menikah hingga Ditentang Rasulullah



Jakarta

Ada salah satu sosok sahabat nabi yang enggan untuk menikah hingga tindakannya tersebut ditentang oleh Rasulullah SAW. Diketahui, sosok sahabat satu ini berniat untuk ingin fokus beribadah kepada Allah SWT.

Sebab, mengutip Hamidulloh Ibda dalam buku Stop Pacaran Ayo Nikah, menikah merupakan salah satu jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah SWT.

“Nabi Muhammad SAW pernah melarang sahabat yang berniat untuk meninggalkan nikah agar bisa mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT, karena hidup membujang tidak disyariatkan dalam agama. Oleh karena itu, manusia disyariatkan untuk menikah. Karena menikah, adalah jalan terbaik dan terhormat untuk mencapai ridha Allah,” demikian keterangannya.


Setelah ditelusuri melalui literatur yang lain, ditemukan bahwa nama sahabat yang dilarang oleh Rasulullah SAW ketika berniat untuk tidak menikah adalah bernama Ukaf bin Wida’ah. Dikutip dari buku Ta’aruf Billah Nikah Fillah karya Zaha Sasmita diterangkan bahwa Ukaf adalah seorang pemuda yang kehidupannya sudah mapan.

Namun Ukaf enggan berniat untuk menikah bahkan cenderung berniat untuk membujang. Kemudian, setelah mendengar perkara ini Rasulullah SAW segera mendatangi Ukaf lalu menasihatinya dan menyuruh Ukaf agar menikah.

Tidak baik untuk hidup membujang bagi seseorang yang sudah berkecukupan. Pada akhirnya, Ukaf menuruti apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, Ukaf tidak berani untuk mencari calon istrinya sendiri.

Akhirnya Ukaf meminta pertolongan dari Nabi Muhammad SAW untuk mencarikan perempuan. Kriteria yang diinginkan Ukaf adalah berpatokan pada pandangan Nabi Muhammad SAW, artinya hanya menurut kepada nabi mengenai siapa yang baik untuk menjadi istri Ukaf.

Dijelaskan melalui sebuah hadits juga yang menjelaskan pentingnya menikah dan bahkan menjadi wajib kepada orang yang sudah mampu. Hal ini dapat diketahui melalui sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu yang berkata,

“Terdapat beberapa sahabat Rasulullah SAW yang menanyakan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW perihal ibadah beliau di rumah. Lalu sebagian mereka berkata, ‘Saya tidak akan menikah, sebagian lagi berkata, ‘Saya tidak akan makan daging,’ sebagian yang lain berkata, ‘Saya tidak akan tidur di atas kasur (tempat tidurku), dan sebagian yang lain berkata, ‘Saya akan terus berpuasa dan tidak berbuka.’ Abu Daud (perawi dan pentakhrij hadits) berkata, ‘Berita ini sampai kepada Nabi SAW, hingga beliau berdiri untuk berkhotbah seraya bersabda setelah memanjatkan puja-puji syukur kepada Allah SWT, “Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan demikian dan demikian? Akan tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku salat dan tidur, dan aku juga menikahi perempuan. Maka barangsiapa yang membenci sunnah (tuntunan)-ku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR Abu Daud)

Dikutip dari buku Ajak Aku ke Surga Ibu! karya Rizem Aizid dipaparkan bahwa keterangan di atas itulah kedudukan pernikahan dalam Islam. Berdasarkan riwayat yang ada, diterangkan sejelas-jelasnya bahwa menikah memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pemenggalan Malik bin Nuwairah, Si Pemimpin yang Enggan Bayar Zakat



Jakarta

Malik bin Nuwairah merupakan kepala suku dari Bani Tamim. Ia merupakan salah satu tokoh pembangkang pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pria yang tinggal di Buthah itu menolak membayar zakat. Selain itu, ia juga memerangi para pengikut-pengikut Islam yang ada di dalam sukunya, seperti dikisahkan dalam buku Kisah Empat Khalifah tulisan Fazl Ahmad.

Seusai wafatnya Nabi Muhammad SAW, mulailah muncul sosok pembangkang di Islam, seperti nabi palsu hingga sosok Malik bin Nuwairah. Kesesatan Malik ini diperangi oleh Abu Bakar dengan mengutus Khalid bin Walid, seorang panglima perang Islam yang tersohor pada masanya.


Kala itu, setelah mendengar Khalid akan datang menggempur pasukannya, Malik langsung membubarkan pasukannya. Sahabat Rasulullah yang dijuluki Pedang Allah itu bermain cerdik demi mengatasi kelicikan Malik, akhirnya dengan kepintarannya Khalid berhasil menangkap Malik.

