Tag Archives: wafat

Ahli Waris Jemaah Haji Wafat Dapat Asuransi Tambahan Rp 125 Juta



Jakarta

Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag bersama Saudia Airlines mulai menyalurkan asuransi tambahan kepada keluarga jemaah haji 2024 yang meninggal selama penerbangan. Asuransi diberikan bertahap.

Penyerahan pertama dilakukan kepada ahli waris Iloh Mahpud Nursani, jemaah kloter 34 Embarkasi Jakarta-Bekasi, asal Jawa Barat. Besaran asuransi tambahan yang mereka dapat adalah Rp 125 juta.

“Hari ini kita serahkan asuransi extra cover kepada ahli waris jemaah atas nama Iloh Mahpud Nursani asal Jawa Barat. Besaran asuransinya senilai Rp 125 juta, diberikan dalam bentuk cek kepada ahli waris jemaah,” ujar Dirjen PHU Kemenag Hilman Latief di Kanwil Kemenag Jawa Barat, Bandung, Rabu (25/9/2024), seperti dikutip dari situs Kemenag.


“Almarhumah juga mendapat asuransi jiwa senilai Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau Bipih Embarkasi Jakarta Bekasi atau sebesar Rp 58.498.334 yang telah ditransfer melalui rekening jemaah haji yang wafat,” lanjutnya.

Hilman menyebut, dari delapan jemaah haji yang meninggal selama penerbangan tahun ini, tiga di antaranya merupakan penumpang Saudia Airlines. Selain Iloh Mahpud Nursani, Sutima Asmawi (SUB 50) dan Sukirah Tomo Karso (SUB 62) juga akan menerima asuransi tambahan dari maskapai tersebut.

Selain itu, lima jemaah lainnya yang meninggal dunia saat penerbangan menggunakan Garuda Indonesia juga akan menerima santunan asuransi dari maskapai plat merah ini. Yaitu Nur Ainah Saleh Indar (BDJ 04), Tasriyah Wage Salwan (SOC 26), Aemun Amaq Rumiah (LOP 10), Nurmi Hasan Ndua (LOP 10), dan La Hamiu La Bandara (UPG 32).

“Sore ini, kami memberikan santunan kepada jemaah haji wafat di lingkup tanggung jawab pihak penerbangan kepada keluarga jemaah. Semoga almarhumah menjadi hajjah mabruroh dan semua amal ibadahnya diterima Allah SWT,” ujar Faisal Alallah, Wakil Saudia Airlines, saat menyampaikan belasungkwanya kepada almarhumah Iloh Mahpud Nursani dan jemaah lainnya.

Sesuai UU Haji dan Umrah, Menteri Agama menjamin perlindungan bagi jemaah haji selama perjalanan ibadah. Perlindungan ini mencakup asuransi jiwa dan kecelakaan dari embarkasi hingga debarkasi.

(hnh/kri)



Sumber : www.detik.com

Haji 2025 di Musim Panas Terakhir, Setelahnya Musim Semi-Dingin



Jakarta

Ibadah haji 2025 akan menjadi haji terakhir yang berlangsung pada musim panas hingga datang 17 tahun lagi. Arab Saudi akan masuk musim semi tahun depan.

Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara Pusat Meteorologi Nasional Arab Saudi (NCM) Hussein Al-Qahtani.

“Musim haji akan memasuki fase baru perubahan iklim pada tahun 2026. Kita tidak akan menyaksikan haji musim panas sampai setelah 17 tahun,” kata Al-Qahtani setelah puncak musim haji tahun lalu, Juni 2024, dilansir Saudi Gazette.


Al-Qahtani mengatakan 2026 akan menandai dimulainya musim semi selama delapan tahun berturut-turut diikuti musim dingin selama delapan tahun.

“Kita akan mengucapkan selamat tinggal pada haji di musim panas selama 16 tahun,” katanya sambil mencatat suhu rata-rata haji berkisar antara 45 dan 47 derajat Celsius.

Anggota Dewan Syura yang merupakan peneliti perubahan iklim, Dr. Mansour Al Mazroui, juga menegaskan haji 2025 akan menjadi musim haji terakhir yang bertepatan dengan musim panas sebelum akhirnya memasuki musim semi selama delapan tahun dilanjutkan musim dingin selama delapan tahun juga.

