Tag Archives: sejarah islam

Jelajahi Gresik, Temukan Keindahan Wisata Religi dan Industri yang Menarik



Gresik

Gresik merupakan sebuah kota di Jawa Timur, dikenal luas sebagai Kota Santri sekaligus Kota Industri yang berkembang. Dua identitas ini menjadikan Gresik sebagai destinasi yang menarik, karena mampu memadukan kekayaan spiritual dengan kemajuan modern.

Keunikan inilah yang membuat Gresik banyak dikunjungi oleh wisatawan, terutama mereka yang ingin mendapatkan pengalaman baru dalam hal religi dan perkembangan daerahnya.

Wisata Religi yang Sarat Makna Sejarah

Sebagai salah satu gerbang awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Gresik memiliki berbagai situs religi yang tidak hanya bersejarah, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendalam.


Makam Sunan Maulana Malik Ibrahim

Sunan Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa pada abad ke-14. Makam beliau terletak di pusat kota Gresik dan dikenal karena batu nisannya yang menyerupai lunas kapal dan terbuat dari marmer Gujarat. Lokasinya mudah diakses dan terbuka untuk umum selama 24 jam tanpa dipungut biaya.

Bacapres Anies Baswedan ziarah ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ziarah tersebut bertepatan dengan Haul Sunan Gresik.Makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. (Jemmi Purwodianto/detikJatim)

Makam Sunan Giri dan Masjid Giri Kedaton

Tempat ini menjadi salah satu tujuan ziarah utama, sekaligus pusat dakwah Islam yang telah berdiri sejak tahun 1487. Berada di Bukit Giri, pengunjung dapat menikmati panorama kota Gresik hingga kawasan pesisir dari ketinggian.

Bangunan masjidnya pun masih mempertahankan ukiran kayu asli yang telah berusia lebih dari lima abad.

Makam Nyai Ageng Pinatih dan Siti Fatimah binti Maimun

Kedua makam ini merupakan situs ziarah tertua di kawasan Asia Tenggara. Terutama Makam Siti Fatimah, yang memiliki kubah bergaya arsitektur Hindu-Buddha, menjadi bukti awal masuknya Islam ke Nusantara sejak abad ke-11.

Makam Nyai Pinatih GresikMakam Nyai Pinatih Gresik. (SIDITA JATIM)

Selain kegiatan ziarah, wisatawan juga dapat mencicipi kuliner khas Gresik seperti nasi krawu dan otak-otak bandeng, yang memperkaya pengalaman spiritual dengan cita rasa lokal yang autentik.

Industri Modern yang Mendorong Pertumbuhan

Di balik sisi spiritualnya, Gresik juga merupakan salah satu pusat industri terbesar di Indonesia. Salah satu kawasan unggulan adalah JIIPE (Java Integrated Industrial and Ports Estate), kawasan industri terpadu yang menggabungkan zona industri, pelabuhan laut, dan pemukiman modern.

Sejak diresmikan pada tahun 2018, JIIPE menjadi rumah bagi ratusan industri, serta memiliki akses langsung ke jalur tol, Bandara Internasional Juanda, dan Pelabuhan Tanjung Perak. Kawasan ini menjadi salah satu penggerak utama roda ekonomi di wilayah Jawa Timur.

Selain itu, industri besar seperti Semen Gresik dan Petrokimia Gresik memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Semen Gresik menyumbang sekitar 41% dari total pasokan semen nasional, sementara Petrokimia Gresik memasok sekitar 50% pupuk bersubsidi di Indonesia.

Gresik menunjukkan bahwa kemajuan industri dan kekuatan spiritual dapat berjalan beriringan, menjadikannya kota yang terus berkembang tanpa melupakan akar budayanya.

Integrasi Religi dan Industri dalam Pembangunan Daerah

Identitas Gresik sebagai kota yang religius dan sekaligus industrial telah terbangun sejak lama. Pemerintah daerah terus mengembangkan konsep wisata religi terintegrasi, yang tidak hanya menghubungkan tempat-tempat ziarah, tetapi juga melibatkan pelaku UMKM lokal dan kawasan industri dalam satu jalur wisata yang tertata dengan baik.

Salah satu gagasan andalan Pemkab Gresik adalah membentuk konsep jalur sutra lokal, yang mengintegrasikan budaya, ekonomi kreatif, dan nilai religius sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan.

Dengan keunikan ini, Gresik menjadi pilihan ideal bagi wisatawan yang ingin memahami jejak sejarah dan nilai-nilai keagamaan, sambil melihat langsung dinamika industri modern yang berkembang di tanah Jawa Timur.

(upd/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Daerah Pertama yang Jadi Penyebaran Islam di Indonesia dan Bukti Peninggalannya


Jakarta

Di Indonesia, Islam pertama kali masuk melalui wilayah pesisir seperti Aceh dan Sumatera Utara. Sebagaimana diketahui, penyebaran Islam di RI begitu cepat dan luas.

Lantas, tepatnya di daerah mana Islam mulai menyebar pertama kali di Indonesia?


Pulau Sumatra Jadi Daerah Pertama Masuknya Islam ke Nusantara

Menurut buku Islam dalam Arus Sejarah Indonesia yang disusun Jajat Burhanuddin, daerah pertama yang jadi tempat penyebaran agama Islam di Nusantara adalah pesisir pulau Sumatra. Tempat ini disebut sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia yang jadi pusat penyebaran agama Islam di Nusantara.

