Tag Archives: utang

https://finance.detik.com/perencanaan-keuangan/d-7852519/ingat-berani-tarik-utang-wajib-lunasi-ya?single=1

https://finance.detik.com/perencanaan-keuangan/d-7852519/ingat-berani-tarik-utang-wajib-lunasi-ya?single=1

Sumber : finance.detik.com

Alhamdulillah kaya raya uang اللهم صل على رسول الله محمد
Image : unsplash.com / towfiqu barbhuiya

Simak! Tips Supaya Hidup Tenang Tanpa Dikejar Cicilan Utang


Jakarta

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan masyarakat untuk tidak telat membayar pinjaman. Menurut OJK, mengajukan pinjaman sebenarnya tidak salah selama dilakukan secara bijak.

Namun, pinjaman bisa menjadi masalah jika diajukan tanpa siap melakukan pembayaran. Oleh karena itu, OJK mengimbau masyarakat untuk bijak mengelola utang agar hidup lebih tenang.

“Nggak ada yang salah sama pinjaman. Yang jadi masalah itu kalau nggak siap bayar. Yuk, bijak kelola utang biar hidup tenang,” tulis akun Instagram Layanan Konsumen dan Pengaduan OJK @kontak157, Minggu (29/6/2025).


OJK meminta agar memperhatikan kembali tujuan pengajuan pinjaman. Terdapat tiga tujuan yang diklasifikasikan OJK terkait dengan tujuan pinjaman, yaitu yang pertama adalah untuk dana darurat.

Kebutuhan ini contohnya adalah memperbaiki motor yang rusak atau mogok hingga membayar biaya rumah sakit. Kedua, pinjaman yang bersifat konsumtif seperti beli gadget baru atau nonton konser.

Ketiga, pinjaman yang bersifat produktif seperti untuk modal usaha hingga membeli perlengkapan kerja. Yang terpenting dari ketiga itu, kata OJK, adalah menghitung cicilan dan mengenali kemampuan sebelum mengambil pinjaman.

“Hidup bisa tetap nyaman tanpa dikejar tagihan. Hitung cicilan, kenali kemampuan, baru ambil pinjaman,” tutup OJK.

(kil/kil)

Sumber : finance.detik.com

Alhamdulillah kaya raya uang اللهم صل على رسول الله محمد
Image : unsplash.com / towfiqu barbhuiya

Percayalah… Masa Pensiun Kamu Bakal Susah kalau Lakukan ini

Jakarta

Merencanakan masa pensiun merupakan langkah penting untuk memastikan masa tua dapat dihabiskan dengan sejahtera, setidaknya secara finansial. Namun di balik itu ada beberapa hal yang berpotensi dapat membuat masa pensiun nanti menjadi susah kalau kerap dilakukan sekarang.

Sebab mempersiapkan pensiun tidak hanya soal menabung dan membangun aset aktif, tetapi juga berkaitan dengan berbagai kebiasaan keuangan yang harus disiapkan. Melansir situs perusahaan jasa perencana keuangan, QM Financial, berikut hal-hal yang berisiko membuat masa pensiun jadi susah kalau dilakukan:

1. Pasrah dan Tidak Menyiapkan Dana Pensiun

Di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, banyak orang bisa jadi masih lebih fokus pada kebutuhan yang ada di masa sekarang, ketimbang pusing memikirkan masa depan. Hal ini sering kali membuat orang menjadi pasrah akan masa tuanya nanti akan bagaimana.


Karena kepasrahan inilah, tak sedikit orang yang lalai dalam menyiapkan dana pensiun. Alhasil, di masa tuanya yang bersangkutan menjadi tidak memiliki tabungan yang cukup dan masih harus berjuang untuk mendapatkan pemasukkan meski sudah berada di usia tak produktif.

2. Gaya Hidup

Gaya hidup kerap kali salah satu penyebab utama kegagalan dalam mempersiapkan dana pensiun. Salah satunya gaya hidup yang boros sehingga tidak memiliki cukup dana untuk ditabung demi hari tua.

Pengeluaran yang berlebihan untuk barang-barang mewah, liburan, dan hiburan bisa menguras pendapatan yang seharusnya disisihkan untuk persiapan pensiun. Bahkan hal ini terlihat dari fenomena FOMO yang marak terjadi di kalangan muda, membuat mereka mengesampingkan perencanaan masa depan dan lebih memilih menikmati masa sekarang.

Sebenarnya, tak ada yang salah dengan menghabiskan sejumlah uang yang dimiliki unthk menikmati masa sekarang, terlebih untuk mereka yang memang masih berusia muda. Namun jangan sampai lupa untuk membuat rencana di masa depan, khususnya nanti setelah pensiun.

3. Salah perhitungan

Selain tidak mempersiapkan dana pensiun karena berbagai alasan, ada juga yang sebenarnya sudah aware akan pentingnya merencanakan tabungan di hari tua. Tak sedikit orang sebetulnya sudah berusaha menyisihkan penghasilan dan dikumpulkan dalam rekening.

