Tag Archives: syaikh

Kata Rasulullah SAW, Ini Waktu Sedekah dengan Pahala Paling Besar


Jakarta

Sedekah termasuk amal shalih yang hendaknya dikerjakan kaum muslim. Hukum bersedekah yaitu sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.

Selain mengharap ridha Allah SWT, bersedekah dilakukan agar memperoleh banyak pahala. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 261 yang berbunyi:

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ – 261


Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”

Rasulullah SAW pernah mengungkap waktu sedekah dengan imbalan pahala paling besar. Melewati waktu tersebut, keutamaan sedekah tersebut menjadi berkurang. Lantas, kapan waktu bersedekah dengan pahala terbesar?

Waktu Sedekah Paling Besar Pahalanya

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW menyebutkan bahwa bersedekah dengan balasan pahala paling besar yaitu sedekah yang dikerjakan di kala sehat, pelit, khawatir miskin, dan saat menginginkan kekayaan.

Abu Hurairah RA berkata, “Ada seseorang datang kepada Nabi dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?’ Rasul SAW kemudian menjawab:

أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الْغِنَى، وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ قُلْتَ: لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا، وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ.

Artinya: “Bersedekahlah selama kamu masih sehat, kikir, takut miskin, dan mengharapkan kekayaan. Dan janganlah kamu menunda-nunda sehingga apabila nyawa sudah sampai di tenggorokan, maka kamu baru berkata, ‘Untuk fulan sekian dan untuk fulan sekian’. Padahal harta itu menjadi hak si fulan (ahli warisnya).” (HR Bukhari dan Muslim).

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihin menerangkan mengapa bersedekah di waktu sehat diganjar pahala paling besar. Menurutnya, saat seseorang sehat maka dirinya akan pelit terhadap harta yang dimiliki lantaran ia berharap menjadi kaya raya dan takut jatuh miskin. Ia keberatan mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang lain karena mencintai dunia.

Karena itu, sedekah tatkala sehat dianggap ikhlas dan tulus serta membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT. Bersikap dermawan dalam kondisi ini juga menunjukkan keinginan mendekatkan diri dan mengharap ridha-Nya.

Sebaliknya, harta menjadi kurang berharga di kala dirinya sakit sehingga mudah baginya untuk bersedekah. Sebab keadaan ini membuatnya putus asa dengan hidup karena merasa ajalnya sudah dekat dan harta yang dimiliki tidak akan dibawa mati.

Hadits Nabi SAW di atas juga menjelaskan bahwa amal bersedekah sebaiknya segera dilaksanakan. Hendaknya sedekah jangan ditunda-tunda hingga ajal hampir menjemput.

Menurut Syaikh Al-Utsaimin, hal itu karena harta bukan lagi milik seseorang jika ia sedekah di saat sakaratul maut. Harta miliknya telah berpindah kepada ahli warisnya alias menjadi harta untuk diwariskan.

Keutamaan sedekah di kala ruh sudah mencapai tenggorokan pun sudah berkurang bila dibandingkan dengan bersedekah dalam keadaan sehat sebagaimana riwayat di atas. Wallahu a’lam.

(row/row)



Sumber : www.detik.com

Bayar Utang atau Sedekah Dulu, Mana yang Lebih Utama? Ini Penjelasannya


Jakarta

Di antara banyak amalan dalam Islam, membayar utang dan bersedekah adalah dua perbuatan yang sangat dianjurkan. Keduanya pun sama-sama mendatangkan pahala.

Namun, muncul pertanyaan yang sering diperdebatkan: Bayar utang dulu atau sedekah dulu? Mari kita simak penjelasannya berikut ini.

Mana yang Lebih Utama, Bayar Utang Dulu atau Sedekah?

Dalam Islam, ada perdebatan yang cukup panjang mengenai bayar utang dulu atau sedekah dulu. Walaipun keduanya sama-sama utama tapi terdapat keduanya memiliki nilai dan prioritas tersendiri.


Membayar Utang Lebih Dulu Karena Sifatnya Wajib

Syaikh Utsmainin dalam buku Kumpulan Fatwa Ulama tentang Zakat yang disusun oleh Abdul Bakir dkk., menjelaskan bahwa membayar utang adalah prioritas karena sifatnya yang wajib, sedangkan sedekah adalah amalan sunnah.