Mualnya, Islam berkembang pesat di Indonesia lewat jalur perdagangan dan interaksi antar pedagang yang berasal dari Arab, India serta Persia. Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam terus menyebar ke wilayah lain termasuk Jawa dan Sulawesi.

Wilayah pesisir barat pulau Sumatra menjadi daerah pertama penyebaran agama Islam. Wilayah tersebut jadi pusat interaksi antara Nusantara dengan pedagang muslim yang berasal dari Timur Tengah seperti Aceh dan Sumatra Utara.

Pada wilayah ini, khususnya kerajaan Sriwijaya, menjadi pintu masuk utama bagi agama Islam yang dibawa melalui jalur perdagangan laut.

Kala itu, Nusantara dikenal sebagai kawasan perdagangan yang ramai. Banyak pedagang muslim dari Arab dan Persia tak hanya membawa barang dagangan, namun juga menyebarkan ajaran Islam ke penduduk setempat.

Wilayah pesisir Sumatra seperti Lamuri dan Barus jadi titik awal berkembangnya agama Islam di Indonesia. Keberadaan pedagang-pedagang muslim ini yang kemudian jadi pemicu utama proses penyebaran Islam secara lebih luas di wilayah Nusantara.

Kota Barus Jadi Daerah Penyebaran Islam di Nusantara

Kota Barus di pesisir barat Sumatra menjadi salah satu daerah pertama yang merupakan tempat penyebaran agama Islam di Nusantara. Barus sendiri telah lama menjadi pusat perdagangan internasional sejak abad ke-1.

Kota Barus tak hanya memperdagangkan komoditas seperti kapur barus dan rempah-rempah, namun juga sebagai tempat bertemunya para pedagang muslim dari Arab dan Persia yang menjual aneka barang dagangan khas.

Para pedagang musim yang singgah di Barus tak hanya berjualan, tetapi juga memperkenalkan ajaran Islam kepada penduduk lokal lewat tradisi sosial dan keagamaan serta adat.

Kota Barus disebut sebagai pintu masuk utama bagi agama Islam di Sumatra yang kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya Berperan Penting dalam Proses Islamisasi Nusantara

Kerajaan Nusantara yang terletak di Palembang memiliki peran penting dalam proses Islamisasi di Nusantara. Sebagai pusat perdagangan maritim terbesar di Asia Tenggara masa itu, Sriwijaya juga menjadi pusat interaksi budaya dan agama, termasuk penyebaran Islam.

Pedagang muslim dari Arab dan Persia sering singgah di Sriwijaya membawa ajaran Islam yang diterima masyarakat setempat. Interaksi antara masyarakat dan pedagang itu terjalin dengan kuat sehingga Islam cepat menyebar.

Letak geografis Sriwijaya yang strategis menjadikannya sebagai jembatan penting penyebaran Islam di Nusantara.

Bukti Peninggalan Sejarah Islam di Wilayah Nusantara

Salah satu bukti paling awal terkait keberadaan komunitas muslim adalah catatan dari Dinasti Tang di Cina yang mencatat bahwa kehadiran orang-orang Arab dan Persia di wilayah Sumatra pada abad ke-7.

Selain itu, bukti arkeologis juga menunjukkan adanya peninggalan-peninggalan Islam di Nusantara, seperti makam-makam muslim kuno di wilayah pesisir Sumatra dan Jawa yang jadi penanda Islam telah hadir dan berkembang di kalangan masyarakat lokal sejak dulu.

Bukti lainnya adalah penemuan batu nisan milik Fatimah binti Maimun bin Abdullah di Leran, Jawa Timur yang bertarikh tahun 475 atau 1082 Masehi. Penemuan ini menunjukkan adanya jejak komunitas muslim di Jawa sejak awal abad ke-11.

(aeb/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Suraqah bin Malik dalam Hijrah Nabi Muhammad


Jakarta

Suraqah bin Malik adalah salah satu sahabat Rasulullah yang kisahnya sangat terkenal dalam sejarah hijrah Nabi dari Makkah menuju Madinah. Namanya tercatat sebagai sosok yang awalnya mengejar Nabi karena tergiur iming-iming harta, namun kemudian justru mendapat hidayah dan menjadi pembela Islam.

Perjalanan hidup Suraqah bin Malik menggambarkan perubahan besar dari cinta dunia menuju cinta kepada Rasulullah. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang keimanan, mukjizat, dan janji Allah yang selalu benar.


Dari Cinta Harta Menjadi Cinta Rasulullah

Dikutip dari buku Kisah Teladan dan Hikmah Terbaik Para Sahabat Rasulullah SAW oleh Mutthia Asma’ dan Junaidil Awani, kisah Suraqah bin Malik merupakan salah satu cerita yang penuh hikmah dalam sejarah Islam. Sosok ini dikenal sebagai sahabat Rasulullah, meski awalnya ia justru berangkat untuk menangkap Nabi karena tergiur oleh imbalan dunia.

Saat Rasulullah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq melakukan perjalanan hijrah menuju Madinah, kaum Quraisy kehilangan jejak keduanya. Mereka pun mengumumkan sayembara besar dengan hadiah 100 ekor unta bagi siapa pun yang berhasil menangkap Rasulullah.