Namun ternyata setelah memasuki masa pensiun banyak perhitungan yang luput, membuat tabungan di hari tua yang sudah disiapkan tak mencukupi.

Kondisi ini bisa saja terjadi karena dalam persiapannya yang bersangkutan tidak memasukkan dana tambahan untuk nanti jika memiliki kebutuhan mendesak. Selain itu bisa juga terjadi karena salah memilih instrumen investasi atau bisa juga karena dana pensiun yang disiapkan tidak memasukkan potensi inflasi ke depan.

4. Masih Terlilit Utang

Masih terlilit utang juga masalah keuangan yang sebenarnya terjadi di masa sekarang, namun dampaknya bisa panjang sampai masa pensiun tiba.

Idealnya saat memasuki usia pensiun, saat itu pula yang bersangkutan sudah tak lagi memiliki utang dalam bentuk apa pun. Baik itu utang produktif, apalagi utang konsumtif.

Karenanya penting untuk memastikan bahwa semua utang sudah terselesaikan sebelum memasuki masa pensiun. Sebab untuk mencicil utang paling baik adalah dengan menggunakan uang hasil bekerja secara aktif.

Tanda-tanda Kamu Bakal Susah Saat Pensiun

Perencana Keuangan, Andy Nugroho, mengatakan seorang pekerja nantinya akan susah waktu pensiun ini dapat terlihat dari sejumlah tanda. Contohnya seperti belum memiliki dana pensiun baik berupa tabungan atau pendapatan pasif.

“Sebelum pensiun orang tersebut tidak memiliki tabungan dan atau sumber pendapatan pasif yang mencukupi yang dapat menghidupi kebutuhan sehari-harinya,” terang Andy kepada detikcom.

Menurutnya kondisi ini dapat diperparah jika dengan kultur budaya keluarga dan sosial di Indonesia, orang tersebut bahkan tidak memiliki anak/sanak saudara yang dapat membantu kebutuhan finansialnya pasca-pensiun.

Sehingga tanda lain yang menunjukkan bahwa pekerja akan susah waktu pensiun adalah ketika ia masih harus bekerja untuk memenuhi hidup meski sudah memasuki usia pensiun antara 56-60 tahun.

“Setelah pensiun tanda yang paling sederhana adalah orang tersebut setelah memasuki masa usia pensiun para pekerja secara umum masih harus tetap bekerja untuk dapat makan dan hidup layak. Jadi bukan bekerja untuk sekedar mengisi waktu luang ataupun bekerja sebagai aktualisasi diri ya.

Senada Perencana Keuangan dari Finansia Consulting, Eko Endarto, mengatakan tanda-tanda bahwa seseorang akan susah waktu pensiun dapat terlihat dari beberapa hal seperti masih memiliki tanggungan atau utang saat mendekati hari tua hingga belum memiliki dana tabungan.

“Kalau misalnya 5 tahun sebelum pensiun dia masih punya utang, berarti dia pasti akan bermasalah. Kedua, kalau dia ketika mendekati pensiun tidak memiliki aset yang cukup, maka kemungkinan dia akan bermasalah juga,” terangnya.

“Ketiga, ketika mereka mendekati masa pensiun tadi, dia belum memiliki investasi yang bisa dihasilkan, didapatkan di pensiun besok. Nah, itu kemungkinan dia akan bermasalah,” sambung Eko.

Besaran Dana yang Dibutuhkan Agar Tak Hidup Susah Saat Pensiun?

Masih dalam catatan detikcom, Andy mengatakan besaran dana pensiun yang ideal agar tak susah saat masa pensiun tentu akan sangat bergantung dari masing-masing kebutuhan dan gaya hidup setiap orang. Sebab mereka dengan perkiraan biaya hidup yang cukup besar bahkan setelah pensiun tentu membutuhkan dana pensiun yang lebih besar.

Namun secara sederhana, besaran dana pensiun yang diperlukan dapat dihitung menggunakan asumsi rata-rata kebutuhan hidup setelah pensiun setiap bulan hingga nanti meninggal.

Sebagai contoh dengan asumsi kebutuhan dana per bulan pasca pensiun sekitar Rp 5 juta kemudian asumsi akan pensiun di usia 56 tahun dengan usia harapan hidup hingga 72 tahun, maka dana pensiun yang dibutuhkan mencapai Rp 960 juta.

“Angka tersebut bahkan belum memperhitungkan inflasi yang mungkin terjadi,” tegasnya.

Untuk itu ia menyarankan selain menyiapkan dana tabungan, diperlukan juga instrumen lain seperti investasi atau pasif income hingga kepemilikan polis asuransi khususnya kesehatan.

“Asuransi kesehatan minimal BPJS kesehatan. Karena semakin bertambah usia maka semakin rawan terkena penyakit dan akan semakin mahal biaya pengobatannya,” papar Andy.

Senada, Eko juga mengatakan besaran dana pensiun yang dibutuhkan masing-masing individu akan sangat berbeda antara satu dengan yang lain. Namun secara sederhana besar dana ini bisa dihitung dengan mengalikan prediksi atau harapan biaya kebutuhan hidup setelah pensiun setiap bulan dengan jangka waktu pengeluaran hingga 20-25 tahun.