“Musim haji datang di musim dingin, dimulai pada tahun Hijriah 1454 dan berlanjut selama 8 tahun, berakhir pada tahun Hijriah 1461. Sedangkan untuk musim gugur, musim haji berlangsung antara tahun 1462 dan 1469,” rincinya.

Saudi Waspadai Suhu Ekstrem Haji 2025

Laporan AFP dikutip Deutsche Welle, Rabu (15/1/2025), Arab Saudi waspadai panas ekstrem pada musim haji 2025. Pada Juni tahun lalu, suhu udara melonjak hingga 51,8 derajat Celsius di Makkah saat 1,8 juta umat Islam menunaikan rukun Islam kelima, haji.

Kementerian Kesehatan Arab Saudi mencatat sebanyak 1.301 jemaah wafat akibat suhu tinggi pada haji 2024, 83 persen di antaranya adalah jemaah haji ilegal. Lonjakan kasus kematian terjadi saat puncak haji.

Sumber AFP dari Pusat Penelitian Medis Internasional Raja Abdullah di Arab Saudi, Abderrezak Bouchama, mengatakan meski pemerintah Arab Saudi belum merinci persiapan haji tahun ini, pihak berwenang pastinya ingin menghindari terulangnya tragedi haji tahun lalu.

“Saya kira yang terutama adalah mengurangi risiko masuknya jemaah haji ilegal,” kata Bouchama, yang bekerja sama dengan pemerintah Saudi selama lebih dari tiga dekade untuk mengurangi kematian akibat cuaca panas.

“Saya rasa, pemerintah sudah belajar dari kesalahan ini, jadi kita harus melihat tindakan apa yang sudah mereka ambil untuk mengatasinya.”

Bouchama menyebut langkah mitigasi lain seperti sensor pendeteksi panas dini.

Peneliti Chatham House Karim Elgendy memperkirakan Arab Saudi akan memperbaiki infrastruktur untuk mitigasi suhu panas selama musim haji 2025.

“Respons pemerintah di masa lalu biasanya difokuskan pada peningkatan infrastruktur dan langkah-langkah pengendalian massa. Berdasarkan pola ini, kami memperkirakan untuk musim haji 2025 pemerintah Saudi akan memperbaiki infrastruktur demi memitigasi suhu panas dan kemungkinan kontrol kapasitas yang lebih ketat,” katanya.

(kri/lus)



Sumber : www.detik.com

Saat Abu Bakar & Umar Mendengar Kabar Wafatnya Nabi SAW



Jakarta

Terdapat sebuah kisah mengharukan yang terjadi tak lama setelah Rasulullah SAW menghembuskan nafas terakhirnya, yakni ketika para sahabat beserta kaum muslim kala itu mendengar kepergian Nabi panutannya. Seperti apa kisahnya?

Menukil As-Siraah an-Nabaiwiyah fii Dhau’i al-Mashaadir al-Ashliyyah: Diraasah Tahliiliyyah susunan Mahdi Rizqullah Ahmad, jumhur ulama berpendapat bahwa meninggalnya Rasul SAW bertepatan dengan hari Senin, pada tanggal 12 Rabiul Awal, di usianya yang 63 tahun.

Diketahui, beliau mengalami sakit yang cukup parah selama beberapa hari sebelum menghadap Ilahi. Kemudian beliau wafat di rumah Aisyah, pada jatah hari gilirannya, dan berada tepat di pelukan Aisyah.


Menjelang Wafatnya Rasulullah SAW

Dalam Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam diceritakan tak lama menjelang wafatnya, ketika Nabi SAW sakit dan suhu tubuhnya meninggi, beliau keluar dari kediaman Aisyah untuk menemui kaum muslim. Lalu berangkatlah beliau ke masjid.

Ibnu Ishaq berkata bahwa az-Zuhri menuturkan, “Ayyub bin Yasar mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW keluar dari rumah dengan memakai ikat kepala, lalu duduk di mimbar.

