Tag Archives: sejarah islam

Biografi Abdul Qadir Jailani, Tokoh Sufi Termasyur di Indonesia


Jakarta

Syekh Abdul Qadir Jailani merupakan tokoh sufi yang paling termasyur di Indonesia. Tokoh sufi ini lebih dikenal masyarakat dengan cerita-cerita karamahnya dibandingkan ajaran spiritualnya.

Selain di Indonesia, ulama Persia ini sangat dihormati umat muslim di India dan Pakistan dan disebut sebagai wali yang mempunyai banyak kelebihan. Beliau memperoleh banyak julukan, seperti penghidup agama dan Ghaus-e-Azam yang berarti orang suci terbesar dalam Islam.

Selain itu, Abdul Qadir Jailani juga dikenal sebagai ulama yang mendirikan Tarekat Qadiriyah dan ulama bermazhab Hambali. Pada artikel ini akan dibahas mengenai biografi singkat dari Abdul Qadir Jailani.


Biografi Singkat Abdul Qadir Jailani

Syekh Abdul Qadir Jailani adalah Syeikh pertama dalam Tarekat Qadariyah. Nama asli ulama fikih ini lengkap dengan nasabnya adalah Asy-Syekh Abdul Qadir bin Abi Sholeh bin Janaky Dausat bin Abi Abdillah Abdullah bin Yahya bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa Al-Huzy bin Abdullah Al-Himsh bin Al-Hasan bin Al-Mutsanna bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani.

Menukil Tasfir Jailani oleh Syekh Abdul Qadir Jailani, beliau lahir di Jalan, sebelah selatan laut Kaspia Iran pada tahun 470 H/1077 M. Dari pihak ibunya Sayyidina Fatimah, beliau ada keturunan Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad SAW), sedangkan dari pihak ayah masih ada keturunan Sayyidina Hassan (cucu Nabi Muhammad SAW) .

Setelah menyelami pengetahuan agama di kota kelahirannya, pada tahun 1095 M beliau terdorong untuk merantau ke Baghdad, kota yang pada saat itu menjadi pusat peradaban dan pengetahuan Islam. Beliau bermaksud menimba ilmu lebih dalam lagi mengenai Islam di sana.

Selama di Baghdad, Abdul Qadir Jailani muda menjumpai para ulama, berguru dan bersahabat dengan mereka, sehingga ia berhasil menguasai ilmu lahir dan batin. Salah seorang yang menjadikan beliau seorang ahli sufi yang dihormati adalah ad-Dabbas yang membimbingnya dalam bidang tasawuf.

Karya-Karya Abdul Qadir Jailani

Menukil Al-Kisah no. 07 yang diterbitkan pada 7 April 2011, berikut karya-karya Abdul Qadir Jailani:

  1. Tafsir al-Jailani
  2. Al-Fatthu ar-Rabbani wa al-faydh ar-Rahmani
  3. As-Sholawat wa al-Aurad
  4. Al-rasail
  5. Yawaqit al-hikam
  6. al-Ghunyah li thalibi Thariqil Haqq
  7. Futuh al-Ghaib
  8. Ad-diwan
  9. Sirrul asrar
  10. Asrarul asrar
  11. Jalaul khathir
  12. Al-amru al-muhkam
  13. Ushulus Saba’
  14. Mukhtasar ihya ulumuddin
  15. Ushuluddin

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Mengenal Zaid bin Haritsah, Anak Angkat Rasulullah SAW


Jakarta

Salah satu panglima perang Islam di zaman Rasulullah SAW adalah Zaid bin Haritsah. Ia memiliki sejumlah keistimewaan dibandingkan sahabat-sahabat lainnya.

Bahkan, panglima yang mati syahid di peperangan Mu’tah ini menjadi tameng bagi Rasulullah SAW saat Perang Uhud. Tidak ada satu senjata pun yang dapat menembus tubuh Rasulullah SAW sebelum menyentuh tubuh Zaid.

Dia satu-satunya sahabat Rasulullah SAW yang secara eksplisit disebutkan dalam Al-Qur’an di surat Al-Ahzab ayat 37:


وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

Artinya: Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah SWT dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah SWT, dan engkau takut kepada manusia. Padahal Allah SWT lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Seperti apakah kisah hidup Zaid bin Haritsah? Untuk itu, dalam artikel ini akan disajikan sejarah hidup dari Zaid bin Haritsah.

Mengenal Lebih Dekat Zaid bin Haritsah

Merangkum buku Para Panglima Perang Islam oleh Rizem Aizid, Zaid bin Haritsah memiliki ibu bernama Su’da binti Tsalabah dan ayahnya adalah Haritsah. Mereka bukan berasal dari keluarga bangsawan, melainkan hanya rakyat jelata.

Asal Zaid bin Haritsah adalah Bani Kalb yang tinggal di bagian utara Jazirah Arab. Pada masa kecilnya ia ditangkap sekelompok penjahat dan dijual sebagai budak.

Kemudian ia dibeli oleh keponakan dari Khadijah, Hukaim bin Hisyam. Karena memiliki sifat yang baik, oleh Khadijah diberikan kepada Rasulullah SAW yang kemudian memerdekakan Zaid bin Haritsah.

Zaid bin Haritsah termasuk salah satu sahabat yang paling awal memeluk agama Islam dari golongan hamba sahaya. Hal ini dikarenakan, sejak kecil Zaid bin Haritsah telah diangkat menjadi anak asuh kesayangan Rasulullah SAW dari kalangan budak beliau.

Saking dekatnya Zaid bin Haritsah dengan Rasulullah SAW, ia pun menjadi satu-satunya orang yang dipercaya oleh Rasulullah SAW untuk memegang rahasia beliau. Karena itu, Zaid bin Haritsah dijuluki sebagai Sang Pemegang Rahasia Rasulullah SAW.

Zaid bin Haritsah tumbuh menjadi seorang prajurit pemberani, ia juga panglima yang tangguh dalam banyak peperangan Islam. Sebagi seorang prajurit yang pemberani, Zaid bin Haritsah memiliki jasa yang sangat besar, salah satunya menjadi tameng bagi Rasulullah SAW saat Perang Uhud.

Zaid bin Haritsah dalam Perang Mu’tah

Merangkum buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X oleh H. Abu Achmadi dan Sungarso, Mu’tah adalah nama daerah di dataran rendah Balqa di Negeri Syam. Perang ini terjadi pada bulan Jumadil Ula tahun 8 H atau 629 M.