“Kita bicara secara angka paling minimal sekali. Katakanlah misalnya seseorang itu hidupnya katakan ketika pensiun besok hidup setara dengan Rp 10 juta. Maka asumsikan dia memiliki dana atau sejumlah dana minimal bisa menutupi sekitar 20 tahun kehidupannya dia,” terangnya.

Dengan asumsi kebutuhan hidup sebesar Rp 10 juta per bulan untuk jangka waktu 20 tahun setelah pensiun yang dicontohkan Eko, pekerja minimal perlu tabungan dana pensiun sekitar Rp 2,4 miliar.

Namun ia mengingatkan jumlah tabungan atau dana pensiun tersebut merupakan angka minimal yang harus dimiliki. Sebab dalam pelaksanaannya seseorang kerap kali membutuhkan biaya-biaya tambahan di luar kebutuhan hidup sehari-hari.

Misalkan saja jika sedang sakit memerlukan biaya tambahan untuk berobat, atau mungkin kebutuhan-kebutuhan darurat lain. Bahkan di luar itu masih ada inflasi tahunan yang membuat nilai dari tabungan dana pensiun itu terasa semakin sedikit seiring berjalannya waktu.

Tonton juga “Perlukah Perpanjang Usia Pensiun ASN?” di sini:

(igo/fdl)



Sumber : finance.detik.com

Haruskah Ngutang ke Teman Demi Gaya Hidup?


Jakarta

Dewasa ini, pemenuhan gaya hidup menjadi hal yang terus diupayakan seseorang. Alih-alih menaikkan citra personal, pemenuhan gaya hidup ini justru menjebak seseorang untuk terus berutang demi memenuhi kebutuhan primer tersebut.

Lantas, bagaimana cara menyikapi pemenuhan gaya hidup tanpa mengorbankan isi dompet?

Mengutip unggahan resmi akun yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan (OJK) @kontak157 menyebut, gaya hidup sering kali menjebak seseorang. Pasalnya, pemenuhan kebutuhan ini seringkali dijadikan ajang pamer seseorang.


Bahkan tak jarang dana yang digunakan menggunakan pinjaman yang berujung menipu teman sendiri. Hal ini disinyalir terjadi lantaran seseorang tersebut berusaha terlihat mewah meski melalui utang.

“Demi hidup mewah, dia rela ngutang sana-sini. Eh, ujung-ujungnya malah nipu teman sendiri,” tulis unggahan @kontak157, dikutip Minggu (25/5/2025).

OJK mencatat ada empat penyebab seseorang berani berutang, bahkan rela menipu temannya untuk memenuhi gaya hidup. Pertama, ingin terlihat sukses di media sosial.

Kedua, gaya hidup yang lebih besar dari pemasukan. Ketiga, akses pinjaman yang semakin cepat dan mudah. Keempat, minimnya literasi keuangan.

Dalam unggahan lainnya pada akun yang sama, OJK mengingatkan publik untuk bijak dalam meminjam. Pasalnya, utang tidak hanya berdampak pada ketahanan finansial, melainkan juga beban mental.

OJK menyarankan publik untuk berutang sesuai dengan kemampuan membayar. Selain itu, OJK juga mengimbau dana pinjaman digunakan untuk memenuhi kebutuhan utama.

“Gaya hidup bisa nunggu, mental sehat nggak bisa ditunda. beban utang itu nyata, jangan sampai kamu tiap malam overthinking ya. Ayo bijak dalam berutang,” ucap narator dalam unggahan tersebut.

(kil/kil)



Sumber : finance.detik.com

THR Cair, Bayar Utang dulu atau Beli Baju?


Jakarta

Saat THR Lebaran cair, para pekerja biasanya akan menggunakan uang tersebut untuk belanja kebutuhan lebaran, barang diskon, atau berbagai macam kebutuhan yang sudah lama diinginkan. Hal ini boleh saja dilakukan karena THR adalah bonus di luar pendapatan tetap yang memang disiapkan untuk membiayai kebutuhan Lebaran.

Namun bagaimana jika yang bersangkutan memiliki utang yang belum dibayar. Apakah THR sebaiknya tetap digunakan untuk belanja Lebaran atau bayar utang?

Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Asad menjelaskan, alih-alih utang atau kebutuhan Lebaran, masyarakat yang merayakan Idul Fitri sebaiknya menggunakan uang THR untuk membayarkan kewajiban agamanya berupa Zakat Fitrah. Karena biar bagaimanapun momen Lebaran atau Idul Fitri merupakan waktu bagi umat muslim untuk menunaikan ibadah.


Baru setelah itu uang THR sebaiknya digunakan untuk membayar utang terlebih dahulu jika ada. Sebab utang merupakan kewajiban lain yang harus dibayarkan. Selain itu, utang juga berpotensi bisa mengganggu kondisi keuangan ke depan, semisal karena adanya bunga yang tinggi dan lainnya.

