Tag Archives: umar bin khattab

Kisah Umar bin Khattab Bentak Malaikat Munkar-Nakir di Alam Barzakh


Jakarta

Umar bin Khattab RA adalah salah satu sahabat Nabi SAW yang dikenal setia dan pemberani. Salah satu kisah Umar bin Khattab RA yang menunjukkan keberaniannya adalah saat ia membentak malaikat.

Keberanian Umar RA tetap terlihat saat dia berhadapan dengan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur. Setiap individu yang meninggal akan mengalami fase alam kubur.

Di dalam alam ini, ada dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir yang memiliki tugas untuk mengajukan pertanyaan kepada individu yang meninggal.


Tugas Malaikat Munkar dan Nakir dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairah, di mana Rasulullah SAW bersabda,

إِذَا قُبِرَ الْمَيِّتُ أَوْ قَالَ أَحَدُكُمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ أَسْوَدَانِ أَزْرَقَانِ يُقَالُ لأَحَدِهِمَا الْمُنْكَرُ وَالآخَرُ النَّكِيرُ ، فَيَقُولَانِ : مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ ؟ فَيَقُولُ مَا كَانَ يَقُولُ

Artinya: “Apabila jenazah atau salah satu dari kalian dikubur, maka dua malaikat yang berwujud hitam dan biru, salah satunya bernama Munkar dan yang lain bernama Nakir, akan datang dan bertanya: ‘Apa pendapatmu tentang orang ini (Nabi Muhammad)?’ Lalu orang tersebut akan menjawab sebagaimana yang dia katakan di dunia…” (HR Tirmidzi)

Setiap orang yang beriman akan dengan mudah menjawab pertanyaan dari Malaikat Munkar dan Nakir. Namun, bagi orang yang berlaku zalim, mereka akan kesulitan menjawabnya. Wallahu a’lam.

Umar bin Khattab RA pun mendapatkan pertanyaan dari kedua malaikat tersebut. Namun, ia justru balik bertanya. Berikut kisah Umar bin Khattab RA membentak malaikat yang dikutip dari buku Akidah Akhlak Madrasah Ibtidaiyah tulisan Fida’ Abdillah dan Yusak Burhanudin.

Kisah Umar Membentak Malaikat

Suatu ketika Rasulullah SAW membicarakan Malaikat Munkar dan Nakir kepada para sahabat. Beliau menggambarkan bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan mendatangi seorang mayat di kuburan dalam bentuk yang menyeramkan; berkulit hitam, garang, keras, dengan sifat-sifat buruk dan menakutkan lainnya.

Setelah mendengar penjelasan Rasulullah SAW, Sayyidina Umar RA bertanya, “Ya Rasulullah, apakah di alam kubur nanti aku akan menjadi seperti sekarang ini?”

Rasulullah SAW menjawab, “Ya, engkau akan tetap dalam keadaan seperti sekarang.”

Mendengar itu, Sayyidina Umar RA dengan tegas menyatakan, “Demi Allah, aku akan melawan kedua malaikat itu!”

Menurut riwayat, setelah Sayyidina Umar bin Khattab RA meninggal dunia, putranya yang bernama Abdullah bermimpi bertemu dengannya. Dalam mimpinya, Abdullah menanyakan tentang keadaan ayahnya di alam kubur.

Umar menjelaskan bahwa dia didatangi oleh dua malaikat. Malaikat-malaikat tersebut bertanya kepadanya, “Siapakah Tuhanmu? Siapakah nabimu?” Umar menjawab dengan tegas, “Tuhan saya adalah Allah dan nabiku adalah Muhammad.” Lalu Umar pun bertanya kepada kedua malaikat, “Siapakah Tuhan kalian berdua?” Mendengar pertanyaan itu, kedua malaikat saling pandang. Salah satu dari mereka berkata, “Ini adalah Umar bin Khattab.”

Setelah itu, kedua malaikat itu pergi meninggalkannya.

Wallahu a’lam.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Utsman bin Affan sebagai Khalifah, Menggantikan Umar bin Khattab



Jakarta

Utsman bin Affan adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam golongan Assabiqunal Awwalun. Ia dikenal sebagai sosok yang sangat cerdas dan dermawan.

Utsman berasal dari keluarga suku Quraisy Bani Umayyah dan hidup di tengah-tengah masyarakat jahiliyah. Mengutip dari buku Biografi Utsman bin Affan susunan Prof Dr Ali Muhammad Ash-Shallabi, Utsman bin Affan merupakan laki-laki keempat yang memeluk Islam setelah Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah.

Perbedaan usia Utsman dan Rasulullah SAW hanya terpaut 6 tahun lebih muda. Beliau juga merupakan khalifah ketiga sesudah masa kepemimpinan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.


Menurut buku Kitab Sejarah Lengkap Khulafaur Rasyidin tulisan Ibnu Katsir, kala itu Umar bin Khattab menetapkan perkara pengangkatan khalifah di bawah Majelis Syura yang anggotanya berjumlah 6 orang. Mereka terdiri atas Utsman bin Affan, Ali bin Abi thalib, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash serta Abdurrahman bin Auf.