Perang Mu’tah disebabkan oleh dibunuhnya dua utusan Rasulullah SAW. yang membawa surat dakwah ke beberapa kepala negara untuk mengajak mereka menerima ajaran Islam. Atas perlakuan ini, Rasulullah SAW mempersiapkan pasukan Muslimin untuk berperang dengan pasukan Ghassaniyah di Mu’tah.

Sebelum pasukan Islam berangkat, Rasulullah SAW telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komandan secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur di medan perang. Mereka adalah Ja’far bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah dan Abdullah bin Rawahah.

Zaid bin Haritsah menjadi panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah SAW, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan sangat sengit, Zaid menebasi anak panah-anak panah musuh hingga akhirnya dia tewas.

Rasulullah sangat sedih dengan kematian Zaid yang sudah ia angkat sebagai anak kesayangannya. Ia sangat sayang kepada Zaid seperti yang dikabarkan oleh Aisyah ra,

“Setiap Rasulallah SAW mengirimkan suatu pasukan yang disertai Zaid, ia selalu diangkat Nabi jadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasulallah SAW, tentulah ia akan diangkatnya sebagai Khalifah.”

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Jumlah Anak Nabi Adam AS beserta Namanya dalam Sejarah Islam


Jakarta

Sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT, Nabi Adam AS menjadi awal keberadaan umat manusia di muka bumi. Dari rahim Siti Hawa, istri Nabi Adam AS yang diciptakan dari tulang rusuknya, lahirlah beberapa keturunan pertama dari umat manusia yang berkembang hingga saat ini.

Menurut riwayat yang dikutip dari buku Kisah Para Nabi Ibnu Katsir Terjemahan Umar Mujtahid, di awal penciptaannya, Nabi Adam AS dan Siti Hawa dikaruniai lima orang anak, yaitu tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Berikut nama anak-anak pertama Nabi Adam AS.

Nama Anak-anak Nabi Adam AS


1. Habil dan Qabil, Iqlima dan Labuda

Diceritakan dalam buku Mukjizat Isra Mi’raj dan kisah 25 Nabi Rasul karya Winkanda Satria Putra, setelah Nabi Adam AS dan Hawa turun ke bumi, Hawa melahirkan dua pasang anak kembar. Sepasang anak kembar pertama bernama Qabil dan Iqlima, sepasang anak kembar berikutnya bernama Habil dan Labuda.

Nabi Adam AS dan Hawa membesarkan kedua anak kembarnya ini dengan bijaksana dan penuh kasih sayang. Kedua anak perempuan mereka diajarkan pekerjaan dan kewajiban mengurus rumah. Sementara itu, kedua anak lelaki mereka diajarkan cara mencari nafkah sesuai minat dan kemampuan mereka.

Dikisahkan pada sumber sebelumnya, atas bisikan iblis, Qabil membunuh saudaranya sendiri, Habil. Habil dibunuh Qabil dengan sebuah batu yang ia lemparkan ke kepala Habil saat sedang tidur hingga kepala Habil pecah.

Sementara itu, dalam pendapat yang berbeda disebutkan, Qabil mencekik Habil dengan keras dan menggigitnya seperti bintang buas, hingga Habil tewas. Wallahu a’lam.

Pembunuhan Qabil terhadap Habil ini merupakan peristiwa pembunuhan pertama di dunia dalam sejarah Islam.

2. Syaits bin Adam

Nabi Adam AS dan istrinya, Hawa, melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Syaits. Hawa mengatakan, “Aku memberi nama itu karena aku diberi pengganti Habil yang telah dibunuh Qabil.”

Abu Dzar menuturkan dalam hadits yang ia dengar dari Rasulullah SAW,

“Sungguh, Allah menurunkan 104 lembaran, 50 di antaranya Allah turunkan kepada Syaits.”

Muhammad bin Ishaq juga menyatakan, “Saat sekarang, Adam berwasiat kepada anaknya, Syaits, mengajarkan saat-saat pada malam dan siang hari, mengajarkan ibadah apa saja pada saat-saat itu, dan memberitahukan padanya setelah itu akan terjadi banjir besar.”

Disebutkan pula bahwa nasab seluruh keturunan Adam saat ini bermuara pada Syaits. Anak-anak Adam selain Syaits telah punah dan lenyap.

Jumlah Anak Nabi Adam AS Seluruhnya

Merujuk kembali pada buku Kisah Para Nabi, Imam Abu Ja’far bin Jarir menyebutkan dalam kitab At-Tarikh dari sebagian ulama, bahwa Hawa melahirkan 40 anak dalam 20 kali kehamilan.

Menurut sumber lain, Hawa melahirkan sebanyak 120 kali, di mana setiap kelahiran menghasilkan dua sepasang anak, lelaki dan perempuan. Qabil dan saudarinya, Qalima adalah anak yang paling tua, sedangkan anak yang terakhir adalah Abdul Mughits dan saudarinya, Ummul Mughits.

Setelah itu, populasi manusia menyebar di berbagai belahan bumi dan berkembang dengan baik hingga saat ini. Allah SWT pun menurunkan firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 1,

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama- Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”

Para ahli sejarah juga menyebutkan, Nabi Adam AS sebelum meninggal dunia sempat melihat 400.000 keturunannya, yang termasuk anak-anak dan cucu-cucunya. Wallahu a’lam.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Abdullah ibn Jubair, Komandan Pasukan Pemanah yang Syahid Tepati Janji ke Nabi


Jakarta

Abdullah ibn Jubair adalah salah satu sahabat nabi yang berasal dari kalangan Anshar keturunan suku Aus. Sebelum meletusnya Perang Uhud, Rasulullah SAW memilih 50 pemanah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Jubair.

Melansir buku Fikih Sirah yang ditulis Dr. Said Ramadhan Al-Buthy, Perang uhud terjadi karena beberapa tokoh Quraisy yang tidak terbunuh dalam perang Badar Kurba sepakat menuntut balas atas kematian teman-teman mereka. Untuk memerangi Rasulullah SAW mereka menggalang kekuatan dengan barang-barang berharga yang dulu dibawa kafilah pimpinan Abu Sufyan.

Abdullah Ibn Jubair Selalu Menjaga Janji

Abdullah ibn Jubair telah berjanji untuk selalu taat kepada Nabi Muhammad SAW, karena taat kepada Rasulullah SAW berarti taat kepada Allah.