“Kalau bisa ngebagi semuanya sih sempurna ya, jadinya bayar Zakat-nya iya, bayar utangnya iya, beli kebutuhan iya. Tapi tergantung, yang pasti kan kita harus keluarkan Zakat-nya, itu wajib sebelum bayar utang Zakat-nya dulu (dibayarkan),” kata Teja kepada detikcom, Senin (25/3/2024).

“Baru kita bayar utang nih. Kira-kira kita punya utang nggak? utang kartu kredit, utang pinjol yang nggak selesai-selesai, inilah waktunya buat ngeberesin (menyelesaikan utang),” tambahnya.

Kalau pun yang bersangkutan tetap ingin merayakan Lebaran dengan sekadar membeli baju baru atau mudik ke kampung halaman. Ia menyarankan tetap membagi sebagian THR yang dimiliki untuk membayar utang yang ada, meski tidak langsung lunas.

Barulah setelah itu yang bersangkutan bisa menggunakan THR yang ada untuk kebutuhan Lebaran. Kebutuhan yang dimaksud juga harus disesuaikan dengan kondisi keuangan yang ada.

“Kalau misalnya ‘tapi kan saya juga pengin Lebaran’ gitu, nah kita lihat-lihat dulu seberapa penting sih kebutuhan kita (saat Lebaran),” ungkap Teja.

“Kita lihat kira-kira buat Lebaran yang utama banget supaya kita adalah seenggak-enggaknya, kalau misalnya nggak pulang kampung karena uangnya habis untuk bayar utang, ya berarti (sisa THR) buat beli makan Lebaran lah seenggak-enggaknya gitu,” terangnya lagi.

Atau menurut Teja, yang bersangkutan bisa mencari siasat tertentu agar dapat mengurangi pengeluaran selama Lebaran. Misalkan saja mengikuti program mudik gratis sehingga yang bersangkutan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi.

“Kira-kira bisa nggak sih kita cari (program) yang pulang kampung gratis. Di sana nggak usah menghambur-hamburkan uang, nggak usah kasih uang THR ke mana-mana nggak usah, sederhana aja Lebarannya gitu,” terangnya.

Senada dengan Tejasari, perencana keuangan Eko Endarto mengatakan THR yang didapat sebaiknya memang digunakan untuk membayar utang terlebih dahulu jika ada. Sebab biar bagaimana pun, utang merupakan salah satu kewajiban yang harus dilunasi.

Baru setelah itu sisanya bisa digunakan untuk kebutuhan Lebaran, mulai dari ongkos mudik jika pulang kampung dan keperluan lainnya seperti baju baru, parcel Lebaran, dan lain-lain.

“Alokasi dan prioritas THR idealnya pertama untuk mengurangi utang kalau ada. Kedua baru untuk kebutuhan lebaran, mulai dari biaya mudik kalau mudik dan biaya prioritas lainnya,”

Menurut Eko, jika THR yang didapat tidak cukup untuk melunasi utang-utang yang ada ataupun yang bersangkutan memiliki pengeluaran lain selama Lebaran sehingga tidak bisa menggunakan semua uangnya untuk membayar utang, setidaknya ia bisa mengurangi utang yang ada dengan THR tersebut.

Pada akhirnya ia menyarankan untuk membayarkan utang-utang lebih dahulu baru membeli kebutuhan Lebaran. Bukan sebaliknya beli baju baru atau kebutuhan Lebaran lainnya dulu kemudian membayar utang jika ada sisa THR.

“Karena THR fungsinya memang untuk membantu keuangan saat hari besar. Tapi kalau memungkinkan kurangi utang dan jangan tambah. Ya minimal mengurangi, kalau mau melunasi utang (dengan THR) bagus sekali,” tegasnya lagi.

Simak juga Video ‘Khayalan THR Cair’:

[Gambas:Video 20detik]

(fdl/fdl)



Sumber : finance.detik.com

Ayat-Ayat Al-Qur’an tentang Utang, Baca agar Tak Abai


Jakarta

Utang merupakan salah satu urusan muamalah yang diperbolehkan dalam kehidupan seorang muslim. Islam mengatur tentang utang secara jelas agar terjadi keadilan dan tanggung jawab.

Baik bagi pemberi maupun penerima utang, terdapat aturan yang bertujuan menjaga hak-hak kedua belah pihak serta menjauhi kesulitan dan konflik di kemudian hari. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT menegaskan beberapa prinsip penting terkait utang, mulai dari kewajiban membayar tepat waktu, menulis perjanjian, hingga sikap sabar bagi yang menunggak.


