Tag Archives: ummu salamah

Bolehkah Sahur Dulu Baru Mandi Wajib Setelah Haid?

Arina Yulistara – wolipop

Sabtu, 08 Mar 2025 03:00 WIB





Anda menyukai artikel ini

Jakarta

Sering bertanya-tanya, bolehkah sahur dulu baru mandi wajib? Mari cari tahu jawabannya di sini.

Salah satu persiapan penting sebelum berpuasa selama Ramadhan adalah makan sahur. Sahur dianjurkan karena mengandung banyak keberkahan.

Meski demikian, ada kondisi tertentu yang mungkin membuatmu ragu, seperti ketika masih dalam keadaan junub atau memiliki hadas besar sebelum sahur. Apakah tetap boleh makan sahur sebelum mandi wajib? Bagaimana pengaruhnya terhadap keabsahan puasa?


Dalam ajaran Islam, kesucian sangat ditekankan dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam beribadah. Mandi wajib menjadi salah satu cara untuk mensucikan diri dari hadas besar, termasuk setelah berhubungan suami-istri, mimpi basah, haid, atau nifas.

Beberapa dari kamu mungkin pernah mengalami situasi di mana tidak sempat mandi sebelum sahur dan harus menunda hingga setelah waktu Subuh tiba. Hal ini kemudian kerap menimbulkan pertanyaan, bolehkah sahur dulu baru mandi wajib?

Mari simak penjelasan berdasarkan hadis dan pendapat para ulama mengenai pertanyaan, bolehkah sahur dulu baru mandi wajib?

Apakah Sahur Dulu Baru Mandi Wajib Diperbolehkan?

mandi wajib ramadhanmandi wajib ramadhan Foto: Getty Images/iStockphoto/Ekaterina79

Berdasarkan situs Kementerian Agama, jawabannya boleh. Kamu tetap diperbolehkan makan sahur meskipun dalam keadaan junub dan belum mandi wajib.

Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Aisyah RA dan Ummu Salamah RA:

“Rasulullah SAW pernah memasuki waktu Subuh dalam keadaan junub karena berjima’. Kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa keadaan junub tidak membatalkan puasa. Artinya, kamu yang sahur dalam keadaan belum mandi wajib tetap sah puasanya selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Pandangan Ulama tentang Mandi Wajib Setelah Sahur

Halaman 2 dari 3

” dtr-evt=”detail multiple page” dtr-sec=”button selanjutnya” dtr-act=”button selanjutnya” dtr-idx=”2″ dtr-id=”7812536″ dtr-ttl=”Bolehkah Sahur Dulu Baru Mandi Wajib Setelah Haid?”>

Pandangan Ulama tentang Mandi Wajib Setelah Sahur

Niat Mandi Wajib Perempuan

Foto: Getty Images/iStockphoto/Rachaphak

Mengenai hal ini, Muh. Hambali dalam bukunya yang berjudul Panduan Muslim Kaffah Sehari-Hari dari Kandungan hingga Kematian menyatakan bahwa mayoritas ulama, yakni keempat mazhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, sepakat bahwa puasa seseorang tetap sah puasanya meskipun ia memasuki waktu Subuh dalam keadaan junub.

Meski puasa tetap sah namun ia tetap wajib menyegerakan mandi junub agar bisa menunaikan salat Subuh tepat waktu. Hal ini disebukan dalam sebuah hadis yang berbunyi;

“Orang yang berpuasa boleh menunda mandi junub hingga waktu setelah fajar terbit. Tetapi, lebih utama adalah ia menyegerakan mandi wajib sebelum terbit fajar atau sebelum subuh.” (Syeikh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki dalam Ibanatul Ahkam)

Hukum Puasa Bagi yang Sahur Dulu Baru Mandi Wajib

Halaman 3 dari 3

” dtr-evt=”detail multiple page” dtr-sec=”button selanjutnya” dtr-act=”button selanjutnya” dtr-idx=”3″ dtr-id=”7812536″ dtr-ttl=”Bolehkah Sahur Dulu Baru Mandi Wajib Setelah Haid?”>