Mengutip dari buku Lelaki Penghuni Surga oleh Ahmed Arkan, sebagian kaum Anshar tidak ingin menuruti Khalid untuk menyerang Malik. Khalid lantas berkata:

“Hal ini harus dilakukan karena ini adalah kesempatan yang tak boleh terlewatkan. Walaupun aku tidak mendapatkan instruksi, namun aku adalah pimpinan kalian dan akulah yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, aku tidak bisa memaksakan kalian untuk mengikutiku, yang jelas aku harus ke Al-Buthah,” ujarnya.

Sebagai informasi, kala itu Malik tengah berdiam diri di suatu tempat yang dinamai Al-Buthah. Khalid dengan semangatnya yang berkobar untuk memerangi para pembangkang lalu melakukan perjalanan selama dua hari ke Buthah.

Menyaksikan hal itu, kaum Anshar lalu mengikuti dan menyusul Khalid untuk memerangi Malik di Buthah. Sesampainya di sana, Khalid memanggil Maik bin Nuwairah yang sedang berdiam diri.

Kemudian, Khalid menyatakan bahwa apa yang dilakukan Malik tidaklah baik. Terlebih zakat wajib ditunaikan oleh tiap umat Islam.

“Tidakkah engkau tahu bahwa zakat itu seiring dengan salat?” tanya Khalid.

Alih-alih merasa bersalah dan berdosa, Malik justru menjawab dengan enteng, “Begitulah yang dikatakan oleh sahabat kalian (Abu Bakar),”

“Berarti Abu Bakar adalah sahabat kami dan bukan sahabatmu?” kata Khalid kembali melontarkan pertanyaan dengan geram.

Melihat hal itu, Khalid kemudian meminta Dhirar ibnul Azur, salah satu bala tentaranya yang ia bawa untuk memenggal leher Malik. Mematuhi perintah sang panglima, Dhirar segera memenggal leher Malik tanpa pikir panjang. Terlebih, sikap Malik terlihat sangat melecehkan panglima perangnya dan merendahkan Islam.

Sayangnya, berita pemenggalan leher Malik sampai ke telinga Umar bin Khattab. Mendengar hal itu, Umar merasa kurang senang dengan keputusan sang panglima perang yang dinilai terburu-buru untuk menghabisi nyawa Malik bin Nuwairah.

Lantas, Umar berkata kepada Abu Bakar:

“Copotlah Khalid dari jabatannya! Sesungguhnya pedangnya terlampau mudah mencabut nyawa orang,” beber Umar.

Abu Bakar yang tidak setuju lalu menjawab, “Aku tidak akan menyarungkan pedang yang dihunus Allah terhadap orang kafir,”

Muttammim bin Nuwairah juga turut melaporkan perbuatan Khalid yang memenggal Malik. Umar lantas membantunya agar Abu Bakar membayarkan diyat untuk keluarga Malik dari harta pribadinya.

Diyat adalah uang darah. Nantinya saudara atau kerabat terdekat dari seseorang yang membunuh harus mengumpulkan dana untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan.

Meski Abu Bakar telah menyatakan tidak akan mencabut jabatan Khalid, Umar bin Khattab masih memaksa dan terus menyakinkannya. Akhirnya, Khalid dibawa ke Madinah dengan mengenakan baju perang yang berkarat karena banyak terkena darah.

Ketika menghadap Abu Bakar, Khalid pun meminta maaf atas tindakannya memenggal kepala Malik bin Nuwairah. Melihat Khalid yang seperti itu, Abu Bakar lantas memaafkannya dan tidak mencopot jabatan Khalid.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abu Qilabah, Sahabat Nabi yang Selalu Bersyukur dan Sabar



Jakarta

Abu Qilabah adalah seorang sahabat Nabi yang dikenal selalu bersyukur. Nama lengkapnya, yaitu Abdullah bin Zaid al-Jarmi. Beliau termasuk seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik.

Mengutip dari buku Kearifan Islam karya Maulana Wahiduddin Khan, Abu Qilabah berasal dari kota Bashrah dan wafat di Syam pada tahun 104 H. Ia juga merupakan seorang yang masyhur sebagai ahli ibadah dan zuhud.

Sosok Abu Qilabah memiliki kepribadian selalu bersyukur terhadap rahmat Allah dan selalu haus akan ilmu.


Suatu hari, Abu Qilabah pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling kaya?” Kemudian ia menjawab, “Orang yang paling kaya adalah orang yang bersyukur atas apa yang diberikan Allah kepadanya.”

