Tag Archives: sapi

Main Sama Sapi, Kucing Gemoy, di Cat Lounge SCBD



Jakarta

Bersantai dengan ditemani kucing-kucing ras terdengar sangat menggiurkan bagi pecinta anabul. Itu semua bisa terwujud di Habitat Park SCBD.

Taman hewan Habitat Park memiliki satu area khusus bagi pecinta kucing, namanya Cat Lounge. Berada di sebuah ruangan di area Main Plaza, Cat Lounge menjadi salah satu tempat favorit pengunjung.

Ruangan itu berisikan 11 kucing dengan tiga orang ranger yang menjaga bergantian. Kucing-kucingnya gembul dan menggemaskan, nama mereka adalah Sapi, Astro, Jelly, Marcell, Garfield, Peanut, Dobby, Eva, Mono, Lilac dan Goldie.


“Untuk hewan kita ganti 3 bulan sekali. Mereka selalu dijaga sama dokter, karena kita punya ruang karantina. Perputaran kucingnya bisa karena sakit, mati atau mau ada tambahan kandang baru,” kata Head Sales Marketing Habitat Park SCBD Rizki Maharani.

Cat Lounge di Habitat Park SCBDCat Lounge di Habitat Park SCBD (bonauli/detikcom)

Pengunjung yang masuk akan dibatasi 10 orang, dalam satu sesi akan diberi waktu 30 menit. Mereka bisa bermain dengan alat yang disediakan, berfoto dan mengelus kucing-kucing itu.

Yang paling terkenal adalah Sapi, jenis british munchkin yang punya warna belang hitam putih, mirip sapi. Kaki pendeknya yang menggemaskan dan kepribadiannya membuat siapa pun jatuh cinta dengan Sapi.

“Ia artisnya itu Sapi, dia bahkan punya fans club sendiri,” kata Divi (27).

Ranger khusus Cat Lounge yang baru bergabung sejak Januari itu mengatakan bahwa tidak semua kucing seperti Sapi. Yang paling pemalu adalah Eva. Kucing berjenis scottish fold itu seringkali bersembunyi di dalam kotak atau di atas rak.

Cat Lounge di Habitat Park SCBDCat Lounge di Habitat Park SCBD (bonauli/detikcom)

Agar tidak rentan stress, Cat Lounge memberikan waktu istirahat untuk kucing mulai pukul 14.00-15.00 WIB. Pengunjung anak-anak biasanya yang paling aktif, sehingga interaksi seperti berlarian akan cepat membuat kucing lelah.

“Biasanya yang aktif banget itu kita pisah,” kata dia.

Ya, Divi akan selalu memperingatkan tiap pengunjung untuk berhati-hati dalam berinteraksi. Mereka diperingatkan untuk tidak menggendong kucing-kucing, hanya boleh mengelusnya saja.

Cat Lounge di Habitat Park SCBDCat Lounge di Habitat Park SCBD (bonauli/detikcom)

“Astro sensitif. Dobby anteng karena pake baju, kalau dilepas bajunya dia di lari-lari karena dingin. Marcell paling anteng, karena faktor usia 8 tahun,” kata Karim (20) saat memperkenalkan kucing-kucing itu.

Karim pun senada dengan Divi, pengunjung yang suka teriak-teriak biasanya adalah anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun. Mereka gemas sendiri melihat kucing-kucing di Cat lounge.

Rizki menyarankan datang ke Cat Lounge pada pagi hari. Mereka biasanya lebih aktif dan interaktif.

“Jam 6 sore itu biasanya mereka sudah capek. Enak kalau ke sini pagi-pagi, masih segar,” dia menambahkan.

Pengunjung yang ingin main bersama Sapi dkk wajib membayar tiket masuk sebesar Rp 35.000 per orang dan membayar biaya tambahan ke Cat Lounge sebesar Rp 75.000 per orang. Di akhir pekan/libur nasional, tiket masuk ke Cat Lounge akan naik menjadi Rp 99.000 per orang.

Habitat Park berlokasi di di Jl. Jend. Sudirman kav 52-53 No.6 LOT6, Senayan, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan. Taman hewan ini mulai beroperasi mulai pukul 08.00-18.00 WIB.

(bnl/fem)



Sumber : travel.detik.com

Kisah Keluarga Ursone Menyulap Lembang Menjadi Friesland



Lembang

Lembang terkenal dengan susu sapinya. Di balik ketenaran Lembang sebagai produsen susu, ternyata ada peran keluarga Ursone dari Italia. Bagaimana kisahnya?

