Tag Archives: uu

BPKH Tetapkan 30 Bank Syariah sebagai Penerima Setoran Dana Haji



Jakarta

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menggandeng 30 bank syariah sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) untuk periode Juli 2024 hingga Juni 2027. Bank tersebut terdiri dari 11 Bank Umum Syariah (BUS) dan 19 Unit Usaha Syariah (UUS).

Kerja sama itu ditandai dengan penandatanganan oleh Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah, Anggota Badan Pelaksana BPKH Acep Riana Jayaprawira, Ketua Bidang Perbankan Syariah ASBANDA, Kukuh Rahardjo, Ketua Umum ASBISINDO Hery Gunardi serta 30 Direktur Utama BPS BPIH dari seluruh Indonesia.

Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah mengatakan perjanjian ini merupakan langkah strategis dalam pengelolaan keuangan haji yang bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan Rekening Tabungan Jemaah Haji (RTJH) serta keuangan haji secara keseluruhan.


“Kerja sama ini diharapkan dapat memberikan layanan terbaik bagi jemaah haji dan memastikan pengelolaan dana yang lebih amanah sesuai prinsip syariah,” ujar Fadlul dalam keterangannya, Senin (22/7/2024).

“Kami percaya bahwa seluruh BPS BPIH akan menjalankan tugasnya sebagai garda terdepan dalam menjaga, menghimpun dan mengoptimalisasi dana haji dengan sebaik-baiknya. Serta memberikan kontribusi positif dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya secara hati-hati, akuntabel, professional dan terpercaya,” lanjutnya.

Senada, Ketua Umum ASBISINDO Hery Gunardi menyatakan siap melaksanakan tanggung jawab tersebut. “Kami siap untuk melaksanakan amanah ini dan mendukung BPKH dalam pengelolaan dana haji yang lebih efektif dan efisien,” kata Hery.

Perjanjian ini mengacu pada berbagai regulasi, termasuk UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta peraturan terkait lainnya.

Sebanyak 30 BPS BPIH yang ditunjuk oleh BPKH adalah BUS/UUS yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan, sehingga diberikan kepercayaan untuk menerima setoran BPIH dari calon jemaah haji dan menjadi mitra BPKH dalam pengelolaan keuangan haji.

Perjanjian kerja sama antara BPKH dan 30 BPS BPIH ini merupakan bentuk komitmen untuk menjalankan tugas dengan integritas tinggi dan terus meningkatkan kualitas layanan bagi jemaah haji.

Seperti diketahui, BPS BPIH bertugas menerima setoran awal dan setoran lunas biaya dari calon jemaah haji untuk penyelenggaraan ibadah haji. Selain itu, mengelola rekening tabungan yang dibuka oleh calon jemaah haji untuk tujuan pembayaran setoran awal BPIH dan/atau BPIH Khusus.

Kegiatan usaha BPS BPIH harus berdasarkan prinsip syariah, memastikan semua transaksi dan pengelolaan dana sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Kerja sama ini berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan penilaian kinerja dan kepatuhan oleh BPKH terhadap BPS BPIH. Selama masa kerja sama, BPKH akan terus memantau dan mengevaluasi kinerja BPS BPIH dalam menjalankan fungsinya.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

MUI Haramkan Investasi Setoran Haji untuk Jemaah Lain, Begini Tanggapan BPKH



Jakarta

Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) membantah skema pemanfaatan hasil investasi dana haji yang dilakukan selama ini haram. Keterangan ini menyusul dikeluarkannya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Peraturan ini tertuang dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa-se Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 yang membahas pengharaman penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) untuk jemaah lain.

Anggota Badan Pelaksana BPKH Amri Yusuf menyebut, fatwa MUI yang dikeluarkan baru-baru ini berlakunya untuk regulasi di masa mendatang, bukan yang sudah berjalan sebelumnya.


“Kalau sekarang ada fatwa haram dari MUI, itu berlakunya tidak retrospektif. Tidak ke belakang berlakunya,” kata Amri dalam acara BPKH Connect di BPKH Tower, Setiabudi, Jakarta, Kamis (1/8/2024).

