Tag Archives: spesies endemik

Dua Spesies Baru Anggrek Ditemukan di Raja Ampat, Kerusakan Hutan Bisa Jadi Ancaman


Jakarta

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap dua spesies anggrek baru di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat. Kedua spesies tersebut dinamakan Dendrobium siculiforme dan Bulbophyllum ewamiyiuu.

Dua spesies baru anggrek ini dideskripsikan sebagai anggota baru dalam keluarga Orchidaceae. Penemuan ini telah diterbitkan dalam jurnal internasional Telopea Vol 29 dengan judul “Two new orchid species from the Raja Ampat Archipelago, Southwest Papua Province, Indonesia”.

Publikasi tersebut merupakan kerja sama tim riset antara Reza Saputra (Kementerian Kehutanan), Destario Metusala (BRIN), Andre Schuiteman (Kew Botanic Gardens, Inggris), Yuanito Eliazar (Indonesian Society of Botanical Artists) dengan Ashley Field, Katharina Nargar, dan Darren Crayn (Australian Tropical Herbarium, James Cook University).


Bagaimana Awal Penemuannya?

Dua anggrek spesies baru ini semula terungkap dari kegiatan inventarisasi tumbuhan dan pemanfaatannya di Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat pada 2022 silam. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Papua Barat dengan BRIN.

Melalui survei tersebut, para ahli mengoleksi berbagai jenis anggrek alam dan mencatat pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat lokal. Setelah beberapa tahun, sejumlah koleksi anggrek dari survei pun berbunga. Hal ini memungkinkan pengamatan morfologi yang lebih mendalam.

Seperti ini Ciri-cirinya

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, Destario Metusala menyampaikan kedua spesies baru tersebut adalah anggrek epifit yang tumbuh menempel secara alami di batang pohon.

Dendrobium siculiforme memiliki batang tegak setinggi 15-50 cm dengan daun tersusun berseling. Bunganya muncul dari bagian atas batang dengan jumlah sekitar enam kuntum. Saat mekar sempurna, diameter bunganya mencapai 7 cm dengan warna krem kekuningan berpola guratan cokelat keunguan,” jelas Destario, dikutip dari keterangan tertulis BRIN pada Selasa (14/10/2025).

Ia menjelaskan tim riset menggunakan nama siculiforme dari bahasa Latin yang berarti berbentuk seperti belati. Bentuk ini merujuk pada bentuk cuping tengah bibir bungnganya yang mirip belati.

Dendrobium siculiforme mirip dengan Dendrobium magistratus. Namun, keduanya berbeda dalam karakter perbungaan dan bentuk sepal serta bibir bunganya.

spesies anggrek baru Dendrobium siculiformespesies anggrek baru Dendrobium siculiforme Foto: Reza Saputra/BRIN

Di sisi lain, Bulbophyllum ewamiyiuu mempunyai lebih kecil dengan ukuran sekitar 8-12 cm dengan satu helai daun di setiap pseudobulb.

“Bunganya memang kecil, hanya sekitar 5-6 mm, tetapi warnanya sangat menarik. Sepal dan petalnya berwarna dasar kuning dengan semburat merah marun yang kontras,” terang Destario.

Ia membeberkan nama ewamiyiuu dipilih dari bahasa Batta yang digunakan masyarakat Suku Batanta, yang artinya bergaris. Nama tersebut mengacu pada garis-garis kecokelatan yang terlihat di antara alur pada bagian pseudobulb. Spesies ini mempunyai kemiripan dengan Bulbophyllum graciliscapum, tetapi berbeda pada bentuk sepal, pseudobulb, dan ornamentasi bibir bunganya.

spesies nggrek baru Bulbophyllum ewamiyiuuspesies nggrek baru Bulbophyllum ewamiyiuu Foto: Reza Saputra/BRIN

Diperkirakan Spesies Endemik

Kedua spesies yang baru ditemukan ini diduga spesies endemik Kepulauan Raja Ampat dengan sebaran alamai yang terbatas, berdasarkan data distribusi yang ada.

Dengan data yang masih minim, para peneliti mengusulkan Dendrobium siculiforme berstatus Kritis (Critically Endangered). Sementara, Bulbophyllum ewamiyiuu tergolong pada kategori Kekurangan Data (Data Deficient) berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List.