Sedikit pun tidak ada keraguan dalam hatinya, apalagi niat untuk menggantikan rasa cintanya kepada beliau. Ia selalu mendahulukan kepentingan Nabi SAW dalam segala urusan dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hasan Kinas menjelaskan bahwa sebelum perang berkecamuk, Rasulullah SAW telah berpesan kepada pasukan pemanah, “Jangan pernah meninggalkan posisi kalian ketika kalian melihat kami terdesak oleh serangan musuh!”

Perintah Nabi SAW itu sangat jelas dan mudah dipahami. Terlebih lagi, perintah itu keluar dari lisan seorang nabi yang tidak akan berbicara kecuali dengan petunjuk Allah.

Saat perang mulai berkecamuk, pasukan muslim berada di atas angin. Mereka dapat mendesak dan menghancurkan barisan musuh.

Saat itu, semua muslim merasa yakin, mereka akan segera meraih kemenangan besar seperti yang didapatkan di Badar. Tak sedikit pasukan musyrik lari menjauhi medan perang, meninggalkan berbagai perlengkapan dan perbekalan mereka.

Menyaksikan keadaan itu, kaum muslim menyangka bahwa perang telah usai dan mereka meraih kemenangan. Maka, nyaris semua orang berlari ke sana kemari memperebutkan harta rampasan dengan wajah yang ceria seraya meneriakkan pekik kemenangan.

Saat yang sama, pasukan pemanah memperhatikan dari atas apa yang terjadi di bawah. Mereka mengira, perang telah usai ketika melihat kawan-kawan mereka berlarian mengambil rampasan perang.

Mereka khawatir tidak kebagian barang yang ditinggalkan pasukan musyrik atau dari korban yang tewas. Semakin lama semakin gelisah. Sementara, mereka tak juga menerima perintah baru dari Rasulullah SAW tidak mau menunggu lebih lama, mereka membubarkan diri dan berlari menuruni bukit.

Mereka tak menghiraukan komandan mereka, Abdullah ibn Jubair, yang berteriak mengingatkan mereka agar bertahan di atas bukit. Mereka tak peduli meskipun Ibn Jubair mengingatkan mereka akan perintah Rasulullah SAW. Mereka seolah-olah tuli karena pikiran mereka dipenuhi keinginan untuk mendapatkan rampasan perang. Mereka lupa, sesungguhnya harta dunia pasti akan sirna dan akhirat merupakan pilihan yang terbaik dan abadi.

Tak semua pemanah beranjak meninggalkan posisi mereka. Ada sepuluh orang yang bertahan di puncak bukit, termasuk komandan mereka, Abdullah ibn Jubair. Mereka berdiri kukuh, mematuhi perintah Nabi SAW, panglima perang tertinggi. Sedikit pun tak terlintas di hati mereka untuk menukar ketaatan kepada Rasulullah SAW dengan harta dunia.

Ketidaktaatan pasukan pemanah harus dibayar mahal. Divisi kavaleri Quraisy, di bawah komando Khalid ibn al-Walid, wira perang yang sangat cakap, menantikan saat-saat itu di balik bukit. Mereka menunggu kaum muslim lengah.

Saat menyaksikan bukit tak lagi terjaga dengan baik, Khalid menyerbu dari balik bukit, lalu menyerang tangkas pasukan pemanah yang tersisa dan menumbangkan mereka semua.

Kavaleri Quraisy itu kemudian berderap menuruni bukit, menebas kaum muslim yang berlari serabutan karena tak menduga musuh berbalik menyerang. Abdullah ibn Jubair, komandan pasukan pemanah, yang setia pada perintah, gugur sebagai syahid.

Semoga Allah merahmatinya

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Bangsa Rum yang Mengkhianati Islam saat Akhir Zaman


Jakarta

Bangsa Rum atau yang dikenal sebagai Romawi dalam sejarah, disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai salah satu bangsa besar yang akan berperan penting dalam peristiwa akhir zaman.

Keberadaan dan peran mereka dalam perjalanan sejarah umat Islam juga telah menjadi bagian dari tafsir dan hadits. Khususnya dalam peristiwa-peristiwa yang dikaitkan dengan akhir zaman.

Asal-usul Bangsa Rum

Seperti dijelaskan oleh Musa Cerantonio dalam bukunya Which Nation Does Rum in The Ahadith of the Last Days Refer To? merujuk pada Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur.


Nama ini diambil dari ibu kota mereka, Byzantion yang kemudian lebih dikenal sebagai Konstantinopel.

Kekaisaran Bizantium merupakan kelanjutan dari Kekaisaran Romawi yang sejak berdirinya di Roma, meluas ke sebagian besar wilayah Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Wilayah kekaisaran yang luas ini akhirnya dibagi menjadi dua bagian administratif, yaitu Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di Roma dan Kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel.

Setelah Kekaisaran Romawi Barat runtuh pada tahun 476 M akibat serangan bangsa Jermanik, Kekaisaran Romawi hanya tersisa sebagai Romawi Timur, yang berpusat di Konstantinopel.

Bangsa inilah yang dimaksud dalam surat Ar-Rum ayat 2, di mana tafsir Kementerian Agama (Kemenag) menyatakan bahwa bangsa Rum adalah Romawi Timur yang saat itu beragama Nasrani.

Pada masa itu, bangsa Rum dipimpin oleh Flavius Heraclius Augustus, atau Heraklius, yang memerintah dari tahun 610 hingga 641 M.

Menurut tafsir Ibnu Katsir, volume 6, Dr. Abdullah mengemukakan bahwa bangsa Rum merupakan keturunan al-‘Ish bin Ishaq bin Ibrahim, lebih spesifiknya dari Bani Ashfar yang notabene adalah salah satu cabang Bani Israil.

Pengkhianatan Bangsa Rum

Peristiwa yang dialami bangsa Rum dijelaskan secara rinci oleh Allah SWT dalam pembukaan Surat Ar-Rum, tepatnya pada ayat 1 hingga 6.

الۤمّۤۚ ۝١
alif lâm mîm
Alif Lām Mīm.

غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ ۝٢
ghulibatir-rûm
Bangsa Romawi telah dikalahkan,

فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَۙ ۝٣
fî adnal-ardli wa hum mim ba’di ghalabihim sayaghlibûn
di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang

فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ەۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُۗ وَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَۙ ۝٤
fî bidl’i sinîn, lillâhil-amru ming qablu wa mim ba’d, wa yauma’idziy yafraḫul-mu’minûn
dalam beberapa tahun (lagi). Milik Allahlah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang mukmin

بِنَصْرِ اللّٰهِۗ يَنْصُرُ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الرَّحِيْمُ ۝٥
binashrillâh, yanshuru may yasyâ’, wa huwal-‘azîzur-raḫîm
karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.