Umar merasa sangat berat menentukan salah seorang di antara mereka yang menjadi khalifah setelahnya. Ia berkata,

“Aku tidak sanggup untuk bertanggung jawab tentang perkara ini, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati. Jika Allah menghendaki kebaikan terhadap kalian maka Dia akan membuat kalian bersepakat untuk menunjuk seorang yang terbaik di antara kalian sebagaimana telah membuat kalian sepakat atas penunjukan orang yang terbaik setelah nabi kalian,”

Akhirnya dilakukan musyawarah usai Umar bin Khattab wafat. Terpilihlah tiga kandidat, yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.

Dari keenam anggota Majelis Syura, tidak ada satu pun yang mengajukan diri untuk dibaiat. Begitu pun dengan Ali dan Utsman, sehingga musyawarah ditunda.

Kemudian, di hari kedua Abdurrahman bin Auf berkeliling Madinah untuk menjumpai para sahabat. Ia meminta pendapat kepada mereka.

Di malam hari ketiganya, Abdurrahman bin Auf memanggil Zubair bin al-Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash, mereka lalu bermusyawarah. Abdurrahman memandang Ali dan membacakan syahdatain sambil berkata memegang tangannya,

“Engkau punya hubungan dekat dengan Rasulullah, dan sebagaimana diketahui engkau pun lebih dulu masuk Islam. Demi Allah, jika aku memilihmu engkau harus berbuat adil. Dan jika aku memilih Utsman, engkau harus patuh dan taat. Wahai Ali, aku telah berkeliling menghimpun pendapat dari berbagai kalangan dan ternyata mereka lebih memilih Utsman. Aku berharap engkau menerima ketetapan ini,”

Ali bin Abi Thalib lantas menjadi orang kedua yang berkata sama kepada Utsman untuk membaiatnya sebagai khalifah menggantikan Umar bin Khattab. Kala itu, kaum muslimin yang hadir serempak membaiat Utsman sebagai khalifah.

Utsman diangkat menjadi khalifah ketiga dan disebut sebagai yang tertua. Pada saat pembaiatan, ia berusia 70 tahun.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah Pertama



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq RA merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang termasuk ke dalam Assabiqunal Awwalun. Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi.

Menukil dari Tarikh Khulafa tulisan Ibrahim Al-Quraibi, Abu Bakar RA disebut sebagai orang pertama yang masuk Islam. Diriwayatkan Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra dari Asma’ binti Abu Bakar yang menuturkan,

“Ayahku masuk Islam, sebagai muslim pertama. Dan demi Allah aku tidak mengingat tentang ayahku kecuali ia telah memeluk agama ini,”


Sepeninggalan Rasulullah SAW, Abu Bakar RA ditunjuk sebagai khalifah. Menurut buku Pengantar Studi Islam susunan Shofiyun Nahidloh, S Ag, M H I, Abu Bakar RA menerima jabatan sebagai khalifah pada saat Islam dalam keadaan krisis dan gawat.

Kala itu, muncul berbagai perpecahan, adanya para nabi palsu, serta terjadinya berbagai pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah berdasarkan keputusan bersama balai Tsaqidah Bani Sa’idah.

Keputusan terkait pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat dikarenakan beberapa hal, antara lain sebagai berikut:

  • Dekat dengan Rasulullah SAW baik dari ilmunya maupun persahabatannya
  • Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah SAW
  • Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As-Siddiq atau orang yang sangat dipercaya
  • Seorang yang dermawan
  • Abu Bakar RA merupakan sahabat yang diperintah oleh Rasulullah SAW untuk menjadi imam salat jamaah
  • Abu Bakar RA ialah seseorang yang pertama memeluk agama Islam

Abu Bakar RA menjabat sebagai khalifah pada tahun 632-634 Masehi. Usai wafatnya Rasulullah SAW, pengangkatan Abu Bakar RA dilakukan dengan persiaran Umar bin Khattab RA dalam sebuah pertemuan di Safiqah melalui musyawarah yang disetujui oleh para tokoh kabilah dan suku lain.

Pada saat itu, pemilihan Abu Bakar RA sebagai khalifah terkesan mendadak karena kondisi dan situasi cukup genting bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan. Di sela-sela ketegangan itu, kaum Anshar menyarankan harus ada dua kelompok untuk menjadi khalifah.

Hal tersebut berarti sama seperti perpecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan segala risiko, Abu Bakar RA tampil ke depan dan berkata, “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih di antara kedua orang ini,”

Suasana di Safiqah masih belum kondusif, kemudian Umar bin Khattab RA berbicara untuk mendukung Abu Bakar RA dan mengangkat setia kepadanya. Umar bin Khattab RA tidak memerlukan waktu yang lama untuk meyakinkan kaum Anshar dan yang lain bahwa Abu Bakar RA adalah orang yang tepat di Madinah untuk menjadi penerus setelah Nabi Muhammad SAW wafat.

Lalu, musyawarah secara bulat menentukan bahwa Abu Bakar RA-lah yang akan menjadi khalifah dengan gelar Amirul Mu’minin. Pertemuan tersebut merupakan sebuah implementasi dari sebuah politik dengan semangat musyawarah.

