Tag Archives: talak

Bolehkah Suami Menceraikan Istri yang Sedang Hamil? Ini Hukum dan Dalilnya


Jakarta

Pernikahan bukan hanya penyatuan antara dua insan, tetapi juga merupakan perjanjian suci yang melibatkan Allah SWT. Ikatan ini dibangun atas dasar cinta, tanggung jawab, dan komitmen untuk saling menjaga dalam suka maupun duka.

Namun dalam perjalanan rumah tangga, tidak semua pasangan mampu mempertahankan hubungan hingga akhir hayat. Perselisihan, ketidakharmonisan, atau perbedaan prinsip sering kali menjadi penyebab berakhirnya ikatan tersebut melalui perceraian.

Menariknya, dalam beberapa kasus, perceraian justru terjadi ketika sang istri sedang mengandung. Kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan umat Islam tentang apakah talak saat hamil diperbolehkan? Bagaimana hukum cerai saat sedang hamil menurut syariat Islam?


Hukum Talak Saat Sedang Hamil

Dalam buku Fiqih Perempuan Kontemporer karya Farid Nu’man Hasan, dijelaskan bahwa jumhur ulama sepakat hukum cerai saat istri hamil adalah mubah atau boleh. Bahkan, Imam Ahmad bin Hanbal menyebut jenis perceraian ini sebagai bentuk talak yang sesuai dengan syariat.

Pendapat tersebut didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Rasulullah SAW bersabda,

“Kemudian, ceraikanlah ia pada waktu suci atau hamil.” (HR. Muslim).

Hadits ini menjadi dasar bahwa menjatuhkan talak pada istri yang sedang mengandung diperbolehkan dalam Islam dan tidak termasuk kategori cerai yang dilarang.

Apabila seorang istri diceraikan dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya akan berakhir ketika ia melahirkan anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Surat At-Thalaq ayat 4,

وَالّٰۤـِٔيْ يَىِٕسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِّسَاۤىِٕكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلٰثَةُ اَشْهُرٍۙ وَّالّٰۤـِٔيْ لَمْ يَحِضْنَۗ وَاُولٰتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مِنْ اَمْرِهٖ يُسْرًا ۝٤

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak mungkin haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan. Begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid (belum dewasa). Adapun perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.

Hak dan Kewajiban Istri yang Diceraikan

Dalam jurnal Iddah dan Ihdad dalam Islam karya Abdul Moqsith disebutkan bahwa perempuan yang ditalak memiliki hak untuk memperoleh tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, serta kebutuhan hidup lainnya dari mantan suaminya.

Rasulullah SAW pun menegaskan hal tersebut melalui sabdanya yang menjelaskan kewajiban suami terhadap istri yang masih berada dalam masa iddah.

“Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”

Selama menjalani masa iddah, seorang wanita tidak diperbolehkan menerima lamaran dari laki-laki lain, baik secara langsung maupun melalui sindiran (ta’ridh). Larangan ini berlaku hingga ia melahirkan dan tetap harus dipatuhi sesuai ketentuan syariat.

Selain itu, wanita yang sedang dalam masa iddah juga tidak diperkenankan keluar rumah kecuali untuk keperluan yang mendesak. Ketentuan ini disepakati oleh para ulama fiqih, seperti Imam Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Layts.

Dalam Buku Pintar Fikih Wanita karya Muhammad Zaenal Arifin, dijelaskan bahwa masa iddah memiliki beberapa konsekuensi yang dianggap kurang menguntungkan bagi suami, misalnya larangan menikahi perempuan kelima jika masih memiliki empat istri. Sebab, wanita yang berada dalam masa iddah masih berstatus sebagai istri sah, dan baru setelah masa iddah berakhir, sang suami diperbolehkan menikahi perempuan lain yang halal baginya.

Wallahu a’lam.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Hukum Talak Saat Marah dalam Islam, Apakah Sah?