“Yang dimaksud adalah sejak Ijtima’ itu dikeluarkan, dia (MUI) minta tolong mulai dijadikan sebagai panduan. Artinya ke depan, prospektif, bukan sekarang,” sambung dia.

Amri menekankan, posisi BPKH sudah jelas bahwa selama ini pihaknya menjalankan pengelolaan keuangan berbasis syariah.

“Kita tidak punya nyali, tidak keberanian untuk mengelola keuangan yang melanggar prinsip syariah. Tiap ada instrumen investasi baru yang ditawarkan oleh banyak pihak, itu kita selalu konsultasikan ke MUI. Nggak ada isu soal pengelolaan itu,” paparnya.

Amri juga menyebutkan, hal ini merujuk pada prinsip dasar muamalah yang membolehkan semuanya kecuali ada larangan.

“Kan selama ini tidak ada larangan kan penggunaan nilai manfaat kan? UU memperkenankan kan? Apa yang kita lakukan sampai tahun 2023 dan 2024 itu tidak ada larangannya, jadi diperbolehkan,” kata Amri.

Lebih lanjut Amri menegaskan, perkara yang diharamkan dalam Ijtima’ Ulama tersebut adalah penggunaan nilai manfaat dan setoran awal. Ia juga menyoroti ada rekomendasi dari MUI untuk BPKH agar memperbaiki tata kelolanya.

“Itu bukan berarti haram sebelum-sebelumnya haram. Karena ada rekomendasinya BPKH diminta untuk memperbaiki tata kelola. Pemerintah dan DPR diminta untuk memperbaiki regulasi. BPK diminta untuk meng-consider Ijtima’ itu dalam proses auditnya,” papar Amri.

Amri menambahkan, saat ini pemerintah khususnya Kementerian Agama (Kemenag) akan menggelar Mukernas bersama DPR dan MUI. Mereka akan membahas formulasi yang tepat terkait BPIH tahun 2025.

“Seperti apa itu formulasinya? Kami belum bisa menjawab karena ini harus melibatkan pemerintah, melibatkan DPR. Saat ini kita sedang melakukan kajian, melakukan simulasi sehingga kalau nanti ada diskusi kita akan memberikan beberapa skenario untuk menyelesaikan hal itu,” katanya.

Sekretariat Badan BPKH Ahmad Zaky menambahkan, pihak BPKH sampai saat ini masih menunggu keputusan dari DPR dan pemerintah agar fatwa MUI tersebut bisa diadopsi dalam kebijakan.

“Entah bagaimana ke depannya dengan tetap mempertimbangkan kemampuan dari jemaah haji jangan sampai memberatkan,” harapnya.

Sebelumnya, MUI mengharamkan penggunaan hasil investasi setoran awal biaya haji (Bipih) calon jemaah untuk membiayai jemaah lain. Pemanfaatan dana semacam itu disebut mengurangi hak calon jemaah hingga menghukumi pengelola yang melakukannya akan berdosa.

Pengharaman ini tertuang dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII Nomor 09/Ijtima’Ulama/VIII/2024 tentang Hukum Memanfaatkan Hasil Investasi Setoran Awal BIPIH Calon Jamaah Haji untuk Membiayai Penyelenggaraan Haji Jamaah Lain.

(rah/kri)



Sumber : www.detik.com

Kemenag Jelaskan Kronologi Alokasi Tambahan Kuota Haji ke DPR



Jakarta

Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Hilman Latief mengakui inisiatif pembagian kuota haji tambahan Indonesia 2024 yang saat ini menjadi polemik dan pembahasan utama Pansus Angket Haji di DPR RI berasal dari Kementerian Agama RI (Kemenag).

Hal ini terungkap saat Hilman Latief hadir sebagai saksi pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus Angket Haji bersama DPR RI. Dalam rapat tersebut, Hilman menceritakan kronologi pembagian kuota haji khusus sebagai sebuah rumusan yang diajukan oleh Kemenag dalam pertemuan Menteri Agama dengan Menteri Haji Arab Saudi.

“Dari hasil pertemuan antara Menteri Agama dengan Menteri Haji (Arab Saudi), kemudian disampaikan aspirasinya dan kemungkinan membagi kuota, termasuk juga pengalihan 10.000 (kuota haji tambahan) itu,” jelas Hilman, dalam keterangan tertulis, Minggu (25/8/2024).