(aeb/rah)



Sumber : www.detik.com

Kisah Ibu Pemasak Batu pada Masa Khalifah Umar bin Khattab



Jakarta

Ada sebuah kisah menarik mengenai seorang ibu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Kala itu, beliau dikenal sebagai pemimpin yang adil dan sangat peduli pada rakyatnya.

Dikisahkan dalam buku Kisah dan Hikmah susunan Dhurorudin Mashad, ketika malam menjelang dini hari Umar bin Khattab melakukan kebiasaan rutinnya yaitu berjalan bersama sang pengawal untuk melihat kondisi rakyat. Sesampainya di dusun kecil terpencil, terdengar suara tangis anak kecil.

Tangisan anak kecil ini memilukan hati Umar. Akhirnya, ia mencari sumber suara tangis yang ternyata berasal dari rumah gubuk sederhana. Bangunan itu terbuat dari kulit kayu, di dalamnya ada seorang ibu yang tengah duduk di depan tungku seperti sedang memasak. Sang ibu sesekali mengaduk panci seraya membujuk anaknya untuk tidur.


“Diamlah wahai anakku. Tidurlah kamu sesaat, sambil menunggu bubur segera masak,” katanya.

Akhirnya sang anak tertidur. Namun tak lama setelahnya ia kembali terbangun dan menangis lagi. Kejadian ini terus berulang sampai akhirnya memancing Umar untuk mengecek apa yang sebenarnya dikerjakan oleh ibu tersebut.

Perlahan Umar mendekat, ia mengetuk pelan sambil mengucap salam. Tak ingin identitasnya diketahui, Umar bertamu dalam keadaan menyamar.

Setelah pintu dibuka, Umar menanyakan terkait apa yang dimasak ibu tersebut dan apa yang menyebabkan putranya menangis terus-menerus.

Dengan sedih, sang ibu menceritakan keadaannya. Ia menyebut anaknya menangis karena lapar padahal ia tak punya makanan apapun di rumah.

Ibu itu juga mengatakan bahwa yang dimasaknya adalah sebongkah batu untuk menghibur si anak. Ini dilakukan seolah-olah ia tengah memasak membuat makanan. Selain itu, ibu tersebut bahkan sempat mengumpat kesal terhadap sang pemimpin pada masa itu yang mana Umar bin Khattab sendiri.

“Celakalah Amirul Mu’minin ibnu Khattab yang membiarkan rakyatnya kelaparan,”

Mendengar hal itu, Umar lalu pergi dan menangis memohon ampun kepada Allah SWT. Ia merasa menjadi pemimpin yang teledor sampai-sampai tidak tahu ada rakyatnya yang kesusahan.

Tanpa berpikir panjang, Umar bin Khattab pulang dan mengambil sekarung gandum. Dibawanya seorang diri karung gandum itu di punggungnya sambil menuju ke rumah ibu yang memasak batu.

Melihat hal itu, pengawal Umar menawarkan diri untuk membantu. Sayangnya, Umar justru menolak.

“Apakah kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya, karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti,” kata Umar yang terus membawa karung gandum tersebut.

Sesampainya di rumah ibu tersebut, Umar langsung memasakkan sebagian gandum untuk dijadikan makanan. Setelah matang, ibu dan anak itu dipersilakan makan hingga kenyang.

Setelah selesai, Umar segera pamit ke ibu dan anak itu. Ia juga berpesan agar esoknya anak dan ibu tersebut datang ke Baitul Mal menemui Umar untuk mendapat jatah makan dari negara.

Sang ibu mengucapkan terima kasih sambil berkata, “Engkau lebih baik dibanding Khalifah Umar,” ucapnya.

Keesokan harinya, sang ibu datang ke Baitul Mal untuk meminta jatah tunjangan pangan bagi diri dan anaknya. Umar menyambut dengan senyum bahagia.

Saat ibu itu menyadari bahwa orang yang membantunya di malam buta adalah Umar sang Amirul Mu’minin, ia langsung terkejut. Umar menyambut si ibu sambil mendekat dan menyampaikan permohonan maafnya.

Beliau tidak sungkan menyampaikan permohonan maafnya sebagai seorang pemimpin.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Ummu Kultsum yang Bantu Perempuan Melahirkan



Jakarta

Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Umar menjadi khalifah kedua dari empat Khulafaur Rasyidin.

Di masa kepemimpinannya, Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang hebat, adil dan bijaksana. Banyak kisah kebaikan yang dilakukan kepada orang-orang di bawah kepemimpinannya.

Mengutip buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, dikisahkan pada suatu malam, Amirul Mukminin Umar bin Khattab melakukan kebiasaannya berjalan di tengah malam melihat langsung kondisi rakyatnya.


Ia kemudian penasaran melihat sebuah tenda baru yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Dalam tenda tersebut terdengar
suara perempuan sedang merintih sehingga mengundang tanya Sang Khalifah.

Lalu dipanggil penghuni tenda tersebut dan keluarlah seorang laki-laki dan terjadilah percakapan.

Umar: “Siapakah engkau?”

Laki-laki: “Aku seorang pria pedesaan yang datang ke kota mencari keadilan Umar sang Amirul Mukminin yang terkenal sangat mengayomi rakyatnya dan mementingkan kebutuhan rakyat.”