Jakarta

Ketika menikah, setiap pasangan tentu berharap agar pernikahan tersebut menjadi pernikahan yang langgeng dan penuh kebahagiaan. Namun, dalam perjalanan rumah tangga, tak jarang muncul tantangan yang membuat pasangan suami-istri tidak sejalan dalam pandangan dan sikap terhadap suatu hal.

Perbedaan pendapat yang tidak diselesaikan dengan tenang sering kali berujung pada pertengkaran dan luapan emosi. Dalam kondisi seperti ini, kata-kata bisa meluncur tanpa kendali, termasuk ucapan talak yang diucapkan dalam keadaan marah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan yang kerap muncul di benak banyak orang: bagaimana hukum talak yang diucapkan saat sedang marah dan emosi? Apakah talak tersebut tetap sah di mata Islam, atau justru tidak dianggap karena diucapkan tanpa kesadaran penuh?


Hukum Talak Saat Emosi

Dikutip dari website resmi Kementerian Agama, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan marah atau emosi. Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi tersebut tetap sah dan memiliki kekuatan hukum.

Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Zainuddin al-Malibari dari mazhab Syafi’i, yang menjelaskan bahwa talak orang yang marah tetap dianggap sah selama ia masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب

Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah itu tetap jatuh, meskipun ia mengklaim bahwa kesadarannya hilang karena marah.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in [Semarang, Thoha Putra: t.t], halaman 112).

Sementara itu, sebagian ulama lain berpendapat bahwa talak yang diucapkan suami dalam keadaan marah berat atau emosi yang memuncak tidak dianggap sah. Alasannya, pada tingkat kemarahan tersebut, seseorang tidak lagi sepenuhnya sadar terhadap ucapan dan tindakannya.

Kondisi ini bahkan disamakan dengan keadaan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi saat kambuh.

وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون. وفي معناه المغمى عليه، والنائم، والمكرَه

Artinya: “Empat orang yang penyataan talaknya dianggap tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila – termasuk di dalamnya adalah penderita epilepsi-, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa”. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib, [Semarang, Thoha Putra: t.t] halaman 48).

Tingkat Kemarahan Suami Saat Mengucap Talak

Masih mengutip dari laman Kemenag, Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2003), juz IV, halaman 262, menjelaskan bahwa tingkat kemarahan seorang suami saat mengucapkan talak dibagi menjadi tiga.

Pertama, marah tingkat awal, yaitu ketika seseorang mulai marah namun masih mampu mengendalikan diri dan menyadari setiap ucapannya. Dalam kondisi ini, talak yang diucapkan tetap sah karena dilakukan dalam keadaan sadar.

Kedua, marah tingkat puncak, yakni saat emosi telah memuncak hingga menghilangkan akal dan kesadaran. Orang dalam kondisi ini disamakan dengan orang gila, sehingga talaknya tidak sah dan tidak berlaku.

Ketiga, marah tingkat pertengahan, yaitu ketika kemarahan sudah tinggi dan membuat seseorang keluar dari kebiasaannya, tetapi belum sampai kehilangan kesadaran. Dalam kondisi ini, mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya tetap sah, karena pelaku masih dalam keadaan sadar dan mengetahui apa yang diucapkannya.

Menentukan tingkat kemarahan suami saat mengucapkan talak perlu dilakukan dengan penilaian yang objektif melalui bukti, saksi, serta pertimbangan pihak berwenang seperti petugas KUA atau tokoh agama agar keputusan sesuai dengan syariat.

Cara Menahan Amarah dalam Islam

Emosi yang tidak terkendali dapat membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih dan bertindak rasional. Dalam konteks pernikahan, hal ini bisa memicu pertengkaran yang berujung pada retaknya hubungan suami-istri.

Oleh karena itu, penting bagi setiap pasangan untuk menahan amarah dan tidak mengambil keputusan saat emosi memuncak. Islam pun mengajarkan umatnya untuk mengendalikan amarah sebagai bentuk menjaga diri dan keharmonisan rumah tangga.