Kalimat pertama yang diucapkannya adalah doa untuk para syuhada perang Uhud, memohonkan ampunan untuk mereka, dan bershalawat untuk mereka. Setelah itu, beliau bersabda: ‘Sesungguhnya, seorang hamba diberi pilihan oleh Allah antara dunia dengan apa yang ada di sisi-Nya. Kemudian ia memilih apa yang ada di sisi Allah.’

Abu Bakar memahami perkataan tersebut dan tahu bahwa hamba yang dimaksud adalah diri beliau sendiri. Ia pun menangis dan berkata, ‘Tetapi kami akan menebus engkau dengan jiwa kami dan anak-anak kami.’

Beliau bersabda, ‘Tenanglah, Abu Bakar!’ Beliau meneruskan, ‘Lihatlah pintu-pintu masjid yang terbuka ini. Tutuplah kecuali pintu yang mengarah ke rumah Abu Bakar, sebab aku benar-benar tidak kenal seseorang yang lebih baik persahabatannya denganku selain dirinya’.”

Ibnu Hisyam berkata, “Ada yang meriwayatkan: ‘Kecuali pintu Abu Bakar’.”

Ada yang meriwayatkan daari keluarga Abu Sa’id bin Al-Mu’alla, bahwa Rasul SAW bersabda pada hari itu, “Seandainya aku boleh menjadikan seseorang sebagai kekasihku, tentu akan kujadikan Abu Bakar sebagai kekasihku. Akan tetapi, cukuplah persahabatan, persaudaraan, dan iman sampai Allah menghimpun kita di sisi-Nya.” (Muttafaq Alaih)

Reaksi Umar dan Abu Bakar saat Wafatnya Nabi SAW

Masih dari Sirah Nabawiyah oleh Ibnu Hisyam, Ibnu Ishaq mendengar dari az-Zuhri dan Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah: “Ketika Rasul SAW wafat, Umar bin Khattab berdiri dan berkata: ‘Ada orang-orang munafik yang menganggap Rasulullah sudah wafat. Sebenarnya Rasulullah tidak wafat!

Beliau hanya pergi menemui Tuhannya seperti kepergian Musa bin Imran. Musa meninggalkan kaumnya selama 40 malam lalu kembali kepada mereka setelah dikatakan bahwa ia wafat. Demi Allah, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga! Lalu aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik yang menganggap beliau sudah wafat!”

Setelah menerima berita duka tentang wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq bergegas kembali. Ia berhenti di pintu masjid, sementara Umar masih bicara kepada orang banyak.

Abu Bakar tidak menoleh kanan kiri, melainkan terus masuk ke tempat Rasulullah di rumah Aisyah. Jenazah beliau sudah diselubungi selimut Yaman di sudut rumah. Abu Bakar mendekati jenazah beliau dan menyingkapkan selubung di wajahnya.

Ia mendekat lalu menciumnya (jenazah Rasulullah), sesudah itu berkata, ‘Demi ayah bundaku! Kematian yang ditentukan Allah SWT atas dirimu telah engkau rasakan. Setelah itu, tak ada lagi kematian yang menimpa dirimu selama-lamanya.’

Setelah mengembalikan selimut ke wajah Rasulullah, Abu Bakar keluar. Saat itu Umar masih saja bicara. Abu Bakar berkata, ‘Tenanglah, Umar, diamlah!’

Namun, Umar menolak diam. Ia terus saja meracau. Melihat Umar tak bisa dihentikan, Abu Bakar menghadap ke arah orang-orang. Saat orang-orang mendengar suara Abu Bakar, mereka pun berpaling kepadanya dan meninggalkan Umar.

Abu Bakar memuji Allah SWT, lalu berkata, ‘Saudara-saudara, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup tak pernah mati.’

Kemudian Abu Bakar membaca firman Allah SWT yang tertuang dalam Surat Ali Imran ayat 144:

وَمَا مُحَمَّدٌ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۗ اَفَا۟ىِٕنْ مَّاتَ اَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلٰٓى اَعْقَابِكُمْ ۗ وَمَنْ يَّنْقَلِبْ عَلٰى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَّضُرَّ اللّٰهَ شَيْـًٔا ۗوَسَيَجْزِى اللّٰهُ الشّٰكِرِيْنَ – 144

Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika ia wafat atau dibunuh engkau berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Kala itu, kaum muslim seakan tak tahu bahwa ayat ini pernah diturunkan sampai Abu Bakar membacakannya pada hari itu. Mereka mengambil ayat tersebut dari Abu Bakar, padahal ayat itu sebenarnya sudah mereka ketahui.