Umar: “Lantas suara apa rintihan itu?”

Laki-laki: “Itu istriku yang sedang kesakitan hendak melahirkan.”

Umar: “Apakah di sampingnya ada orang yang merawat dan membantu melahirkan?”

Laki-laki:”Tidak ada selain aku sendiri.”

Umar: “Apakah kamu punya bekal untuk dimakan?”

Sang laki-laki hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.

Umar: “Tunggu di sini, aku akan kembali membawa makanan dan orang yang membantunya melahirkan.”

Kemudian Umar bergegas pulang dan segera menemui istrinya Ummu Kultsum bin Abi Thalib

Umar: “Apakah engkau dalam kondisi sehat?”

Ummu kultsum: “Kenapa engkau bertanya begitu?”

Umar: “Di ujung kota tergeletak perempuan miskin yang sedang kesakitan di tendanya karena hendak melahirkan tanpa ditemani seorang yang ahli dalam membantu
melahirkan. Dapatkah engkau membantunya dan menyiapkan apa yang dia butuhkan?”

Ummu Kultsum: “Tentu!”

Lalu Umar segera menuju tenda tersebut bersama istrinya seraya ia pikul makanan yang diambil dari rumahnya. Sang istri masuk ke dalam tenda membantu persalinan dan Umar mempersiapkan makanan dengan tangannya sendiri ditemani sang laki-laki di luar tenda.

Dengan berharap cemas, terdengarlah suara dari Ummu Kultsum.

Ummu Kultsum: “Wahai Amirul Mukminin, Allah SWT telah mengaruniai seorang anak dan ibunya dalam kondisi baik”.

Mendengar kata-kata Ummu Kultsum, sang laki-laki segera memalingkan diri ditemani rasa tidak percaya bahwa orang yang telah membantunya adalah Umar bin Khattab sang Amirul Mukminin.

Melihat tingkah sang laki-laki, Umar pun tertawa dan memanggilnya.

Umar: “Mendekatlah!”. Memang benar aku adalah Umar bin Khattab, Amirul Mukminin dan yang di dalam tenda adalah istriku Ummu Kultsum putri Ali Bin Abi Thalib

Laki-laki: “Keluarga Nabi membantu persalinan istriku. Sementara Amirul Mukminin yang memasak untukku dan istriku,” ia berkata sembari menjatuhkan dirinya dan menangis terharu.

Umar: “Ambillah makanan ini, aku akan kembali dengan membawa makanan lainnya untukmu.”

Sebagai sosok pemimpin Umar bin Khattab bukan hanya dikenal bijaksana dan adil. Ia juga adalah pribadi yang sederhana dan selalu mementingkan rakyatnya.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Umar bin Khattab dan Kebijakan Subsidi Makanan bagi Rakyatnya



Jakarta

Umar bin Khattab merupakan salah satu sahabat Rasulullah SAW yang kemudian menjadi khalifah kedua. Di masa kepemimpinannya, Umar dikenal sebagai sosok yang bijaksana.

Rasulullah SAW memberikan julukan Abu Faiz bagi Umar bin Khattab. Julukan ini disematkan karena kecerdasan Umar dalam mengatur pemerintahan dan strategi perang. Umar memang lihai dalam mengatur sistem pemerintahan, termasuk mengambil kebijakan untuk memberikan subsidi makanan bagi rakyatnya.

Dirangkum dari buku Kisah-Kisah Inspiratif Sahabat Nabi oleh Muhammad Nasrulloh, dikisahkan bahwa Umar memberikan subsidi makanan bagi anak-anak yang telah disapih. Ternyata kebijakan ini disalahartikan oleh beberapa orang.


Suatu malam tiba, Umar bin khattab mendapati kafilah dagang yang sedang singgah di salah satu tempat di kota Madinah. la mendapati Abdurrahman bin ‘Auf sedang bersama mereka. Umar pun berkata pada Abdurrahman bin ‘Auf yang juga merupakan sahabat Rasulullah SAW ini.

“Apakah engkau sedang menemani dan menjaga mereka?” tanya Umar.

Abdurrahman bin ‘Auf: “Benar!”

Umar: “Kalau begitu aku bantu menemanimu terjaga untuk menjaga mereka”.

Di tengah malam, Umar mendengar isak tangis anak kecil, kemudian ia mencari sumber suara dari mana asal tangisan tersebut. Umar akhirnya mengetahui bahwa anak itu tengah bersama ibunya.

Umar pun mengingatkan ibu tersebut: “Berbuat baiklah pada buah hatimu”. Kemudian Umar mendengar lagi isak tangis anak kecil tersebut dan kembali memperingatkan si ibu untuk berlaku baik pada anaknya.

Hingga di penghujung malam, Umar mendengar kembali isak tangis anak kecil tersebut lalu ia berkata pada ibunya.

“Celaka engkau! Sungguh engkau ibu yang buruk! Tidak henti-hentinya aku melihat dan mendengar putramu menangis sejak malam tadi”.

Ibu: “Wahai tuan, aku sudah berusaha memberinya makan. Namun ia tidak mau.”