وَعْدَ اللّٰهِۗ لَا يُخْلِفُ اللّٰهُ وَعْدَهٗ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ۝٦
wa’dallâh, lâ yukhlifullâhu wa’dahû wa lâkinna aktsaran-nâsi lâ ya’lamûn
(Itulah) janji Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Mansur Abdul Hakim dalam bukunya, Ghulibat Ar-Rum Dzat Al-Qurun, memaparkan bahwa peristiwa perang besar antara Persia dan Romawi menjadi latar belakang utama turunnya Surat Ar-Rum.

Konflik antara Persia dan Romawi ini memicu polarisasi dukungan di kalangan masyarakat Arab. Kaum musyrik cenderung berpihak pada Persia, sedangkan umat Islam berharap kemenangan berpihak pada Romawi, yang notabene adalah pemeluk agama samawi.

Pada akhirnya, bangsa Persia memenangkan pertempuran, yang membuat kaum musyrik bersuka cita, sedangkan umat Islam merasa sedih. Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, kemenangan telak yang diraih oleh Raja Persia Sabur atas pasukan Romawi mengakibatkan penguasaan wilayah Syam dan sebagian besar teritori Romawi. Akibatnya, Kaisar Heraklius terpaksa mundur dan mencari tempat perlindungan.

Sementara itu, Menurut Muslih Abdul Karim dalam bukunya Isa dan al-Mahdi di Akhir Zaman, kemunculan al-Mahdi akan diawali dengan pertempuran antara umat Islam dan Bani Ashfar atau bangsa Rum.

Pada awalnya, umat Islam dan Bangsa Rum bersekutu untuk menghadapi musuh bersama. Namun, di tengah perjalanan, Bani Ashfar melanggar perjanjian damai dan berbalik melawan umat Islam.

Dalam beberapa haditsnya, Rasulullah SAW merujuk pada bangsa Rum (Romawi) dalam konteks peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di akhir zaman. Beliau bersabda,

“Kalian akan menyerang Jazirah Arab hingga Allah SWT menaklukkannya, kemudian Persia hingga Allah berkenan menaklukkannya, kemudian kalian menyerang Romawi hingga Allah berkenan menaklukkannya, dan setelah itu kalian menyerang Dajjal hingga Allah berkenan menaklukkannya.” (HR Ahmad dan Muslim)

Dalam kitab kumpulan hadits Misykah Al-Mashabih, terdapat sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa di masa depan, bangsa Romawi akan melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam. Rasulullah SAW bersabda,

“Kalian akan mengadakan perjanjian damai dengan bangsa Romawi selama beberapa lama. Lalu kalian akan menyerang ketika mereka menjadi musuh di belakang kalian. Kemudian kalian akan dimenangkan, mendapat ghanimah, dan kalian selamat. Setelah itu, kalain turun di padang rumput bernama Dzi Tulul. Kemudian seorang lelaki dari Romawi ke sana untuk mengibarkan bendera salib seraya berkata, ‘Ingatlah, salib telah menang”.

Mengetahui seruan kaum salib tersebut membuat muslim yang murka mendekati dan memukulnya (membunuhnya). Saat itulah bangsa Romawi berkhianat dan bersiap untuk memobilisasi pasukannya sebagai persiapan pertempuran dahsyat.

Lalu umat Islam mengobarkan perang melawan mereka hingga terjadi pertempuran dan Allah memuliakan golongan tersebut dengan kesyahidan.

Tempat tinggal umat Islam dalam pertempuran di akhir zaman ini terletak di Al-Ghauthah. Hal ini disebutkan dalam riwayat Abu Darda RA.

Rasulullah SAW bersabda, “Pada saatnya nanti umat Islam akan terkepung di Madinah Al-Munawwarah hingga mereka berada jauh dari benteng-benteng mereka di Silah.” (Shahih Al-Jami. Silah dalam riwayat ini adalah sebuah tempat dekat Khaibar)

(hnh/lus)



Sumber : www.detik.com

Sejarah Perang Uhud dan Tewasnya Pasukan Muslim



Jakarta

Perang Uhud adalah salah satu peristiwa bersejarah dalam Islam. Pertempuran ini juga menjadi pembelajaran bagi kaum muslimin karena lalai.

Perang ini berlangsung pada 15 Syawal 3 Hijriah atau 625 Masehi. Peristiwa tersebut berlangsung satu tahun setelah Perang Badar.

Menukil dari buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik oleh Mahdi Rizqullah Ahmad dkk, kala itu pihak Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan membawa 3.000 tentara serta beberapa wanita pelayan.


Sementara itu, pasukan muslim terdiri dari 1.000 gabungan penduduk Makkah dan Madinah. Namun, dalam perjalanan menuju Gunung Uhud salah seorang pemimpin bani terbesar Quraisy yang bernama Abdullah bin Ubay membelot hingga membawa 300 pasukan muslim. Artinya, sisa prajurit Islam hanya 700 orang.

Dikisahkan dalam buku Sang Panglima Tak Terkalahkan Khalid bin Walid susunan Hanatul Ula Maulidya, pasukan muslim harus terus maju dan mengalahkan kafir Quraisy. Perang Uhud sendiri dijadikan senjata balas dendam besar-besaran akibat kekalahan kafir Quraisy pada Perang Badar.

Akhirnya, Rasulullah SAW menempatkan sebanyak 50 pasukan pemanah di atas Gunung Uhud untuk melakukan serangan apabila pasukan berkuda kafir Quraisy menyerbu. Ia berpesan agar prajurit yang berada di atas gunung tidak meninggalkan tempat apa pun yang terjadi.

Pasukan kafir Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan bin Harb mulanya terkalahkan. Pasukan muslim mengungguli awal pertempuran.

Namun, ketika pasukan pemanah di atas bukit melihat harta rampasan perang maka kondisi langsung berbalik. Kala itu, beberapa prajurit berkata sambil teriak,

“Harta rampasan. Kita sudah menang! Apalagi yang kita tunggu?”

Hal tersebut menyebabkan pasukan pemanah lainnya ikut turun mengambil harta rampasan perang. Akhirnya, komandan pasukan pemanah Abdullah bin Jubair mengingatkan prajuritnya akan pesan Nabi SAW kepada mereka.

Alih-alih mendengarkan sang komandan, prajurit pemanah itu justru tetap mengambil harta rampasan. Akhirnya, kesempatan tersebut dijadikan senjata bagi pasukan kafir Quraisy untuk menyerang pasukan muslim.