Berita ini sampai kepada Suraqah bin Malik yang saat itu sedang bersama kaumnya di Qudaid. Ia segera menaruh ambisi besar untuk mendapatkan hadiah tersebut, namun menyembunyikan niatnya dari orang lain.

Ketika seorang lelaki mengatakan bahwa ia melihat tiga orang yang diduga Rasulullah, Abu Bakar, dan seorang penunjuk jalan, Suraqah langsung membantah. Ia pura-pura mengatakan bahwa mereka hanyalah kabilah lain yang sedang mencari unta hilang agar tidak ada orang lain yang mengejar.

Begitu suasana tenang, Suraqah menyiapkan kuda terbaiknya untuk mengejar Rasulullah. Keahliannya dalam menunggang kuda dan melacak jejak membuatnya yakin bisa menangkap beliau lebih dulu.

Namun, perjalanan itu tidak berjalan mulus. Saat ia memacu kudanya mendekat ke arah Rasulullah, tiba-tiba kaki kudanya terperosok ke tanah hingga membuatnya terpelanting.

Ia bangkit kembali dan mencoba mendekat, tetapi kudanya justru terperosok lebih dalam. Dalam keadaan sulit, Suraqah akhirnya memohon doa Rasulullah agar kudanya bisa bangkit kembali.

Rasulullah pun berdoa, dan kuda Suraqah benar-benar bisa bebas. Meski begitu, saat mencoba mendekat untuk ketiga kalinya, kudanya kembali tersungkur lebih parah hingga ia benar-benar menyerah.

Peristiwa itu membuka mata Suraqah bahwa ada pertolongan Allah yang menjaga Rasulullah. Ia pun luluh, lalu menghampiri Nabi dengan niat berbeda dan menawarkan perbekalannya.

Rasulullah menolak pemberian tersebut dan hanya menyuruh Suraqah pulang. Namun, Suraqah berjanji akan menghalangi orang Quraisy lain yang masih berusaha mencari jejak Rasulullah.

Nabi senang dengan janji itu, bahkan memberikan kabar gembira kepada Suraqah. Beliau bersabda bahwa suatu saat Suraqah akan memakai gelang milik Kisra, Kaisar Persia.

Waktu terus berjalan, dan meski sejak peristiwa itu Suraqah membenarkan kenabian Rasulullah, ia baru benar-benar masuk Islam setelah Fathu Makkah. Ia kemudian hidup sebagai sahabat Nabi yang setia hingga akhir hayatnya.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, janji Rasulullah terbukti nyata. Setelah Persia ditaklukkan, harta rampasan perang dibawa ke Madinah, dan Umar memakaikan gelang Kisra kepada Suraqah bin Malik, sehingga genaplah nubuwat Rasulullah dalam kisah yang agung ini.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nu’aim bin Mas’ud dan Peran Strategisnya di Perang Khandaq


Jakarta

Nu’aim bin Mas’ud merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad yang terkenal karena kecerdikannya dalam strategi perang. Ia berasal dari suku Ghatafan di Najd dan dikenal mampu mempengaruhi musuh sekaligus membantu kaum Muslimin dalam situasi genting.

Kecerdikan Nu’aim bin Mas’ud terlihat jelas saat Perang Khandak, di mana ia berhasil memecah belah barisan musuh tanpa bertempur secara langsung. Keahliannya dalam berdiplomasi dan meredakan konflik menjadikannya sosok yang strategis dan dihormati oleh kaum Muslimin maupun lawan mereka.


Latar Belakang Nu’aim bin Mas’ud

Dikutip dari buku Sirah Nabawiyah oleh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Nu’aim bin Mas’ud (bahasa Arab: نعيم بن مسعود) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang berasal dari Najd, di dataran tinggi utara Arabia. Ia lahir dari suku Ghatafan, sebuah suku yang dikenal kuat dan berpengaruh pada masanya.

Pertemuan pertamanya dengan Nabi Muhammad terjadi ketika Abu Sufyan mengutusnya ke Madinah. Tugasnya adalah meyakinkan kaum Muslim agar tidak melawan pasukan Quraisy dengan cara melebih-lebihkan jumlah mereka.

Peristiwa ini terkait dengan Perang Badar kedua yang sebelumnya telah disepakati kedua pihak dalam konteks Perang Uhud. Nu’aim hadir sebagai sosok yang memiliki peran diplomatis dan strategis dalam interaksi antar suku.

Saat Pertempuran Khandak, Nu’aim menunjukkan kecerdikannya dalam membantu kaum Muslimin. Ia berhasil memecah belah barisan musuh melalui kemampuan propaganda dan negosiasi tanpa harus bertempur langsung.

Kisah Nu’aim bin Mas’ud dalam Perang Khandaq

Diceritakan dalam buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hassan, Nu’aim bin Mas’ud tiba di Madinah dengan hati yang gelisah, namun hatinya mulai terbuka ketika cahaya hidayah masuk. Ia sadar bahwa Islam adalah kebenaran, dan dirinya harus berdiri di sisi Nabi Muhammad.

Di tengah malam yang sunyi, Nu’aim memutuskan untuk menyatakan keislamannya secara diam-diam. Ia menemui Rasulullah dan bersyahadat, bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan di tengah musuhnya sendiri.

Rasulullah memercayakan tugas berat kepadanya: menimbulkan keraguan di hati musuh tanpa terlibat dalam pertempuran fisik. Nu’aim memahami betul karakter orang-orang yang akan dihadapinya, karena hubungan lama dengan kaum Yahudi dan Ghathfan memberinya keunggulan.

