Tag Archives: uu nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji dan umrah

Komnas Haji Desak Komisi VIII DPR RI Segera Bahas Biaya Haji 2025



Jakarta

Jika merujuk kepada rencana Kemenag penyelenggaraan ibadah haji 1446 H tinggal beberapa bulan lagi. Penerbangan kloter pertama ke tanah suci direncanakan pada 2 Mei 2025.

Jadi jika dihitung, penyelenggaraan ibadah haji tinggal 5 bulan lagi. Akan tetapi hingga saat ini Komisi VIII DPR RI belum menyepakati dan menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) serta terkait dengan berbagai persiapan teknis lainnya, termasuk besaran kuota jemaah.

Dalam rilis yang diterima detikHikmah Jum’at (29/11/2024) disebutkan bahwa Desember 2024 hingga Januari 2025 DPR akan memasuki reses. Berkaca pada musim haji tahun lalu, awal November 2023 Panja Haji sudah bekerja secara maraton dan akhir November hasil kesepakatan BPIH sudah disampaikan ke Presiden.


Persiapan haji yang terlalu mepet dikhawatirkan akan berdampak pada penyelenggaraan ibadah haji yang tidak maksimal. Di sisi lain calon jemaah butuh segera kepastian besaran biaya yang harus dilunasi dan jadwal keberangkatan.

Menurut Mustolih Siradj selaku Ketua Komnas Haji, “Waktunya sudah mepet. Saya khawatir jika persiapan tidak maksimal penyelenggaraan haji bisa terganggu. Bagi calon jemaah bisa banyak yang tidak mampu melunasi karena minim sosialisasi dan mendadak sehingga akan banyak kuota haji yang tidak terserap.”

Penyelenggaraan ibadah haji tentu memerlukan persiapan yang sangat matang. Karena hal ini menyangkut banyak aspek teknis yang diselenggarakan di Arab Saudi meliputi penyiapan dokumen visa, paspor, penerbangan, aspek kesehatan, konsumsi, pemondokan, transportasi, manasik dan sebagainya.

Semua aspek tersebut membutuhkan biaya oleh sebab itu harus dihitung dengan cermat yang nantinya masuk dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dimana di dalamnya juga terdapat Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dilunasi calon jemaah dan berapa nilai manfaat dana haji yang akan disubsidi dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Kesepakatan rapat Panja antara Komisi VIII DPR dengan Kemenag, BPH dan BPKH nanti akan diserahkan kepada Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai payung hukum penerbitan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji).

Keppres tersebut menjadi dasar dan payung hukum pembiayaan penyelenggaraan haji dan seberapa banyak kuota haji reguler dan haji khusus. Dimana syarat dari penetapan BPIH harus atas persetujuan DPR.

Berbagai kontrak untuk pembiayaan hotel di Mekkah, Madinah, konsumsi, transportasi, kesehatan, biaya di Masya’ir termasuk pemondokan di Arafah dan Mina harus segera dilakukan dan tidak boleh terlambat.

Jika terlambat maka risikonya lokasi jemaah haji ditempatkan jauh dari pusat-pusat zona/kawasan ring satu yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan khususnya pemondokan di Mina untuk menuju pelaksanaan ibadah di Jamarat.

Jika tempatnya jauh, maka jemaah butuh effort yang luar biasa, terlebih bagi para lansia dan yang beresiko tinggi (risti) secara kesehatan. Pendampingan para petugas juga butuh konsentrasi lebih besar.

Sebagai informasi, saat ini pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem first come first serve, siapa cepat akan dapat layanan lebih awal. Oleh sebab itu, Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah saat bertemu dengan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar di Mekkah baru-baru ini memberi saran agar kontrak-kontrak untuk kebutuhan jemaah Indonesia segera dilakukan, sebab jika terlambat akan diambil oleh negara lain.

“Di setiap musim haji, Indonesia dan berbagai negara dari segala penjuru dunia bersaing mendapatkan tempat strategis yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji” jelas sosok yang juga Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Saat ini kewenangan untuk membahas BPIH ada ditangan Komisi VIII untuk memanggil Kemenag, Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menjadi leading sector musim haji 2025 tetap berada di tangan Kementerian Agama karena beleid tersebut belum direvisi. Adapun kedudukan BPH lembaga yang baru dibentuk ini jika merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 masih sebatas supervisi dan koordinasi.

Terkait peran BPH menjadi leading sector penyelenggaraan haji setelah ada revisi UU, Nomor 8 Tahun 2019 yang baru akan dibahas tahun depan Mustolih mengatakan, “Dalam tata urut perundang-undangan, sudah jelas, undang-undang (UU) berada lebih tinggi dari Peraturan Presiden (Perpres). Karena itu Komisi VIII tidak perlu mempertentangkan kewenangan Kemenag dan BPH. Siapa yang menjadi penanggungjawab dan pelaksana sudah terang diatur dalam undang-undang.”