Hukum Puasa Bagi yang Sahur Dulu Baru Mandi Wajib

shower with flowing water and steam, closeup view

Foto: Getty Images/iStockphoto/Rachaphak

Menurut para ulama, puasa tetap sah meskipun kamu belum mandi wajib sebelum Subuh. Hal ini didasarkan pada beberapa poin berikut:

1. Syarat puasa tidak perlu suci dari hadas besar

Dalam Islam, syarat sah puasa adalah niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Kesucian dari hadas besar bukan syarat sah puasa, melainkan menjadi syarat sah salat.

2. Sesuai hadis

Ini sesuai hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA dan Ummu Salamah RA menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri pernah memasuki waktu Subuh dalam keadaan junub. Kemudian mandi wajib setelahnya dan tetap berpuasa.

3. Tidak ada larangan dalam Al Quran

Tidak ada dalil yang melarang kamu berpuasa dalam keadaan junub. Oleh sebab itu, menunda mandi wajib hingga setelah Subuh tidak membatalkan puasa. Namun sengaja menunda mandi hingga lewat waktu salat Subuh tidak diperbolehkan dan berdosa.

Jadi, berdasarkan dalil dan pandangan ulama, jawaban dari pertanyaan bolehkah sahur dulu baru mandi wajib? Jawabannya boleh.

Meski belum mandi wajib, puasanya tetap sah. Namun kamu harus segera mandi setelah masuk waktu Subuh agar dapat melaksanakan salat Subuh. Oleh karena itu, jika memungkinkan, sebaiknya mandi wajib sebelum sahur agar lebih tenang.

(eny/eny)



Sumber : wolipop.detik.com

Kisah Abu Salamah bin Abdul Asad, Andalan Rasulullah SAW di Medan Perang


Jakarta

Abu Salamah bin Abdul Asad adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki kisah penuh perjuangan dan pengorbanan. Ia dikenal sebagai sosok yang beriman kuat, setia pada Rasulullah, serta menjadi bagian penting dalam sejarah awal Islam.

Kisah Abu Salamah bin Abdul Asad tidak hanya mencakup perjalanan hijrahnya, tetapi juga pengabdiannya dalam jihad di medan perang. Ia adalah pejuang yang ikhlas hingga akhir hayatnya, sekaligus suami dari Ummu Salamah yang kelak menjadi salah satu istri Nabi Muhammad SAW.


Mengenal Abu Salamah bin Abdul Asad

Dijelaskan di dalam buku Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi oleh Muhammad Raji Hassan, Abu Salamah bin Abdul Asad adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang memiliki nama asli Abdullah bin Abdul Asad al-Makhzumi. Ia mendapatkan kunyah “Abu Salamah” dari nama anak pertamanya, Salamah.

Sejak awal Islam disebarkan, Abu Salamah termasuk golongan sahabat yang segera menerima dakwah Rasulullah. Bersama istrinya, Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayah, ia menjadi bagian dari kelompok muslim pertama yang beriman yang dikenal sebagai As Sabiqun Al Awwalun.

Dalam perjalanan hidupnya, Abu Salamah menghadapi berbagai ujian besar, termasuk tekanan dari kaum Quraisy. Meski demikian, keimanan dan keteguhannya tidak pernah luntur sedikit pun.

Ia pernah mengikuti hijrah ke Habasyah untuk mencari tempat aman dalam beribadah. Di sanalah anak pertamanya, Salamah, lahir sebelum akhirnya ia kembali ke Mekah bersama keluarganya.

Saat perintah hijrah ke Madinah datang, Abu Salamah memutuskan untuk taat dan melaksanakan perintah Allah serta Rasul-Nya. Walau harus berpisah dengan istri dan anaknya karena tekanan kaumnya, ia tetap berangkat menuju Madinah.

