Tag Archives: tsabit

Kisah Orang yang Terakhir Keluar dari Neraka Lalu Masuk Surga



Jakarta

Rasulullah SAW pernah menceritakan sebuah kisah yang sampai membuat beliau tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. Kisah ini tentang orang terakhir yang keluar dari neraka dan terakhir masuk surga.

Diceritakan dalam kitab An-Nihayah karya Ibnu Katsir dari riwayat Imam Muslim, pada hari kiamat, didatangkan seorang laki-laki lalu ditanya seluruh perbuatannya semasa di dunia. Laki-laki itu hanya bisa mengiyakan, tanpa memungkirinya, sementara dia sangat takut dosa-dosa besarnya akan diperlihatkan kepadanya.

Namun, ternyata setiap keburukannya telah diganti dengan satu kebaikan. Laki-laki itu lalu berkata, “Ya Tuhanku, aku dulu telah melakukan beberapa hal, tapi tidak aku lihat di sini.”


Abu Dzar yang meriwayatkan hadits tersebut mengatakan melihat Rasulullah SAW tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya saat menceritakan kisah laki-laki itu.

Kisah ini turut diceritakan dalam riwayat Ath-Tabarani dari Abu Umamah. Dikatakan, seorang laki-laki menggelepar-gelepar di atas Shirath seperti anak yang dipukuli bapaknya. Dia ingin lari tetapi amalnya membuatnya tak bisa berkutik. Dia lantas memohon, “Ya Tuhanku, sampaikan hamba ke surga, dan selamatkan hamba dari neraka.”

Allah SWT mengilhamkan kepadanya, “Hai hamba-Ku, jika Aku menyelamatkanmu dari neraka dan memasukanmu ke surga, apakah kamu akan mengaku di hadapan-Ku akan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahanmu?”

Orang itu mengatakan akan mengakui dosa-dosa dan kesalahannya jika diselamatkan dari neraka. Dia kemudian bisa melintasi Shirath, tapi dalam hatinya berkata, “Kalau aku mengaku kepada-Nya akan dosa-dosaku dan kesalahan-kesalahanku, niscaya Dia mengembalikan aku ke neraka.”

Ketika Allah SWT memintanya mengakui dosa-dosanya, orang itu malah membantah dengan mengatakan masih punya jasa-jasa besar. Singkat cerita, Allah SWT kemudian memperlihatkan saksi-saksi atas apa yang diperbuatnya selama di dunia. Kulit pun berbicara.

Allah SWT mengilhamkan kepadanya, “Hai hamba-Ku, Aku lebih tahu mengenai itu daripada kamu. Akulah di hadapan-Ku dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, niscaya Aku ampuni kamu atas semua itu, dan Aku masukkan kamu ke surga.”

Orang itu pun mengakui dosa-dosanya dan Allah SWT memasukannya ke surga.

Kata Abu Umamah, Rasulullah SAW tertawa sampai kelihatan gigi gerahamnya seraya bersabda, “Orang ini adalah penghuni surga yang paling rendah derajatnya. Maka, apalagi orang lebih tinggi derajatnya.”

Imam Ahmad dalam Musnad-nya juga meriwayatkan kisah orang yang dikeluarkan dari neraka. Dari Anas bin Malik RA, Rasulullah SAW bersabda,

يَخْرُجُ أَرْبَعَةٌ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبُو عِمْرَانَ أَرْبَعَةٌ قَالَ ثَابِتٌ رَجُلان فَيُعْرَضُونَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ يُؤْمَرُ بِهِمَا إِلَى النَّارِ قَالَ فَيَلْتَفِتُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ أَي رَبِّ قَدْ كُنْتُ أَرْجُو إِذَا أَخْرَجْتَنِي مِنْهَا أَنْ لَا تُعِيدَنِي فِيهَا فَيُنْحِيهِ اللَّهُ مِنْهَا.

Artinya: “Ada empat orang dikeluarkan dari neraka -Abu Imran mengatakan empat orang, sedang Tsabit mengatakan dua orang-lalu dihadapkan kepada Allah, kemudian keempat orang itu -atau kedua orang itu- disuruh dikembalikan ke neraka. Maka salah seorang dari mereka menoleh seraya berkata, “Ya Tuhan-ku, sungguh, tadinya aku berharap, apabila Engkau telah mengeluarkan aku dari neraka, bahwa Engkau tidak akan mengembalikan aku lagi ke sana.” Maka Allah pun melepaskan dari neraka. “

Wallahu a’lam.