Langkah pertama Nu’aim adalah menemui Bani Quraizhah, sekutu Yahudi yang menjadi teman dekatnya sejak Jahiliyah. Ia berbicara dengan lembut dan meyakinkan mereka bahwa Quraisy dan Ghathfan tidak berniat tulus terhadap mereka.

Nu’aim menjelaskan bahwa negeri, harta benda, dan keluarga mereka akan terancam jika mereka ikut membantu musuh. Kata-katanya membuat Bani Quraizhah mulai mempertanyakan kesetiaan pasukan Quraisy dan Ghathfan.

Tidak berhenti di situ, Nu’aim kemudian mendekati pasukan Quraisy dan Ghathfan. Ia menyampaikan bahwa Bani Quraizhah sedang mempertimbangkan untuk menarik dukungan mereka, menimbulkan kecurigaan dan ketidakpastian di barisan musuh.

Sikap cerdik Nu’aim membuat kedua pihak saling curiga dan menahan diri. Strategi ini membuat moral musuh menurun drastis tanpa setetes darah pun tertumpah.

Pada malam-malam berikutnya, ia terus menyebarkan kebingungan dengan pesan-pesan yang tepat sasaran. Setiap kata yang diucapkannya memecah konsentrasi musuh, sehingga mereka ragu-ragu untuk melanjutkan serangan.

Usahanya berpadu dengan doa-doa kaum Muslimin yang memohon pertolongan Allah. Ketenangan hati Muslimin menjadi semakin kuat, meski mereka dikepung dari segala penjuru oleh musuh yang bersekutu.

Allah pun menurunkan bantuan-Nya dalam bentuk angin kencang yang mengguncang kemah-kemah musuh. Periuk makanan, perbekalan, dan tenda-tenda mereka hancur, memperparah kekacauan di barisan Quraisy dan Ghathfan.

Esok harinya, musuh memutuskan untuk mundur, menyadari bahwa serangan mereka gagal total. Nu’aim bin Mas’ud tersenyum dalam diam, mengetahui bahwa kecerdikannya telah menyelamatkan banyak nyawa dan mempertahankan Madinah.

Peran Nu’aim dalam Perang Khandaq menjadi bukti bahwa peperangan tidak selalu dimenangkan dengan pedang. Kepintaran, strategi, dan keberanian dalam berdiplomasi mampu menaklukkan musuh lebih efektif daripada kekuatan fisik semata.

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Perang Khandaq dan Strategi Parit



Jakarta

Salah satu peristiwa bulan Syawal dalam sejarah Islam adalah meletusnya Perang Khandaq. Perang ini melibatkan kaum muslimin dan pasukan gabungan dari Quraisy, Yahudi, dan Ghathafan.

Menurut Sirah Nabawiyah yang disusun oleh Ibnu Hisyam, Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H atau 627 M. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kitab Tarikh-nya menyebut ini adalah pendapat yang shahih karena Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal tahun 3 H.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, seusai Perang Uhud, orang-orang musyrik berjanji kepada Rasulullah SAW untuk menemui beliau pada tahun ke-4. Namun, mereka melanggar karena kegersangan tahun tersebut dan pada tahun ke-5 baru mereka datang.


Pada saat itu, kaum Yahudi bani Nadhir yang pindah ke Khaibar menghasut kabilah-kabilah Arab di sekitar Khaibar agar memerangi kaum muslimin, sebagaimana diceritakan dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW II karya Moenawar Chalil.

Dikutip dari buku Sejarah Terlengkap Peradaban Islam karya Abul Syukur al-Azizi, berikut adalah keterangan dan kisah mengenai Perang Khandaq selengkapnya.

Latar Belakang Perang Khandaq

Perang Khandaq adalah perang antara kaum muslimin melawan pasukan gabungan dari kaum Quraisy, Yahudi, serta Ghathafan. Perang ini disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan.

Dinamakan perang Khandaq yang berarti parit karena kaum muslimin menggali parit di sekeliling kota Madinah sebagai mekanisme pertahanan agar mencegah kaum kafir agar tidak bisa menerobos kota Madinah. Perang ini dimulai karena beberapa kaum dan pihak merasa tidak terima setelah diusir dari Madinah lantaran telah melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama.

Selain itu, penyebab lain terjadinya perang ini adalah karena ketakutan kaum kafir Makkah akan kekuatan kaum muslimin di Madinah yang semakin berkembang. Perang Khandaq sangat terkenal di kalangan muslim di berbagai masa, lantaran perang ini merupakan adu strategi dan perang urat saraf.

Strategi Parit dalam Perang Khandaq

Terdapat tiga figur utama yang menjadi faktor utama dalam perang ini. Selain Nabi Muhammad SAW sebagai panglima perang dari pihak muslimin, aktor utama lain dalam Perang Khandaq adalah Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi, serta Nu’aim bin Mas’ud yang setia dan loyal menjalankan tugas dan perannya masing-masing.

Kisah luar biasa dalam Perang Khandaq bermula dari ide brilian Salman al Farisi yang kepada nabi untuk membangun parit. Ide itu sesungguhnya didasari dari kebiasaan orang-orang di kampung halamannya, Persia.