Pada Perang Uhud, Hamzah yang merupakan paman Rasulullah SAW terbunuh. Ini disebabkan salah seorang budak bernama Wahsyi yang mengintainya dan menombak beliau hingga mengenai perutnya.

Mengutip dari Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam yang diterjemahkan Fadhli Bahri, Ibnu Ishaq mengatakan bahwa para sahabat Nabi SAW yang terbunuh di Perang Uhud sekitar 60 orang.

Wallahu a’lam

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Masyarakat Sambut Nabi Muhammad SAW saat Hijrah ke Madinah



Jakarta

Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah pada 622 M. Kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Madinah disambut hangat sehingga Islam dapat berkembang dengan cepat di kota ini.

Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW terjadi setelah Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW, meninggal dunia. Hubungan kaum Quraisy dengan Nabi Muhammad SAW memburuk. Pihak Quraisy bahkan tidak segan membunuh Nabi Muhammad SAW.

Mengutip buku Sejarah Peradaban Islam karya Akhmad Saufi, Rasulullah SAW kemudian memutuskan untuk hijrah ke Yatsrib. Dakwah Rasulullah SAW sebelumnya sudah sampai dan diterima masyarakat Kota Yatsrib.


Nabi Muhammad SAW Tiba di Madinah

Dalam buku Sejarah Peradaban Islam Terlengkap karya Rizem Aizid, Yatsrib (Madinah) adalah tempat pertemuan dua kelompok besar Yahudi dan Anshar yang terdiri atas dua kabilah Aus dan Khazraj, ditambah kabilah-kabilah Mujahirin. Dengan demikian, Yatsrib menjadi titik pertemuan antar kabilah.

Hal inilah yang membuat ajaran Nabi Muhammad SAW mudah diterima di Yatsrib. Ditambah lagi, masyarakat Arab dan Yahudi di kota itu sudah sering mendengar hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan, wahyu, hari kiamat, serta surga dan neraka. Istilah-istilah ini disampaikan dalam agama para nabi sebelumnya, jadi ketika Nabi Muhammad SAW mengajarkannya, masyarakat Madinah sudah tidak asing.

Merujuk buku Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW: Dari Sebelum Masa Kenabian hingga Sesudahnya karya Abdurrahman bin Abdul Karim, Nabi Muhammad SAW dan kaum muslim lainnya tiba di Quba pada hari Senin tanggal 8 Rabiul Awal tahun ke-13 kenabian, yang dalam penanggalan Masehi bertepatan dengan 20 September 622.

Pada hari Jumat berikutnya, yakni tanggal 12 Rabiul Awal, beliau bertolak meninggalkan Quba dan memasuki Yatsrib. Di sana, beliau tinggal di rumah Abu Ayyub.

Nabi Muhammad SAW tiba di Kota Yastrib pada Jumat siang. Saat itu beliau langsung menggelar salat Jumat untuk pertama kalinya. Dalam khutbahnya, beliau menyampaikan pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT sekaligus mengajak masyarakat untuk bertakwa dan berjihad di jalan-Nya.

Sambutan Masyarakat Madinah pada Nabi Muhammad SAW

Selesai melaksanakan salat Jumat, Nabi Muhammad SAW memasuki Kota Madinah dan masyarakat Madinah menyambut beliau dengan perasaan bahagia. Sejak saat itu, para sahabat Nabi SAW terbagi menjadi dua, yakni kelompok Muhajirin (para sahabat yang berhijrah ke Madinah) dan Anshar (para penduduk asli Kota Yatsrib). Kedua kelompok ini sama-sama para sahabat Rasulullah SAW.

Setelah tiba di Kota Yatsrib, kemudian kota itu disebut Madinah an-Nabi yang maknanya kota Nabi Muhammad SAW. Mulai saat itu, Yatsrib dikenal dengan Kota Madinah hingga saat ini.

Di Kota Madinah, masyarakat setempat berbondong-bondong memeluk agama Islam. Jumlah umat Islam di Madinah bertambah secara signifikan sehingga menjadi peluang bagi Nabi Muhammad SAW untuk mendirikan pemerintahan Islam pertama.

Awal pemerintahan Islam di Madinah diawali dengan tiga hal yakni pembangunan masjid, persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar, serta perjanjian kerja sama antara muslim dan nonmuslim.

Sejak saat itu, Nabi Muhammad SAW terus berusaha menyebarkan ajaran Islam kepada semua penduduk di Madinah, termasuk kepada masyarakat Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala.

Proses dakwah Nabi Muhammad SAW tidak selalu berjalan mulus karena tetap ada yang menolak secara diam-diam. Di antara yang menolak adalah kaum Yahudi yang sejak awal menolak kedatangan Nabi SAW. Mereka menduga posisi mereka akan bergeser.

Meskipun menolak ajaran Islam, kaum Yahudi melakukan penolakan secara diam-diam karena mereka tidak berani berterus terang untuk menentang Nabi dan umat Islam yang saat itu menjadi mayoritas.

Tujuan Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah

Masih merujuk buku karya Riziem Aizid, ada dua tujuan Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah:

1. Menyelamatkan diri dan umat Islam dari tekanan, ancaman, serta kekerasan kaum kafir Quraisy. Bahkan, pada waktu Nabi Muhammad SAW meninggalkan rumah beliau di Makkah untuk berhijrah ke Yatsrib, rumah beliau sudah dikepung oleh kaum Quraisy yang bermaksud membunuh beliau.

2. Agar memperoleh keamanan serta kebebasan dalam berdakwah dan beribadah, sehingga dapat meningkatkan usaha-usaha Nabi Muhammad SAW dalam berjihad di jalan Allah SWT untuk menegakkan dan meninggikan agama-Nya (Islam).

(dvs/kri)



Sumber : www.detik.com

Salahuddin Al-Ayyubi, Panglima Islam yang Menangkan Perang Salib



Jakarta

Salahuddin Al-Ayyubi merupakan satu dari sekian banyak muslim yang berjasa dalam sejarah penyebaran Islam. Sebagai seorang pahlawan, jasanya pada medan perang sangat berarti.

Saking berjasanya, Salahuddin Al-Ayyubi mendapat gelar al-Malik al-Nashir yang berarti penguasa bijaksana. Pria yang juga dikenal sebagai Yusuf bin Ayyub itu lahir di Tikrit, Irak pada 532 H/1137 M.