Setelah satu tahun penuh perpisahan, Ummu Salamah akhirnya diizinkan menyusul ke Madinah bersama anaknya. Kisah perjuangan ini menunjukkan betapa kuatnya kesabaran dan keteguhan Abu Salamah dalam mempertahankan keimanan.

Kisah Abu Salamah di Medan Perang

Masih mengutip dari sumber yang sama, Abu Salamah bin Abdul Asad adalah sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal berani di medan perang. Ia turut serta dalam dua pertempuran besar, yaitu Perang Badar dan Perang Uhud.

Dalam Perang Uhud, Abu Salamah mengalami luka yang cukup parah akibat pertempuran sengit melawan pasukan Quraisy. Luka tersebut membuatnya menderita dalam waktu lama dan tidak segera pulih.

Meskipun kondisi tubuhnya belum sepenuhnya sembuh, Rasulullah SAW tetap mempercayainya untuk memimpin pasukan. Ia diberi tanggung jawab memimpin 150 sahabat untuk menghadapi ancaman dari Bani Asad bin Khuzaimah.

Bani Asad saat itu tengah mempersiapkan serangan rahasia terhadap Madinah. Pergerakan mereka dipimpin oleh dua bersaudara, Thalhah dan Salamah bin Khuwailid.

Dengan strategi yang matang, Abu Salamah berhasil memimpin pasukan muslim melumpuhkan Bani Asad. Keberhasilan ini terjadi pada bulan Muharram tahun ke-4 Hijriah, dan menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah jihad kaum muslimin.

Namun, kemenangan tersebut juga harus dibayar dengan penderitaan Abu Salamah. Luka-lukanya dari Perang Uhud kambuh semakin parah hingga akhirnya menyebabkan wafatnya pada bulan Jumadil Akhir tahun ke-4 Hijriah.

Syahidnya Abu Salamah meninggalkan jejak mendalam bagi keluarganya. Ia meninggalkan istri, Ummu Salamah, serta empat anak, termasuk Zainab yang masih dalam kandungan saat ia wafat.

(hnh/inf)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Sayyidah Aisyah pada 17 Ramadan



Jakarta

Tepat hari ini, 17 Ramadan 58 H silam, Sayyidah Aisyah RA menghembuskan napas terakhirnya. Ummul Mukminin wafat setelah salat Witir.

Sayyidah Aisyah RA adalah istri ketiga dan merupakan istri kesayangan Rasulullah SAW. Satu hal yang membuat Rasulullah SAW sangat mencintai dan menyayangi Sayyidah Aisyah RA adalah kecerdasan dan keleluasaan wawasannya.

Semasa hidupnya Sayyidah Aisyah RA memiliki akhlak yang sangat baik, hingga menjelang wafatnya Sayyidah Aisyah RA juga menunjukkan sifat rendah hatinya.


Dalam buku The Way of Muslimah karya Nurfaisya dikatakan, kecerdasan yang dimiliki oleh istri yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW itu sudah terlihat sejak dia masih kecil.

Sayyidah Aisyah RA mampu mengingat dengan baik apa yang terjadi pada masa kecilnya, termasuk hadis-hadis yang didengarnya dari Rasulullah SAW.

Dia mampu memahami, meriwayatkan, menarik kesimpulan, serta memberikan penjelasan detail hukum fiqih yang terkandung di dalam hadits. Sayyidah Asiyah RA juga sering menjelaskan hikmah-hikmah dari peristiwa yang dialaminya pada masa kecil.

Selain itu, Sayyidah Aisyah RA mampu mengingat dan memahami rahasia-rahasia hijrah secara terperinci hingga bagian-bagian terkecilnya.

Wafatnya Sayyidah Aisyah pada Malam 17 Ramadan

Merangkum dari buku Agungnya Taman Cinta sang Rasul karya Ustadzah Azizah Hefni dan buku Aisyah Ummul Mukminin, Keanggunan Sejati karya Sulaiman an-Nadawi, menjelang wafatnya Sayyidah Aisyah RA berkeinginan untuk menjadi hamba Allah SWT yang biasa dan tak dikenang. Ia bahkan merasa malu jika dimakamkan di dekat Rasulullah SAW.

