Tag Archives: thawaf

Menag Ajak Ribuan Jemaah Umrah Doakan Indonesia dan Palestina



Makkah

Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak ribuan jemaah umrah Indonesia di Tanah Suci untuk memanjatkan doa demi kemajuan bangsa dan perjuangan rakyat Palestina. Pesan ini disampaikan Menag usai melaksanakan ibadah umrah di Masjidil Haram, Sabtu (23/11/2024) malam waktu Arab Saudi.

Menag berada di Arab Saudi atas undangan Menteri Haji dan Umrah Saudi, Tawfiq F. Al Rabiah. Pertemuan keduanya yang dijadwalkan berlangsung di Makkah akan membahas persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025.

Saat menjalankan umrah, Menag menyaksikan langsung ribuan jemaah Indonesia yang berbaur dengan jemaah dari berbagai negara. Antusiasme jemaah terlihat jelas dari penuhnya area thawaf (mathaf) dan sa’i (mas’a).


“Saya baru menunaikan umrah. Saya melihat banyak sekali jemaah yang hadir, mungkin karena cuacanya sangat mendukung. Saya yakin jemaah umrah dan jemaah haji Indonesia akan menjadi yang terbaik,” kata Menag.

Menag juga mengapresiasi sikap santun jemaah Indonesia yang dikenal menghormati sesama. Ia pun mengajak mereka untuk mendoakan kebaikan bagi bangsa.

“Mari kita doakan bangsa kita, negara kita. mendoakan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kita,” ujar Menag.

Selain itu, ia turut menyerukan doa bagi perjuangan rakyat Palestina. “Mari kita juga mendoakan rakyat Palestina, semoga cepat selesai perjuangannya dan berakhir dengan baik dan mendapat berkah,” tambahnya.

Menag dijadwalkan berada di Arab Saudi hingga 26 November 2024. Selain pertemuan dengan Menteri Tawfiq F. Al Rabiah, agenda lainnya mencakup rapat di Kantor Urusan Haji (KUH) Jeddah bersama Dubes RI untuk Arab Saudi, Abdul Aziz, onjen RI di Jeddah Yusron Ambari, Kepala Badan Penyelenggara Haji Mochammad Irfan, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Hilman Latief, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji Fadlul Imansyah, Direktur Layanan Haji Luar Negeri Subhan Cholid, serta Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam.

Selain itu, dalam kunjungannya, Menag juga akan meninjau persiapan awal proses penyediaan layanan haji di Madinah Al-Munawwarah.

(inf/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Penjarahan Hajar Aswad hingga Sempat Hilang 22 Tahun



Jakarta

Hajar Aswad adalah objek istimewa bagi umat Islam yang berada di salahh satu sudut Ka’bah. Di balik keistimewaannya, mungkin tidak banyak muslim yang mengetahui bahwa Hajar Aswad pernah dijarah dalam sejarahnya.

Hajar Aswad sendiri memiliki salah satu keistimewaan yakni sebagai batu yang dicium Rasulullah SAW ketika sedang melaksanakan thawaf. Sunnah ini didasarkan pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu, yang berbunyi sebagai berikut.

لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ


Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW beristilam (menyentuh) Rukun Yamani dan Hajar Aswad setiap kali beliau thawaf,” (HR Muttafaq ‘alaih)

Kisah Penjarahan Hajar Aswad

Hajar Aswad adalah batu hitam dan suci yang diyakini berasal dari surga. Lokasinya berada di sudut tenggara Ka’bah, kira-kira 1,5 meter dari permukaan lantai.

Awalnya berwarna putih, lebih putih daripada salju. Namun, kini menjadi hitam kemerah-merahan dan sebagian kekuning-kuningan. Dari Ibnu ‘Abbas RA, Rasulullah SAW mengatakan, menghitamnya Hajar Aswad seiring dengan dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia.

نَزَلَ الْحَجَرُ الأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِى آدَمَ

Artinya: “Hajar aswad turun dari surga padahal batu tersebut begitu putih bahkan lebih putih daripada susu pada awalnya. Dosa manusialah yang membuat batu tersebut menjadi hitam.” (HR At Tirmidzi)

Dikutip dari buku Kamus Pintar Agama Islam tulisan Syarif Yahya, setelah Nabi Adam wafat, batu ini disimpan di pegunungan Abu Qubais, Makkah, lalu dikeluarkan oleh Malaikat Jibril ketika Ibrahim dan Ismail membangun Ka’bah.