Abu Hurairah menirukan perkataan Umar, “Demi Allah, sesaat setelah mendengar Abu Bakar membacakan ayat tersebut, aku pun tersadar lalu roboh ke tanah karena kedua kakiku tak mampu menopang tubuhku. Terbuka mataku kini bahwa Rasulullah benar-benar sudah wafat.”

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq, Sakit di Ujung Ajalnya



Jakarta

Abu Bakar Ash Shiddiq termasuk dalam golongan orang-orang pertama yang masuk surga dari kalangan sahabat Rasulullah SAW. Berikut kisah wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai orang yang meneruskan perjuangan Rasulullah SAW.

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah khalifah pertama umat Islam yang menggantikan kepemimpinan umat Islam setelah wafatnya Rasulullah SAW. Dijelaskan oleh buku 10 Kisah Pahlawan Surga Cerita Anak Shaleh & Cerdas karya Abu Zein, Abu Bakar menjadi pemimpin yang disepakati oleh muslim saat itu sebagai pemimpin yang jauh lebih baik dari semua orang.

Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan dedikasi yang tinggi. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, terjadi perlawanan dari beberapa penduduk, namun Abu Bakar dengan bijaksana berhasil meredakan pertikaian di antara mereka. Dia juga melawan mereka yang menolak membayar zakat.


Salah satu tugas terbesar yang dilakukan Abu Bakar adalah mengumpulkan lembaran-lembaran Al-Qur’an. Dia dibantu oleh para sahabatnya, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit.

Lembaran-lembaran tersebut disimpan di rumah Ummul Mukminin, Hafshah. Kemudian, pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan, lembaran-lembaran tersebut digabungkan menjadi sebuah kitab seperti yang sering kita baca sekarang.

Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Rasulullah SAW, pernah mengatakan, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dialah yang memiliki kontribusi terbesar dalam pengumpulan Al-Qur’an.”

Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, sama seperti Rasulullah SAW. Wafatnya Abu Bakar terjadi pada tanggal 22 Jumadil Akhir tahun 13 Hijriah, tepatnya hari Senin malam.

Kisah Wafatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Dijelaskan oleh Rizem Zaid dalam bukunya yang berjudul The Great Sahaba, wafatnya Abu Bakar disebabkan oleh penyakit yang dideritanya. Terdapat cerita bahwa penyakit yang ia alami adalah karena keracunan.

Menurut cerita tersebut, orang-orang Yahudi diduga memasukkan racun ke dalam makanan Abu Bakar yang kemudian membuatnya jatuh sakit dan akhirnya mengakibatkan kematiannya.

Ketika Abu Bakar memakan makanan beracun tersebut, ia didampingi oleh Attab bin Usaid. Selain itu, Al-Harits bin Kaldah juga ada di sana, tetapi ia hanya sedikit makan, sehingga racun tidak langsung berdampak padanya.

Lama waktu antara memakan makanan beracun itu dan munculnya reaksi racun tersebut dikatakan satu tahun. Attab wafat di Makkah pada hari yang sama dengan wafatnya Abu Bakar di Madinah.

Namun, terdapat juga versi lain mengenai penyebab wafatnya Abu Bakar. Menurut riwayat yang kuat dan diceritakan oleh Aisyah RA dalam buku Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash Shiddiq oleh Muhammad Husain Haikal, penyakit Abu Bakar disebabkan oleh mandi malam saat musim dingin yang membuatnya demam dan panas selama 15 hari.

Karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk menjadi imam, Abu Bakar meminta Umar bin Khattab untuk menggantikannya.

Saat penyakitnya semakin parah dan Abu Bakar berada di dekat ajalnya, seseorang menawarkan pengobatan kepadanya. Namun, Abu Bakar menolak tawaran tersebut.

Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir, Abu Bakar mengatakan bahwa ia telah melihat Allah SWT dan Dia berkata, “Sesungguhnya, Aku akan melakukan apa yang Aku kehendaki.”

Hingga akhirnya, Abu Bakar Radhiyallahu anhu meninggal dengan damai. Wallahu’alam.