Menanggapi kronologi tersebut, Ketua Pansus Angket Haji DPR Nusron Wahid yang memimpin RDP menyebut keterangan Hilman Latief adalah bukti inisiatif pengajuan pembagian kuota haji tambahan berasal dari Kementerian Agama, bukan dari Pemerintah Arab Saudi.

“Oke, yang membuat rumusan Kemenag. Jadi ini pengakuan bagus, bahwa Kementerian Agama-lah yang merumuskan bahwa 10.000-10.000 itu kepada Kementerian Haji (Arab Saudi),” tegas Nusron.

Kuota haji khusus sendiri telah menjadi polemik antara Kemenag dengan DPR RI dalam beberapa bulan terakhir. Isu ini mengemuka karena Kementerian Agama menetapkan kuota haji khusus sebanyak 27.680 atau sekitar 11,5% dari total 241.000 jemaah.

DPR menilai jumlah ini berbeda dengan jumlah yang telah disepakati dengan DPR, serta melebihi jumlah kuota haji khusus yang telah diatur oleh pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 yang menetapkan kuota haji khusus sebanyak 8%. Sedangkan di sisi lain, Kemenag menilai pengaturan kelebihan tersebut adalah bagian dari kuota haji tambahan di mana ketentuan pengisian kuotanya adalah wewenang dari Menag.

Atas perbedaan tersebut, DPR RI membentuk Pansus Angket Haji yang telah dimulai sejak 19 Agustus lalu dan akan berakhir pada 23 September 2024 nanti.

(akn/ega)



Sumber : www.detik.com

Pansus Haji DPR Beri 5 Rekomendasi, Kemenag RI Bilang Begini



Jakarta

Pansus Angket Haji DPR membacakan rekomendasi untuk pelaksanaan ibadah haji Indonesia dalam rapat paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 hari ini. Kementerian Agama (Kemenag) beri tanggapan.

Rekomendasi tersebut dibacakan Ketua Pansus Nusron Wahid. Di antaranya tentang revisi undang-undang, penetapan kuota haji, pelaksanaan ibadah haji khusus, penguatan fungsi pengawasan, dan sosok menteri yang kompeten.

Juru Bicara Kemenag Sunanto mengatakan inti rekomendasi seputar perubahan regulasi. “Saya melihat rekomendasi Pansus intinya adalah revisi regulasi untuk perbaikan. Ini tentu kita hormati dan apresiasi,” terang Sunanto dalam keterangannya di Jakarta, Senin (30/9/2024).


Cak Nanto, sapaan akrabnya, lalu menanggapi rekomendasi dari Pansus satu per satu. Rekomendasi pertama, dibutuhkan revisi terhadap UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan UU No 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dengan mempertimbangkan kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi.

“Sedari awal Kementerian Agama sudah meminta agar ada revisi regulasi, utamanya Undang-undang No 8 Tahun 2019. Sebab, sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler, Kemenag merasakan betul kebutuhan akan revisi regulasi, terlebih melihat dinamika kebijakan penyelenggaraan haji di Arab Saudi,” tegas Cak Nanto.

Cak Nanto mencontohkan, Arab Saudi sejak 2023 mengumumkan kuota haji lebih awal dari biasanya. Pada saat yang sama, Kementerian Arab Saudi menerbitkan jadwal tahapan persiapan penyelenggaraan ibadah haji dengan kalender Hijriah. Sementara proses pengelolaan program dan anggaran pemerintah Indonesia menggunakan kalender Masehi.

“Dalam hal tertentu, ada momen yang menuntut penyelenggara mengambil kebijakan lebih cepat dan melakukan persiapan lebih awal. Hal seperti ini belum terakomodir dalam regulasi,” sebut Cak Nanto.

Contoh lainnya, kata dia, terkait pembiayaan bagi jemaah penggabungan mahram atau pendamping. Regulasi saat ini tidak membedakan biaya yang harus dibayar jemaah yang ikut penggabungan mahram meski masa tunggu mereka lebih singkat dari jemaah yang masuk kuota. Masa antrean jemaah yang berangkat dengan penggabungan mahram dan pendamping, secara regulasi paling lama lima tahun. Namun pembiayaannya disamakan dengan jemaah yang sudah menunggu dalam waktu yang lebih lama, bisa 12 sampai 13 tahun.