Menukil dari buku Sejarah Islam tulisan Mahayudin Hj Yahaya, Salahuddin Al-Ayyubi merupakan putra dari seorang Gubernur Baalbek yaitu Najm ad-Din Ayyub. Ia menghabiskan masa kecilnya di Damaskus dengan belajar.


Tak hanya mempelajari Islam, Salahuddin Al-Ayyubi juga menempuh pembelajaran militer dari pamannya yang bernama Asaddin Syirkuh, panglima perang Turki Saljuk. Bersama sang paman, Salahuddin menguasai Mesir dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimiyah.

Keberhasilan Salahuddin itu membuatnya diangkat sebagai panglima perang pada 1169 M. Ia merupakan sosok yang cerdas dalam menyusun strategi peperangan dan pemerintahan.

Salahuddin tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memimpin Mesir dengan baik. Ia bahkan mendirikan dua sekolah besar untuk mengajarkan tentang Islam dengan benar. Kala itu, Salahuddin bertujuan menghapus ajaran Syi’ah yang menyebar di Mesir.

Sosok Salahuddin juga dikenal dengan kemenangannya dalam Perang Salib. Menurut buku 55 Tokoh Dunia yang Terkenal dan Paling Berpengaruh Sepanjang Waktu karya Wulan Mulya Pratiwi, Salahuddin Al-Ayyubi membutuhkan waktu panjang untuk mempersiapkan Perang Salib.

Persiapan itu mencakup fisik, strategi jitu serta rohani. Ia bahkan membangun benteng-benteng pertahanan yang kuat, perbatasan-perbatasan yang jelas, markas-markas perang dan kapal-kapal terbaik.

Salahuddin juga mendirikan rumah sakit serta menyuplai obat-obatan. Meski dirinya sedang sakit keras saat itu, ia tidak pernah menyurutkan niat untuk memperjuangkan tanah Nabi, Jerusalem.

Tekad Salahuddin bahkan makin kuat di tengah kondisinya yang seperti itu. Perjuangan pertama disebut dengan Perang Hathin atau perang pembuka.

Pasukan Salahuddin yang berjumlah 63.000 membunuh 30.000 pasukan salib dan menahan 30.000 lainnya.

Lalu, pada perjuangan selanjutnya di Kota Al-Quds dan Jerusalem banyak pasukan Salahuddin yang syahid. Ketika pasukan Salib memasang salib besar pada batu Shakharkh, hal ini membuat pasukan semakin bersemangat dan akhirnya berhasil memenangkan Perang Salib.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com

Ini ‘Manusia Bertangan Emas’ yang Banyak Sedekah Bikin Hartanya Melimpah


Jakarta

Abdurrahman bin Auf adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal sebagai pedagang ulung dan dermawan. Kekayaannya yang melimpah tidak membuatnya lupa akan kewajibannya kepada Allah SWT, justru semakin banyak hartanya, semakin besar pula sedekah yang ia berikan di jalan kebaikan.

Sebagai seorang yang dijuluki “Manusia Bertangan Emas,” Abdurrahman bin Auf tidak hanya sukses dalam bisnis, tetapi juga menjadi teladan dalam berbagi dan membantu sesama.

Kedermawanannya tercatat dalam sejarah Islam. Ia selalu menyumbangkan hartanya demi perjuangan agama, membantu kaum Muslimin, serta menjaga kesejahteraan keluarga Nabi Muhammad SAW.


Kedermawanan Abdurrahman bin Auf

Dalam buku Dahsyatnya Ibadah, Bisnis, dan Jihad Para Sahabat Nabi yang Kaya Raya karya Ustadz Imam Mubarok Bin Ali, sebelum memeluk Islam, ia dikenal dengan nama Abdu Amru, meskipun ada pendapat lain yang menyebutkan namanya adalah Abdul Ka’bah.

Setelah masuk Islam, Rasulullah SAW mengganti namanya menjadi Abdurrahman bin Auf, nama yang kini lebih dikenal dalam sejarah Islam. Ia lahir pada tahun kesepuluh setelah peristiwa Tahun Gajah, sekitar tahun 581 M, yang membuatnya sepuluh tahun lebih muda dari Rasulullah SAW.

Selain dikenal sebagai saudagar ulung, ia juga seorang sahabat yang selalu bersegera dalam berinfak dan menginfakkan hartanya di jalan Allah SWT.

Diceritakan dalam buku Kisah 10 Pahlawan Surga oleh Abu Zaein, suatu hari Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslim menuju Tabuk untuk menghadapi ancaman dari bangsa Romawi.

Saat itu, buah-buahan di Madinah belum matang, sehingga masyarakat tidak dapat menjualnya atau menyedekahkannya kepada pasukan. Situasi ini membuat kaum Muslimin merasa khawatir.

Namun, demi menegakkan perintah Allah SWT, Abu Bakar menyumbangkan seluruh hartanya, sementara Umar bin Khattab memberikan setengah dari kepemilikannya. Utsman bin Affan juga turut menyumbangkan hartanya. Meskipun demikian, jumlah yang terkumpul masih belum mencukupi.

Di tengah kekhawatiran itu, Abdurrahman bin Auf datang membawa kantong berisi dua ratus keping emas dan menyerahkannya kepada Rasulullah SAW. Para sahabat terkejut melihat kemurahan hatinya, bahkan Umar sempat mengira bahwa Abdurrahman ingin menebus kesalahan dengan cara ini.

Rasulullah kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, wahai Abdurrahman?”

Dengan penuh keyakinan, Abdurrahman menjawab, “Aku tinggalkan banyak untuk mereka, lebih banyak daripada yang aku sedekahkan ini.”

Rasulullah kembali bertanya, “Seberapa banyak yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?”

Ia pun menjawab, “Aku meninggalkan Allah dan Rasul-Nya untuk mereka.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah dan para sahabat merasa kagum atas keikhlasannya.

Kedermawanan Abdurrahman bin Auf juga terlihat dalam peristiwa lain. Suatu ketika, penduduk Madinah dikejutkan oleh suara gemuruh yang dikira berasal dari serangan musuh. Namun, suara itu ternyata berasal dari iring-iringan kafilah dagang milik Abdurrahman yang terdiri dari tujuh ratus unta penuh muatan.

Saat itu, Aisyah RA mengingatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merayap.” Mendengar hal ini, Abdurrahman tanpa ragu menyedekahkan seluruh kafilahnya, termasuk barang dagangan, pelana, dan perlengkapannya, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Warisan Abdurrahman bin Auf

Ketika Abdurrahman bin Auf ikut serta dalam Perang Uhud, ia menderita 20 luka, salah satunya menyebabkan kakinya cacat permanen. Ia bahkan kesulitan berbicara karena giginya patah akibat serangan.