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com

Asmaul Husna Asy-Syafi, Makna dan Penerapannya ala Rasulullah SAW


Jakarta

Dalam Asmaul Husna, Allah SWT memiliki banyak nama yang mencerminkan sifat-sifat-Nya yang Agung. Di antara asma Allah SWT yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah Asy-Syafi, yang memiliki arti “Yang Maha menyembuhkan”.

Sifat Allah SWT sebagai Asy-Syafi bukan hanya sebagai penyembuh penyakit dalam tubuh manusia, kesembuhan yang Allah SWT berikan juga termasuk untuk penyakit hati, jasmani, dan rohani. Allah SWT berfirman dalam surah Asy-Syuara ayat 80,
وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِۙ ۝٨٠

Arab Latin: wa idzâ maridltu fa huwa yasyfîn


Artinya: Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.

Makna Asmaul Husna Asy-Syafi

Mengutip buku Syarah Riyadhus Shalihin Imam Nawawi Jilid III oleh Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Allah SWT adalah Asy-Syafi karena hanya Dialah yang menyembuhkan penyakit. Segala obat dan ruqyah yang dibuat dan digunakan manusia hanyalah perantara yang mungkin bermanfaat, tetapi tidak selalu menjamin kesembuhan.

Allah SWT adalah sumber penyebab dari dua orang yang memiliki penyakit dan pengobatan yang serupa, tapi mereka akan mendapatkan hasil yang berbeda. Satu diberikan sembuh, sementara yang lain tidak, bahkan ditakdirkan meninggal dunia.

Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu berada di tangan-Nya. Dia adalah sumber penyembuhan, sedangkan seorang dokter dan segala obat hanyalah perantara. Sebagaimana sabda Nabi SAW,

“Berobatlah kalian semua, dan janganlah kalian semua berobat dengan sesuatu yang haram.”

Beliau juga bersabda,

“Tidaklah Allah SWT menurunkan penyakit, melainkan juga menurunkan obatnya.”

Dengan demikian, kesembuhan yang sebenarnya hanya berasal dari Allah SWT. Kesembuhan ini tidak dapat diperoleh dari selain-Nya. Segala kesembuhan yang datang dari makhluk hanyalah perantara. Tindakan dokter dan obat-obatan merupakan perantara yang Allah SWT sediakan, tetapi penyembuh yang utama tetaplah Allah SWT.

Salah satu obat sebagai perantara yang Allah SWT ciptakan untuk kesembuhan manusia adalah madu, yang diambil dari hewan lebah. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nahl ayat 69,

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗۖ فِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ۝٦٩

Arab Latin: tsumma kulî ming kullits-tsamarâti faslukî subula rabbiki dzululâ, yakhruju mim buthûnihâ syarâbum mukhtalifun alwânuhû fîhi syifâ’ul lin-nâs, inna fî dzâlika la’âyatal liqaumiy yatafakkarûn

Artinya: “Kemudian, makanlah (wahai lebah) dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perutnya itu keluar minuman (madu) yang beraneka warnanya. Di dalamnya terdapat obat bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”

Asmaul Husna Asy-Syafi Sebagai Doa yang Dipanjatkan Rasulullah

Dalam kitab Riyadush Shalihin 2 Imam Nawawi, disebutkan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menggunakan kata-kata Asy-Syafi sebagai permohonan yang dipanjatkan untuk kesembuhan.

وَعَنْهَا: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَعُودُ بَعْضَ أَهْلِهِ يَمْسَحُ بِيدِهِ اليُمْنَى ، ويقولُ: (( اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ ، أَذْهِب البَأْسَ ، اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شِفَاءَ إِلَّا شفاؤك ، شِفَاءٌ لَا يُغَادِرُ سَقماً ))

Dari ‘Aisyah RA dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menjenguk beberapa keluarganya yang sakit. Beliau mengusapnya dengan tangan kanannya dan membaca ‘Allahumma rabban naasi adzhibil ba’sa isyfi antasy syafii laa syifaa illa syifaa’uka syifa’an laa yughādiru saqamaan’ (Ya Allah, Rabb manusia, singkirkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah ia, karena hanya Engkaulah yang bisa menyembuhkannya, tiada kesembuhan kecuali dari-Mu, kesembuhan yang tidak akan menyebabkan penyakit lagi).” (HR. Muttafaq ‘alaih)

Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW juga menggunakan kata Asy-Syafi untuk meruqyah sahabatnya.