(rah/rah)



Sumber : www.detik.com

Makam Ibu Nabi Muhammad di Al-Abwa, Desa di antara Makkah dan Madinah



Jakarta

Nabi Muhammad SAW lahir dari sepasang suami istri yang bernama Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Beliau lahir pada 12 Rabiul Awal, Tahun Gajah 570 Masehi.

Seperti yang sudah diketahui, Nabi Muhammad SAW sudah menjadi seorang yatim piatu sejak masih kanak-kanak. Beliau lebih dulu ditinggal oleh ayahnya sebelum pernah melihat wajahnya, kemudian ditinggal wafat oleh ibunya.

Lantas, di mana ibu Nabi Muhammad SAW dimakamkan? Berikut sejarah singkatnya.


Cerita masa kecil Nabi Muhammad SAW dimulai ketika Abdul Muthalib, kakek Rasulullah SAW, memilihkan istri untuk anak tersayangnya, Abdullah bin Abdul Muthalib, tulis Daeng Naja dalam bukunya yang berjudul Hidup Bersama Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ditulis oleh .

Abdul Muthalib memilihkan seorang gadis terhormat dari kalangan Quraisy, baik dari hal nasab (garis keturunan) maupun martabatnya. Wanita itu adalah putri dari pemuka Bani Zahrah yang bernama Aminah binti Wahab bin Abdu Manaf bin Zahrah bin Kilab.

Setelah menjalani hubungan pernikahan selama beberapa bulan, Abdullah bin Abdul Muthalib pergi ke Yatsrib (Madinah) karena dikirim oleh ayahnya untuk mengurusi kurma di sana.

Takdir berkata lain, ketika tiba di Yatsrib, Abdullah jatuh sakit dan tidak bisa tertolong. Ia akhirnya wafat di usia yang sangat muda, yakni pada umur 25 tahun. Ia dimakamkan di suatu tempat bernama Dar an-Nabighah al-Ja’dl. Tanpa dia sadari, ia wafat meninggalkan istrinya yang ternyata sedang mengandung anaknya.

Aminah binti Wahab yang mendengar wafatnya sang suami merasa sangat terpukul dan sedih. Apalagi dirinya sedang mengandung anak pertama. Meski demikian, saat kehamilannya ia lalui tanpa ada rasa susah dan berat sedikit pun.

“Aku tidak merasa sedang hamil, tidak pula merasa lelah seperti biasa dialami wanita hamil. Hanya aku heran mengapa haidku berhenti”, ujar Aminah.

Ibnu Hisyam mengatakan, ketika Aminah binti Wahab sedang hamil, ia didatangi oleh seseorang seraya berkata kepadanya,

“Sungguh, engkau mengandung bayi yang kelak menjadi pemimpin umat. Apabila bayimu lahir, ucapkanlah, ‘Aku memohonkan perlindungan baginya kepada Yang Maha Esa dan kejahatan setiap pendengki,’ dan namai dia Muhammad.”

Tanda-tanda kenabian pada bayi yang dikandung Aminah itu juga terlihat karena sebuag cahaya yang sangat terang keluar dari dalam diri Aminah dan mampu menyinari istana Basra di Syam.

Lalu, bayi yang dikandung oleh Aminah binti Wahab tersebut pun lahir pada hari Senin malam, 12 Rabiul Awal, di Makkah pada tahun 570 Masehi.

Setelah lahir, Muhammad disusui oleh seorang perempuan bernama Tsuwaibah selama beberapa hari sebelum datang ibu susuan lain bernama Halimatus Sa’diyah. Muhammad kecil lalu diasuh oleh Halimatus Sa’diyah hingga usianya kurang lebih mencapai 4-5 tahun, sebagaimana dijelaskan dalam buku Be Smart PAI yang disunting oleh Ahmad Dimyati.

Baru setelah itu Muhammad diasuh oleh ibundanya sendiri, Aminah binti Wahab tanpa adanya sosok ayah.

Makam Ibunda Nabi Muhammad SAW

Diambil dari sumber sebelumnya, Nabi Muhammad SAW menjadi seorang anak yatim piatu saat usianya menginjak enam tahun.