Ibu ini tidak mengetahui kalau lawan bicaranya adalah Amirul Mukminin Umar bin Khattab.

Umar: “Kenapa engkau paksa ia makan?”

Ibu: “Karena Umar tidak memberi subsidi makanan kecuali hanya bagi anak yang telah disapih”.

Umar: “Berapa usia anakmu?”

Ibu: “Masih beberapa bulan”

Umar: “Celaka engkau. Jangan tergesa-gesa menyapihnya!”

Dari pengalaman ini, Umar kemudian sadar bahwa kebijakannya memberi subsidi dengan membagikan makanan hanya kepada anak yang telah disapih telah membuat banyak ibu-ibu mempercepat menyapih bayinya. Tujuan tidak lain yakni agar para ibu mendapatkan makanan dari pemerintah.

Menyadari bahwa dirinya telah melakukan kesalahan, ia pun berkata pada dirinya sendiri: “Buruk sekali engkau Umar. Sudah berapa anak yang telah engkau sengsarakan?”

Umar lalu membuat kebijakan baru agar setiap orang tidak tergesa-gesa menyapih anaknya. Dan subsidi makanan kemudian diberikan kepada setiap anak yang lahir tanpa menunggu disapih.

Dikutip dari buku ‘Umar Ibn Al-Khattab His Life and Times Vol. 1, kekeringan dan kelaparan parah juga sempat terjadi pada tahun ke 18 setelah hijrah. Tahun ini disebut Ar-Ramadah karena angin menerbangkan debu seperti abu atau Ar-Ramad.

Bencana ini mengakibatkan kematian hingga hewan-hewan ikut merasakan dampaknya. Bencana alam ini terjadi pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab.

Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, Umar memastikan agar rakyatnya tidak ada yang kesulitan mendapatkan makanan. Ia bahkan tak segan untuk turun langsung dan membagikan makanan.

Kebijakan memberikan makanan bagi rakyatnya bukan satu atau dua kali dilakukan Umar tetapi menjadi kegiatan yang rutin.

(dvs/erd)



Sumber : www.detik.com

Sosok Zaid bin Tsabit, Sahabat Nabi SAW yang Menghimpun Mushaf Al-Qur’an



Jakarta

Zaid bin Tsabit adalah salah satu sahabat Nabi SAW. Sebagai sosok yang dikenal cerdas, Zaid pernah mempelajari bahasa Ibrani dan menguasainya hanya dalam waktu singkat.

Dikisahkan dalam buku Sosok Para Sahabat Nabi susunan Dr Abdurrahman Raf’at Al-Basya dan Abdulkadir Mahdamy, kecerdasan dan kejujuran yang dimiliki Zaid menjadikan dirinya sebagai penulis wahyu Nabi Muhammad SAW. Berkat jasa Zaid, kini umat Islam dapat membaca Al-Qur’an secara utuh.

Menukil buku Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas X tulisan H Abu Achmadi dan Sungarso, pemilik nama lengkap Zaid bin Tsabit an-Najjari al-Anshari lahir pada 612 M. Dirinya merupakan keturunan Bani Kazraj yang mulai menetap bersama Nabi SAW ketika beliau hijrah ke Madinah.


Zaid bin Tsabit berhasil meriwayatkan 92 hadits yang 5 di antaranya disepakati bersama Imam Bukhari dan Muslim. Bukhari juga meriwayatkan 4 hadits lainnya yang bersumber dari Zaid, sementara Muslim meriwayatkan 1 hadits lain dari Zaid, seperti dikutip dari buku Akidah Akhlak Madrasah Tsanawiyah karya Harjan Syuhada dan Fida’ Abdillah.

Zaid bin Tsabit diangkat sebagai ulama di Madinah pada bidang fikih, fatwa, dan faraidh atau waris. Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Zaid diangkat menjadi bendahara.

Sementara itu, pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, Zaid ditugaskan sebagai pengurus Baitul Maal. Bahkan, Umar dan Utsman melantik Zaid sebagai pemegang jabatan khalifah sementara ketika mereka menunaikan ibadah haji.

Dikutip dari buku Ikhtisar Tarikh Tasyri’ oleh Dr H Abdul Majid Khon MAg, perang yang pertama diikuti oleh Zaid bin Tsabit adalah perang Khandaq. Sedangkan pada Perang Tabuk, dirinya dipercaya oleh Nabi SAW untuk membawa bendera bani Malik bin Najjar yang dipegang oleh Imarah bin Hazm.

Imarah lalu bertanya kepada Rasulullah, “Apakah sampai kepada engkau tentang aku?”

Nabi SAW menjawab,

“Tidak, tetapi Al-Qur’an didahulukan dan Zaid lebih banyak mengambilnya daripada kamu.” (HR Al Hakim dalam Al-Mustadrak)

Dalam riwayat lainnya, Nabi SAW bahkan menyebut Zaid bin Tsabit sebagai orang yang paling alim. Berikut bunyi sabdanya,

“Orang yang paling alim ilmu faraidh di antara kamu adalah Zaid bin Tsabit.” (HR Ahmad)

Ridha Anwar dalam buku Seri Sahabat Rasulullah: Zaid bin Tsabit menyebut bahwa Zaid memiliki tulisan yang indah. Dengan kemampuan Zaid yang cerdas dan hebat itu, Nabi SAW bisa mengirim surat perjanjian kepada para pemuka kaum Yahudi dengan menggunakan bahasa mereka.