وَعَنْ أَنَسٍ أَنَّهُ قَالَ لِثابِتِ رَحِمَهُ اللَّهُ: أَلَا أُرْقِيكَ بِرُقْيَةِ رَسُوْلُ اللَّهِ ؟ قَالَ: بَلَى ، قَالَ: (( اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ ، مُذْهِبَ البَأْسِ ، اشْفِ أَنْتَ الشافي ، لا شَافِيَ إِلَّا أَنْتَ ، شِفَاءٌ لَا يُغَادِرُ سَقماً ))

Dari Anas bin Malik, bahwasanya dia berkata kepada Tsabit, “Maukah kamu aku ruqyah dengan ruqyah Rasulullah?” Dia menjawab; “Tentu.”

Anas berkata, “Allahumma rabbanaasi mudzhibal ba’si isyfi anta syafii laa syafiyaa illa anta syifa’an laa yughādiru saqama” (Ya Allah Rabb manusia, Dzat Yang menghilangkan rasa sakit, sembuhkanlah, sesungguhnya Engkau Maha Penyembuh, tidak ada yang dapat menyembuhkan melainkan Engkau, yaitu kesembuhan yang tidak menyisakan rasa sakit).” (HR. Bukhari)

Begitu pun ketika sahabatnya, Sa’ad bin Abi Waqqash sakit, Rasulullah SAW memanjatkan doa dengan menyebutkan kata Asy-Syafi.

وَعَنْ سَعِدِ بْنِ أَبِي وَقَاصِ ، قَالَ: عَادَنِي رَسُوْلُ اللَّهِ ﷺ ، فَقَالَ: (( اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْداً ، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْداً ، اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْداً ))

Dari Sa’ad bin Abi Waqqasha dia berkata, “Rasululllah menjengukku, kemudian beliau berdoa, ‘Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad! Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad! Ya Allah, sembuhkanlah Sa’ad!'” (HR. Muslim).

(inf/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Abbad ibn Bisyr, Sahabat Rasulullah SAW Pemilik Tongkat Bercahaya



Jakarta

Abbad ibn Bisyr ibn Waqasy adalah sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar. Ia berasal dari suku Aus keturunan Bani Asyahli.

Merangkum buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi yang ditulis Muhammad Raji Hassan Kunnas dijelaskan Abbad memiliki dua nama panggilan, yaitu Abu Bisyr dan Abu al-Rabi.

Abbad termasuk sahabat setia Rasulullah SAW. Ia berada di barisan pertama dalam membela ajaran Islam. Abbad turut serta dalam Perang Badar, Perang Uhud, dan peperangan lainnya bersama Rasulullah SAW.


Abbad termasuk sahabat yang dicintai Rasulullah SAW.

Aisyah RA, pernah berkata tentang Abbad, “Ada tiga orang Anshar yang keutamaan mereka sebanding. Mereka semua dari Bani Abdul Asyhal, yaitu Sa’d ibn Muaz, Usaid ibn Hudhair, dan Abbad ibn Bisyr.” Itulah kesaksian Ummul Mukminin.

Peran Abbad dalam Perang Dzaturriqa

Diriwayatkan dari sahabatnya, Ibn Yasar dari Uqail ibn Jabir bahwa Jabir ibn Abdullah al-Anshari berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah dari tempat perlindungan kami di kebun kurma dalam Perang Dzaturriqa. Dalam perang itu, seorang wanita musyrik terkena lemparan anak panah dari pasukan muslim.”

Usai peperangan, dan setelah Rasulullah pulang ke markas, suami wanita musyrik itu datang dan melihat apa yang terjadi pada istrinya. Ia marah dan bersumpah akan membalas dendam hingga salah seorang sahabat Nabi SAW bersimbah darah. Diam-diam, ia mencari tahu di mana Nabi SAW menginap malam itu.

Saat Nabi SAW hendak masuk rumah, beliau bersabda, “Siapakah yang mau berjaga malam ini?”

Amar ibn Yasar dan Abbad ibn Bisyr bangkit dan berkata, “Kami (siap berjaga), wahai Rasulullah.”

Keduanya kemudian berjaga dekat gerbang Syi’ib. Saat itu Nabi SAW dan para sahabat menginap di Syi’ib, di sebuah lembah.

Ketika berjaga, Abbad bertanya kepada Amar, “Kau ingin aku berjaga di awal atau di akhir malam?”

Amar menjawab, “Kau berjaga di awal malam, dan aku di akhir malam.” Kemudian Amar berbaring dan tertidur pulas. Sementara Abbad mendirikan salat sunnah sambil berjaga.

Ketika itulah suami wanita musyrik itu datang. Ketika melihat Abbad yang sedang salat, lelaki itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung melepaskan panah ke arah Abbad dan tepat mengenai tubuhnya.