Sayyidah Aisyah RA tidak menghendaki hal tersebut dan berpesan agar kelak jika wafat, ia dikubur bersama dengan para sahabat lainnya di Baqi’.

Sayyidah Aisyah RA berwasiat supaya beliau dikebumikan pada waktu malam. Imam Muhammad meriwayatkan dalam Kitab al-Muwatta’ yang Aisyah pernah ditanya mengapa beliau tidak mau dikebumikan di sisi Nabi Muhammad SAW? Aisyah RA menjawab, “Jika saya dikuburkan bersama mereka, saya adalah satu-satunya orang yang pernah melakukan amalan buruk yang dikuburkan di sana.”

Aisyah meninggal dunia pada malam 17 Ramadan tahun 58 Hijriah setelah salat Witir. Utsman bin Abu Atiq berkata bahwa, “Saya melihat perempuan berkumpul di Baqi’ pada malam Sayyidah Aisyah RA meninggal dunia seolah-olah itu malam Raya.” Kisah ini diambil dari Kitab ath-Thabbaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.

Pada malam itu pula, Ummu Salamah mendengar bunyi hiruk pikuk seperti orang bergaduh. Beliau menyuruh pembantunya melihat apakah yang sudah terjadi. Tidak lama kemudian, pembantunya pulang dan menyampaikan berita bahwa Sayyidah Aisyah RA sudah meninggal dunia.

Ummu Salamah berkata, “Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, Aisyah adalah orang yang paling dicintai pesuruh Allah SWT setelah ayahnya (Abu Bakar). Hakim mencatatkan kisah ini.

Sewaktu Sayyidah Aisyah RA meninggal dunia, Abu Hurairah RA merupakan gubernur sementara di Kota Madinah. Beliau menjadi imam sembahyang jenazah. Setelah selesai Aisyah dikebumikan di Baqi’ yang menurunkan jenazah Aisyah ke dalam kubur adalah Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar, Abdullah bin Atiq, Urwah bin Zubair, dan Abdullah bin Zubair.

Pada saat itu pula, Madinah seolah-olah sedang dilanda kiamat pada malam itu, mereka sedang tenggelam pada masa-masa kesedihannya. Cahaya yang terang-benderang menyinari kota Madinah sudah padam untuk selama-lamanya.

Masruq, salah seorang pemimpin tabiin berkata, “Jika bukan karena takut timbulnya masalah, tentu saya sudah dirikan tempat berkabung untuk Aisyah, Ummul Mukminin.”

Sementara itu, ada pendapat lain sebagaimana diceritakan dalam buku Aisyah Ummul Mu’Minin, Ayyamuha Wa Siratuha Al-Kamilah karya Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Sayyidah Aisyah RA wafat pada malam Selasa, 17 Ramadan. Salah satu ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Ibnu Katsir.

Sayyidah Aisyah RA wafat pada usia 66 tahun.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com

Kala Rasulullah SAW Meminta Saran dari Sang Istri, Ummu Salamah



Jakarta

Rasulullah SAW sering melibatkan orang-orang di sekitarnya ketika hendak mengambil keputusan. Termasuk sang istri, Ummu Salamah yang pernah diajak bermusyawarah untuk mendapatkan saran terbaik.

Sikap bijaksana ditunjukkan Rasulullah SAW setiap kali menghadapi persoalan. Beliau selalu mengutamakan musyawarah demi mendapatkan keputusan yang baik.

Dalam ajaran Islam, musyawarah dianjurkan untuk dilakukan tatkala menemui perbedaan pendapat. Musyawarah dilakukan untuk menjauhi perselisihan.


Dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 159, Allah SWT berfirman,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kisah Rasulullah SAW Meminta Saran dari Ummu Salamah

Mengutip buku Rumah Tangga Seindah Surga : Kisah Keseharian Rumah Tangga Nabi oleh Azkiya Khikmatiar dan Ulummudin, dijelaskan sebuah kisah yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW adalah sosok yang mengutamakan musyawarah. Dalam kisah ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW selalu melibatkan orang-orang di sekitarnya dalam pengambilan keputusan.

Walaupun Nabi Muhammad SAW seorang rasul, tetapi bukan berarti beliau terbebas dari berbagai problematika hidup. Meskipun demikian, Nabi Muhammad mampu mengatasinya dengan cara-cara bijak yang dapat menjadi pedoman bagi kita semua.

Jalan keluar dari berbagai persoalan salah satunya adalah dengan jalan musyawarah.

Suatu hari sesaat setelah Rasulullah SAW menandatangani Perjanjian Hudaibiyah yang salah satu isinya adalah bahwa umat Islam tidak diperkenankan untuk berhaji tahun ini, Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada para sahabatnya,

“Bangkitlah! Sembelihlah hewan kurban lalu bercukurlah!”

Namun, tak ada seorang pun yang berdiri. Bahkan, setelah Rasulullah SAW mengulanginya sampai tiga kali pun, para sahabat tetap tidak ada yang berdiri. Tampaknya, mereka kecewa karena tidak dapat melaksanakan ibadah haji.

Ketika seruan Nabi Muhammad SAW tidak direspons oleh para sahabatnya, beliau pergi menemui Ummu Salamah dan menceritakan apa yang telah terjadi. Kemudian, Ummu Salamah memberikan solusi dengan mengatakan, “Wahai Nabi Allah, apakah engkau ingin hal itu terjadi (mereka bangkit, memotong kurban, dan bercukur)? Keluarlah, jangan bicara satu kata pun dengan siapa pun dari mereka, sembelihlah hewan kurbanmu, lalu panggillah tukang cukur supaya dia mencukur rambutmu!”

Nabi Muhammad SAW pun keluar dan mengikuti saran sang istri, Ummu Salamah. Maka, ketika para sahabat melihat Nabi Muhammad SAW melakukan itu, mereka pun bangkit, menyembelih hewan kurban, dan saling mencukur rambut temannya.

Nabi Muhammad SAW membuat gebrakan yang sangat dahsyat dalam tatanan kehidupan masyarakat Arab dengan memberi tempat yang terhormat bagi perempuan. Sikap seperti ini juga yang seharusnya menjadi contoh bagi umatnya.

Sebagaimana kita ketahui, perempuan Arab sebelum datangnya lslam menempati posisi yang kurang beruntung. Mereka dianggap mempunyai akal yang lemah, sehingga tidak pantas dilibatkan dalam persoalan yang berhubungan dengan orang banyak.

Melalui kisah ini, Nabi Muhammad SAW membuktikan bahwa istri adalah partner hidup yang dapat memainkan peranan yang sangat penting. Ketika seorang suami mempunyai masalah, maka mereka harus berdiskusi dengan istri mereka untuk menemukan jalan keluarnya.

Melibatkan istri dalam mengatasi persoalan merupakan langkah tepat karena mereka adalah orang yang paling dekat dengan keseharian kita. Istri juga akan merasa dihargai dan dibutuhkan jika suami mengajak mereka untuk berdiskusi dan bermusyawarah tentang persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini menjadi salah satu cara untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Ummu Salamah, Istri Rasulullah yang Terakhir Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW mempunyai beberapa istri, salah , bernama Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah salah satu istri mulia Rasulullah SAW.

Terdapat hikmah tersendiri dari pernikahan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW. Berikut kisahnya:

Ummu Salamah Istri Rasulullah SAW

Dirangkum dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah SAW karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, nama lengkap Ummu Salamah adalah Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah adalah istri Abu Salamah bin Abdul Asad.


Menurut buku Sirah Nabawiyah karya Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ummu Salamah dan Rasulullah SAW menikah pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah.