Bahkan ketekunan Zaid dalam mencatat dan mengumpulkan wahyu Nabi SAW ia susun dengan rapi. Catatan itu Zaid tulis di pelepah daun kurma, kulit hewan, atau pun tulang hewan.

Selepas Nabi Muhammad meninggal dunia, para penghafal Al-Qur’an satu per satu gugur di medan perang. Umar bin KHattab kala itu khawatir Al-Qur’an akan hilang bersama para penghafalnya.

Akhirnya, ia mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk menghimpun. Mereka sepakat mengumpulkan lembaran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf dan mengutus Zaid untuk melaksanakan tugas tersebut.

Zaid mendatangi para penghafal Al-Qur’an yang masih hidup. Dengan cermat, ia mencocokkan catatan dan hafalan mereka hingga akhirnya terciptalah mushaf Al-Qur’an yang dapat dibaca oleh umat Islam. Begitu besar jasa Zaid bin Tsabit bagi kaum muslimin.

(aeb/nwk)



Sumber : www.detik.com

Saat Umar Menangis Lihat Nabi Tidur Hanya Beralaskan Tikar



Jakarta

Sahabat nabi, Umar bin Khattab RA, pernah sampai menangis karena melihat kesederhanaan Rasulullah SAW. Hal ini diceritakan dalam salah satu riwayat hadits dari Anas bin Malik RA.

Dikutip dari Ibnul Jauzi dalam Al-Wafa, Anas RA bercerita, saat itu Rasulullah SAW tengah tiduran hanya beralaskan tikar dan mengenakan selimut. Bantal yang digunakan sebagai penyangga kepalanya terbuat dari kulit yang diisi serabut.

Seorang sahabat kemudian turut masuk ke kamar Rasulullah SAW, berikut dengan Umar bin Khattab RA.


Saat itulah, Rasulullah SAW membalikkan badannya sehingga Umar bin Khattab RAmelihat pakaian Rasulullah SAW tersingkap pada bagian punggungnya. Umar bin Khattab RA melihat ada bekas-bekas pada punggung beliau karena alas tidurnya yang terlalu keras. Setelahnya, Umar bin Khattab RA menangis.

Rasulullah SAW yang melihat itu pun bertanya pada Umar bin Khattab RA, “Apa yang membuatmu menangis?”

Umar bin Khattab RA menjawab, “Demi Allah, saya menangis setelah mengetahui bahwa engkau lebih mulia dari raja-raja dan kaisar. Mereka hidup sesuai dengan kemauannya di dunia (mewah dan kaya),”

“Sementara engkau adalah Rasulullah SAW (utusan Allah). Seperti yang saya lihat, engkau tidur di tempat yang seperti ini (sangat sederhana),” lanjut Umar bin Khattab.

Setelahnya, Rasulullah SAW bertanya lagi, “Bukankah kamu suka kalau mereka mendapat kesenangan dunia sementara kita mendapat kesenangan akhirat?”

Umar bin Khattab menjawab lagi, “Tentu, wahai rasul.”

“Memang demikianlah adanya,” kata Rasulullah SAW. (HR Ahmad)

Tidak hanya tempat tidurnya, kesederhanaan Rasulullah SAW juga tampak pada seluruh perabotan rumah tangga yang dimilikinya. Salah satunya yang diceritakan oleh Abu Rifa’ah tentang kursi di rumah Rasulullah SAW.

“Saya mendatangi Rasulullah SAW, beliau duduk di atas kursi yang terbuat dari serabut, yang kakinya terbuat dari besi.”

Alas karpet yang dimiliki Rasulullah SAW terbuat dari kulit yang diisi serabut. Kondisinya bahkan sudah usang hingga membuat salah seorang kaum Anshar membawakan permadani berisi wol untuk beliau.

Namun, Rasulullah SAW menolak pemberikan permadani tersebut dan meminta Aisyah RA untuk mengembalikannya. Aisyah RA awalnya sempat menolak, namun Rasulullah SAW mengulangi perintahnya sampai tiga kali dan berkata,

“Wahai Aisyah, demi Allah, kalau aku mau, niscaya Allah akan memberikan gunung emas dan gunung perak kepadaku.” Aisyah pun mengembalikan permadani tersebut. (HR Al Baihaqi)

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Khalifah Umar bin Khattab yang Jarang Tidur Demi Hajat Rakyatnya



Jakarta

Semasa menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab terkenal sebagai pemimpin yang rajin beribadah demi hajatnya. Bahkan dirinya jarang terlelap baik di siang maupun malam hari.

Mengutip buku Kisah Hidup Umar ibn Khattab susunan Mustafa Murrad, pada suatu hari Mu’awiyah bin Khudayj mendatangi Umar saat waktu Zuhur. Beliau lalu berkata kepadanya,

“Sungguh celaka ucapanku, atau sungguh celaka prasangkaku. Jika aku tidur siang hari, aku telah menyia-nyiakan amanat rakyatku. Jika aku tidur malam hari, aku telah menyia-nyiakan kesempatanku dengan Tuhanku. Bagaimana aku bisa tidur di kedua waktu ini, wahai Mu’awiyah?”