Mereka akan membangun parit pertahanan ini dilakukan jika sedang dalam situasi takut diserang, terutama oleh pasukan berkuda. Kondisi seperti itulah pula yang dialami oleh kaum muslimin pada saat itu.

Pembangunan parit seperti itu sebenarnya tidak dikenal dalam strategi perang orang Arab. Hal ini dikarenakan mereka sebelumnya hanya mengenal teknik seperti gerilya, yaitu maju, mundur, gempur, atau lari.

Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW yang mendengarkan strategi “unik” ini kemudian sepakat dengan usul Salman. Bahkan, beliau pulalah yang membuat peta penggalian, memanjang dari ujung utara hingga ke selatan.

Waktu itu, setiap sepuluh orang pasukan persiapan kaum muslim diwajibkan menggali parit sepanjang 40 meter (lebar 4,62 meter dan dalam 3,234 meter). Setelah enam hari (dalam riwayat lain, 10 hari), panjang parit yang berhasil digali adalah mencapai 5.544 meter.

Kisah heroik ditunjukkan oleh Nu’aim bin Mas’ud yang ditugaskan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pemecah belah kaum kafir Quraisy, bani Ghathafan, dan kaum Yahudi yang bersekongkol. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib juga memiliki pengalaman yang tak kalah menarik.

Hal ini lantaran ia harus berduel dengan Amr bin Abdi Wudd, yakni salah satu pimpinan pihak musuh yang terkenal jago pedang. Pada awalnya Rasulullah SAW tidak ingin untuk memberikan tanggung jawab kepada Ali untuk menghadapi Amr karena ia dianggap masih terlalu muda.

Rasulullah SAW ingin memilih sosok sahabat yang lebih tua dan dianggap sepadan. Namun, di luar perkiraan Rasulullah SAW ternyata Ali bersikeras.

Sebenarnya, nabi cukup khawatir terhadap keselamatan Ali. Hal ini bukan tanpa dilandasi alasan yang jelas, melainkan pada perang sebelumnya di Uhud, beliau telah kehilangan sang paman, yaitu Hamzah yang tewas secara mengenaskan.

Berkat pertolongan Allah SWT, Ali berhasil memenangkan pertarungan. Kemudian Amr bin Abdi Wudd tewas di tangan Ali yang masih tergolong muda pada saat itu.

Peristiwa inilah yang menjadi titik puncak yang mengakibatkan pasukan musuh mundur dari lokasi perang meskipun jumlah mereka berjumlah lebih dari 10.000 tentara. Selain itu, mundurnya kaum kafir dari lokasi peperangan karena kondisi kota Madinah saat itu cuaca sangatlah dingin.

Kaum kafir musuh umat muslim yang masih tertahan di tenda-tenda karena tidak bisa memasuki kota Madinah. Banyak di antara mereka yang mati kedinginan dan terserang penyakit malaria dalam peristiwa bulan Syawal tersebut.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Sawiq Bulan Zulhijah di Pinggiran Kota Madinah



Jakarta

Salah satu perang yang pernah dialami oleh Rasulullah SAW adalah Perang Sawiq. Perang ini terjadi pada bulan Zulhijah di pinggiran Kota Madinah.

Menurut Ibnu Ishaq, dinamakan Perang Sawiq (Tepung) karena mayoritas perbekalan yang dibuang orang-orang Quraisy pada saat itu adalah tepung. Kemudian, kaum muslimin mengambil tepung yang banyak itu. Oleh karena itu, perang ini dinamakan Sawiq atau As-Sawiq, sebagaimana dijelaskan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam.

Merangkum dari Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri bahwa terjadi persekongkolan dan konspirasi dengan orang-orang Yahudi serta munafik. Hal tersebut juga dilakukan oleh Abu Sufyan dari golongan Yahudi, dan kaum munafikin secara intensif menggalang konspirasi.


Abu Sufyan mulai merancang suatu tindakan yang berisiko kecil tetapi berdampak nyata. Bahkan, ia sudah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun junub. Hingga. ia dapat menyerang Rasulullah SAW.

Lalu, ia bersama dengan 200 orang pergi untuk melaksanakan sumpahnya, hingga ia tiba di suatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaraknya dari Madinah kira-kira 12 mil. Namun, mereka tidak berani datang secara langsung melainkan mengendap-endap masuk Madinah pada malam hari yang gelap dan mendatangi rumah Huyay bin Akhtab.

Ia lalu meminta izin untuk masuk rumah, namun Huyay menolaknya karena ia merasa takut. Maka, dia beranjak pergi dan mendatangi rumah Sallam bin Misykam, pemimpin Bani Nadhir.

Abu Sufyan meminta agar kedatangannya ini dirahasiakan dari siapa pun setelah dijamu dan disuguhi arak. Pada akhir malam, Abu Sufyan lalu keluar rumah dan kembali lagi menemui rekan-rekannya.

Ia lalu mengutus beberapa orang pilihan di antara tentaranya agar pergi ke arah Madinah dan berhenti di Al-Uraidh. Di sana mereka membabati pohon dan membakar pagar-pagar kebun kurma.

Mereka menemukan seorang Anshar dan rekannya di kebun itu, lalu mereka membunuh keduanya. Setelah itu mereka semua kembali lagi ke Makkah.

Rasulullah SAW yang mendengar kabar ini segera pergi untuk mengejar Abu Sufyan dan rekan-rekannya. Namun, mereka terburu-buru pergi dan meninggalkan tepung makanan yang mereka bawa sebagai bekal dan bahan-bahan makanan lainnya, agar tidak terlalu memberatkan.