Dijelaskan dari buku Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2 karya Ali Muhammad Ash-Shallabi, beberapa saat setelah Abu Salamah meninggal dan masa iddah Ummu Salamah habis, Rasulullah SAW datang kepada Ummu Salamah dan menyatakan pinangan kepadanya melalui anak laki-laki Ummu Salamah. Ummu Salamah berkata, “Apakah pantas aku menolak Rasul utusan Allah?! Atau aku mengajukan diri dengan keluargaku.” Keesokan harinya Rasulullah SAW datang langsung meminang Ummu Salamah.

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapa wali yang menikahkan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW.

Ketika Ummu Salamah setuju untuk menikah, Rasulullah SAW berkata, “Aku tidak memberikan kurang dari apa yang pernah aku berikan kepada si fulan, alat penggiling gandum, dua kantong gandum, dan bantal dari kulit yang diisi dengan bulu hewan.”

Dari hasil pernikahan Ummu Salamah dengan Abu Salamah, mereka dikaruniai dengan seorang bayi. Ketika Rasulullah SAW menikahinya, beliau mendatanginya. Jika Rasulullah SAW datang kepadanya, Zainab mengambil bayi itu ke kamarnya untuk ia susukan. Malu dengan hal itu, Rasulullah SAW pun kembali.

Ammar bin Yasir (saudara seibu Ummu Salamah) yang memahami hal tersebut mengambil bayi itu agar disusukan di rumahnya atau di rumah salah seorang perempuan. Setelah menanyakan keberadaan Zannab, Rasulullah SAW berkata kepada Ummu Salamah, “Aku akan datang kepada kamu malam ini.”

Rasulullah SAW kemudian menetap selama tiga hari di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah SAW memberikan giliran kepadanya seperti istri-istrinya yang lain, yaitu tujuh hari bagi istri yang masih gadis, dan tiga hari bagi janda.

Hikmah Pernikahan

Hikmah pernikahan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW adalah bukan untuk kenikmatan yang memang dihalalkan. Akan tetapi karena keutamaan Ummu Salamah yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berpikir tentang kualitas pendapat Ummu Salamah pada perjanjian Al-Hudaibiyah dan sebagai ungkapan belasungkawa atas kematian suaminya.

Di balik pernikahan mereka juga terkandung makna untuk meredam kedengkian kabilah dan mendekatkan hati anak-anak Ummu Salamah, sehingga membuat mereka tertarik untuk masuk Islam setelah mereka menjadi keluarga Rasulullah SAW melalui pernikahan.

Dalam pernikahan mereka terkandung fiqh Rasulullah SAW dalam membangun interen umat, menunaikan hak para syuhada’ terhadap istri-istri mereka. Di antara hak para istri tersebut adalah mendapatkan nur nubuwwah sesuai kehendak Allah SWT agar mereka menyampaikan nur nubuwwah tersebut dari Rasulullah SAW.

Ummu Salamah adalah istri Rasulullah SAW yang terakhir meninggal dunia. Beliau meninggal pada tahun 61 Hijriyah. Semasa hidupnya, Ummu Salamah berperang menyebarkan ilmu pengetahuan dan hikmah dari Rasulullah. Dengan wafatnya Ummu Salamah, maka padamlah lampu terakhir dari lampu-lampu Ummahat Al-Mukminin yang memancarkan cahaya, hidayah, dan ilmu.

Semoga Allah SWT meridhainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Wanita yang Dinikahi Rasulullah pada Bulan Syawal



Jakarta

Syawal termasuk bulan yang baik untuk menikah karena Rasulullah SAW meminang istri-istrinya pada bulan tersebut. Menurut sejarah, ada dua wanita yang beliau nikahi pada bulan Syawal tapi dalam tahun yang berbeda.

Sebenarnya di dalam Islam tidak ada waktu khusus untuk melangsungkan pernikahan. Semua hari tidak ada yang memiliki larangan untuk melangsungkan pernikahan selama sesuai dengan syariat Islam.