Mu’awiyah bin Khudayj merupakan seorang Jenderal Suku Kindah. Melihat keadaan Umar yang sangat kelelahan dan mengantuk ketika duduk, ia lantas bertanya dengan nada iba.

“Tidakkah kau tidur, wahai Amirul Mukminin?”

Umar kembali menjawab dengan pertanyaan yang sama, “Bagaimana mungkin aku bisa memejamkan mataku? Jika aku tidur di waktu malam, aku akan menyia-nyiakan kesempatanku dengan Allah,”

Bukan hanya Mu’awiyah yang menjadi saksi seberapa sayang Umar bin Khattab terhadap rakyatnya. Seorang sahabat Nabi SAW yang namanya tidak dapat disebutkan juga menceritakan hal yang sama.

“Umar bin Khattab adalah tetangga terdekatku. Aku tidak pernah mempunyai tetangga dan orang-orang di sekitarku sebaik Umar. Malam-malam Umar adalah salat dan siang harinya adalah puasa demi hajat rakyatnya,”

Umar bin Khattab juga merelakan waktu tidurnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dikisahkan bahwa Umar pernah meminta istrinya untuk menyiapkan bejana air pada suatu malam.

Bejana berisi air itu ternyata bertujuan untuk membuatnya tetap terjaga demi berdzikir sepanjang malam.

“Selepas salat Isya, Umar menyuruhku (istri Umar) meletakkan bejana berisi air di samping kepalanya. Ketika terjaga, ia akan mencelupkan tangannya ke dalam air, lalu mengusap wajah dan kedua tangannya untuk kemudian berzikir sampai ia terkantuk dan tertidur lagi. Lalu Umar terjaga lagi, sampai tiba waktu ia benar-benar terbangun,” bunyi keterangan dari buku Kisah Hidup Umar ibn Khattab.

Umar bin Khattab menjadi khalifah pada tahun 634 M menggantikan Abu Bakar. Rasulullah SAW memberinya julukan Al-Faruq (sang pembeda) atau berarti sebagai orang yang mampu membedakan antara yang haq (kebenaran) dan yang bathil (kesesatan). Selain itu, Umar juga menjadi orang pertama yang digelari dengan Amir al-Mu’minin (pemimpin orang beriman).

Sebelum mengucapkan dua kalimat syahadat, Umar bin Khattab dikenal sebagai musuh umat Islam yang ditakuti. Namun, setelah masuk Islam, Umar mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi dakwah Rasulullah hingga menjadi orang terpercaya sekaligus penasihat Rasulullah SAW.

(aeb/erd)



Sumber : www.detik.com

Tempat Umar bin Khattab Nyatakan Keislamannya di Hadapan Rasulullah



Jakarta

Umar bin Khattab RA merupakan sahabat Nabi SAW yang menjadi Khulafaur Rasyidin kedua. Dulunya ia sangat menentang nabi, namun kemudian menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW.

Umar bin Khattab RA menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah SAW di rumah Arqam bin Abi al-Arqam. Allah SWT membalikkan hatinya yang semula sangat membenci Islam, menjadi sahabat Nabi SAW yang berjihad melawan kekafiran bersama beliau.

Umar bin Khattab RA tentu pernah melalui masa-masa jahiliah sebelum menjadi orang mukmin. Kisah jahiliahnya diulas dalam buku Jejak Langkah Umar bin Khattab oleh Abdul Rohim.


Masa Jahiliyah Umar bin Khattab RA

Umar bin Khattab RA adalah seorang mantan orang yang jahil (kafir). Masa kecilnya ia habiskan dengan melakukan adat masyarakat Quraisy yang tidak beradab dan penuh kesesatan.

Sejak kecil ia menjadi penggembala kambing dan unta. Hal tersebut memunculkan sikap luhur yang dimilikinya, seperti bertanggung jawab, tegar, dan berani menghadapi sesuatu.

Masa mudanya ia juga terkenal terampil dalam berbagai olahraga seperti gulat dan berkuda. Ia juga merupakan seseorang yang cerdas yang ahli dalam menciptakan syair dan mendendangkannya.

Ketika dewasa, dirinya menjadi orang yang penting bagi masyarakat Quraisy. Ia sangat mencintai masyarakatnya dan siapa pun yang mengganggu mereka, dia akan menjadi tokoh terdepan dalam membela dan mempertahankan masyarakatnya. Termasuk dakwah Nabi Muhammad SAW.

Ia sangat membenci Rasulullah SAW dan ajarannya karena ia menganggap hal ini memecah belah masyarakat Quraisy yang menurutnya sudah baik.

Umar bin Khattab RA sering menyiksa para pengikut Nabi Muhammad SAW dengan kejam. Ia tak segan-segan untuk memukul wanita, hamba sahaya, dan bahkan membuat rencana pembunuhan untuk Rasulullah SAW.