Ayat Tentang Utang

1. Utang Harus Dicatat dan Ada Saksi

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 282,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔا ۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَٱسْتَشْهِدُوا۟ شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىٰهُمَا ٱلْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا۟ ۚ وَلَا تَسْـَٔمُوٓا۟ أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدْنَىٰٓ أَلَّا تَرْتَابُوٓا۟ ۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوٓا۟ إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا۟ فَإِنَّهُۥ فُسُوقٌۢ بِكُمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanū iżā tadāyantum bidainin ilā ajalim musamman faktubụh, walyaktub bainakum kātibum bil-‘adli wa lā ya`ba kātibun ay yaktuba kamā ‘allamahullāhu falyaktub, walyumlilillażī ‘alaihil-ḥaqqu walyattaqillāha rabbahụ wa lā yabkhas min-hu syai`ā, fa ing kānallażī ‘alaihil-ḥaqqu safīhan au ḍa’īfan au lā yastaṭī’u ay yumilla huwa falyumlil waliyyuhụ bil-‘adl, wastasy-hidụ syahīdaini mir rijālikum, fa il lam yakụnā rajulaini fa rajuluw wamra`atāni mim man tarḍauna minasy-syuhadā`i an taḍilla iḥdāhumā fa tużakkira iḥdāhumal-ukhrā, wa lā ya`basy-syuhadā`u iżā mā du’ụ, wa lā tas`amū an taktubụhu ṣagīran au kabīran ilā ajalih, żālikum aqsaṭu ‘indallāhi wa aqwamu lisy-syahādati wa adnā allā tartābū illā an takụna tijāratan ḥāḍiratan tudīrụnahā bainakum fa laisa ‘alaikum junāḥun allā taktubụhā, wa asy-hidū iżā tabāya’tum wa lā yuḍārra kātibuw wa lā syahīd, wa in taf’alụ fa innahụ fusụqum bikum, wattaqullāh, wa yu’allimukumullāh, wallāhu bikulli syai`in ‘alīm

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dikutip dari buku Hukum Bisnis Syariah karya Dr. Mardani, ayat ini menekankan pentingnya menulis perjanjian utang agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Menulis utang juga menjadi bukti yang sah jika terjadi perselisihan. Dalam praktik modern, ini bisa berupa kwitansi, kontrak, atau nota resmi.

2. Menetapkan Waktu Pelunasan

Al-Qur’an juga menekankan kepastian waktu pembayaran utang, sebagaimana ditegaskan di surat Al-Baqarah ayat 283,

۞ وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًا فَرِهَٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا۟ ٱلشَّهَٰدَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٌ قَلْبُهُۥ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Arab-Latin: Wa ing kuntum ‘alā safariw wa lam tajidụ kātiban fa rihānum maqbụḍah, fa in amina ba’ḍukum ba’ḍan falyu`addillażi`tumina amānatahụ walyattaqillāha rabbah, wa lā taktumusy-syahādah, wa may yaktum-hā fa innahū āṡimung qalbuh, wallāhu bimā ta’malụna ‘alīm

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. Utang yang Memberatkan Jangan Diabaikan

Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk tidak menunda-nunda utang yang mampu dibayar, dan memberikan kemudahan bagi yang kesulitan.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 281, Allah SWT berfirman,

وَٱتَّقُوا۟ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

Arab-Latin: Wattaqụ yauman turja’ụna fīhi ilallāh, ṡumma tuwaffā kullu nafsim mā kasabat wa hum lā yuẓlamụn

Artinya: Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).

Islam membolehkan utang selama niatnya baik dan digunakan untuk kebutuhan yang halal. Utang menjadi jalan untuk memenuhi kebutuhan selama dilakukan dengan cara yang benar, dicatat, dan dibayar tepat waktu.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com

Memberikan Pinjaman Termasuk Sedekah, Pahalanya Bisa Lebih Besar


Jakarta

Sedekah merupakan amalan sunnah yang bisa dilakukan dengan beberapa cara. Menurut sebuah hadits, memberikan pinjaman kepada orang yang membutuhkan termasuk sedekah.

Hadits yang menyebutkan hal itu diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Tiap pinjaman adalah sedekah.” (HR At-Thabrani dan Al Baihaqi dalam Shahih At-Targhib wa at-Tarhib)


Abdullah bin Mas’ud juga meriwayatkan sabda Rasulullah SAW lainnya yang menyebut bahwa,

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Artinya: “Tiada seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada saudaranya yang muslim dua kali, melainkan akan dicatat sebagai sedekah satu kali bagi dirinya.” Ada yang menerjemahkan: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman pada muslim yang lain sekali, mendapatkan pahala yang sama dengan bersedekah dua kali.” (HR Ibnu Majah dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

Mansur Abdul Hakim dalam al-Tadawa wa al-Syifa’ bi al-Shadaqa wa al-Infaq fi Sabil Allah mengatakan, hadits tersebut mengandung makna tentang keutamaan memberikan pinjaman kepada orang lain.

“Hadits ini secara tersirat menyebutkan keutamaan memberikan pinjaman,” jelasnya seperti diterjemahkan oleh Luqman Junaidi.