Tetapi mereka tidak terkejar lagi, sehingga Rasulullah SAW mengejar mereka hingga tiba di Qarqaratul Kadar. Setibanya di sana beliau kembali lagi dan orang-orang muslim membawa Sawiq (tepung gandum) yang ditinggalkan Abu Sufyan dan pasukannya, sehingga peperangan ini disebut perang as-Sawiq.

Perang ini terjadi pada bulan Zulhijah tepatnya dua bulan setelah Perang Badar. Urusan Madinah selanjutnya diserahkan oleh Rasulullah SAW ke tangan Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perang Hunain, Saat Pasukan Muslim Nyaris Menelan Kekalahan



Jakarta

Perang Hunain menjadi salah satu bentuk teguran dan peringatan bagi kaum muslimin. Pertempuran itu terjadi setelah peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada bulan Syawal tahun ke-8 Hijriyah.

Menurut buku Manhaj Dakwah Rasulullah karya Prof Dr Muhammad Amahzun, pada awal perang berlangsung kaum muslimin sempat mengalami kekalahan. Mereka lari dan mundur seribu langkah ke belakang tiap kali berhadapan dengan kaum musyrikin yang bersenjata lengkap dengan strategi jitu.

Namun, atas pertolongan Allah SWT maka kaum muslimin berhasil mengalahkan mereka. Dijelaskan dalam buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Perang Hunain juga disebut kebalikan dari Perang Uhud.


Pada Perang Uhud, kaum muslimin sempat mengalami kemenangan dan diakhiri dengan kekalahan. Sebaliknya, di Perang Hunain justru banyak pasukan muslim yang terbunuh karena kepanikan dan keraguan mereka sendiri.

Peristiwa Perang Hunain diabadikan dalam surat At Taubah ayat 25-27 yang berbunyi,

لَقَدْ نَصَرَكُمْ اللّٰهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئاً وَضَاقَتْ عَلَيْكُمْ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (٢٥) ثُمَّ أَنزَلَ اللّٰهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنزَلَ جُنُوداً لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (٢٦) ثُمَّ يَتُوبُ اللّٰهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللّٰهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٧)

Artinya, “Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS At Taubah: 25-27)

Ketika perang berlangsung, Nabi Muhammad SAW mengirim pasukan sebanyak 12.000 orang. Dari 12.000 itu, sebanyak 2.000 tentara merupakan kaum Quraisy yang baru masuk Islam setelah peristiwa Fathu Makkah.

Rasulullah SAW menunjuk Khalid bin Walid menjadi pimpinan pasukan garis depan yang bertugas sebagai pasukan pengintai. Sayangnya, Khalid gagal menjalankan tugas, hampir seluruh prajuritnya melarikan diri.

Perang Hunain sempat kacau karena pasukan muslim termakan sifat sombong. Mereka merasa tidak akan kalah karena berjumlah banyak ketimbang musuhnya, karenanya banyak pasukan yang lari tunggang langgang dari medan perang.

Walau begitu, Perang Hunain diakhiri dengan kemenangan pasukan muslim. Hal ini juga disebutkan oleh Anas bin Malik dalam sebuah riwayat.

Anas bin Malik berkata,

“Pada Perang Hunain, musuh Islam terdiri atas Hawazin, Ghathfan, dan suku lainnya. Mereka datang dengan membawa harta dan budak-budak mereka. Sedangkan Rasulullah SAW membawa 10.000 pasukan ditambah dengan orang-orang Makkah yang baru masuk Islam. Pada perang itu, para sahabat melarikan diri meninggalkan Rasulullah SAW sendirian. Akhirnya beliau menengok ke arah kanan, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Mereka menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Kemudian, beliau menengok ke arah kiri, dan berkata, ‘Wahai muslimin Anshar!’ Yang dipanggil menjawab, ‘Bergembiralah, wahai Rasulullah, kami selalu bersamamu,’ Lalu, beliau turun dari bagal putihnya, dan berkata, ‘Aku ini hamba Allah dan Rasul-Nya,” (HR Bukhari)

Situasi saat itu terbilang genting. Nabi Muhammad SAW bersama sekelompok muslimin yang salah satunya Ali bin Abi Thalib tetap bertahan di barisan depan. Lalu, beliau berteriak memanggil para pasukannya yang lari kocar-kacir itu, “Akulah Rasulullah, mari bergabung bersamaku!”

Kemudian, Nabi SAW memerintahkan pamannya yang bernama Abbas untuk menyeru kaum muslimin, karena suaranya lantang. Maka, Abbas berseru, “Wahai kelompok Anshar, wahai mereka yang berbaiat di bawah pohon! Rasulullah bersama orang-orang beriman yang benar sedang bertempur dengan dahsyat,”

Demikianlah, kaum muslimin menepis rasa takut yang menghantui mereka. Setelahnya, prajurit muslim berkumpul mengelilingi Nabi SAW yang berhasil mengubah kekalahan mereka menjadi kemenangan.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Sosok Panglima Perang Termuda dalam Sejarah Islam, Diangkat pada Usia 18 Tahun



Jakarta

Usamah bin Zaid merupakan salah satu panglima perang Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sosoknya juga disebut sebagai sahabat dekat Rasulullah SAW.