Pada 930 M/317 H, Hajar Aswad pernah dijarah oleh kaum Qaramitah atau Waramatian yang menyerang Makkah dan dibawa ke Kota Qatif di Bahrain. Qarmatian adalah salah satu kelompok syiah dengan Abu Tahir Al Qarmuti sebagai pemimpinnya.

Pada awal mulanya, Abu Tahir dan pengikutnya datang dari Bahrain menuju Makkah tepat sebelum waktu pelaksanaan haji. Namun, mereka ditolak masuk ke wilayah Makkah oleh penduduknya.

Sebagaimana yang dituliskan dalam situs Archyde, kelompok Qarmatian bahkan berpura-pura untuk menunaikan haji agar dibolehkan masuk ke Makkah. Berdasarkan catatan sejarah, Abu Tahir membawa sekitar 600 penunggang kuda dan 900 pasukan berjalan.

Kedok itu pada akhirnya dapat membuat kelompok Qarmatian berhasil menduduki Kota Makkah berikut mencabut Hajar Aswad dari tempatnya secara paksa. Pencurian tersebut dilakukan mereka dalam rangka menjarah barang-barang berharga yang ada di Ka’bah.

Sebab itu, kelompok Qarmatian juga merampas harta orang-orang di Ka’bah, merobek kiswah atau penutup Ka’bah, melepas pintu Ka’bah, hingga mengambil talang emasnya dan hampir semua yang bisa dibawa oleh mereka.

Abu Tahir memerintahkan pasukannya untuk menyimpan Hajar Aswad tersebut ke Masjid al Dirar yang terletak di ibu kota baru negara mereka, al Hasa di Bahrain. Hajar Aswad pun diketahui dijarah dan disimpan di sana selama 22 tahun.

Sebagaimana dikisahkan oleh Sejarawan Ottoman, Qutb al Din, dalam tulisannya tahun 1857, Abu Tahir hendak menjadikan masjid tersebut sebagai tempat suci dan memindahkan aktivitas Ka’bah ke Masjid al Dirar tersebut alias menjadi pusat ibadah umat muslim dunia. Namun, mimpinya tidak sempat terealisasikan hingga akhirnya ia wafat.

“Pemimpin Qarmatian, Abu Tahir al-Qarmati, meletakkan Hajar Aswad di masjidnya sendiri, Masjid al-Dirar, dengan maksud mengalihkan haji dari Makkah. Namun, ini gagal,” tulis Qutb al Din yang dikutip dari World Bulletin.

Setelah dinasti sekte ini runtuh, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula pada 339 H, setelah hilang selama 22 tahun. Hajar Aswad dikembalikan dalam kondisi rusak dengan keretakan yang membaginya menjadi tujuh bagian. Untuk menjaga bentuknya, penjaga Ka’bah pun membingkai Hajar Aswad dengan perak seperti yang dapat dilihat saat ini.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Wanita Berdesakan dengan Pria saat Thawaf, Apa Hukumnya?



Jakarta

Pelaksanaan haji ke Baitullah yang hanya terjadi setahun sekali, membuat umat Islam dari seluruh dunia tumpah ruah dalam satu waktu dan tempat. Terlebih ketika menjalankan thawaf, di mana pria dan wanita bercampur serta saling berdesakan. Lantas bagaimana hukumnya?

Thawaf merupakan salah satu rukun ibadah dalam rangkaian pelaksanaan haji dan umrah sehingga pengerjaannya benar harus ditunaikan. Jika tidak, maka ibadah haji dan umrahnya tidak sah atau batal.

Allah SWT melalui kalam-Nya secara langsung mensyariatkan thawaf bagi jemaah haji dan umrah, sebagaimana termaktub dalam Surat Al Hajj ayat 29:


وَلْيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ – 29 …

Artinya: “… Dan melakukan tawaf di sekeliling al-Bait al-‘Atīq (Baitullah).”

Namun ketika mengerjakan thawaf pada waktu haji, jemaah menghadapi kesulitan yang tak bisa dihindarkan seperti berdesakan satu sama lain baik laki-laki dan perempuan. Begitu juga saat jemaah ingin mengambil sunnah dalam mencium Hajar Aswad.

Hukum Wanita Berdesakan dengan Pria saat Thawaf

Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim melalui Kitab Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’ mengemukakan pendapatnya, “Tidak sepatutnya bagi kaum wanita untuk berdesak-desakan dengan kaum laki-laki dalam melakukan thawaf, untuk menyentuh dua rukun Yamani atau mencium Hajar Aswad.”

