Tag Archives: saleh

Sosok Said bin Musayyab, Tabi’in yang Tolak Bangsawan Kaya Jadi Menantu


Jakarta

Said bin Musayyab adalah seorang tabi’in yang hidup setelah era Khulafaur Rasyidin. Sosok Said bin Musayyab terkenal karena kesalehan dan kisah keimanannya.

Kisahnya kesalehan dan keimanan Said bin Musayyab patut dicontoh umat Islam. Ia selalu mengedepankan akhirat daripada dunia beserta perhiasannya.

Sosok Said bin Musayyab

Mengutip buku Kisah Orang-Orang Sabar karya Nasiruddin, Said bin Musayyab adalah seorang tokoh ulama tabi’in atau seseorang yang hidup pada generasi Islam kedua setelah masa Rasulullah SAW.


Imam Said bin Musayyab awalnya merupakan seorang ulama yang memiliki banyak harta, kedudukan yang tinggi, dan dari suku Quraisy. Namun, semua itu rela ia tinggalkan demi menjalani hidup wara’, yakni meninggalkan kemewahan duniawi sehingga mencapai kesalehan dan ketakwaan tinggi.

Dalam sejarah disebutkan, Said bin Musayyab sudah pernah melakukan haji lebih dari 30 kali. Ia juga merupakan orang yang tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di masjid selama 40 tahun. Bahkan ia selalu menempati saf pertama selama itu juga.

Imam Said bin Musayyab memiliki seorang putri yang sangat cantik dan bahkan paling cantik di tempat itu. Putrinya juga merupakan seorang perempuan yang paling mendalami ilmu Al-Qur’an dan sunah rasul.

Rabi’ BAdur Rauf Az-Zawawi menyebutkan dalam Al-Baqiyatus Shalihat: Amalan Abadi yang Tidak Merugi bahwasanya Said bin Musayyab terbiasa menghabiskan malam-malamnya untuk mendalami ilmu.

Pada siang hari, ia gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT juga. Ia rela melakukan perjalanan selama berbulan-bulan hanya untuk memastikan kesahihan sebuah hadits.

Ketika sudah masanya sang putri menikah, terjadilah sebuah cerita yang menunjukkan betapa teguhnya ketakwaan Said bin Musayyab. Bagaimana kisah itu?

Kisah Said bin Musayyab Tolak Putra Mahkota Umayyah Jadi Menantu

Diambil dari dua sumber di atas, suatu hari, Khalifah dari Dinasti Umayyah yang bernama Khalifah Abdul Malik bin Marwan datang menemui Said bin Musayyab untuk meminangkan putranya, Al-Walid bin Abdul Malik, dengan putri Musayyab yang terkenal cantik dan pandai ilmu agama.

Said bin Musayyab bukannya menerima lamaran dari putra mahkota yang kaya raya itu, namun malah menolaknya. Sebab, Al Walid adalah seorang pemuda yang banyak melakukan dosa dan lemah agamanya.

Keluarga istana Dinasti Umayyah tetap berusaha keras untuk dapat menikahkan sang putra mahkota dengan putri Said bin Musayyab yang cantik dan salihah itu. Namun, keteguhan hatinya tidak pernah berubah.

Said bin Musayyab tetap menolak tawaran pihak istana dan Al-Walid untuk mempersunting putrinya meskipun ia disakiti dengan hukuman seratus cambukan.

Akhirnya, Said bin Musayyab dan keluarganya pindah dari Damaskus ke Makkah demi mendapatkan tempat yang nyaman kembali.

Suatu hari, Said bin Musayyab melihat seorang muridnya yang bernama Abdullah bin Wada’ah kembali setelah beberapa waktu menghilang dari majelisnya.

Abdullah bercerita, Said bin Musayyab bertanya kepadanya, “Ke mana saja kamu?”

Kemudian ia menjawab, “Istriku meninggal dunia, sehingga aku tersibukkan dengannya.”

Said lalu berkata, “Mengapa kamu tidak memberi tahu aku, maka aku akan datang di prosesi pemakamannya!”

Ketika Abdullah ingin berdiri, ia bertanya kembali, “Apakah kamu sudah menemukan perempuan lain sebagai penggantinya?”