“Lalu siapakah orang yang paling berilmu?” tanya seseorang itu lagi.

Abu Qilabah menjawab, “Orang yang selalu meningkatkan pengetahuannya melalui (pemberian) itu.”

Kisah Abu Qilabah yang Selalu Bersyukur dan Sabar dalam Setiap Keadaan

Kisah Abu Qilabah yang selalu bersyukur dikisahkan dalam buku Rahasia Dahsyat di Balik Kata Syukur karya Yana Adam, berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Muhammad.

Abdullah bin Muhammad pernah mengatakan, “Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir. Aku melihat sebuah kemah kecil yang dari bentuknya menunjukkan bahwa pemiliknya orang yang sangat miskin.

Lalu, aku pun mendatangi kemah yang berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Aku melihat ada seorang laki-laki, tetapi bukan laki-laki biasa.

Kondisi laki-laki itu sedang berbaring dengan tangan dan kakinya yang buntung, telinganya sulit mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang berbicara.

Dari lisannya, orang tersebut mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat memuliakan aku dari ciptaan-Mu yang lain.”

Lantas aku pun menemuinya dan berkata kepada orang itu, “Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?”

Sang laki-laki pemilik kemah menjawab, “Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung apa yang pasti aku akan terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”

Aku kembali bertanya, “Bersyukur atas apa?”

Laki-laki pemilik kemah menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia telah menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur. Di samping itu, aku juga memiliki anak yang waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid dan ia pula yang menyuapiku. Namun, sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari. Bisakah engkau tolong carikan dia?”

Aku pun menyanggupi permohonannya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah beberapa saat mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikerubungi oleh singa. Ternyata, anak laki-laki tersebut telah diterkam oleh kumpulan singa.

Mengetahui tragedi itu, aku pun bingung bagaimana cara mengatakan kepada laki-laki pemilik kemah itu. Aku lalu kembali dan berkata kepadanya untuk menghiburnya.

“Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi Ayyub?”

Lelaki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.”

Kemudian aku bertanya lagi, “Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana keadaannya dalam menghadapi musibah itu?”

Ia menjawab, “Ia menghadapinya dengan sabar.” Aku bertanya kembali, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub dengan kefakiran. Bagaimana keadaannya?”

Lagi-lagi ia menjawab, “Ia bersabar.” Aku kembali memberi pertanyaan, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya, bagaimana keadaannya?”

Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.” Aku kembali bertanya yang terakhir kali, “Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?”

Ia menjawab dan balik bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku dimana anakku?”

Lalu aku berkata, “Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas. Semoga Allah melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau.”

Selanjutnya, laki-laki pemilik kemah itu berkata, “Alhamdulillah, yang Dia tidak meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia di azab di neraka.”

Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. aku pun membaringkannya di tangan, kututupi dengan jubahku, dan meminta bantuan kepada empat orang laki-laki yang lewat mengendarai kuda untuk mengurus jenazahnya.

Keempat laki-laki tersebut ternyata mengenali jenazah yang tinggal di kemah kecil, mereka berkata, “Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini pernah dimintai oleh khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”

Dikatakan dalam riwayat lain, Abu Qilabah merupakan sahabat terakhir Rasulullah SAW terakhir pada masa itu sehingga khalifah ingin menjadikannya seorang hakim. Itu merupakan jabatan yang mulia, tetapi Abu Qilabah menolaknya dan pergi ke wilayah Mesir hingga wafat dalam keadaan seperti ini.

Demikianlah kisah Abu Qilabah, sahabat nabi yang senantiasa selalu bersyukur dan bersabar. Semoga, sifat mulianya tersebut dapat diteladani oleh umat muslim.

Belajar dari sosok sahabat nabi Abu Qilabah, detikers juga bisa tantang diri kamu untuk mengucap rasa syukur hari ini lewat program Alhamdullah Challenge yang ada DI SINI. Tak hanya itu, kamu turut berkesempatan untuk memenangkan hadiah smartphone dan uang jutaan rupiah kalau rutin bersyukur. Yuk, ceritakan hal-hal yang kamu syukuri hari ini!

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya



Jakarta

Sahabat nabi adalah orang-orang terpilih yang memiliki beragam kisah dan tentunya dekat dengan Rasulullah SAW. Salah satu kisah yang diabadikan ini adalah sebuah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya.

Kisah ini banyak dituliskan, salah satunya adalah bersumber dari buku Beli Surga dengan Al Qur’an karya Ridhoul Wahidi dan M. Syukron Maksum. Sahabat nabi yang dimaksud adalah Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim.