“Hal semacam ini perlu direspons dalam perbaikan regulasi. Saat ini Kemenag terus melakukan harmonisasi regulasi,” ujar Cak Nanto.

Soal alokasi kuota haji tambahan di halaman selanjutnya

Rekomendasi kedua, diperlukan sistem yang lebih terbuka dan akuntabel dalam penetapan kuota haji, terutama dalam ibadah haji khusus, termasuk pengalokasian kuota tambahan. Setiap keputusan yang diambil harus didasarkan pada peraturan yang jelas dan diinformasikan secara terbuka kepada publik.

“Sistem penetapan kuota selama ini bersifat terbuka dan mengacu pada Undang-Undang No 8 tahun 2019, khususnya Pasal 8 dan Pasal 9. Penetapan kuota haji memang wewenang atribusi yang diberikan undang-undang kepada Menteri Agama. Pasal 64 juga jelas bahwa alokasi kuota haji khusus sebesar 8% itu dari kuota haji Indonesia yang itu adalah kuota pokok, bukan kuota tambahan,” jelasnya.

Dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji, Indonesia setidaknya tiga kali menerima kuota tambahan. Praktik pembagiannya tidak pernah sama.

Pada 2019, Indonesia mendapat 10.000 kuota tambahan dan itu seluruhnya diberikan untuk jemaah haji reguler. Pada 2023, Indonesia mendapat 8.000 kuota tambahan. Sebanyak 92% untuk jemaah haji reguler dan 8% untuk jemaah haji khusus. Sementara pada 2024, Indonesia mendapat 20.000 kuota tambahan, dibagi rata untuk haji reguler dan haji khusus.

“Pada tahun 2022, Indonesia mendapat kuota 100.051, dibagi 92.825 untuk haji reguler dan 7.226 untuk haji khusus. Prosentase kuota haji khusus hanya 7,2% tidak sampai 8%. Kemenag waktu itu akan digugat PIHK. Tapi memang keputusan dari Arab Saudinya pembagiannya sudah seperti itu,” terang Cak Nanto.

“Kemenag tentu melakukan berbagai kajian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam alokasi kuota tambahan. Kemenag juga saat ini memperbaiki prosedur dan mekanisme pengisian kuota serta memperkuat transparansi dalam menyampaikan informasi ke publik yang lebih luas. Misalnya, kuota dasar dan kuota tambahan diumumkan secara terbuka kepada publik melalui kanal-kanal berita resmi Kemenag,” lanjut Cak Nanto.

Rekomendasi ketiga, dalam pelaksanaan ibadah haji khusus, Pansus merekomendasikan, hendaknya dalam pelaksanaan mendatang, peran negara dalam fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan ibadah haji khusus, harus lebih diperkuat dan dioptimalkan.

“Rekomendasi ketiga ini sejalan dengan semangat kita untuk melakukan penguatan pengawasan. Kita sudah melakukan beberapa hal, terutama untuk penyelenggaraan umrah. Kita sudah bentuk satgas pengawasan umrah. Ke depan ini bisa diperluas termasuk pada satgas pengawasan haji khusus,” ucap Cak Nanto.

Rekomendasi keempat, panitia angket mendorong penguatan peran lembaga pengawasan internal pemerintah (seperti Inspektorat Jenderal Kementerian Agama dan BPKP) agar lebih detail dan kuat dalam mengawasi penyelenggaraan haji. Manakala kerja Pansus membutuhkan tindak lanjut, dapat melibatkan pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK).

“Dalam proses penyelenggaraan ibadah haji, Kemenag sudah melibatkan berbagai pihak, untuk pengawasan, mulai dari Itjen, BPK, DPR, dan DPD RI, serta kementerian dan lembaga lain sebagai pengawas internal dan eksternal. Dalam hal tertentu, misalnya, dalam layanan akomodasi/hotel di Arab Saudi, klausul kontrak membuka peluang keterlibatan aparat penegak hukum Indonesia dalam penanganan tindak pidana korupsi,” ujarnya.