Prinsip dasar yang dipegang adalah bahwa hal-hal yang wajib harus lebih diutamakan daripada yang sunnah. Apabila seseorang memiliki utang yang cukup besar hingga hampir menghabiskan seluruh hartanya, maka langkah bijak yang dianjurkan adalah melunasi utang tersebut terlebih dahulu sebelum melakukan sedekah. Hal ini mencegah seseorang dari kesulitan finansial yang bisa timbul akibat menunda pembayaran utang.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang dikutip dari buku Mengapa Sedekahku Tak Dibalas? karya Ust. Ahmad Zacky el-Syafa, Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa menunda-nunda pelunasan utang padahal mampu membayarnya adalah perbuatan zalim. “Menunda-nunda melunasi utang padahal mampu adalah perbuatan zalim.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Hal ini menunjukkan bahwa membayar utang adalah sebuah tanggung jawab besar yang tidak boleh diremehkan. Selain itu, dalam ajaran Islam, berutang juga menimbulkan beban sosial dan moral. Oleh karena itu, Islam sangat menekankan agar seseorang yang mampu segera melunasi utangnya tanpa menunda-nunda.

Tetap Boleh Bersedekah Walau Memiliki Utang

Di sisi lain, menurut buku JABALKAT II: Jawaban Problematika Masyarakat yang disusun oleh Purnasiswa 2015 MHM Lirboyo memberikan penjelasan bahwa bersedekah tetap boleh dilakukan meski seseorang memiliki utang, selama kondisi keuangan orang tersebut tidak dalam kesulitan yang mendesak. Ini berarti, apabila seseorang mampu bersedekah tanpa mengabaikan kewajiban utangnya, maka sedekah tetap menjadi amal yang baik dan dianjurkan.

Rasulullah SAW bersabda, “Andaikata aku punya emas sebesar bukit Uhud, maka akan membahagiakanku jika tidak terlewat tiga hari dan emas itu telah habis (untuk beramal baik), kecuali sedikit emas yang aku simpan (persiapkan) untuk melunasi utang.” (HR. Bukhari)

Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Islam bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (menerima), yang menunjukkan bahwa Islam menghargai amal kebaikan dalam bentuk apa pun, selama tidak membahayakan.

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai anak Adam, sesungguhnya bila kamu menyerahkan kelebihan sesuatu adalah lebih baik bagimu. Namun bila kamu mengekangnya maka hak itu buruk bagimu. Dan tidak tercela orang yang memenuhi kebutuhan dan mulailah dari orang yang menjadi tanggung jawabmu. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, penting untuk diingat bahwa jika seseorang berniat bersedekah tetapi seluruh hartanya habis untuk utang, maka sebaiknya ia memprioritaskan utang tersebut terlebih dahulu.

Kesimpulannya, bagi yang memiliki utang besar dan kondisi finansial yang terbatas, sebaiknya fokus pada pelunasan utang sebagai bentuk pemenuhan kewajiban utama. Namun, jika keadaan keuangan stabil, maka bersedekah tetap menjadi amal yang baik dan dapat mendatangkan pahala serta keberkahan.

Hukum Utang-piutang dalam Islam

Mengutip dari buku Ringkasan Fikih Lengkap II tulisan Syaikh Dr. Shalih, konsep utang atau yang dikenal dengan istilah “al-qardhu” memiliki makna “memotong” karena seseorang yang meminjamkan hartanya seolah-olah sedang “memotong” sebagian dari miliknya untuk diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.

Secara syar’i, al-qardhu berarti memberikan harta kepada orang lain dengan tujuan untuk membantu dan di kemudian hari harta tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.

Memberikan pinjaman adalah tindakan yang sangat dianjurkan, terutama karena membantu meringankan beban saudara seiman. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda,

“Pada malam ketika aku menjalani Isra’, aku melihat di pintu surga tertulis, “Pahala sedekah 10 kali lipat dan pahala pemberi utang 18 kali lipat.” Hadits ini menunjukkan betapa besar pahala yang diperoleh bagi mereka yang memberi bantuan kepada orang yang sedang kesulitan, baik melalui sedekah maupun memberi pinjaman.”