Dalam kitab kumpulan hadits yang disusun oleh Abu Hamzah Abdul Lathif, terdapat hadits yang menyebut bahwa pahala memberikan pinjaman bisa saja lebih besar dari pahala sedekah. Hadits ini diriwayatkan Abu Umamah dari Nabi SAW yang bersabda,

“Seseorang masuk surga, lalu dia melihat tulisan di atas pintu surga ‘Satu sedekah dibalas sepuluh kali lipat, dan pinjaman dibalas 18 kali lipat.” (HR Ath-Thabrani dan Al Baihaqi. Hadits ini juga termuat dalam As-Silsilah Ash-Shahihah)

Sementara itu, ada hadits lain yang menyebut bahwa pinjaman berlaku seperti setengah sedekah. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Ya’la yang turut termuat dalam As-Silsilah Ash-Shahihah.

Sedekah Tanpa Uang

Sedekah tidak harus berupa uang atau harta. Imam an-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin menukil sebuah hadits yang menyebut bentuk-bentuk sedekah. Dari Abu Dzar RA, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فكُل تشبيحة صَدَقَةٌ، وَكُل تَحْمِيدَة صَدَقَةٌ، وكل تهليله صَدَقَد وَكُل تكبيرة صَدَقَد وَأَمرٌ بالمعروف صَدَقَة ونهي عن المنكر صَدَقَةٌ ويُخرى من ذلك رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الصحي

Artinya: “Pada setiap ruas tulang seseorang di antara kalian di setiap pagi ada kewajiban sedekah. Setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, tiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Namun, semua itu dapat dicukupi dengan salat dua rakaat yang dikerjakan seseorang di waktu dhuha.” (HR Muslim dalam kitab Zakat bab Penjelasan bahwa Kata Sedekah Digunakan untuk Setiap Jenis Kebaikan)

Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah-nya, hadits tersebut berisi anjuran untuk memperbanyak sedekah sebagai tanda syukur kepada Allah SWT. Ulama Syafi’iyyah ini mengatakan, apabila tidak mampu bersyukur dengan perbuatan maka dapat bersyukur dengan ucapan seperti membaca dzikir kepada Allah SWT dan menjadi pemberi nasihat dalam agama Islam.

Sedekah yang Paling Utama

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam Akhlaq Al-Islam menukil sebuah hadits yang menyebut tentang sedekah yang paling utama. Menurut hadits ini, sedekah yang paling utama adalah sedekah yang dilakukan pada waktu sempit.

Rasulullah SAW bersabda,

“Sedekah paling utama adalah yang dilakukan susah payah oleh orang yang berkekurangan. Mulailah dari orang yang engkau nafkahi.” (HR Muttafaq ‘Alaih)

Hadits tersebut, kata Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, mengandung makna bahwa sedekah yang dimaksud berasal dari orang yang kekurangan harta, tidak memiliki harta yang berlimpah namun terbatas pemasukannya sedangkan ia memiliki banyak tanggungan. Sedekah pada waktu ini lebih diunggulkan dari waktu lain.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Bolehkah Sedekah tapi Masih Punya Utang?


Jakarta

Sedekah adalah hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam baik dalam keadaan berkecukupan atau sempit. Namun, sebenarnya bolehkah sedekah tapi masih punya utang?

Sedekah menurut istilah berarti memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya dan semata-mata mengharap rida Allah SWT. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam buku Fikih Madrasah Ibtidaiyah Kelas V karya Yusak Burhanudin dan Muhammad Najib.

Perlu diketahui, hukum mengeluarkan sedekah adalah sunah muakad. Dengan kata lain, apabila seorang muslim tidak berkemungkinan mengeluarkannya maka tidak berdosa dirinya.


Bersedekah adalah hal yang sangat dianjurkan dalam Islam karena memiliki banyak keutamaan dan pahala bagi yang mengeluarkan. Namun, bolehkah sedekah tapi masih memiliki utang?

Hukum Sedekah tapi Masih Punya Utang

Dikutip dari buku Jabalkat II: Jawaban Problematika Masyarakat karya Purnasiswa 2015 MHM Lirboyo, hukum sedekah tapi masih punya utang ada dua, yaitu boleh dan haram.

Jika dengan mengeluarkan sedekah, seorang muslim menjadi tidak mampu melunasi utangnya maka hukumnya jadi haram. Berdasarkan prioritas antara membayar utang dan bersedekah, seseorang harus lebih mengutamakan utang yang hukumnya wajib daripada bersedekah yang berhukum sunah.

Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi,

لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ أُحُدٍ ذَهَباً لَسَرَّنِي أَنْ لَا يَمُرَّ عَلَى ثَلَاثُ لَيَالٍ وَعِنْدِي مِنْهُ شَيْءٌ إِلَّا شَيْءٌ أُرْصِدُهُ لِدَيْنِ رواه البخاري

Artinya: “Andaikata aku punya emas sebesar bukit uhud, maka akan membahagiakanku jika tidak terlewat tiga hari dan emas itu telah habis (untuk beramal baik), kecuali sedikit emas yang aku simpan (persiapkan) untuk melunasi utang.” (HR Bukhari)

Sedekah tapi masih punya utang boleh dilakukan apabila seorang muslim tersebut optimis (memiliki dzan) bisa membayar utangnya dari sumber lain yang tidak disedekahkan.

Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi juga memiliki pendapat yang serupa. Sebagaimana dikutip dari NU Online, sedekah tapi masih punya utang bukanlah perbuatan yang dianjurkan dan termasuk menyalahi sunah. Bahkan jika dengan bersedekah menjadikannya tidak mampu membayar utang maka hukumnya menjadi haram.

Imam An-Nawawi dalam Minhajut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh mengatakan, orang yang memiliki utang atau berkewajiban menafkahi orang lain, lebih diutamakan baginya untuk melunasi tanggungan yang wajib baginya dan dianjurkan untuk tidak bersedekah dulu.

“Menurut pendapat yang lebih sahih, haram hukumnya menyedekahkan harta yang ia butuhkan untuk menafkahi orang yang wajib ia nafkahi, atau (harta tersebut ia butuhkan) untuk membayar utang yang tidak dapat dilunasi (seandainya ia bersedekah),” jelasnya.

Syekh Khatib As-Sirbini dalam kitabnya yang berjudul Mughnil Muhtaj juga mengutarakan hal yang sama. Ia menyebut, membayar utang merupakan perkara wajib yang harus didahulukan dari perkara yang sunah (sedekah).

Namun apabila utangnya bisa lunas melalui harta lain maka tidak masalah bersedekah dengan harta tersebut, kecuali berakibat pada diakhirkannya pembayaran.

Pendapat lain diungkapkan oleh Imam Ar-Ramli dalam kitabnya yang berjudul Nihayatul Muhtaj. Ia mengatakan bahwa larangan sedekah tapi masih punya utang tidak bersifat umum atau harus. Menurutnya, bersedekah dengan hal-hal kecil seperti memberi makanan, minuman, atau perkara kecil lainnya, tetap disunahkan untuk dilanjutkan.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Kriteria Gharim, Golongan yang Berhak Menerima Zakat



Jakarta

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim. Dalam zakat, terdapat beberapa golongan yang berhak menerimanya.

Gharim adalah salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Gharim terdiri dari dua jenis. Berikut pengertian dan jenis gharim dalam zakat.

Pengertian Gharim

Gharim adalah orang-orang yang berhutang dan menghadapi kesulitan untuk melunasinya, ungkap Sayyid Sabiq dalam buku Fiqh Sunnah. Gharim merupakan salah satu golongan yang berhak menerima zakat.


Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri RA, dia berkata, seorang laki-laki di masa Rasulullah SAW mengalami kendala besar berupa kerugian ketika meniagakan buah-buahan, hingga utangnya banyak. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Keluarkanlah zakat untuknya.”

Mendengar hal itu, para sahabat bergegas memberikan zakat untuknya, namun ternyata belum cukup untuk melunasi utangnya. Rasulullah SAW bersabda kepada orang-orang yang memberikan utang kepadanya, “Terimalah apa yang kalian dapatkan, dan kalian tidak mendapatkan selain itu.” (HR Muslim dan lainnya)

Dalam hadits Qubaishah bin Mukhariq, dia berkata, “Aku memikul beban utang yang menyulitkan, karena usahaku untuk mendamaikan sengketa. Aku lantas menemui Rasulullah SAW untuk meminta pertimbangan beliau. Beliau bersabda, ‘Bersabarlah hingga kami mendapatkan zakat lantas kami menyuruh agar engkau diberi bagian zakat’.” (HR Muslim dan lainnya)

Gharim yang Berhak Menerima Zakat

Terdapat dua jenis gharim yang berhak menerima zakat. Dikutip dari buku Edisi Indonesia: Fikih Ibadah Madzhab Syafi’i karya Syaikh Alauddin Za’tari, dua jenis gharim tersebut yaitu,

– Orang fakir yang berhutang untuk kepentingan dirinya sendiri yang digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan syariat Islam, dan bisa juga dikarenakan ada bencana atau musibah yang menimpanya.

Mengutip dari buku Syarah Riyadhus Shalihin karya Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, jika orang yang berhutang untuk dirinya sendiri karena dia tidak mempunyai uang sewa rumah, maka orang seperti ini berhak diberi zakat sebesar uang sewa rumah itu karena dia termasuk orang-orang yang berhutang. Begitu juga untuk orang yang terkena musibah.

– Orang muslim yang berhutang untuk digunakan mendamaikan perselisihan demi meredakan fitnah yang dikhawatirkan bisa terjadi di kalangan kaum muslimin, atau untuk menyumbang musibah dan bencana yang menimpa kaum muslimin. Dalam konteks ini tidak disyaratkan harus fakir.

Mengutip dari sumber sebelumnya, para ulama berpendapat bahwa orang itu harus diberi zakat untuk membebaskan utangnya, walaupun dia kaya karena dia berhutang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi kemaslahatan orang lain.