Menjelang akhir hayatnya, Abdurrahman merasa khawatir bahwa kekayaannya akan menjadi penghalang bagi dirinya untuk masuk surga, meskipun ia sudah dijamin untuk mendapatkan tempat di surga.

Ia mewasiatkan 500 dinar untuk perjuangan di jalan Allah SWT dan 400 dinar untuk setiap orang yang berpartisipasi dalam Perang Badar.

Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 31 H, meskipun ada juga yang berpendapat bahwa ia wafat pada tahun 32 H, pada usia 75 tahun. Beliau meninggalkan 28 anak lelaki dan 8 anak perempuan. Meskipun hampir seluruh hartanya telah disumbangkan untuk jalan Allah, ia masih meninggalkan warisan yang sangat banyak bagi anak-anaknya.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Perjanjian Hudaibiyah, Bukti Syiar Islam Penuh Kedamaian


Jakarta

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian damai yang dilakukan Nabi SAW atau umat Islam dengan kaum Quraisy. Perjanjian ini terjadi pada bulan Dzulqa’dah, tahun 6 Hijriah.

Perjanjian Hudaibiyah membuktikan Islam tidak disebarkan dengan peperangan, tetapi dianut secara sukarela dalam kondisi damai. Terbukti dalam waktu dua tahun setelah perjanjian, jumlah orang yang memeluk Islam melebihi kaum muslim yang masuk Islam sebelum disepakatinya perjanjian.

Simak kisah terjalinnya Perjanjian Hudaibiyah yang dikutip dari buku Dakwah Rasulullah: Sejarah & Problematika oleh M. Yunan Yusuf di bawah ini.


Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Enam tahun setelah hijrah ke Madinah, kaum muslim rindu dengan Makkah yang merupakan kampung halaman mereka. Mereka ingin berziarah ke Kakbah sembari melaksanakan ibadah haji dan umrah.

Pada bulan Dzulqa’dah, Rasulullah SAW bersama para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar berangkat menuju Makkah. Diriwayatkan jumlahnya sebanyak 1.400 orang dengan membawa 70 ekor unta sebagai binatang kurban.

Istri Nabi yang ikut dalam perjalanan ini adalah Ummu Salamah. Ketika rombongan sampai di Dzulhulaifah, mereka mulai mengucapkan talbiyah.

Berita rombongan Nabi SAW terdengar oleh orang musyrik Makkah. Mereka kemudian menyiapkan pasukan berkuda sejumlah 200 orang yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal. Pasukan ini bergerak mendekati rombongan umat Islam dan berkemah di Dzu Thuwa.

Kaum muslim terus bergerak menuju Makkah dan sesampainya di ‘Usfan, mereka bertemu seseorang dari Bani Ka’ab. Rasul SAW bertanya berita tentang kaum Quraisy dan orang itu mengatakan bahwa mereka sudah mendengar perjalanan kaum muslim dan mengutus pasukan berkudanya.

Mendengar itu, Nabi SAW khawatir terjadi pertumpahan darah padahal sejak awal beliau bermaksud memasuki Makkah dengan tenteram. Rasulullah SAW kemudian menyerukan siapa di antara rombongan yang mengetahui jalan lain mencapai Makkah dan akhirnya mereka menempuh jalur Hudaibiyah, yang terletak di sebelah bawah Kota Makkah.

Kaum Quraisy mengirimkan seorang utusan dari Bani Khuza’a bernama Budail bin Warqa untuk menanyakan tujuan rombongan umat Islam datang ke Makkah. Setelah bertemu Nabi SAW, Budail menyampaikan kepada musyrik Quraisy bahwa rombongan tersebut datang untuk berziarah ke Kakbah dan bukan untuk berperang.

Laporan tersebut tidak disukai mereka karena kaum Musyrik menginginkan peperangan. Untuk kesekian kalinya, Quraisy mengutus seseorang dan kali ini berasal dari Bani Ahabisy dengan utusan bernama Hulais yang diperintahkan untuk menanyakan kembali maksud kedatangan kaum muslim ke Makkah.

Tatkala melihat Hulais, Rasulullah SAW melepaskan hewan kurban sehingga terlihat jelas di matanya bahwa kedatangan mereka dengan tujuan berziarah bukan berperang. Tanpa menemui Nabi SAW, Hulais kembali dan menceritakan apa yang dilihat dengan matanya serta bersaksi bahwa maksud kedatangan mereka adalah benar berziarah.

Lagi-lagi utusan dikirimkan oleh musyrik Quraisy, kali ini Urwah bin Mas’ud. Setelah mendapat penjelasan panjang lebar dari Rasul SAW, ia kembali dan menceritakan kepada kaum Quraisy:

“Saudara-saudara, saya sudah pernah bertemu dengan Kisra, dengan Kaisar, dan dengan negus di kerajaan mereka masing-masing. Tetapi belum pernah saya melihat seorang raja dengan rakyatnya seperti Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu. Begitu ia hendak mengambil wudhu, sahabat-sahabatnya sudah lebih dahulu bergegas. Begitu mereka melihat ada rambutnya yang jatuh, cepat-cepat pula mereka mengambilnya. Mereka tidak akan menyerahkannya bagaimanapun juga. Pikirkanlah kembali baik-baik.”

Suatu malam, sekitar 50 orang kaum Quraisy mendekati kemah Nabi SAW dan melemparinya dengan batu. Kemudian mereka tertangkap dan beliau memaafkannya. Rasulullah SAW ingin menempuh jalur damai karena menghormati bulan suci dan menghindari pertumpahan darah karena Hudaibiyah adalah bagian dari Tanah Suci Makkah.

Saat Nabi SAW coba mengirim utusan, beliau menunjuk Umar bin Khattab tapi ditolak olehnya. Umar khawatir Quraisy menyerangnya mengingat tindakan tegas yang selama ini ia lakukan terhadap mereka. Akhirnya, Utsman bin Affan lah yang dipilih.

Ketika Utsman bertemu Abu Sufyan, ia diperintahkan untuk menghentikan keinginan kaum muslim untuk masuk ke Makkah. Perundingan berlangsung cukup lama hingga muncul isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy.

Akibat isu kematian Utsman ini, Rasulullah SAW membuat baiat atau sumpah setia yang terkenal dengan nama Bai’atur Ridhwan, yang terjadi di bawah pohon Samrah. Baiat ini yang menjadi asbabun nuzul-nya Surah Al-Fath ayat 18.