Komnas Haji berharap, penyelenggaraan ibadah haji 2025 bisa lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya. Terlebih musim ini merupakan penyelenggaraan haji pertama di pemerintahan Presiden Prabowo karena itu harus aman, nyaman dan sukses.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Perbedaan BPIH, Bipih dan Nilai Manfaat dalam Biaya Haji 2025


Jakarta

Ada tiga istilah yang selalu muncul dalam pembahasan biaya haji. Di antaranya BPIH, Bipih, dan nilai manfaat. Apa perbedaannya?

Ketiga istilah itu diterangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Berikut penjelasannya.

BPIH Terdiri dari Bipih dan Nilai Manfaat

BPIH adalah singkatan dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Biaya ini adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan haji.


BPIH bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang kemudian disingkat Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan. Besarannya akan ditetapkan oleh presiden atas usulan menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR RI.

Dalam pelaksanaan di lapangan, BPIH digunakan untuk membiayai operasional haji yang meliputi:

  • Penerbangan
  • Pelayanan akomodasi
  • Pelayanan konsumsi
  • Pelayanan transportasi
  • Pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina
  • Pelindungan
  • Pelayanan di embarkasi atau debarkasi
  • Pelayanan keimigrasian
  • Premi asuransi dan pelindungan lainnya
  • Dokumen perjalanan
  • Biaya hidup
  • Pembinaan Jemaah Haji di Tanah Air dan di Arab Saudi
  • Pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi
  • Pengelolaan BPIH

Biaya yang tidak di-cover dalam BPIH dibebankan pada APBN dan APBD sesuai kemampuan keuangan negara dan aturan yang berlaku.

Besaran BPIH akan dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI. Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) akan mengusulkan besaran BPIH terlebih dahulu untuk dibahas dalam Panja BPIH pada tahun berjalan. Setelah mendapat persetujuan dari DPR, barulah besarannya akan disahkan.

Tahun ini, pemerintah dan DPR RI menyepakati BPIH 1446 H/2025 M untuk jemaah reguler rata-rata Rp 89.410.258,79. Biaya ini turun sekitar Rp 4 juta dari tahun lalu yang mencapai Rp 93.410.286,00.

Keputusan tersebut diambil dalam rapat kerja Kemenag dengan Komisi VIII DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (6/1/2025).

“Komisi VIII, Menteri Agama RI, dan Kepala Badan Penyelenggara Haji RI sepakat bahwa besaran rata-rata BPIH Tahun 1446 H/2025 M per jemaah haji reguler sebesar Rp 89.410.258,79, turun sebesar Rp 4.000.027,21 dari BPIH Tahun 1445 H/2024 M yang sebesar Rp 93.410.286,” ucap Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang membacakan kesimpulan rapat yang turut disiarkan secara daring.

BPIH tersebut terdiri dari Bipih (62 persen) dan nilai manfaat (38 persen).

Bipih Adalah Biaya yang Harus Dibayar Jemaah Haji

Bipih adalah biaya yang harus dibayar oleh jemaah haji. Artinya, dari total BPIH yang ditetapkan, setiap jemaah harus membayar biaya Bipih saja, sedangkan sisanya ditanggung dengan dana yang bersumber dari nilai manfaat.

Setiap jemaah yang mendaftar haji reguler wajib melakukan setoran awal sebesar Rp 25 juta. Pembayaran Bipih oleh jemaah dilakukan di Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih.

Tahun ini, besaran Bipih yang harus dibayar jemaah Rp 55.431.750,78. Dengan demikian, jemaah perlu menyiapkan sekitar Rp 30 juta untuk melunasi biaya haji 2025.

Dalam ibadah haji khusus, ada istilah Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus.

Nilai Manfaat Adalah Dana Pengembangan Keuangan Haji

Nilai manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Pengelolaan dana ini dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Pemerintah dan DPR menyepakati total nilai manfaat tahun ini sebesar Rp 6,83 triliun. Dari angka tersebut, nilai manfaat setiap jemaah Rp 33.978.508,01 atau 38 persen dari BPIH.

Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah menyatakan kesiapan BPKH dalam membiayai ibadah haji 2025 berdasarkan keputusan yang disepakati pemerintah dan DPR.

“Kami memastikan ketersediaan dana tepat waktu oleh BPKH untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025,” ungkap Fadlul dalam keterangannya, Senin (7/1/2025).

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com