Abdullah menjawab, “Yarhamukallah, siapakah yang bersedia menikahkan putrinya denganku, sedangkan aku tidak mempunyai kekayaan selain dua atau tiga dirham saja!?”

Said bin Musayyab lalu berkata dengan mantab, “Jika aku melakukannya, apakah kamu menerimanya?”

Abdullah menjawab, “Ya.”

Benarlah hal itu terjadi. Said bin Musayyab benar-benar menikahkan putrinya yang cantik dan salihah ini dengan seorang pemuda yang berstatus duda dan miskin. Namun ia tahu, pemuda ini memiliki hati yang bersih dan ketakwaan yang tinggi.

Said bin Musayyab bahkan mengantarkan putrinya sendiri kepada Abdullah setelah mereka menikah dan tentu saja hal ini membuatnya sangat bahagia.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Surah Maryam untuk Ibu Hamil Agar Dikaruniai Anak Saleh


Jakarta

Ketika para muslimah hamil, banyak dari mereka yang membaca ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dengan tujuan supaya anaknya memiliki akhlak dan paras yang baik. Salah satunya surah Maryam.

Ada banyak surah Al-Qur’an yang direkomendasikan untuk dibaca ibu hamil. Contohnya adalah surah Lukman, Yusuf, Muhammad, Kafhfi, Ar-Rahman, Al-Waqi’ah, Al-Mulk, dan Maryam, sebagaimana dijelaskan dalam Buku Lengkap & Praktis Doa Dzikir Harian Khusus Ibu Hamil oleh Ust. Syaifurrahman El-Fati.

Seperti yang disebutkan di atas, surah yang dianjurkan untuk dibaca oleh ibu hamil adalah surah Maryam. Surah ini termasuk dalam surah Makkiyah yang terdiri dari 98 ayat. Surah Maryam merupakan surah ke-19 dalam Al-Qur’an yang menceritakan kelahiran dua orang nabi, yakni Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS.


Menurut buku Menyiapkan Anak Jenius Sejak Dalam Kandungan karya Mugi Rizkiana Halalia menyebutkan bahwa tidak ada dalil yang shahih tentang manfaat surah Maryam untuk janin di perut ibu hamil.

Namun buku itu menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an secara konsisten dan memperdengarkannya kepada janin tentu saja dapat membawa mukzijat kepada ibu sekaligus bayinya. Sebab Al-Qur’an adalah mukjizat, penyembuh, terapi segala penyakit, dan pembawa kebaikan baik bagi pembaca maupun pendengarnya.

Surah Maryam untuk Ibu Hamil Ayat 2-15

Di sumber sebelumnya, Syaifurrahman El-Fati menuliskan bahwa tidak ada ayat tertentu yang dituntunkan untuk dibaca dalam surah Maryam oleh ibu hamil. Namun, pada ayat 2-15 dari surah Maryam berisi tentang doa dan harapan Nabi Zakaria AS agar diberi momongan, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Surah Maryam untuk ibu hamil tersebut terdapat pada ayat 2-15, yang berbunyi:

(2) ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهٗ زَكَرِيَّا

Żikru raḥmati rabbika ‘abdahū zakariyyā

Artinya: (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hamba-Nya, Zakaria,

(3) اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا

Iż nādā rabbahū nidā’an khafiyyā

Artinya: (yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lirih.

(4) قَالَ رَبِّ اِنِّيْ وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَّلَمْ اَكُنْۢ بِدُعَاۤىِٕكَ رَبِّ شَقِيًّا

Qāla rabbi innī wahanal-‘aẓmu minnī wasyta’alar-ra’su syaibaw wa lam akum bidu’ā’ika rabbi syaqiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku tidak pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, wahai Tuhanku.

(5) وَاِنِّيْ خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَّرَاۤءِيْ وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا فَهَبْ لِيْ مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّا ۙ

Wa innī khiftul-mawāliya miw warā’ī wa kānatimra’atī ‘āqiran fahab lī mil ladunka waliyyā

Artinya: Sesungguhnya aku khawatir terhadap keluargaku sepeninggalku, sedangkan istriku adalah seorang yang mandul. Anugerahilah aku seorang anak dari sisi-Mu.