لَقَدْ رَضِيَ اللّٰهُ عَنِ الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَاَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ وَاَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيْبًاۙ – 18

Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad) di bawah sebuah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia menganugerahkan ketenangan kepada mereka dan memberi balasan berupa kemenangan yang dekat,”

Beberapa saat setelah baiat berlangsung, Utsman kembali namun baiat tetap berlaku. Penegasan Utsman mengenai tujuan kedatangan kaum muslim ke Makkah sebenarnya sudah diterima oleh musyrik Quraisy, tapi mereka tidak ingin kehilangan muka di hadapan suku Arab lainnya.

Kemudian dikirimkan utusan lagi dari pihak Quraisy yaitu Suhail bin Amr dari Bani Amir bin Luai untuk berunding dan membuat kesepakatan terbaik bersama Nabi SAW.

Penulisan Naskah Perjanjian Hudaibiyah

Sesampainya di Hudaibiyah, Suhail bin Amr meminta kaum muslim membatalkan ziarahnya ke Kakbah pada tahun tersebut karena orang-orang musyrik Makkah sudah berada dalam posisi serba sulit. Akhirnya, kedua belah pihak mengadakan perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk menulis naskah perjanjian tersebut.

Nabi SAW meminta Ali mulai menuliskan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Saat hendak menulisnya, Suhail, berkata: “Berhenti! Nama Rahman dan Rahim ini tidak saya kenal. Tapi tulislah Bismikallahumma (Dengan nama-Mu ya Allah).”

Mendengar itu, Rasul SAW menerimanya sembari menyuruh Ali menuliskan kata tersebut. Beliau SAW berkata lagi kepada Ali: “Tulislah, inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin Amr.” Untuk kedua kalinya, Suhail menghentikan Ali yang hendak menuliskan naskah dalam perjanjian: “Berhenti! Jika saya mengakui engkau sebagai seorang Rasul Allah, tentu saya tidak memerangimu. Tetapi tulislah namamu dan nama bapakmu.”

Nabi SAW pun meminta Ali menulis seperti apa yang diinginkan oleh Suhail tersebut. Padahal, beliau SAW tidak begitu mempersoalkan redaksi perjanjian tersebut. Akhirnya, kesepakatan antara kaum muslim dan musyrik Quraisy yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah selesai dibuat.

Berikut naskah Perjanjian Hudaibiyah yang dikutip dari Sirah Nabawiyyah oleh Ibnu Hisyam yang ditahqiq oleh Musthafa al-Saqa:

“Bismikallahumma. Inilah perdamaian Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amr, bahwa kedua belah pihak berdamai untuk menghentikan perang selama 10 tahun, masing-masing memberikan keamanan selama jangka waktu tersebut, masing-masing pihak menahan diri dari pihak lainnya. Barang siapa dari golongan Quraisy yang datang kepada Muhammad tanpa seizin walinya harus dikembalikan kepada mereka, dan barang siapa dari pengikut Muhammad menyeberang kepada Quraisy, tidak akan dikembalikan Kita harus komitmen dengan isi perdamaian, pencurian rahasia dan pengkhianatan tidak diperkenankan. Bahwa barang siapa dari masyarakat Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Muhammad diperbolehkan; dan barang siapa yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy diperbolehkan. Bahwa engkau (Muhammad) pulang dari tempat kami tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah tahun ini. Tahun depan, kami ke luar Makkah, kemudian engkau memasuki Makkah bersama sahabat-sahabatmu. Engkau berada di sana selama 3 hari dengan membawa senjata layaknya musafir yaitu pedang tersarung dan tidak dibenarkan membawa senjata lain.”

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Dari naskah tersebut, isi Perjanjian Hudaibiyah setidaknya terdiri dari 7 poin berikut:

  • Kedua belah pihak bersedia damai dan menghentikan perang selama 10 tahun, dengan masing-masing pihak menjamin keamanan satu sama lain selama jangka waktu tersebut dan masing-masing menahan dirinya dari pihak lain.
  • Pelaksanaan ibadah haji pada tahun tersebut ditangguhkan hingga tahun berikutnya.
  • Lama kunjungan ibadah haji tahun berikutnya hanya 3 hari dan tidak diperbolehkan membawa senjata selain pedang tersarung.
  • Harus mengembalikan orang Quraisy yang memeluk Islam tanpa seizin walinya.
  • Kaum Quraisy tidak wajib mengembalikan umat Islam (pengikut Muhammad) yang menjadi pengikut mereka.
  • Orang-orang Arab diperbolehkan bersekutu dengan Muhammad dan kaum Quraisy.
  • Kedua belah pihak harus menaati isi perjanjian damai. Demikian tidak diperbolehkan pencurian rahasia dan pengkhianatan.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Isi Perjanjian Hudaibiyah dapat disimpulkan cukup merugikan kaum muslim, tapi di balik kesepakatan itu terdapat hikmah besar antara lain proses dakwah Islam menjadi lebih mudah.

Sejak disepakatinya perjanjian ini, mengutip buku Fikih Sirah oleh Said Ramadhan Al-Buthy, umat Islam bisa bergaul dengan rukun bersama orang-orang musyrik Makkah dengan berbincang dan berdiskusi. Dengan begitu, kaum muslim dapat berdakwah kepada mereka secara aman dengan memperdengarkan Al-Qur’an serta mengajak untuk memeluk Islam tanpa dihantui rasa takut. Banyak muslim yang terang-terangan menampakkan keislamannya padahal sebelumnya tidak berani.

Karena suasananya damai, Rasulullah SAW juga berdakwah secara tertulis dengan mengirim surat kepada raja-raja dan kepala negara tetangga untuk mengajak mereka memeluk Islam. Hal ini tentunya sebuah kemajuan dalam dimensi dakwah karena sebelumnya beliau SAW berdakwah secara lisan saja.

Dalam waktu dua tahun usai Perjanjian Hudaibiyah, jumlah orang yang memeluk Islam telah melebihi kaum muslim yang masuk Islam sebelum perjanjian itu.

Di sisi lain, Perjanjian Hudaibiyah merupakan peristiwa pendahuluan bagi Fathu Makkah atau Penaklukkan Makkah. Ibnu Qayyim menyebut kesepakatan damai ini menjadi pintu gerbang sekaligus kunci menuju peristiwa lebih besar yaitu penaklukkan Kota Makkah.

(azn/row)



Sumber : www.detik.com