Ketika Hindia Belanda menjajah Indonesia, mereka menjadikan Lembang, Cisarua, hingga Pangalengan di Bandung selatan sebagai daerah penghasil susu, serupa dengan Provinsi Friesland di Belanda sana.

Daerah-daerah yang disebutkan di atas dinilai memiliki bentang alam serta suhu udara yang sangat cocok untuk lokasi peternakan sapi, khususnya sapi perah yang diambil susunya.


Dalam buku Bandung Baheula Jeung Kiwari Bandoengsche Melk Centrale (BMC) karya Sudarsono Katam, disebutkan kalau bibit sapi yang akan diternakkan di Priangan kala itu ialah jenis Friesien Holstein yang berasal dari Provinsi Friesland, Belanda.

Sapi jenis itu sudah dikenal karena kualitas dan kemampuannya yang tinggi dalam memproduksi susu. Sapi Friesien Holstein punya corak khas yakni warna hitam dengan aksen putih.

Tenang dan jinak, begitu sifat sapi tersebut sehingga mudah dikuasai oleh manusia. Berat badannya berkisar 850 kilogram sampai 1 ton untuk sapi jantan, dan 700-an sampai 850 kilogram untuk sapi betina.

Peran Keluarga Ursone dari Italia

Perjalanan peternakan sapi di daerah Lembang, diawali oleh keluarga Ursone, orang berkewarganegaraan Italia. Tiga kakak beradik Ursone, yakni P. A. Ursone, G. Ursone, dan A. Ursone menjadikan Lembang sebagai produsen susu kualitas unggul serupa Friesland.

Mereka mendirikan perusahaan susu bernama Lembangsche Melkerij Ursone. Perusahaan itu bergerak dalam bidang pemerahan susu. Sapi yang diternakkan sebanyak 30 ekor dilepasliarkan di lahan perkebunan Baroe Adjak.

“Peternakan di Lembang diawali oleh keluarga Ursone pada tahun 1895. Kalau sekarang, masih ada sisanya itu bangunan Kapel Deetje, sekarang jadi Piknik Kopi Lembang,” kata pegiat sejarah dari Komunitas Sejarah Lembang, Malia Nur Alifa saat dikonfirmasi, Minggu (3/8).

Di awal kiprahnya, tiga kakak beradik Ursone yakni P. A. Ursone, G. Ursone, dan si bungsu A. Ursone memiliki 30 ekor sapi. Dalam sehari sapi itu bisa menghasilkan 30 liter susu berkualitas tinggi.

Lalu di tahun 1940, sapi perah di Peternakan Ursone terus bertambah sampai sebanyak 250 ekor dengan produksi ribuan liter susu per harinya.

“Salah satu dari keluarga Ursone itu kemudian mendirikan Bandoengsche Melk Centrale atau Pusat Pengolahan Susu Bandung. Peternakan sapi keluarga Ursone terus bertambah hingga mencapai 6 ribuan ekor.

“Jadi saat itu, sekitar 6 ribuan ekor sapinya yang tersebar di banyak titik di Lembang. Jadi keluarga Ursone ini punya perusahaan susu terbesar se-Asia Tenggara saat itu,” kata Malia.

Membahas sedikit soal BMC, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa BMC berdiri di akhir tahun 1928. Di dalamnya ada para peternak sapi perah dan pengusaha susu di Bandung dan sekitarnya.

BMC kala itu berkantor di Kebon Sirihweg nomor 58, yang kini berubah menjadi Jalan Aceh nomor 30 di Bandung. Penentuan lokasi BMC di Kebon Sirihweg karena nantinya bermuara pada Logeweg atau Jalan Wastukancana seeta Tjitjendoweg atau yang kini disebut Jalan Cicendo. Hal itu bakal memudahkan pengangkutan susu daru peternakan ke BMC.

Keluarga Ursone Menyumbangkan Lahan buat Observatorium Bosscha

Kiprah keluarga Ursone di Lembang yang sukses sebagai peternak sapi dan pengusaha susu sukses, tak membuat Ursone bersaudara lupa diri. Mereka tercatat rajin berderma, salah satunya lahan yang mereka miliki.

“Kalau ada yang tahu Observatorium Bosscha, nah itu lahannya seluas 6 hektare itu hibah dari Keluarga Ursone,” kata Malia.

Ada satu hal yang perlu diluruskan, yakni soal rumah Keluarga Ursone. Malia menyebut rumah tua berarsitektur art deco di Baruajak Lembang saat ini bukan merupakan rumah keluarga musisi tersebut.