“Kemenag sedari awal juga telah memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk pencegahan dan mitigasi segala bentuk penyelewengan penyelenggaraan ibadah haji,” imbuhnya.

Rekomendasi kelima, Pansus mengharapkan pemerintah mendatang agar dalam mengisi posisi Menteri Agama RI dengan figur yang dianggap lebih cakap dan kompeten dalam mengkoordinir, mengatur, dan mengelola ibadah haji. Soal ini, Cak Nanto menyebut itu sepenuhnya hak presiden, tapi ia menilai capaian kinerja era Yaqut Cholil Qoumas memuaskan.

“Soal menteri, ini hak prerogatif presiden. Termasuk penilaian kecakapan dan kompetensinya. Faktanya baik secara kuantitatif dan kualitatif, Kementerian Agama dalam tiga tahun terakhir berhasil mencapai prestasi sangat memuaskan dalam pelayanan ibadah haji,” tandas Cak Nanto.

Beberapa capaian Menag Yaqut, seperti disampaikan Cak Nanto, antara lain revitalisasi KUA, sertifikasi tanah wakaf, prestasi siswa madrasah dan perguruan tinggi keagamaan, hingga layanan keagamaan digital.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Komnas Haji Desak Komisi VIII DPR RI Segera Bahas Biaya Haji 2025



Jakarta

Jika merujuk kepada rencana Kemenag penyelenggaraan ibadah haji 1446 H tinggal beberapa bulan lagi. Penerbangan kloter pertama ke tanah suci direncanakan pada 2 Mei 2025.

Jadi jika dihitung, penyelenggaraan ibadah haji tinggal 5 bulan lagi. Akan tetapi hingga saat ini Komisi VIII DPR RI belum menyepakati dan menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) serta terkait dengan berbagai persiapan teknis lainnya, termasuk besaran kuota jemaah.

Dalam rilis yang diterima detikHikmah Jum’at (29/11/2024) disebutkan bahwa Desember 2024 hingga Januari 2025 DPR akan memasuki reses. Berkaca pada musim haji tahun lalu, awal November 2023 Panja Haji sudah bekerja secara maraton dan akhir November hasil kesepakatan BPIH sudah disampaikan ke Presiden.


Persiapan haji yang terlalu mepet dikhawatirkan akan berdampak pada penyelenggaraan ibadah haji yang tidak maksimal. Di sisi lain calon jemaah butuh segera kepastian besaran biaya yang harus dilunasi dan jadwal keberangkatan.

Menurut Mustolih Siradj selaku Ketua Komnas Haji, “Waktunya sudah mepet. Saya khawatir jika persiapan tidak maksimal penyelenggaraan haji bisa terganggu. Bagi calon jemaah bisa banyak yang tidak mampu melunasi karena minim sosialisasi dan mendadak sehingga akan banyak kuota haji yang tidak terserap.”

Penyelenggaraan ibadah haji tentu memerlukan persiapan yang sangat matang. Karena hal ini menyangkut banyak aspek teknis yang diselenggarakan di Arab Saudi meliputi penyiapan dokumen visa, paspor, penerbangan, aspek kesehatan, konsumsi, pemondokan, transportasi, manasik dan sebagainya.

Semua aspek tersebut membutuhkan biaya oleh sebab itu harus dihitung dengan cermat yang nantinya masuk dalam komponen Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dimana di dalamnya juga terdapat Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang harus dilunasi calon jemaah dan berapa nilai manfaat dana haji yang akan disubsidi dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Kesepakatan rapat Panja antara Komisi VIII DPR dengan Kemenag, BPH dan BPKH nanti akan diserahkan kepada Presiden untuk diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai payung hukum penerbitan BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji).

Keppres tersebut menjadi dasar dan payung hukum pembiayaan penyelenggaraan haji dan seberapa banyak kuota haji reguler dan haji khusus. Dimana syarat dari penetapan BPIH harus atas persetujuan DPR.

Berbagai kontrak untuk pembiayaan hotel di Mekkah, Madinah, konsumsi, transportasi, kesehatan, biaya di Masya’ir termasuk pemondokan di Arafah dan Mina harus segera dilakukan dan tidak boleh terlambat.