Pentingnya Hutan-hutan Pedalaman Papua

Destario menekankan penemuan ini menegaskan pentingnya hutan-hutan di pedalaman papua sebagai gudang sumber daya genetik yang belum banyak terungkap.

“Potensi temuan spesies baru dari Papua sangat besar, tidak hanya dari kelompok anggrek, tetapi juga dari kelompok tumbuhan lainnya,” sebutnya.

Sedangkan pada sisi lain potensi kerusakan hutan di Kepulauan Raja Ampat adalah ancaman serius untuk kelestarian habitat alami. Maka dari itu penelitian keanekaragaman hayati perlu terus dipercepat sebagai riset hulu yang jadi dasar upaya pelestarian dan pemanfaatan berkelanjutan.

Destario turut mengingatkan risiko pengambilan liar di alam dikarenakan tingginya minat pasar.

“Kemunculan spesies baru biasanya memicu antusiasme para penghobi untuk memilikinya. Bahkan, Bulbophyllum ewamiyiuu sudah mulai diperdagangkan hingga ke Pulau Jawa,” jelasnya.

Ia menggarisbawahi pentingnya kolaborasi berbagai pihak, termasuk komunitas penghobi anggrek dalam menjaga kelestarian kedua spesies baru tersebut.

“Upaya konservasi harus dilakukan bersama agar keindahan anggrek-anggrek ini tidak hilang dari belantara Papua,” ujarnya.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com

dari Inggris Kembali ke Habitat Aslinya di Bali



Gianyar

Salah satu satwa endemik Bali yang populasinya menyedihkan adalah burung perkici dada merah. Namun angin segar kini tengah berhembus.

Di Taman Safari Bali, kini ada tempat konservasi burung tersebut. Selain sebagai destinasi wisata edukasi, Taman Safari Indonesia bukanlah tempat yang sekadar rekreasi saja, tapi juga konservasi.

Meski burung perkici dada merah ini adalah burung endemik Bali, tapi keberadaannya di Bali sendiri sudah sangat sulit untuk ditemukan. Menurut Husbandry Manager Taman Safari Bali, Ayudis Husadhi, menjelaskan burung perkici dada merah yang ada di Lorikeet Breeding Center di Taman Safari Bali ini merupakan hasil transfer dari Paradise Park di Inggris.


“Burung perkici dada merah atau common name-nya Michelle Lorikeet atau dalam bahasa Bali ini dikenal dengan nama atat Bali. Burung ini dikenal sudah hampir tidak ada ya di alam, sudah hampir tidak ditemukan di alam,” ujar Ayudis di Bali, Sabtu (11/10/2025).

Melalui koneksi dengan World Parrot Trust, Taman Safari Bali akhirnya menemukan spesies endemik Bali itu di Paradise Park Inggris. Karena di Paradise Park itu populasi dari burung perkici dada merah ini sangat banyak.

Hingga akhirnya di bulan Juli 2025 lalu, sebanyak 10 pasang burung perkici dada merah ditransfer ke Taman Safari Bali untuk nantinya dikembalikan lagi ke alam Bali.

“Dan kabar baiknya sudah mulai ada yang bertelur, ya mudah-mudah dalam waktu dekat (bisa menetas),” jelas Ayudis.

Taman Safari Indonesia bukan sekadar tempat rekreasi tapi juga jadi tempat edukasi sekaligus tempat konservasiLorikeet Breeding Center di Taman Safari Bali. (Muhammad Lugas Pribady/detikcom)

Menurutnya, masa pengeraman telur burung perkici dada merah ini membutuhkan waktu sekitar 24 hingga 27 hari. Untuk saat ini Taman Safari Bali akan terlebih dahulu fokus untuk pengembangbiakan, sebelum nantinya burung-burung perkici dada merah ini dilepas liarkan ke alam.

“Untuk habitatnya masih kita cari berdasarkan referensi dan juga informasi-informasi yang kita terima itu di sekitar daerah Bedugul. Cuma memang sulit sekali melihat (burung perkici dada merah) ini di alam,” ucapnya.

Burung perkici ini sebetulnya memiliki banyak jenisnya dan tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Namun, khusus untuk jenis perkici dada merah merupakan endemik dari Pulau Bali.