Dalam sejarah Islam, Usamah bin Zaid adalah panglima termuda dan terakhir yang ditunjuk langsung oleh Nabi SAW. Ia lahir pada tahun ke-7 sebelum Hijriyah dan merupakan anak dari Zaid bin Haritsah, seperti dinukil dari buku Jika Sungguh-sungguh Pasti Berhasil susunan Amirullah Syarbini M Ag dkk.

Saat diangkat sebagai panglima usia Usamah masih 18 tahun. Karena usianya yang muda, banyak sahabat Rasulullah yang tidak yakin akan kemampuan Usamah bin Zaid.


Bahkan, mereka meragukan keputusan sang rasul sampai akhirnya desas-desus itu sampai ke telinga Umar bin Khattab.

Mengutip buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Umar RA lalu menemui Nabi SAW dan menyampaikan permasalahan itu. Hal tersebut membuat Rasulullah SAW sangat marah, ia menemui para sahabat yang tidak puas akan keputusan beliau. Nabi Muhammad berusaha meyakinkan para sahabat untuk meredak ketidakpuasan mereka.

Meski menjadi panglima termuda, tugas yang diberikan kepada Usamah bin Zaid pada kali pertamanya cukup berat. Nabi SAW memerintahkan Usamah untuk mengusir pasukan Romawi yang mengancam keutuhan masyarakat muslim kala itu.

Pada pasukan tersebut, ada sejumlah sahabat senior seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lainnya. Rasulullah SAW mengangkat Usamah bin Zaid memimpin seluruh pasukan tersebut.

Pada saat itu, Usamah bin Zaid diperintahkan untuk berhenti di Balqa’ dan Qal’atut Darum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan Rum (Romawi). Dalam perang itu, Usamah berhasil membawa kemenangan bagi kaum muslimin.

Kemenangan yang diraihnya menjadi bukti bagi orang-orang yang sebelumnya meragukan Usamah bin Zaid. Selama 40 hari, mereka kembali ke Madinah dengan perolehan harta rampasan perang yang besar tanpa satu korban jiwa.

Dari kemenangan itu pula, Usamah bin Zaid menjadi sosok yang disegani oleh para sahabat. Diceritakan dalam buku Kisah-kisah Pilihan Muslim Cilik Teladan karya M Kholiluddin, Usamah bahkan berhasil mendesak mundur pasukan Romawi dari negeri Syam, Palestina, serta Mesir.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi Berapa?


Jakarta

Sebelum diangkat menjadi seorang nabi, Rasulullah Muhammad SAW sudah mendapat banyak cobaan dari Allah SWT. Salah satunya adalah menjadi yatim piatu di usia enam tahun.

Ayah Nabi Muhammad SAW sudah lebih dahulu meninggal saat Rasulullah SAW masih di dalam kandungan. Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib wafat saat Nabi SAW dalam kandungan baru dua bulan.

Abdullah bin Abdul Muthalib Wafat saat Nabi SAW Masih dalam Kandungan

Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari ayah yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan ibu yang bernama Aminah binti Wahab. Nabi Muhammad lahir dari keturunan pilihan di antara kabilah-kabilah Arab, yaitu keturunan Ismail bin Ibrahim AS.


“Ayahnya bernama Abdullah bin Abd al-Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Keturunan Ismail bin Ibrahim AS.” Tulis H. Murodi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Agama Islam: Sejarah Kebudayaan Islam untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII.

Menjelang usianya yang ke-24, Abdullah menikahi seorang perempuan bernama Aminah bin Wahab. Keduanya dikaruniai seorang anak, yaitu Muhammad SAW. Namun, Abdullah belum pernah bertemu dengan anaknya itu lantaran ia sudah wafat terlebih dahulu.

Abdullah meninggal dunia di Madinah dalam usia 25 tahun, di kediaman pamannya dari Bani Najjar.

Saat itu Abdullah sedang pergi ke Madinah untuk membeli kurma dan dijualnya kembali ketika di kotanya. Namun, sesampainya di Madinah ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.

Di saat yang sama, istrinya ia tinggal di rumah dan masih mengandung anaknya, Muhammad. Artinya, Nabi Muhammad SAW sudah menjadi seorang yatim bahkan sebelum beliau lahir ke dunia.

Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi yang ke Berapa?

“Ibu Nabi SAW, Aminah binti Wahab dari Bani An-Najjar, meninggal dunia saat beliau berusia enam tahun. Ada yang mengatakan empat tahun.” Jelas buku Syarah Safinatun Naja: Ringkasan Akidah, Sirah Nabawiyah, Ibadah dalam Madzhab Asy-Syafi’i oleh Amjad Rasyid.

Dalam sumber sebelumnya disebutkan, Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, tahun Gajah, atau bertepatan pada 20 April 571 M. Setelah lahir, beliau diasuh oleh ibunya sendiri.

Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga disusui oleh Tsuwaibah Aslamian, mantan budak Abu Lahab. Selanjutnya Muhammad juga disusui oleh Halimah Sa’diyah binti Abu Dzu’aib di perkampungan Bani Sa’ad.

Cobaan kembali menimpa Nabi Muhammad SAW ketika usianya menginjak enam tahun.

Suatu saat, Aminah binti Wahab melakukan perjalanan dari Madinah ke Makkah bersama anaknya, Muhammad. Di Madinah, ia mengunjungi paman-paman dan saudara-saudaranya dari pihak ayah, yaitu keturunan Bani Adi bin Najjar.