“Jadi yang sekarang jadi Piknik Kopi Lembang itu bukan rumah Keluarga Ursone, tapi peternakan dan perusahaannya. Sempat beberapa kali berubah fungsi, seperti jadi poliklinik dan terakhir jadi Kapel Deetje, istri dari P. A. Ursone. Kalau rumahnya itu sudah tidak ada, dulu ada di seberang Grand Hotel Lembang, sekarang sudah berubah jadi SPBU swasta dan restoran,” kata Malia.

Peternakan sapi di Lembang tak cuma dimiliki Keluarga Ursone. Ada banyak peternakan sapi lainnya yang juga memproduksi susu berkualitas. Salah satunya milik Nagel dan Meyer M. V.

“Dulu peternakannya itu ada dekat Alun-alun Lembang. Lahannya luas, kemudian sempat dijadikan tempat wisata minum susu sampai tahun 2000-an. Sekarang cuma sisa lahannya saja,” kata Malia.

Sampai saat ini Lembang masih dikenal sebagai daerah peternakan sapi, penghasil susu, serta pertanian. Masalah yang dihadapi peternak saat ini lebih kompleks. Mulai dari harga jual susu yang tak stabil, hingga tudingan pencemaran sungai oleh kotoran hewan.

Dari 6 ribuan lebih peternak sapi di Lembang dengan jumlah populasi sapi sebanyak 26.300-an ekor, penyelesaian kotoran hewan yang dihasilkan diperkirakan baru 30 persennya.

“Mungkin baru 30 persennya terselesaikan dengan biogas, cacing untuk kosmetik, pupuk organik. Nah yang harus diselesaikan ini 70 persennya. Mereka juga terkendala ketersediaan anggaran kalau harus membuat pengolahan limbah sendiri,” kata Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan (Dispernakan) KBB, Wiwin Aprianti.

——–

Artikel ini telah naik di detikJabar.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China


Jakarta

Kekhawatiran akan pandemi baru kembali merebak di China. Para ilmuwan telah mendeteksi varian baru virus flu yang menunjukkan tanda-tanda dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah laporan. Virus ini yang dikenal sebagai Influenza D (IDV), sebagian besar ditemukan pada sapi, tetapi para peneliti kini yakin virus tersebut mungkin beradaptasi untuk menyebar di antara manusia.

Tim peneliti dari Changchun Veterinary Research Institute di China mengidentifikasi strain baru yang disebut D/HY11, yang pertama kali muncul pada sapi di China timur laut pada tahun 2023, menurut laporan tersebut. Studi mereka menemukan strain tersebut dapat bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa strain tersebut mungkin sudah menyebar di antara manusia.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan pada dasarnya virus Influenza D (IDV) sudah dikenal sejak tahun 2011, sehingga bukan merupakan virus baru. Temuan yang tergolong baru adalah isolasi strain tertentu, yakni D/HY11, serta bukti eksperimental yang menunjukkan kemampuan virus ini untuk bereplikasi di sel manusia.


“Inilah aspek kebaruan yang membuat para ahli meningkatkan kewaspadaan,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

Dicky menjelaskan, IDV untuk bereplikasi dan menular pada hewan percobaan seperti ferret menjadi sinyal penting yang perlu diawasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya potensi risiko adaptasi virus terhadap manusia.

Meski begitu, ia menegaskan hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa IDV dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia secara luas. Bukti yang tersedia sejauh ini justru lebih banyak mengindikasikan bahwa sapi merupakan reservoir utamanya, sementara paparan pada manusia hanya ditemukan pada kelompok yang memiliki kontak erat dengan hewan ternak.

“Sehingga IDV adalah zoonosis potensial yang perlu diawasi. Jadi dia seperti halnya misalnya avian flu atau bahkan mungkin seperti potensi nipah misalnya atau hendra virus,” kata Dicky.

Pada hewan, virus IDV diketahui dapat menyebabkan bovine respiratory disease complex atau kompleks penyakit pernapasan pada sapi.

Sementara itu, pada manusia, lanjut Dicky, genom dan antibodi terhadap virus ini memang pernah dilaporkan, namun hingga kini belum ada bukti kuat mengenai munculnya penyakit klinis akibat IDV pada manusia.

“Jadi ada potensi menjadi wabah di manusia tapi saat ini sejauh ini belum ya. Sehingga belum ada bukti epidemi atau potensi epidemi besar pada manusia yang serupa influenza A pandemik dulu 100 tahun lebih lalu,” ucapnya lagi.

(suc/up)



Sumber : health.detik.com