Di hadits lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan satu kesulitan seorang mukmin dari berbagai kesulitannya di dunia, Allah akan menghilangkan satu kesulitan dari berbagai kesulitannya pada hari Kiamat. “

Memberikan pinjaman adalah salah satu cara untuk menolong, apalagi dalam kondisi mendesak dan sulit. Namun, Islam juga menetapkan syarat-syarat tertentu bagi orang yang memberikan utang.

Di antaranya, pemberi utang adalah orang yang sah atas hartanya bukan harta orang lain, peminjam tidak boleh meminta pinjaman lebih dari apa yang diperlukan dan tidak boleh menunda pembayaran jika sudah mampu membayarnya, karena ini termasuk perilaku zalim. Para ulama juga melarang penambahan jumlah pembayaran sebagai bentuk “balas jasa” karena ini termasuk riba, yang haram hukumnya.

Selain itu, jika peminjam memiliki niat untuk mengembalikan lebih sebagai bentuk kebaikan tanpa syarat dari pemberi pinjaman, hal ini diperbolehkan. Tindakan ini dinilai sebagai amalan baik, selama tidak menjadi beban atau paksaan.

Hukum tentang Sedekah

Sedekah memiliki kedudukan yang penting dalam Islam, dan hukum pemberiannya bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi penerima serta niat pemberi. Berdasarkan buku Cara Berkah Lunas Amanah (Hutang) karangan Budhi Cahyono, berikut adalah macam-macam hukum dari bersedekah:

1. Sunnah

Pada dasarnya, bersedekah adalah sunnah. Artinya, jika dilakukan, pelaku akan memperoleh pahala dari Allah SWT. Tetapi, jika tidak dilaksanakan, maka tidak ada dosa yang menimpa.

2. Haram

Sedekah menjadi haram jika seseorang mengetahui bahwa harta atau bantuan yang diberikan akan digunakan oleh penerimanya untuk berbuat maksiat atau melanggar aturan agama.

3. Wajib

Sedekah dapat berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu. Misalnya, jika seseorang memiliki makanan atau kebutuhan pokok yang cukup, sementara di hadapannya ada orang yang kelaparan atau sangat membutuhkan bantuan, maka wajib baginya untuk bersedekah. Selain itu, sedekah juga menjadi wajib jika seseorang telah bernazar untuk melakukannya, sehingga harus dipenuhi.

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Tata Cara Haji Tamattu Dilengkapi Pengertian dan Syarat Sahnya


Jakarta

Tata cara haji tamattu penting diketahui oleh muslim. Haji tamattu adalah salah satu jenis ibadah haji menurut Islam.

Sebagaimana diketahui, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang mampu untuk berhaji dalam surat Ali Imran ayat 97,

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ


Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”

Haji sendiri adalah berkunjung ke Baitullah atau Kakbah pada waktu dan cara tertentu dengan tertib demi memenuhi panggilan Allah SWT. Pengertian ini dikutip dari buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah yang diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag RI).

Anjuran haji juga disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas RA, “Hendaklah kalian bersegera mengerjakan haji karena sesungguhnya seseorang tidak pernah tau halangan yang akan merintanginya.” (HR Ahmad)

Apa Itu Haji Tamattu?

Menurut Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-Asqalani terjemahan Djamaludin Ar-Ra’uf, haji tamattu artinya bersenang-senang atau bersantai-santai dengan umrah terlebih dahulu di bulan-bulan haji. Setelah itu, barulah melaksanakan ibadah haji.

Tamattu juga dimaknai sebagai pelaksanaan ibadah dalam bulan-bulan serta tahun yang sama tanpa terlebih dahulu pulang ke negeri asal.

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzhahib Al-Arba’ah yang diterjemahkan Shofa’u Qolbi Djabir dkk menerangkan bahwa haji tamattu merupakan jenis haji yang mewajibkan pembayaran dam. Sebab, mereka yang haji tamattu melewati miqat tanpa ihram untuk haji. Padahal, hal itu termasuk dalam wajib haji.

Tata Cara Haji Tamattu

Menukil dari buku Panduan Praktis Manasik Haji dan Umrah tulisan Khoirul Muaddib dan KH Agus Fahmi, berikut tata cara haji tamattu.