(6) يَّرِثُنِيْ وَيَرِثُ مِنْ اٰلِ يَعْقُوْبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

Yariṡunī wa yariṡu min āli ya’qūba waj’alhu rabbi raḍiyyā

Artinya: (Seorang anak) yang akan mewarisi aku dan keluarga Ya’qub serta jadikanlah dia, wahai Tuhanku, seorang yang diridai.”

(7) يٰزَكَرِيَّآ اِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلٰمِ ِۨاسْمُهٗ يَحْيٰىۙ لَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا

Yā zakariyyā innā nubasysyiruka bigulāminismuhū yaḥyā, lam naj’al lahū min qablu samiyyā

Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Zakaria, Kami memberi kabar gembira kepadamu dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya yang nama itu tidak pernah Kami berikan sebelumnya.”

(8) قَالَ رَبِّ اَنّٰى يَكُوْنُ لِيْ غُلٰمٌ وَّكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا وَّقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا

Qāla rabbi annā yakūnu lī gulāmuw wa kānatimra’atī ‘āqiraw wa qad balagtu minal-kibari ‘itiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana (mungkin) aku akan mempunyai anak, sedangkan istriku seorang yang mandul dan sungguh aku sudah mencapai usia yang sangat tua?”

(9) قَالَ كَذٰلِكَۗ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَّقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْـًٔا

Qāla każālik, qāla rabbuka huwa ‘alayya hayyinuw wa qad khalaqtuka min qablu wa lam taku syai’ā

Artinya: Dia (Allah) berfirman) “Demikianlah.” Tuhanmu berfirman, “Hal itu mudah bagi-Ku; sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.”

(10) قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّيْٓ اٰيَةً ۗقَالَ اٰيَتُكَ اَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَ لَيَالٍ سَوِيًّا

Qāla rabbij’al lī āyah(tan), qāla āyatuka allā tukalliman-nāsa ṡalāṡa layālin sawiyyā

Artinya: Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” (Allah) berfirman, “Tandanya bagimu ialah bahwa engkau tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama (tiga hari) tiga malam, padahal engkau sehat.”

(11) فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا

Fa kharaja ‘alā qaumihī minal-miḥrābi fa auḥā ilaihim an sabbiḥū bukrataw wa ‘asyiyyā

Artinya: Lalu, (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu dia memberi isyarat kepada mereka agar bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang.

(12) يٰيَحْيٰى خُذِ الْكِتٰبَ بِقُوَّةٍ ۗوَاٰتَيْنٰهُ الْحُكْمَ صَبِيًّاۙ

Yā yaḥyā khużil-kitāba biquwwah(tin), wa ātaināhul-ḥukma ṣabiyyā

Artinya: (Allah berfirman,) “Wahai Yahya, ambillah (pelajarilah) Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh.” Kami menganugerahkan hikmah kepadanya (Yahya)461) selagi dia masih kanak-kanak.

(13) وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا ۙ

Wa ḥanānam mil ladunnā wa zakāh(tan), wa kāna taqiyyā

Artinya: (Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dia pun adalah seorang yang bertakwa.

(14) وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ جَبَّارًا عَصِيًّا

Wa barram biwālidaihi wa lam yakun jabbāran ‘aṣiyyā

Artinya: (Dia) orang yang berbakti kepada kedua orang tuanya dan dia bukan orang yang sombong lagi durhaka.

(15) وَسَلٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوْتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا ࣖ

Wa salāmun ‘alaihi yauma wulida wa yauma yamūtu wa yauma yub’aṡu ḥayyā

Artinya: Kesejahteraan baginya (Yahya) pada hari dia dilahirkan, hari dia wafat, dan hari dia dibangkitkan hidup kembali.

Secara lebih lanjut dijelaskan oleh M. Syukron Maksum dalam bukunya yang berjudul Bimbingan Doa dan Wirid Ibu Hamil, penting bagi orang tua melakukan stimulasi pendidikan pralahir untuk bayi supaya bisa menjadi anak yang saleh dan sehat jasmani dan rohaninya. Hal ini turut dilakukan Nabi Zakaria AS seperti disebutkan dalam ayat di atas.