Jika terlambat maka risikonya lokasi jemaah haji ditempatkan jauh dari pusat-pusat zona/kawasan ring satu yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan khususnya pemondokan di Mina untuk menuju pelaksanaan ibadah di Jamarat.

Jika tempatnya jauh, maka jemaah butuh effort yang luar biasa, terlebih bagi para lansia dan yang beresiko tinggi (risti) secara kesehatan. Pendampingan para petugas juga butuh konsentrasi lebih besar.

Sebagai informasi, saat ini pemerintah Arab Saudi menerapkan sistem first come first serve, siapa cepat akan dapat layanan lebih awal. Oleh sebab itu, Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq F Al Rabiah saat bertemu dengan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar di Mekkah baru-baru ini memberi saran agar kontrak-kontrak untuk kebutuhan jemaah Indonesia segera dilakukan, sebab jika terlambat akan diambil oleh negara lain.

“Di setiap musim haji, Indonesia dan berbagai negara dari segala penjuru dunia bersaing mendapatkan tempat strategis yang dekat dengan pusat penyelenggaraan ibadah haji” jelas sosok yang juga Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

Saat ini kewenangan untuk membahas BPIH ada ditangan Komisi VIII untuk memanggil Kemenag, Badan Penyelenggara Haji (BPH), dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Merujuk pada UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah yang menjadi leading sector musim haji 2025 tetap berada di tangan Kementerian Agama karena beleid tersebut belum direvisi. Adapun kedudukan BPH lembaga yang baru dibentuk ini jika merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 154 Tahun 2024 masih sebatas supervisi dan koordinasi.

Terkait peran BPH menjadi leading sector penyelenggaraan haji setelah ada revisi UU, Nomor 8 Tahun 2019 yang baru akan dibahas tahun depan Mustolih mengatakan, “Dalam tata urut perundang-undangan, sudah jelas, undang-undang (UU) berada lebih tinggi dari Peraturan Presiden (Perpres). Karena itu Komisi VIII tidak perlu mempertentangkan kewenangan Kemenag dan BPH. Siapa yang menjadi penanggungjawab dan pelaksana sudah terang diatur dalam undang-undang.”

Komnas Haji berharap, penyelenggaraan ibadah haji 2025 bisa lebih baik dari pada tahun-tahun sebelumnya. Terlebih musim ini merupakan penyelenggaraan haji pertama di pemerintahan Presiden Prabowo karena itu harus aman, nyaman dan sukses.

(lus/erd)



Sumber : www.detik.com

Perbedaan BPIH, Bipih dan Nilai Manfaat dalam Biaya Haji 2025


Jakarta

Ada tiga istilah yang selalu muncul dalam pembahasan biaya haji. Di antaranya BPIH, Bipih, dan nilai manfaat. Apa perbedaannya?

Ketiga istilah itu diterangkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Berikut penjelasannya.

BPIH Terdiri dari Bipih dan Nilai Manfaat

BPIH adalah singkatan dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Biaya ini adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan haji.


BPIH bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang kemudian disingkat Bipih, anggaran pendapatan dan belanja negara, nilai manfaat, dana efisiensi, dan/atau sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan. Besarannya akan ditetapkan oleh presiden atas usulan menteri setelah mendapat persetujuan dari DPR RI.

Dalam pelaksanaan di lapangan, BPIH digunakan untuk membiayai operasional haji yang meliputi:

  • Penerbangan
  • Pelayanan akomodasi
  • Pelayanan konsumsi
  • Pelayanan transportasi
  • Pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina
  • Pelindungan
  • Pelayanan di embarkasi atau debarkasi
  • Pelayanan keimigrasian
  • Premi asuransi dan pelindungan lainnya
  • Dokumen perjalanan
  • Biaya hidup
  • Pembinaan Jemaah Haji di Tanah Air dan di Arab Saudi
  • Pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi
  • Pengelolaan BPIH

Biaya yang tidak di-cover dalam BPIH dibebankan pada APBN dan APBD sesuai kemampuan keuangan negara dan aturan yang berlaku.

Besaran BPIH akan dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI. Dalam hal ini, Kementerian Agama (Kemenag) akan mengusulkan besaran BPIH terlebih dahulu untuk dibahas dalam Panja BPIH pada tahun berjalan. Setelah mendapat persetujuan dari DPR, barulah besarannya akan disahkan.