  1. Ihram di miqat untuk umrah
  2. Tawaf umrah
  3. Sa’i (umrah)
  4. Tahallul (bebas larangan ihram)
  5. Ihram di Makkah pada 8 Dzulhijjah
  6. Wukuf di Arafah di tanggal 9 Dzulhijjah
  7. Mabit di Muzdalifah pada 10 Dzulhijjah
  8. Lempar jumrah Aqabah
  9. Tahallul awal
  10. Tawaf ifadhah
  11. Sa’i
  12. Tahallul tsani
  13. Mabit di Mina
  14. Tanggal 11 Dzulhijjah lempar tiga jumrah
  15. Tanggal 12 Dzulhijjah lempar tiga jumrah
  16. Meninggalkan Mina untuk Nafar Awal
  17. Tanggal 13 Dzulhijjah lempar tiga jumrah
  18. Meninggalkan Mina untuk Nafar tsani

Syarat Sah Haji Tamattu

Diterangkan dalam buku Fikih Kontemporer Haji dan Umrah oleh Ahmad Kartono, setidaknya ada beberapa syarat sah haji yang diterangkan Imam Al-Ghazali yaitu:

  • Bukan penduduk Makkah
  • Bukan orang yang tinggal dekat dengan Makkah (jaraknya masih kurang dari jarak qashar salat)
  • Melakukan umrah lebih dulu sebelum haji dan tidak kembali ke miqat
  • Melakukan niat haji dan umrah untuk satu orang

Itulah informasi seputar haji tamattu. Semoga bermanfaat.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Nabi Idris AS, Manusia Pertama yang Bisa Menjahit dan Menenun



Jakarta

Nabi Idris AS lahir di Munaf, sebuah daerah di Mesir. Dia adalah keturunan keenam Nabi Adam AS. Nama lengkapnya adalah Idris bin Yazid bin Mihla’il bin Qinan bin Syits bin Adam.

Dikutip dalam Tafsir Qashashi Jilid 1, Nabi Idris adalah manusia ketiga yang mendapat nubuwah setelah Adam dan Syits.

Nabi Idris AS adalah kakek dari bapak Nabi Nuh AS. Seperti diketahui, bahwa Allah SWT telah menurunkan 30 Shahifah kepada Nabi Syits AS yang berisi petunjuk untuk disampaikan kepada umatnya, termasuk keturunan Qabil yang durhaka kepada Allah. Ketika menerima shuhuf tersebut, Nabi Syits mengajarkan anak-anaknya membacanya dan kandungannya dan terus diajarkan secara turun-temurun hingga Yazid ayah nabi Idrispun mengajarkan kepadanya.


Nabi Idris AS adalah nabi yang sangat tekun belajar dan juga beribadah.

Nabi Idris dikenal sebagai manusia pilihan yang cerdas dan pandai menjahit. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menyebutkan tentang Nabi Idris lebih dari satu tempat.

Allah SWT berfirman dalam surat Maryam ayat 56:

وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِدْرِيْسَۖ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا ۙ ٥٦v

Artinya: “Ceritakanlah (Nabi Muhammad kisah) Idris di dalam Kitab (Al-Qur’an). Sesungguhnya dia adalah orang yang sangat benar dan membenarkan lagi seorang nabi.”

Selain itu, Allah SWT juga berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 85:

وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِۗ كُلٌّ مِّنَ الصّٰبِرِيْنَ ۙ ٨٥

Artinya: “(Ingatlah pula) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang sabar.”

Melansir dalam buku Kisah- kisah dalam Al-Qur’an tulisan Syaikh Hamid Ahmad Ath-Thahir Al-Basyuni disebutkan bahwa Nabi SAW pernah berbicara sekilas tentang Nabi Idris, sebagaimana yabg dipahami oleh para ahli dan mutafassir.