Hasilnya, ia dianugerahi anak yang memiliki kecerdasan tinggi dalam memahami hukum-hukum Allah SWT, terampil dalam melaksanakan titah Allah SWT, memiliki fisik kuat, sekaligus menjadi anak yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.

Adapun, dalam ayat 12-15 surah Maryam pun juga menceritakan bahwa anak yang dikandung ibu hamil itu akhirnya menjadi seorang nabi, yakni Nabi Yahya AS.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Amal Jariyah Seorang Istri Bisa Dimulai dari Rumah, Apa Itu?



Jakarta

Menjadi seorang istri sekaligus ibu bukanlah hal yang mudah. Tentu hal ini memiliki banyak tantangan dan kesulitannya tersendiri.

Seorang istri tidak boleh lelah atau capek, sebab dia adalah penyemangat suami dan anaknya ketika mereka lelah atau sedih. Ibu juga harus selalu tegar untuk anak-anaknya supaya mereka kuat menjalani kehidupan dunia.

Sejalan dengan beratnya peran seorang istri sekaligus ibu, pahala dan balasan dari Allah SWT untuk mereka juga tidak kalah besar. Allah SWT meninggikan derajat seorang ibu hingga tiga kali lipat daripada ayah.


Bahkan, seorang istri atau ibu bisa mendapatkan amal jariyah yang akan terus mengalir meskipun dirinya sudah meninggalkan dunia ini. Amal apakah itu? Berikut jawabannya.

Amal jariyah seorang istri didapat ketika mereka sabar dalam mendidik anak berhasil membentuk anak-anaknya menjadi anak yang saleh dan salihah,paham akan agama Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah, sebagaimana dijelaskan dalam buku Mendidik Anak: Membaca, Menulis, dan Mencintai Al-Qur’an karya Ahmad Syarifuddin.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,

أِذَامَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَ : صَدَقَة جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Artinya: “Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya (kedua orang tua).” (HR Muslim)

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran bahwa kegiatan mendidik Al-Qur’an pada anak-anak secara implisit termasuk amal jariyah. Orang tua, terutama istri sebagai ibu, guru, dan aktivis mengambil peran besar dalam pengajaran ini.

Seorang istri atau ibu mengambil peran penting dalam pendidikan anak sebab sekolah pertama seorang anak adalah ibu yang merupakan istri ayah. Seorang ibu harus mampu mendidik anaknya dengan baik sesuai dengan syariat Islam dan Al-Qur’an agar anak bisa menjadi saleh dan salihah.

Proses mendidik anak tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, melainkan hingga akhir hayat seorang ibu. Proses ini juga membutuhkan banyak kesabaran serta ketakwaan yang besar. Oleh sebab itu, Allah SWT sangat menjunjung tinggi ibu lebih daripada ayah.

Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits seperti yang dinukil dari buku Antologi Hadits Tarbawi: Pesan-Pesan Nabi SAW tentang Pendidikan karya Anjali Sriwijbant, dkk.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلُ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ ؟ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (رواه مسلم)

Terjemahan: “Dari Abu Hurairah RA Berkata: ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul. Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak saya hormati? Beliau menjawab: “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu, kemudian yang lebih dekat dan yang lebih dekat dengan kamu” (HR Muslim)

Menjadi seorang istri sekaligus ibu memang berat. Namun ketika dirinya berhasil mendidik anak-anaknya dengan sabar menjadi anak yang saleh dan salihah, maka ia akan mendapatkan pahala yang luar biasa banyak.

Amal jariyah seorang istri bisa diambil dari hal tersebut sebab anak yang saleh dan berbakti kepada orang tuanya akan selalu mendoakan walau sudah meninggal sekalipun, jelas buku Ketika Surga di Telapak Kaki Ibu karya Malahayati.

Apalagi ketika ilmu dan didikan anak dari istri yang salihah ini juga diajarkan dan disebarkan kepada orang banyak. Maka tentu saja istri atau ibu akan mendapat pahala dari ilmu yang sudah disebarkan tersebut.

Pahala yang akan didapatkan tentu juga akan berlipat ganda, yakni berhasil mendidik anak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan ilmu yang bermanfaat yang disebarkan kepada orang banyak.

Semoga kita bisa menjadi salah satu penghuni surga jalur mendidik anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com