Sehingga pelestariannya di Taman Safari Bali ini menjadi sangat penting untuk mengembalikan lagi spesies satwa yang telah hilang dari alam asalnya.

Belum Ada Informasi Awal Tiba di Inggris

“Asal usul pertama kali burung (ada di Inggris) kita belum mendapatkan sejarahnya secara khusus, namun yang kita dapatkan ini adalah hasil pengembangbiakan. Jadi di Inggris itu ada banyak kebun binatang yang punya jenis ini, jadi ada di Paradise Park, di Chester Zoo, dan tempat lainnya,” ucap Kurator Satwa di Taman Safari Bali, Ari.

“Kebetulan saja Paradise Park yang jumlahnya sangat banyak dan mereka juga punya program untuk mengembalikan kembali burung ini ke habitat aslinya. Dan mereka tahu kalau di Bali jumlah burung ini sudah semakin sedikit,” lanjut Ari.

Serupa dengan program untuk burung endemik Bali lainnya yakni Jalak Bali. Burung perkici dada merah ini nantinya setelah populasi yang dianggap cukup akan dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya.

(upd/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Bali Tak Hanya Pantai, tapi Juga Tempat Lahirnya Hiu Bambu Langka!



Gianyar

Bali tak hanya terkenal dengan pantainya, tapi juga jadi tempat untuk berkembangnya satwa-satwa endemik Indonesia. Beberapa satwa endemik Indonesia sudah mulai terancam populasinya. Hal tersebut sangatlah menyedihkan untuk ekosistem di Indonesia.

Oleh karenanya sebagai lembaga konservasi, Taman Safari Indonesia Group mengembangkan variasi atraksi mereka di Taman Safari Bali yakni Marine Safari Bali (MSB).

Bukan sekadar jadi tempat rekreasi keluarga saja, tapi jauh lebih penting adalah tentang edukasi dan juga konservasi satwa-satwa yang sudah mulai terancam. Dibuka akhir tahun 2024 lalu, telah banyak berhasil di beberapa pemeliharaan satwa terancam.


Dengan pengelolaan yang baik dan terjaga, salah satu yang berhasil dikembangbiakkan adalah hiu bambu.

“Kita punya beberapa inisiatif penyelamatan jadi captive breeding adalah sesuatu yang kita lakukan sekarang. Kita bisa lihat sekarang telur dan anak hiu bambu, ini adalah salah satu program penyelamatan yang berhasil,” kata Operation Manager of MSB, Samuel Liu, beberapa waktu lalu di Bali.

“Salah satu yang sangat penting terutama untuk Indonesia adalah spesies endemik seperti hiu bambu ini. Jadi yang kita lakukan sekarang adalah upaya penyelamatan spesies tersebut dengan bantuan dari berbagai pihak juga,” lanjutnya.

Tempat captive breeding hiu bambu, hiu endemik Indonesia yang ada di Marine Safari Bali.Tempat captive breeding hiu bambu, hiu endemik Indonesia yang ada di Marine Safari Bali. (Taman Safari Indonesia)

Bagi pengunjung yang datang ke MSB dan ingin melihat bagaimana bentuk hiu bambu itu bisa dilihat di aquarium yang berada di zona The Ocean. Atau jika ingin melihat tentang pengembangbiakannya bisa dilihat di Educaiton and Conservation Center.

Education Manager of MSB and Taman Safari Bali, Muhammad Khoiri Habibullah, menjelaskan dari bentuk telur yang telah memiliki embrio hingga menetas itu membutuhkan waktu sekitar empat bulan.

Hiu bambu dewasa itu memiliki warna yang didominasi warna coklat. Uniknya ketika menetas, hiu bambu ini tidak berwarna coklat, melainkan berwarna hitam

“Jadi mereka akan menetas sekitar empat bulan dan ketika mereka menetas, dia akan menjadi kayak gini warna hitam dulu. Ini adalah salah satu captive breeding yang berhasil kita lakukan di Bali,” ungkap Khoiri.

“Jadi bamboo shark itu bisa menghasilkan telur ketika mereka sudah mencapai usai matang, tapi telur itu belum tentu punya embrionya,” lengkapnya.

(upd/ddn)



Sumber : travel.detik.com