Imam Muslim dalam bab Al-Masajid dari Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami mengatakan bahwa Nabi bersabda,

“Sesungguhnya dia adalah nabi yang bisa menulis, barangsiapa yang mendapatkan tulisannya, maka itulah (keberuntungan baginya)” (Hadits)

Para ulama membantu pemahaman mereka dengan hadits dari Abu Dzar yang dimuat oleh Ibnu Hibban dalam Musnadnya. Sekalipun dhaif, akan tetapi nama Idris disebutkan secara jelas di dalamnya, bahwa dia adalah nabi yang menulis dengan pena.

Dalam riwayat itu juga dinyatakan bahwa Idris adalah orang yang pertama kali menjahit dan menenun, dan orang yang pertama kali memakai pakaian yang dijahit.

Menurut Cerita Al-Qur’an yang disusun oleh M. Zaenal Abidin juga dijelaskan nabi Idris adalah orang pertama yang menjahit pakaian. Ketika itu, belum dikenal pakaian berjahit. Mula-mula orang-orang mengenakan pakaian dari kulit binatang dan tidak berjahit.

Ada kisah yang menarik dari cara Nabi Idris AS menjahit. Ketika menjahit, setiap menusukkan jarum yang berisi untaian benang itu beliau selalu bertasbih kepada Allah SWT. Bayangkan, berapa kali Idris bertasbih untuk membuat satu lembar kain.

Kalau lupa, maka beliau melepaskan kembali jahitan yang telah dirajutnya itu dan mengulanginya dengan bertasbih kepada Allah SWT.

Dia juga orang yang pertama mengajarkan kepada manusia cara menghitung dan bercocok tanam. Kitab-kitab telah diturunkan kepadanya.

Ada yang mengatakan bahwa dia adalah Akhnukh, dan berbagai riwayat lainnya yang tidak kita ketahui sanadnya, kecuali dari hadits sebelumnya bahwa Idris adalah orang yang pertama kali menulis dengan menggunakan pena.

Al-Qur’an tidak menyebutkan tentang Idris kecuali dia,

“Seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (Maryam: 56),

Dan dia juga,

“Termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiyaa: 85)

Ini menunjukkan bahwa dia pernah mendapatkan cobaan sebagaimana para nabi lainnya, akan tetapi tidak disebutkan seperti apa cobaan yang menimpanya, dan sejauh mana kadar kesabarannya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Abdullah bin Ubay, Pemimpin Kaum Munafik Madinah di Zaman Rasulullah


Jakarta

Abdullah bin Ubay adalah sosok munafik yang hidup pada zaman Rasulullah SAW. Ia menampakkan keislamannya secara lisan, tapi yang sebenarnya adalah ia menyembunyikan kekafirannya. Kisahnya menjadi salah satu penyebab turunnya ayat dalam Al-Qur’an.

Adapun ciri orang munafik dijelaskan secara umum dalam surah Al Munafiqun ayat 4. Allah SWT berfirman,

وَاِذَا رَاَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ اَجْسَامُهُمْۗ وَاِنْ يَّقُوْلُوْا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْۗ كَاَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ ۗيَحْسَبُوْنَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْۗ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْۗ قَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۖاَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ


Artinya: “Apabila engkau melihat mereka, tubuhnya mengagumkanmu. Jika mereka bertutur kata, engkau mendengarkan tutur katanya (dengan saksama karena kefasihannya). Mereka bagaikan (seonggok) kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa setiap teriakan (kutukan) ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya). Maka, waspadalah terhadap mereka. Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?”

Abdullah bin Ubay dan Sifat Munafiknya

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ubay bin Salul Al-Anshari. Dia berasal dari bani Auf, kabilah Khazraj, pemimpin kabilah Khazraj pada masa jahiliah. Inilah salah satu kabilah yang menampung dan menolong kaum Muhajirin.

Dikutip dari buku Tokoh Yang Diabadikan Al-Qur`an 4 karya Abdurrahman Umairah, Abdullah bin Ubay adalah ayahanda seorang sahabat yang mulia, yaitu Abdullah, dan sepupu Amir sang pendeta. Amir telah mengakui adanya Tuhan pada masa jahiliah, menggunakan pakaian berbahan kasar, dan berperilaku sebagai pendeta.

Sebelum Muhammad SAW diutus, dia senantiasa mencari informasi tentang kedatangannya, mulai menceritakan hal itu kepada kaumnya, dan menyampaikan bahwa kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai berita gembira.