Meskipun tubuhnya dihantam anak panah, ia tetap mendirikan salat dan berusaha menyelesaikannya.

Lelaki itu kemudian kembali melemparkan panah. Dan Abbad tetap berdiri dalam salatnya. Untuk ketiga kalinya lelaki itu meluncurkan panah, dan Abbad mencabut panah yang tertancap di tubuhnya, lalu ia rukuk, lantas sujud. Baru setelah selesai salat Abbad membangunkan Ammar dan berkata, “Bangunlah, ada orang yang datang.”

Ammar terkejut ketika melihat suami wanita musyrik itu berada di dekat mereka. Ketika melihat mereka berdua, lelaki itu tahu, mereka menjadi benteng hidup bagi Muhammad dan menjadikan diri mereka sebagai penebus sumpahnya.

Amar kaget melihat sahabatnya Abbad berlumuran darah, “Subhanallah! Kenapa kau tidak membangunkanku saat pertama kali kau terkena panah?”

Abbad menjawab, “Aku sedang membaca salah satu surat dan aku tak mau memutuskan bacaanku sampai selesai. Saat beberapa anak panah menancap di tubuhku, aku pun menyelesaikan salat membangunkanmu. Demi Allah, jika tidak karena tugas berjaga yang diperintahkan Rasulullah, niscaya jiwaku sudah lepas dari raga sebelum aku memutuskan atau menyelesaikan bacaanku.”

Abbad tak pernah absen mengikuti peperangan bersama Rasulullah SAW sampai beliau wafat. Ia pernah mendengar beliau bersabda di depan kaum Anshar, “Wahai Anshar, kalian (bagaikan) pakaian dalam dan manusia bagaikan pakaian luar. Maka, jangan mengikuti orang-orang sebelum kalian.”

Pada saat itu, kaum Anshar ingin agar tidak ada lagi orang yang lari dari medan perang seperti yang terjadi saat Perang Uhud dan Hunain. Ucapan Rasulullah SAW itu menegaskan bahwa mereka adalah para penolong agama Allah dan RasulNya.

Janji setia yang pernah mereka ucapkan di Aqabah benar-benar mereka tunaikan. Sedikit pun tak terlintas dalam benak mereka keinginan meninggalkan Rasulullah sampai beliau wafat menghadap Allah SWT. Mereka teguh memegang janji yang pernah diucapkan meskipun beliau telah tiada.

Ketakwaan Abbad ibn Bisyr

Abbad membagi kehidupannya menjadi dua bagian, waktu malam ia gunakan untuk ibadah dan membaca Al-Quran, sedangkan siang harinya ia manfaatkan untuk berjihad melawan kaum kafir.

Kebiasaan Abbad membaca kalam Allah SWT setiap malam sangat menarik hati setiap orang yang mendengarnya. Pada suatu malam, saat ia menunaikan tahajud di Masjid Nabawi, suara bacaannya yang lembut terdengar hingga kamar Ummul Mukminin Aisyah RA. Saat itu Rasulullah SAW berada di sana.

Beliau bersabda kepada istrinya, “Ini suara Abbad ibn Bisyar.”

Aisyah menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.”

Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, ampunilah dia!” (menurut Ibn al-Atsir, “Ya Allah, kasihilah Abbad”).

Abbad ibn Bisyr Pemilik Tongkat Bercahaya

Dalam kitab Musnad Imam Ahmad, ada sebuah hadits yang diriwayatkan dari Bahz ibn Asad dari Hamad ibn Salamah dari Tsabit dari Anas bahwa Usaid ibn Hudhair dan Abbad ibn Bisyr menemani Rasulullah SAW pada suatu malam. Kemudian mereka keluar meninggalkan beliau.

Tiba-tiba tongkat salah seorang dari mereka memancarkan cahaya terang sehingga mereka dapat berjalan diterangi cahaya itu. Saat keduanya berpisah, tongkat mereka masing-masing mengeluarkan cahaya.

Suatu malam menjelang Perang Yamamah, Abbad bermimpi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Abbad ibn Bisyr berkata, “Hai Abu Said, aku bermimpi langit terbuka untukku, kemudian tertutup lagi. Aku menafsirkannya, insya Allah, sebagai kesyahidan.”

Abu Said berkata, “Demi Allah, sungguh baik mimpimu itu.”

Keesokan harinya Abbad bersama beberapa sahabat bergabung dalam pasukan Khalid ibn Walid untuk memerangi Musailamah al-Kazzab. Mimpi dan harapan Abbad menjadi kenyataan. Ia terbunuh sebagai syahid dalam peperangan itu. Sungguh mimpi orang bertakwa adalah kebenaran.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com