Gharim yang Tidak Boleh Menerima Zakat

Gharim berhak menerima zakat jika utangnya tidak digunakan untuk keperluan maksiat. Masih mengutip dari sumber yang sama, beberapa gharim yang tidak boleh menerima zakat yaitu,

– Mampu membayar hutangnya sendiri

Jika orang yang berhutang tersebut mampu membayarnya, maka beban pembayaran utang itu ditangguhkan kepadanya, yang bersangkutan tidak berhak menerima zakat sebagai gharim.

– Digunakan untuk berbuat maksiat

Tidak boleh memberikan harta zakat kepada gharim yang digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri untuk berbuat maksiat seperti membeli khamar, berjudi, melakukan praktik riba,dan sebagainya, kecuali jika ia benar-benar sudah bertaubat.

– Masih memiliki penghasilan dari hasil kerjanya

Bagi orang yang memiliki penghasilan dari hasil kerjanya, maka tidak sepatutnya ia berhutang untuk mendirikan tempat usaha atau membuka ladang pertanian atau tempat tinggal dengan mengandalkan pembayarannya pada harta zakat.

Sesungguhnya harta zakat diberikan untuk menutupi kebutuhan orang fakir atau untuk memberikan pemasukan kepada mereka demi menutupi kebutuhan-kebutuhan mereka. Bukan diberikan kepada orang yang sudah memiliki harta yang cukup untuk menambah kekayaan.

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Orang yang Punya Utang Termasuk Penerima Zakat Fitrah, Ini Kriteria Gharimin


Jakarta

Dalam Islam, orang yang punya utang disebut gharimin. Mereka termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah.

Zakat fitrah termasuk ibadah wajib bagi umat Islam. Ibadah yang dikerjakan saat Ramadan ini nantinya disalurkan kepada golongan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman melalui surah At-Taubah ayat 60,


۞ إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْعَٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَٰرِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Merangkum buku Pengantar Hukum Zakat & Wakaf oleh Elsi Kartika Sari, dijelaskan Gharimin (orang-orang yang berutang) adalah golongan orang yang memiliki utang karena kegiatannya dalan urusan kepentingan umum. Misalnya mendamaikan perselisihan antara keluarga, memelihara persatuan umat Islam, melayani kegiatan dakwah Islam dan lain sebagainya.

Gharimin menjadi golongan orang yang berhak mendapatkan sebagian zakat fitrah.

Tidak semua orang yang berutang memiliki hak mendapatkan zakat fitrah. Orang-orang yang berutang untuk maksiat atau perbuatan zalim bukan termasuk gharimin. Mereka tidak memiliki hak untuk menerima zakat fitrah.

Kriteria Gharimin

Golongan orang yang termasuk gharimin harus memenuhi beberapa syarat dan kriteria. Hal ini bertujuan agar zakat fitrah tersalurkan sesuai sasaran sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.

Berikut beberapa syarat seseorang disebut gharimin:

1. Gharim yang memiliki kebutuhan untuk mendapatkan harta untuk melunasi utang-utangnya. Apabila ia memiliki utang namun dalam kondisi keuangan yang tercukupi dan memiliki kesanggupan untuk melunasi utangnya maka ia tidak berhak menerima zakat.

2. Seorang yang berutang dan uangnya digunakan untuk kepentingan ibadah kepada Allah SWT atau mengerjakan urusan yang dibenarkan secara syariat.

3. Orang-orang yang memiliki utang yang sudah jatuh tempo atau karena bangkrut sehingga tidak bisa melunasinya.

Dalam buku Diskursuf (Asnaf Tsamaniyyah): Delapan Golongan Penerima Zakat oleh Rahmad Hakim dijelaskan pendapat Yusuf Qardhawi tentang syarat orang yang termasuk gharimin sehingga berhak mendapatkan zakat.

1. Memiliki harta yang dapat membayar utangnya, jika demikian maka dana zakat hanya dipergunakan untuk membayarkan sisa utangnya.

2. Utang tersebut tidak digunakan untuk urusan keburukan (maksiat).

3. Utang dibayarkan secara langsung ketika menerima dana zakat.

4. Utang tersebut bukan akibat bisnis bukan kifarat atau zakat.

Kriteria Utang yang Berhak Dibayarkan dari Zakat

Adapun perincian utang yang menjadi bagian gharimin adalah sebagai berikut:

1. Bagi orang yang mempunyai utang karena kefakirannya maupun karena kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan ia tidak sanggup atau sulit melunasi utangnya. Orang tersebut menjadi bagian dari gharimin yang berhak menerima bagian harta zakat sejumlah utang yang dimilikinya.

Bagian zakat untuk gharimin hanya dipergunakan sebagai pelunas utang, tidak diperbolehkan digunakan untuk keperluan lain.

2. Bagi orang yang memiliki utang walaupun utangnya pada rentenir yang terdapat riba di dalamnya. Orang yang sanggup melunasinya maka harta zakat boleh diberikan kepada orang yang bersangkutan untuk melepaskan diri dari riba. Kemudian jika ia telah memiliki uang maka berkewajiban mengembalikan pinjamannya kepada amil zakat sesuai kesepakatan.

(dvs/lus)



Sumber : www.detik.com