Setelah Nabi SAW lahir, Amir merasa iri kepadanya, menzaliminya, menetap dalam kekafirannya, memaklumkan perang terhadap kaum muslimin, dan ikut Perang Uhud bersama kaum musyrikin. Rasulullah SAW pun menamainya sebagai orang fasik.

Abdullah bin Ubay adalah orang yang dihormati secara luas oleh kaum jahiliah. Dia memiliki kekayaan yang banyak sehingga disegani.

Kekayaan itu dikumpulkannya dengan berbagai cara. Di antaranya melalui perdagangan, dengan meminjamkannya kepada orang yang membutuhkan melalui sistem riba, dan menawarkan budak perempuan (pelacur) ke pangkuan orang-orang keji.

Dari pekerjaan pelacur itu, dia menarik keuntungan dan mendapatkan anak laki-laki untuk menambah jumlah pelayan dan sekutunya. Dia senantiasa menawarkan budak perempuan kepada tamu-tamunya yang singgah di rumahnya supaya dianggap sangat dermawan, mendapat keuntungan materi, dan mendapatkan simpati dari orang lain yang kemudian menjadi pengikut dan pembelanya.

Sebelum Rasulullah SAW hijrah, penduduk Madinah dan para pemuka masyarakatnya mengumpulkan batu marjan untuk dibuat mahkota bagi Abdullah bin Ubay dan mengangkatnya sebagai raja dan pemimpin mereka.

Setelah Rasulullah SAW datang, manusia menjauh dari sisi Abdullah bin Ubay, kemudian berpindah ke sisi Rasulullah SAW. Bahkan kabilah, kerabat, dan keluarga yang merupakan manusia yang paling dekat dengan Abdullah bin Ubay pun menjadi pengikut Rasulullah SAW.

Karena Abdullah bin Ubay tidak memiliki strategi untuk menghalanginya, dia menampakkan keislamannya dan menyembunyikan kekafirannya. Caranya itu diikuti oleh sejumlah pelayan dan budaknya yang sangat membutuhkan bantuan dan pemberiannya, serta oleh sekelompok orang yang hatinya telah dikunci mati oleh Allah SWT.

Dengan demikian, dia menjadi pemimpin bagi sekelompok manusia yang dikenal sebagai kaum munafik yang ikut mewarnai dunia Islam periode pertama.

Turunnya Surah Al-Munafiqun karena Kemunafikan Abdullah bin Ubay

Kemunafikan Abdullah bin Ubay juga menjadi alasan turunnya surah Al-Munafiqun. Diceritakan dalam buku Berdakwah dengan Hati karya Syaikh Ibrahim bin Shalih, hal tersebut diterangkan dalam riwayat dari Zaid bin Arqam, ia berkata,

“Kami keluar bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Ketika itu orang-orang mengalami kesulitan. Maka Abdullah bin Ubay berkata kepada teman-temannya, ‘Jangan berinfak kepada orang dekat Rasulullah SAW sampai mereka menjauhi. Kalau kita pulang ke Madinah negeri kita, yang lebih mulia akan mengeluarkan yang paling hina’.”

Ucap Zaid, “Maka aku melaporkannya kepada Rasulullah.”

Mendengar laporan itu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk menanyakannya. Abdullah bin Ubay bersumpah bahwa ia tidak berkata seperti itu.

“Zaid bohong”, ucap Abdullah bin Ubay. Maka ada ganjalan dalam batin Zaid karena hal itu, sampai Allah SWT menurunkan ayat yang membenarkannya, yaitu dalam surah Al-Munafiqun ayat 1. Allah SWT berfirman,

اِذَا جَاۤءَكَ الْمُنٰفِقُوْنَ قَالُوْا نَشْهَدُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُ اللّٰهِۘ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ اِنَّكَ لَرَسُوْلُهٗۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ لَكٰذِبُوْنَۚ ۝١

Latin: idzâ jâ’akal munâfiqûna qâlû nasy-hadu innaka larasûlullâh, wallâhu ya’lamu innaka larasûluh, wallâhu yasy-hadu innal-munâfiqîna lakâdzibûn

Artinya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasulullah SAW. Dan Allah SWT mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya, dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.”

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com