Tahun ini, pemerintah dan DPR RI menyepakati BPIH 1446 H/2025 M untuk jemaah reguler rata-rata Rp 89.410.258,79. Biaya ini turun sekitar Rp 4 juta dari tahun lalu yang mencapai Rp 93.410.286,00.

Keputusan tersebut diambil dalam rapat kerja Kemenag dengan Komisi VIII DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (6/1/2025).

“Komisi VIII, Menteri Agama RI, dan Kepala Badan Penyelenggara Haji RI sepakat bahwa besaran rata-rata BPIH Tahun 1446 H/2025 M per jemaah haji reguler sebesar Rp 89.410.258,79, turun sebesar Rp 4.000.027,21 dari BPIH Tahun 1445 H/2024 M yang sebesar Rp 93.410.286,” ucap Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang membacakan kesimpulan rapat yang turut disiarkan secara daring.

BPIH tersebut terdiri dari Bipih (62 persen) dan nilai manfaat (38 persen).

Bipih Adalah Biaya yang Harus Dibayar Jemaah Haji

Bipih adalah biaya yang harus dibayar oleh jemaah haji. Artinya, dari total BPIH yang ditetapkan, setiap jemaah harus membayar biaya Bipih saja, sedangkan sisanya ditanggung dengan dana yang bersumber dari nilai manfaat.

Setiap jemaah yang mendaftar haji reguler wajib melakukan setoran awal sebesar Rp 25 juta. Pembayaran Bipih oleh jemaah dilakukan di Bank Penerima Setoran (BPS) Bipih.

Tahun ini, besaran Bipih yang harus dibayar jemaah Rp 55.431.750,78. Dengan demikian, jemaah perlu menyiapkan sekitar Rp 30 juta untuk melunasi biaya haji 2025.

Dalam ibadah haji khusus, ada istilah Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus.

Nilai Manfaat Adalah Dana Pengembangan Keuangan Haji

Nilai manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Pengelolaan dana ini dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Pemerintah dan DPR menyepakati total nilai manfaat tahun ini sebesar Rp 6,83 triliun. Dari angka tersebut, nilai manfaat setiap jemaah Rp 33.978.508,01 atau 38 persen dari BPIH.

Kepala Badan Pelaksana BPKH Fadlul Imansyah menyatakan kesiapan BPKH dalam membiayai ibadah haji 2025 berdasarkan keputusan yang disepakati pemerintah dan DPR.

“Kami memastikan ketersediaan dana tepat waktu oleh BPKH untuk pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025,” ungkap Fadlul dalam keterangannya, Senin (7/1/2025).

(kri/inf)



Sumber : www.detik.com

Biaya Haji Lebih Murah, BPKH Kaji Pengembangan Lahan-Bandara Alternatif di Saudi



Jakarta

Demi mewujudkan ibadah haji dengan biaya yang lebih terjangkau, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) turut mencari solusi untuk mewujudkannya. Hal itu dilakukan dengan memperhatikan keunggulan adanya miqat terdekat serta tetap menjaga kualitas pelayanan yang aman dan nyaman bagi jemaah.

Dalam rekomendasi rapat Panja Haji DPR RI 2025 beberapa waktu lalu, masa tinggal jemaah RI di Saudi selama 40 hari hendaknya dipangkas. Sebab, jangka waktu tersebut dirasa terlalu lama dan mahal.

Hal itu juga dibahas oleh Pimpinan Badan Pelaksana dan Dewan Pengawas BPKH dalam rapat konsultasi yang diadakan di Muamalat Tower, Jakarta. Mereka mendengar masukan serta berdiskusi dengan Kemenko Ekonomi, Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Kemenag RI, Kemenkeu RI, Kemenhub RI, serta beberapa BUMN termasuk Otoritas Provinsi di Arab Saudi terkait tantangan dan solusi dalam penyelenggaraan ibadah haji, termasuk solusi menurunkan masa tinggal agar lebih efisien dan rasional dengan layanan yang meningkat sesuai amanah UU No 34/2014.