Menurut Buku Ajar Akidah Akhlak karya Syafiuddin dan Machnunah Ani Zulfah, salah satu cara menahan amarah dalam Islam adalah dengan beristighfar. Dalam menghadapi tantangan rumah tangga, seperti perbedaan pendapat atau kesalahpahaman dengan pasangan, beristighfar membantu menenangkan hati agar tidak terbawa emosi.

Cara kedua adalah menahan diri dari melampiaskan kemarahan. Rasulullah SAW pernah memberi wasiat agar seseorang tidak marah, dan hal ini sangat relevan dalam pernikahan, karena kemampuan menahan diri dapat mencegah ucapan atau tindakan yang bisa melukai pasangan.

Ketiga, amarah juga bisa diredam dengan berwudhu, karena wudhu menyucikan diri dari emosi negatif dan menurunkan panas hati. Dalam kehidupan rumah tangga, berwudhu sebelum melanjutkan pembicaraan dapat membantu suami-istri berpikir lebih jernih dan bijak dalam menyelesaikan masalah.

Cara keempat adalah berdiam diri dan membaca ta’awudz ketika marah. Dengan diam, seseorang dapat menghindari kata-kata yang memperkeruh suasana, dan dengan membaca ta’awudz, ia memohon perlindungan Allah SWT agar setan tidak memperbesar konflik dalam rumah tangga.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Saat Rasulullah Sempat Talak Hafshah hingga Didatangi Jibril


Jakarta

Kesedihan pernah melanda hati Hafshah RA kala itu. Tepatnya saat Rasulullah SAW menjatuhkan talak padanya hingga membuat Malaikat Jibril datang untuk meminta keduanya rujuk.

Hafshah RA adalah salah satu istri Rasulullah SAW. Ia sangat terkenal karena kedermawanannya dan Malaikat Jibril mengabarkan bahwa ia akan menjadi istri Rasulullah SAW di surga nanti.

Dikatakan dalam buku Wanita-Wanita Teladan di Zaman Rasulullah karya Desita Ulla R, Hafshah RA adalah putri dari Umar bin Khattab RA. Nama lengkapnya adalah Hafshah binti Umar bin Khattab RA.


Hafshah RA lahir lima tahun sebelum tahun kenabian dari ibu yang bernama Zainab binti Maz’un bin Wahab, saudara dari Utsman bin Maz’un.

Hafshah RA meninggal pada bulan Jumadil Awal tahun 45 H. Ia meninggal di usianya yang ke-63 tahun. Namun, sebagian ulama berpendapat Hafshah RA meninggal pada bulan Syakban tahun 41 H di usianya yang ke-60 tahun. Ada juga pendapat yang menyebut Hafshah RA wafat pada 47 H pada era Mu’awiyah bin Abu Sufyan.

Kala itu, Hafshah binti Umar bin Khattab RA meninggal di Madinah dan jenazahnya dimakamkan di Baqi’. Ia dimakamkan bersama dengan Ummul Mukminin lainnya.

Lalu bagaimana kisah pernikahan dan saat Rasulullah sempat talak Hafshah RA?

Kisah Pernikahan Hafshah RA dengan Rasulullah SAW

Hafshah binti Umar bin Khattab RA sebelumnya adalah istri dari Sayidina Khunais bin Khuzafah As Sahmi. Kala itu keduanya menikah di Makkah dan menjadi keluarga yang harmonis dan taat kepada Allah SWT beserta Rasul-Nya.

Khunais bin As Sahmi sendiri termasuk dalam salah satu golongan sahabat yang pertama masuk Islam. Ia dan istrinya, Hafshah RA, juga turut ikut hijrah ke Madinah imbas kekejaman dari para kafir Quraisy.