Namun, dalam perjalanan kembali ke Makkah tersebut, Aminah binti Wahab meninggal dunia di Abwa. Wafatnya Ibunda Rasulullah SAW pada Usia Nabi yang ke enam tahun.

Dalam buku Meneladani Akhlak Rasul dan Para Sahabat oleh A. Fatih Syuhud, Aminah binti Wahab meninggal dunia pada tahun 47 sebelum hijriah atau bertepatan dengan tahun 577 masehi.

Setelah ditinggal orang tua untuk selamanya, Nabi Muhammad SAW diasuh oleh kakeknya yang bernama Abdul Muthalib hingga usia menginjak delapan tahun.

Abdul Muthalib meninggal dunia di usia Nabi SAW yang kedelapan tahun. Selanjutnya Muhammad dirawat oleh pamannya, Abu Thalib hingga tumbuh dewasa.

(erd/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masa Remaja Nabi Muhammad SAW hingga Dijuluki Al-Amin


Jakarta

Kisah hidup Nabi Muhammad SAW sangat menarik untuk diulik. Kehidupan beliau tidak hanya diwarnai dengan suka, namun juga penuh duka.

Nabi Muhammad SAW sudah menjadi seorang yatim piatu ketika usianya menginjak enam tahun. Beliau lalu diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, selama dua tahun hingga usianya mencapai delapan tahun.

Selama usia itu pula, Abdul Muthalib wafat dan meninggalkan Nabi Muhammad SAW sendirian. Akhirnya beliau dirawat oleh pamannya, Abu Thalib, sekalipun ia mempunyai banyak tanggungan keluarga dan harta yang sedikit, seperti dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X karya Abu Achmadi dan Sungarso.


Disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tumbuh sebagai anak yang penuh kejujuran dan selalu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya. Karakter ini terbentuk selama beliau menjadi anak yang sangat bergantung pada pamannya yang hidup serba terbatas.

Nabi Muhammad SAW bahkan mendapatkan gelar dari orang-orang Quraisy sebagai Al-Amin yang berarti orang yang dapat dipercaya. Sampai-sampai, ketika beliau datang kepada mereka, orang-orang akan menyeru dengan keras, “Telah datang Al-Amin.”

Pasalnya, semasa Rasulullah SAW beliau rajin menggembala kambing bersama anak-anak yang tergolong miskin, sifat sabar, tabah, kasih sayang, serta suka menolong makhluk yang lemah muncul dalam dirinya.

Saat usia Nabi Muhammad SAW menginjak 12 tahun, Abu Thalib mengajaknya untuk pergi ke negeri Syams untuk berdagang.

Ketika keduanya berada di Kota Bushra, seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira mendatangi rombongan dagang tersebut lalu memperhatikan Nabi Muhammad SAW.

Pendeta itu menyadari bahwa anak yang dia lihat bukanlah manusia biasa. Ia melihat ada tanda-tanda kenabian pada diri Nabi Muhammad SAW muda. Ia lantas mengatakan kepada Abu Thalib untuk segera membawa keponakannya kembali ke Makkah karena anak itu kelak akan menjadi seorang rasul.

Masa Remaja Nabi Muhammad SAW

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW dimulai ketika beliau sudah bisa mencari biaya hidup sendiri. Beliau bekerja sebagai penggembala kambing milik beberapa orang Quraisy dan mendapatkan upah dari pekerjaan tersebut.

Pada masa remaja Nabi Muhammad SAW, beliau juga pernah ikut berperang bersama pamannya, Abu Thalib dalam Perang Fijar di Nakhlan antara Makkah dan Madinah. Perang Fijar adalah perang yang terjadi antara Bani Kinanah dan kaum Quraisy.

Setelah terjadi Perang Fijar, tata hukum di Kota Makkah menjadi berantakan dan tidak benar. Hal ini disebabkan karena Abdul Muthalib wafat sehingga terjadilah kesewenang-wenangan di Makkah.

Akhirnya, masyarakat Makkah membuat sebuah persumpahan yang dinamai dengan Hilful-Fudul yang bertujuan untuk melindungi setiap orang, baik penduduk kota Makkah maupun orang asing, dan dibentuk pula organisasi untuk itu.

Nabi Muhammad SAW terpilih menjadi salah seorang pemimpin dalam organisasi Hilful-Fudul ini. Dan di dalam organisasi ini pula terlihatlah betapa besar kasih sayang beliau terhadap sesama manusia.

Selain sifat kasih sayangnya yang terkenal, Muhammad remaja juga dikenal sebagai pemuda yang memiliki budi pekerti yang halus serta sifat yang amat mulia.

Nabi Muhammad SAW juga mendapatkan gelar sebagai Al-Amin berkat jasanya dalam menyelesaikan perseteruan antarsuku dalam hal meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, Ka’bah.

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW juga dilengkapi dengan sifat beliau yang gagah berani, tangkas, dan satria, serta senantiasa maju tak gentar dalam menghadapi musuh.

Selain itu, beliau juga memiliki sifat sabar yang amat tebal ketika menghadapi berbagai cobaan, kuat memegang cita-cita, dan teguh hatinya.

Kisah masa remaja Nabi Muhammad SAW juga dikenal dengan kesederhanaannya. Ia hanya hidup untuk taat kepada Allah SWT tanpa mementingkan kehidupan dunia.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com