Kisah Sahabat Nabi yang Mulutnya Keluar Cahaya

Kisah ini sejatinya diceritakan oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ia bercerita, saat itu, Rasulullah SAW mengirim pasukan untuk menyerang suatu kaum yang memusuhi kaum muslimin.


Ketika Rasulullah tidak mendapatkan berita perkembangan keadaan pasukannya tersebut, lalu beliau bersabda, “Andaikan ada orang yang dapat mencari kabar tentang mereka dan memberitahukannya kepada kami.”

Beberapa saat kemudian datanglah seseorang dan mengabarkan bahwa muslim utusan beliau telah meraih kemenangan dalam penyerangan itu. Setelahnya, saat pasukan kaum muslimin pulang dari peperangan menuju Madinah, Rasulullah SAW dan para sahabat menyambut mereka di dekat Madinah.

Sesampai dekat Madinah, pemimpin pasukan, Zaid bin Haritsah turun dari untanya dan mencium tangan Rasulullah. Rasulullah SAW kemudian merangkul dan seraya mencium kepalanya.

Lalu, Zaid diikuti oleh Abdullah bin Rawahah dan Qois bin Ashim. Nabi Muhammad SAW merangkul mereka berdua.

Selanjutnya, seluruh pasukan berkumpul di depan Rasulullah SAW. Mereka mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW dan beliau menjawab salam mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda,

“Ceritakanlah apa yang terjadi selama bepergian kepada saudara-saudara kalian yang berada di sini, agar Aku memberikan kesaksian dari apa-apa yang kalian ucapkan, karena Jibril telah memberitahukan kepadaku tentang kebenaran yang kalian ucapkan.”

Salah seorang pasukan kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, ketika kami berada di dekat pasukan lawan, kami mengutus seorang mata-mata dari pihak mereka agar memberitahukan kepada pasukan kami mengenai kondisi dan jumlah mereka. Kemudian mata-mata tersebut menemui kami dan berkata, ‘Jumlah mereka seribu orang’, sedangkan jumlah kami dua ribu orang.”

“Namun yang seribu pasukan lawan itu hanya menunggu di luar benteng kota. Sedangkan yang tiga ribu menunggu di jantung kota. Mereka sengaja menggunakan tipu daya dengan berbohong bahwa kekuatan mereka hanya seribu tentara supaya kami berani melawan mereka dan memenangkan pertempuran.”

Cerita itu pun berlanjut, pasukan musuh di dalam kota kemudian menutup pintu gerbangnya, pasukan muslim kemudian menanti di luar. Ketika malam telah tiba, mereka tiba-tiba membuka pintu gerbang di kala pasukan muslim lelap tidur.

Namun, hal itu terkecuali Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah, Qatadah bin Nu’man, dan Qois bin Ashim yang sedang sibuk mengerjakan salat malam dan membaca Al-Qur’an di empat sudut perkemahan.

Di dalam kondisi yang gelap gulita itu, para musuh menyerang kaum muslim dan mereka menghujani mereka dengan panah hingga mereka tidak mampu menghalau karena gelapnya malam. Di tengah kekacauan tersebut, tiba-tiba kaum muslim tersebut melihat cahaya yang datangnya dari pembaca Al-Qur’an.

Cahaya seperti api mereka saksikan keluar dari mulut Qais bin Ashim, dan keluar cahaya seperti bintang kejora keluar dari mulut Qatadah bin Nu’man. Lalu, dari mulut Abdullah bin Rawahah keluar sinar seperti cahaya rembulan dan keluar sinar seperti cahaya Matahari dari mulut zaid bin Haritsah.

Keempat cahaya itulah yang menerangi muslim dan membuat gelapnya malam berubah seperti hari masih siang. Akan tetapi musuh kaum muslim tetap melihat seakan masih dalam keadaan kegelapan.

Sang panglima perang, Zaid bin Haritsah, kemudian memimpin pasukan muslim memasuki daerah lawan. Pasukan muslim dapat mengepung, membunuh sebagian mereka dan menawan mereka. Selanjutnya mereka mampu memasuki jantung kota dan mengumpulkan ghanimah perang.

“Wahai Rasulullah, yang membuat kami sangat heran adalah cahaya yang keluar dari keempat sahabat tersebut, dan kami tidak melihatnya sebelumnya. Cahaya dari mulut mereka itu mampu menerangi kami sehingga kami menang dan menebarkan kegelapan bagi musuh-musuh.” terang salah satu pasukan itu.

Begitulah kisah sahabat nabi yang mulutnya keluar cahaya yang diduga karena keempat sahabat tersebut adalah pembaca Al-Qur’an yang taat beribadah kepada Allah SWT. Wallahua’lam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com