Bagi umat Islam, Umar bin Khattab RA adalah sebuah ancaman yang besar dan sangat menakutkan. Sehingga Nabi Muhammad SAW pun berdoa kepada Allah SWT untuk mengokohkan Islam dengan melunakkan hati salah satu dari dua ancaman besar untuk kaum muslim, Abu Jahal dan Umar bin Khattab RA.

Awal Mula Benih Islam Masuk ke Hati Umar bin Khattab RA

Dikisahkan dalam buku Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad SAW: Memahami Kemuliaan Rasulullah Berdasarkan Tafsir Mukjizat Al-Qur’an oleh Yoli, suatu malam, Umar bin Khattab RA keluar rumah dan pergi menuju Ka’bah. Saat itu Nabi SAW tengah salat dan membaca surah al-Haqqah.

Peristiwa ini menjadi awal mula bergetarnya hati Umar bin Khattab RA karena prasangka buruknya langsung dijawab dengan ayat-ayat yang tengah dibaca oleh Nabi SAW.

Umar RA berkata, “Demi Allah! Ini (benar) adalah (ucapan) tukang syair sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Quraisy!”

Rasulullah SAW membaca surah Al-Haqqah ayat 40-41 dalam salatnya,

اِنَّهٗ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ ٤٠ وَّمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍۗ قَلِيْلًا مَّا تُؤْمِنُوْنَۙ ٤١

Artinya: “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman (kepadanya).”

Umar RA lalu berkata pada dirinya, “Ini adalah (ucapan) tukang tenung.”

Lalu Nabi SAW meneruskan bacaannya pada surah Al-Haqqah ayat 42-43,

وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍۗ قَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ ٤٢ تَنْزِيْلٌ مِّنْ رَّبِّ الْعٰلَمِيْنَ ٤٣

Artinya: “(Al-Qur’an) bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran (darinya). (Al-Qur’an itu) diturunkan dari Tuhan semesta alam.”

Selanjutnya kisah Umar bin Khattab menyatakan keislamannya di rumah Arqam>>>

Umar bin Khattab RA Menyatakan Keislamannya di Rumah Arqam

Umar bin Khattab RA merasa sangat marah atas kehadiran Nabi Muhammad SAW yang menurutnya memecah belah kaum Quraisy. Ia lantas memutuskan untuk membunuh Nabi SAW agar keadaan Makkah kembali seperti semula dalam kejahilan.

Umar RA sudah siap dengan pedangnya hendak menuju rumah Arqam bin Abi al-Arqam untuk membunuh Rasulullah SAW. Namun dalam perjalanannya ia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah an-Nahham al-‘Adawiy.

Orang tersebut bertanya tujuan perginya. Ia pun menyatakan kepada Umar RA bahwa saudara perempuan dan suaminya telah memeluk Islam. Umar RA pun langsung mendatangi keduanya.

Ternyata di dalam rumah itu, keduanya sedang dibacakan shahifah (lembaran Al-Qur’an) oleh Khabbab bin al-Arat.

Umar RA berkata, “Tampaknya kalian berdua sudah menjadi penganut ash-Shabiah (Islam).”

Iparnya berkata, “Wahai Umar! Bagaimana pendapatmu jika kebenaran itu berada pada selain agamamu?”

Umar RA langsung marah dan menginjak-injak iparnya itu. Tak cukup sampai di situ, ketika adiknya mencoba membela agamanya, Umar RA pun tega untuk memukul adiknya hingga memar/berdarah.

Adiknya berkata, “Wahai Umar! Jika kebenaran ada padaselain agamamu, maka bersaksilah bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bersaksilah bahwa Muhammad adalah Rasulullah.”

Umar RA merasa bersalah dan malu setelah menampar adiknya tersebut. Lantas ia meminta untuk diberikan shahifah (lembaran-lembaran Al-Qur’an) tersebut, namun ditolak oleh adiknya karena Umar RA masih najis.

Setelah mandi, ia kembali memegang shahifah tersebut dan membaca surah Thaha ayat 14,

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Artinya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku.”

Maka hati Umar bin Khattab RA pun bergetar. Ia lalu meminta untuk diantar ke hadapan Nabi SAW.

Setelah tiba di rumah Arqam bin Abi al-Arqam, ia mengetuk pintu dan dari celah-celah pintu itu ada seorang penjaga yang mengintip dan melihat dirinya menghunus pedang.

Rasulullah SAW mendapat laporan tersebut dan langsung menghadapi Umar RA sendiri. Beliau lantas membuka pintu itu dan langsung memegang gagang pedang Umar bin Khattab RA dan menariknya dengan keras.

Rasulullah SAW berkata, “Tidakkah engkau akan berhenti dari tindakanmu, wahai Umar, hingga Allah menghinakanmu dan menimpakan bencana sebagaimana yang terjadi terhadap al-Walid bin al-Mughairah?”

Umar RA tak menjawab pertanyaan Nabi SAW, melainkan ia menjawab dengan, “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) selain Allah dan engkau adalah Rasulullah.”

Pernyataan Umar bin Khattab RA ketika masuk Islam ini membawa kebahagiaan dan disambut dengan pekikan takbir oleh penghuni rumah sehingga terdengar sampai luar.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com