Khunais RA juga merupakan sahabat Rasulullah SAW yang ikut berjihad dalam Perang Uhud dan Perang Badar. Saat itu pula dirinya gugur dalam salah satu pertempuran dan meninggalkan istrinya.

Umar bin Khattab RA juga merasakan kesedihan atas kepergian menantunya. Ia pun berusaha mencarikan suami untuk putrinya. Umar RA pun menawarkan kepada Abu Bakar RA dan Utsman bin Affan RA, namun keduanya menolak tawaran tersebut.

Umar RA pun sangat kecewa dan pergi mengadu kepada Rasulullah SAW. Beliau pun menjawab aduan Umar RA dengan berkata, “Hafshah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman. Sedangkan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafshah.” (HR Bukhari)

Tak disangka-sangka, yang menikahi Hafshah RA setelah kepergian Khunais RA adalah Rasulullah SAW sendiri. Hafshah RA menjadi Ummul Mukminin pada tahun ketiga Hijriah.

Saat Rasulullah SAW Talak Hafshah

Istri Rasulullah SAW, Hafshah binti Umar bin Khattab RA adalah seorang perempuan yang sangat suka menyedekahkan hartanya, sehingga ia dikenal sebagai orang yang dermawan.

Hafshah RA juga banyak menyerap ilmu dari Rasulullah SAW, sehingga membuat dirinya sebagai seorang murid yang cerdas dan memiliki peran besar dalam menyebarkan hukum Islam, terutama setelah wafatnya Rasulullah SAW.

Selebihnya, Hafshah RA juga merupakan seorang ahli ibadah yang selalu melakukan zuhud terhadap perkara duniawi. Ketika malam ia jarang tidur dan lebih memilih melakukan melakukan ibadah malam, sedangkan siangnya ia habiskan untuk berpuasa.

Namun, Hafshah pernah merasakan kesedihan yang sangat mendalam untuk kedua kalinya. Yaitu saat Rasulullah SAW menalaknya atau menceraikannya.

Diceritakan dalam buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya Mahdi Rizqullah Ahmad, sebuah riwayat menuturkan, Rasulullah SAW pernah menalak Hafshah RA sekali.

Pada saat itu, Umar RA masuk ke bilik Hafshah dan menemukan putrinya sedang menangis. Umar RA lalu bertanya kepada Hafshah RA,

“Apa yang membuatmu menangis? Apakah karena Rasulullah telah menceraikanmu? Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah memang telah menceraikanmu, tetapi sekarang sudah merujukmu kembali demi aku. Demi Allah, seandainya beliau menjatuhkan talak kepadamu lagi, aku tidak akan berbicara sepatah kata pun kepadamu selamanya!”

Sumber sebelumnya menyebutkan malaikat Jibril bahkan sampai datang kepada Rasulullah SAW untuk menyelesaikan perkara ini. Maka, malaikat Jibril berkata,

“Allah SWT memerintahkan agar engkau merujuk Hafshah, karena ia orang yang ahli puasa dan salat malam. Serta untuk menjaga perasaan Umar.”

Jibril berkata, “Dia (Hafshah) adalah seorang ahli puasa dan salat. Dia adalah istrimu di surga.” (HR Abu Daud)

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kapan Istri Boleh Minta Cerai Menurut Islam?


Jakarta

Perceraian dalam Islam tergolong sebagai hal yang dihalalkan namun dibenci oleh Allah SWT. Istri boleh meminta cerai kepada suami apabila ia melakukan hal-hal ini. Apa saja?