Menurut Anggota Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas, serta Analisis Portofolio BPKH, Indra Gunawan, mengatakan faktor utama yang membuat durasi jemaah haji Indonesia di Tanah Suci mencapai 40 hari adalah panjangnya waktu tunggu keberangkatan dan kepulangan karena terbatasnya infrastruktur di bandara Jeddah dan Madinah, dari kewenangan pihak GACA (General Authority of Civil Aviation) KSA.

“Selain itu, tantangan lain juga muncul akibat aksesibilitas lebih dari 17.000 pulau dan 75.000 desa di Indonesia, serta 719 bahasa yang berbeda serta tingginya jumlah jemaah yang tidak memiliki akses keuangan memadai,” kata Indra dalam rilis yang diterima detikHikmah, Senin (20/1/2025).

Selain itu, dari segi usia jemaah haji Indonesia mayoritas merupakan lanjut usia (lansia) di atas 60 tahun. Sebagian besar dari mereka juga memiliki risiko tinggi (risti) kesehatan.

Anggota Dewan Pengawas BPKH, Heru Muara Sidik menuturkan bahwa pengembangan lahan dan bandara alternatif menjadi satu solusi mengatasi masalah tersebut. Dengan begitu, mobilisasi kedatangan dan kepulangan menjadi lebih mudah dan aman.

“Untuk mengatasi masalah ini, tercetus ide mengembangkan lahan dan bandara alternatif, apalagi jika ternyata ada miqat (lokasi berganti kain dan niat berihram yang dekat). Mobilisasi kedatangan dan kepulangan menjadi lebih mudah-murah, aman-nyaman, saatnya bahu membahu bersama bagi terobosan ini,” ujar Heru.

Menurut Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kemenhub RI, Capt M Mauludin, kini bandara yang dimaksud kapasitasnya terbatas karena hanya memiliki dua runway serta hanya dapat menampung ratusan penumpang per jam.

“Saat ini bandara dimaksud hanya memiliki dua runway dengan kapasitas terbatas, yang hanya mampu menampung ratusan penumpang per jam untuk kelaikudaraan bandara dan terminal haji ini perlu investasi lanjutan,” jelas Capt M Mauludin.

“Rencana jangka pendek yang diusulkan adanya gagasan untuk optimalisasi bandara eksisting disana dengan sebelumnya berkonsultasi intens bersama Presiden, Kementerian/Lembaga/BUMN dan Pemangku Kepentingan terkait guna mengalihkan sebagian jemaah haji Indonesia kesana untuk mengurai titik konsentrasi tidak hanya bandara di Jeddah dan Madinah,” lanjut Indra mengusulkan.

Sementara itu, dibutuhkan investasi pembangunan bandara, terminal, rumah sakit dengan kapasitas dan fasilitas yang lebih optimal untuk jangka panjang. Dalam hal ini, peran Kemenko dan Kemenkeu RI diperlukan untuk membantu tata kelola proses dan evaluasinya.

Adanya ketersediaan terminal akan dapat mengurai durasi dan mobilisasi serta meringankan konsentrasi tenaga dan layanan kesehatan yang memadai untuk mendukung kebutuhan medis jemaah haji lansia. Hal ini diafirmasi oleh Direktur Pengelolaan Dana Haji dan Sistem Informasi Haji Terpadu (SIHDU), Ramadhan Harisman.

Alternatif lahan dan bandara baru dianggap memiliki posisi strategis sebagai zona hub pelaksanaan haji di masa mendatang.

Indra optimis dengan dibukanya opsi lahan yang memiliki bandara dan miqat yang dekat ini, durasi haji bisa dipangkas menjadi lebih singkat.

“Sehingga berpotensi mengurangi biaya transportasi, konsumsi dan akomodasi yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya dan layanan haji yang lebih efektif dan efisien,” katanya.

Apabila gagasan tersebut terlaksana, BPKH siap berinvestasi langsung pada ekosistem haji dan umrah, serta sektor lain seperti pertanian, pariwisata, dan kuliner serta mengajak BUMN dan UMKM tanah air bergotong-royong membangun Kampung Haji Indonesia di Saudi dengan dana BPKH.

“Upaya ini bertujuan menjadikan haji dan umrah yang mudah-murah serta aman-nyaman dengan mengoptimalkan dana umat yang dikelola BPKH saat ini sudah mencapai Rp170 triliun,” pungkas Indra.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com