Dalam sejumlah Kitab Sirah dikatakan, Rasulullah SAW melangsungkan pernikahan dengan Aisyah RA pada bulan Syawal. Menurut Sirah Aisyah Ummul Mukminin karya Sulaiman An-Nadawi, pernikahan itu terjadi di Makkah 2 tahun sebelum hijrah, ada yang berpendapat 3 tahun sebelum hijrah.


Pada saat itu, Aisyah RA berusia 6 tahun dan ada yang berpendapat 7 tahun. Rasulullah SAW mulai tinggal serumah dengan istri ketiganya itu pada bulan Syawal setelah Perang Badar tahun ke-2 H.

Yola Hemdi dalam buku Rahasia Rumah Tangga Rasulullah, menjelaskan mengenai Rasulullah SAW yang melangsungkan pernikahannya pada bulan Syawal.

Rasulullah SAW melangsungkan pernikahannya di bulan Syawal dengan Aisyah RA bertujuan untuk melakukan pendobrakan atas tradisi Arab sebelum Islam yang menganggap bahwa Syawal merupakan bulan sial untuk melangsungkan akad tertentu, termasuk menikah.

Nabi Muhammad SAW menepis anggapan masyarakat jahiliyah pada masa itu dengan cara menikahi Aisyah RA dan menghapus ajaran yang salah tentang kesialan apabila menikah pada bulan Syawal.

Beberapa keutamaan menikah di bulan Syawal antara lain menepis anggapan orang jahiliyah bahwa kesialan akan menghantui hidup bagi siapa yang menikah pada bulan Syawal dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang juga melangsungkan pernikahan pada bulan itu.

Hal itu juga dijelaskan oleh Weda S. Atmanegara dalam buku Amazing Stories Kisah Mulia Wanita Surga Ummul Mukminin Aisyah.

Awalnya bangsa Arab menganggap bahwa menikah dengan putri teman yang telah dianggap saudara sendiri adalah perbuatan terlarang. Itulah yang terjadi ketika Abu Bakar RA merasa ragu menerima pinangan Rasulullah SAW yang disampaikan melalui Khaulah.

Maka Rasulullah SAW kemudian menjelaskan bahwa Aisyah RA halal untuk beliau nikahi, bahwa hubungan persaudaraan antara beliau dan Abu Bakar RA adalah ikatan persaudaraan seagama.

Bangsa Arab juga tidak mau menikah atau menikahkan putri mereka di bulan Syawal. Mereka terpengaruh akan adanya mitos penyakit sampar yang melanda pada bulan Syawal. Maka, Rasulullah SAW berniat untuk menghilangkan kepercayaan tidak berdasar ini dan menikahi Aisyah RA di bulan Syawal.

Aisyah RA sendiri menganjurkan kepada keluarganya untuk melangsungkan pernikahan di bulan Syawal. Ia berkata, “Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal. Kami juga mulai hidup bersama pada bulan Syawal. Adakah istri Rasulullah SAW yang lebih beruntung dibandingkan aku?” (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Darimi, dan Baihaqi)

Bangsa Arab juga terbiasa untuk menyalakan api di hadapan mempelai. Seorang suami juga mendatangi istrinya pertama kali dengan ditandu. Dalam riwayat Imam Bukhari dan Qustulani kemudian menyatakan bahwa Rasulullah SAW menghapus kebiasaan tersebut.

Selain Aisyah RA, Rasulullah SAW juga menikahi Ummu Salamah pada bulan Syawal.

Merujuk pada Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Kelengkapan Tarikh Rasulullah, Rasulullah SAW menikah dengan Ummu Salamah pada bulan Syawal tahun 4 H. Ummu Salamah memiliki nama lengkap Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib.

Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah merupakan istri dari Abu Salamah bin Abdul Asad. Ia merupakan istri Nabi Muhammad SAW yang paling akhir meninggal dunia.

(kri/kri)



Sumber : www.detik.com