Dikutip dari buku Bulughul Maram & Dalil-Dalil Hukum: Panduan Hidup Sesuai Tuntunan Rasulullah SAW dalam Ibadah, Muamalah, dan Akhlak oleh Ibnu Hajar, dijelaskan bahwa perceraian memang sebuah perkara yang halal, namun Allah SWT sangat membencinya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,


عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللَّهِ الطَّلَاقُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَهِ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَرَبَّحَ أَبُو حَاتِمٍ إِرْسَالَهُ

1098. Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits ini shahih menurut al-Hakim. Abu Hatim menilainya hadits mursal)

Cerai merupakan jalan keluar terakhir dan yang paling baik dihindari apabila terjadi sebuah kerusuhan dalam rumah tangga. Cara ini boleh ditempuh ketika semua bentuk pendekatan dan percobaan penyelesaian masalah sudah dilakukan.

Namun, tentu saja semua orang menginginkan rumah tangga yang baik dan bahagia. Tak jarang, di dalam rumah tangga seorang istri tidak merasa bahagia dan malah mendapat kekerasan.

Oleh karena itu, perceraian dalam Islam tidak hanya bisa dilakukan oleh suami. Namun, istri juga mendapat hak yang sama untuk meminta perceraian ketika terjadi sesuatu pada diri dan rumah tangganya.

Terdapat beberapa alasan yang membolehkan istri untuk meminta perceraian suami. Dengan catatan dirinya tidak meminta cerai karena alasan-alasan yang tidak jelas atau dibenarkan agama.

Masykur Arif Rahman dalam Dosa-Dosa Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama menyebutkan bahwa istri yang tidak memiliki alasan yang sah secara syariat, akan mendapat dosa bila ia mengajak bercerai.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang minta diceraikan oleh suaminya tanpa alasan yang sah maka haram baginya wangi surga.” (HR Ahmad)

Adapun alasan-alasan yang membolehkan perceraian dalam Islam dari sisi istri adalah sebagaimana berikut ini.

5 Alasan Istri Halal Minta Cerai

1. Tidak Mendapat Nafkah dari Suami

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang pertama adalah karena suami tidak menafkahi istri dan ia tidak merelakannya. Namun, jika istri mengerti kondisi suami yang memang tidak bisa menafkahi dan rela berkorban kepadanya, maka tidak perlu bercerai.

2. Tidak Mampu Menahan Syahwat

Alasan istri boleh minta perceraian dalam Islam yang kedua adalah karena ia tidak kuat menahan syahwat, sedangkan suaminya tidak bisa memenuhi hasrat tersebut. Sehingga, daripada memilih berzina, lebih baik bercerai.

Namun, apabila istri rela tidak mendapat kebutuhan biologis itu, maka terhapuslah alasan baginya untuk minta cerai.

Istri boleh minta cerai suami apabila ia tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajiban suami karena benci atau lain-lain. Daripada selalu bertengkar, lebih baik bercerai sebab berpotensi menambah keburukan.

4. Suami Berakhlak Buruk

Keempat, alasan istri halal meminta perceraian dalam Islam yakni ketika suami mempunyai kepribadian dan akhlak yang buruk, yang tidak sesuai dengan ajaran agama.

Misalnya ketika istri merupakan seorang yang salihah, sedangkan suaminya sering meninggalkan salat, tidak berpuasa, sering berbohong, durhaka kepada orang tua, mabuk, berjudi, dan melakukan perbuatan tercela lainnya, maka istri boleh meminta cerai kepada suami.

Sebab, pada dasarnya, wanita salihah adalah untuk suami yang salihah juga. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An-Nur ayat 26 yang berbunyi,

اَلْخَبِيْثٰتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالْخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثٰتِۚ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِۚ اُولٰۤىِٕكَ مُبَرَّءُوْنَ مِمَّا يَقُوْلُوْنَۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ ࣖ ٢٦

Artinya: “Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka (yang baik) itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.”

5. Suami Berlaku Kasar

Alasan istri halal minta perceraian dalam Islam yang terakhir adalah karena suami berlaku buruk, kasar, dan keras terhadap istri.

Contohnya adalah suami selalu memukul, memaki, main tangan, tidak mau memuaskan istri dalam berhubungan badan, menyuruh kerja berat, dan lain sebagainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com