Bahkan Imam Syafi’i dalam kitab fikihnya Al Umm menyatakan makruh bagi pria dan wanita untuk berdesakan di saat thawaf. Ia mengambil dalil dasar dari riwayat Aisyah, Ummul Mukminin.

Disebutkan, “Sa’id bin Salim mengabari kami, dari Umar bin Sa’id bin Abu Husein, dari Manbudz bin Abu Sulaiman, dari ibunya, bahwa suatu ketika dia bersama Aisyah.

Lalu masuklah seorang maulah kepadanya yang kemudian berkata kepadanya, ‘Wahai Ummul Mukminin, aku berthawaf mengelilingi Baitullah tujuh kali dan aku beristilam (menyentuh dan mencium Hajar Aswad) pada rukun dua atau tiga kali.’

Aisyah lalu berkata kepadanya, ‘Allah tidak memberi pahala kepadamu, dan Dia tidak akan memberi pahala kepadamu karena engkau mendorong-dorong para laki-laki. Kenapa engkau tidak bertakbir dan terus lewat saja?'”

Hal ini juga diterangkan dalam riwayat lain, “Sa’id mengabari kami, dari Utsman bin Miqsam al-Rabi, dari Aisyah binti Sa’d, bahwa ia berkata, ‘Ayahku berkata kepada kami, ‘Apabila kalian menemukan kesenggangan di tengah orang-orang (thawaf), maka beristilamlah. Tetapi jika tidak, maka bertakbirlah kalian dan lewatlah.'”

Imam Syafi’i kemudian menegaskan, “Ketika Aisyah, Ummul Mukminin dan Sa’d sudah memerintahkan para laki-laki jika wanita melakukan istilam maka janganlah mereka berdesakan dengan para wanita itu melainkan melanjutkan meninggalkan mereka, karenanya saya nyatakan makruh bagi laki-laki dan perempuan untuk berdesakan di saat thawaf.”

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah dalam buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa menjelaskan bahwa perempuan sunnah untuk melakukan thawaf di malam hari. Menurutnya, karena itu lebih melindungi aurat wanita dan menghindarkannya dari desakan banyak orang, sehingga ia baginya memungkinkan untuk mendekati Kakbah dan mencium Hajar Aswad.

Sebagaimana sebuah riwayat dari Ibnu Juraij, ia mengatakan: “Atha’ bercerita kepadaku bahwa ketika Ibnu Hisyam melarang perempuan melakukan thawaf bersama dengan kaum laki-laki, dia berkata, ‘Bagaimana engkau melarang mereka, padahal istri-istri Rasulullah SAW melakukan thawaf bersama dengan kaum laki-laki?”

Aku (Ibnu Juraij) bertanya, ‘Apakah mereka melakukannya setelah ayat hijab turun atau sebelumnya?’ Atha’ menjawab, ‘Aku bersumpah, mereka melakukannya setelah ayat hijab turun.’ Aku bertanya, ‘Bagaimana mereka bercampur dengan kaum laki-laki?’

Atha’ menjawab, ‘Mereka tidak bercampur dengan kaum laki-laki. Aisyah thawaf di tempat terpisah dari kaum laki-laki. Seorang perempuan (yang ikut thawaf bersama Aisyah) berkata, ‘Wahai Ummul Mukminin, mari kita menyentuh Hajar Aswad.’ Aisyah berkata, ‘Lakukan sendiri.’ Aisyah tidak mau diajak menyentuh Hajar Aswad.

Istri-istri Rasulullah SAW pada malam hari keluar dengan menyamar lalu melakukan thawaf bersama kaum laki-laki. Tetapi, ketika mereka ingin masuk Ka’bah, mereka menunggu hingga kaum laki-laki yang berada di dalam diperintahkan untuk keluar.” (HR Bukhari dalam kitab al-Hajju, [618])

Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah menerangkan bahwa perempuan boleh istilam jika situasi kosong dan jauh dari kalangan laki-laki. Tetapi jika kaum pria berebut menyentuh dan mencium Hajar Aswad, maka wanita hendaknya membaca takbir dan tahlil saja sesuai perkataan Aisyah, Ummul Mukminin.

Buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa turut menyebut perempuan tidak disunnahkan berdesak dengan laki-laki saat thawaf untuk menyentuh Hajar Aswad. Tetapi baginya cukup mengisyaratkan tangan ke arah Hajar Aswad.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com