Saat itu, Siti Aminah mengajak Muhammad kecil untuk pergi ke Yatsrib (Madinah) untuk menziarahi sanak saudaranya dari pihak ibu, sekaligus menziarahi makam suaminya atau ayah Muhammad, Abdullah.

Perjalanan ini juga disertai oleh Ummu Aiman yang merupakan pembantu dari Aminah dan Abdullah. Siti Aminah dan putranya beserta Ummu Aiman tinggal di Yatsrib hingga sebulan lamanya. Setelah itu, mereka bertolak kembali menuju Makkah.

Di tengah perjalanan kembali ke Makkah dari Madinah, tepatnya di desa Abwa, Aminah akhirnya jatuh sakit.

Sakit itu tidak kunjung sembuh dan berujung pada wafatnya ibunda Nabi Muhammad SAW, Aminah. Sehingga ibunda Nabi Muhammad SAW dimakamkan di Abwa.

Sepeninggal ibunda Nabi Muhammad SAW, beliau lantas diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib di kota Makkah. Beliau sangat dicintai oleh kakeknya tersebut melebihi cintanya pada anak-anaknya yang lain.

Menurut Sejarah Terlengkap Nabi Muhammad SAW karya Abdurrahman bin Abdul Karim, setelah Siti Aminah wafat, Nabi Muhammad SAW diasuh juga oleh Ummu Aiman. Ummu Aiman menjadi seorang perempuan yang berarti bagi hidup Nabi Muhammad SAW dan beliau memanggil Ummu Aiman juga sebagai ibu

(dvs/dvs)



Sumber : www.detik.com

Sosok Ummu Salamah, Istri Rasulullah yang Terakhir Wafat



Jakarta

Rasulullah SAW mempunyai beberapa istri, salah , bernama Ummu Salamah. Ummu Salamah adalah salah satu istri mulia Rasulullah SAW.

Terdapat hikmah tersendiri dari pernikahan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW. Berikut kisahnya:

Ummu Salamah Istri Rasulullah SAW

Dirangkum dari buku Kelengkapan Tarikh Rasulullah SAW karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, nama lengkap Ummu Salamah adalah Hindun binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah adalah istri Abu Salamah bin Abdul Asad.


Menurut buku Sirah Nabawiyah karya Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Ummu Salamah dan Rasulullah SAW menikah pada bulan Syawwal tahun 4 Hijriyah.

Dijelaskan dari buku Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 2 karya Ali Muhammad Ash-Shallabi, beberapa saat setelah Abu Salamah meninggal dan masa iddah Ummu Salamah habis, Rasulullah SAW datang kepada Ummu Salamah dan menyatakan pinangan kepadanya melalui anak laki-laki Ummu Salamah. Ummu Salamah berkata, “Apakah pantas aku menolak Rasul utusan Allah?! Atau aku mengajukan diri dengan keluargaku.” Keesokan harinya Rasulullah SAW datang langsung meminang Ummu Salamah.

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapa wali yang menikahkan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW.

Ketika Ummu Salamah setuju untuk menikah, Rasulullah SAW berkata, “Aku tidak memberikan kurang dari apa yang pernah aku berikan kepada si fulan, alat penggiling gandum, dua kantong gandum, dan bantal dari kulit yang diisi dengan bulu hewan.”

Dari hasil pernikahan Ummu Salamah dengan Abu Salamah, mereka dikaruniai dengan seorang bayi. Ketika Rasulullah SAW menikahinya, beliau mendatanginya. Jika Rasulullah SAW datang kepadanya, Zainab mengambil bayi itu ke kamarnya untuk ia susukan. Malu dengan hal itu, Rasulullah SAW pun kembali.

Ammar bin Yasir (saudara seibu Ummu Salamah) yang memahami hal tersebut mengambil bayi itu agar disusukan di rumahnya atau di rumah salah seorang perempuan. Setelah menanyakan keberadaan Zannab, Rasulullah SAW berkata kepada Ummu Salamah, “Aku akan datang kepada kamu malam ini.”

Rasulullah SAW kemudian menetap selama tiga hari di rumah Ummu Salamah. Kemudian Rasulullah SAW memberikan giliran kepadanya seperti istri-istrinya yang lain, yaitu tujuh hari bagi istri yang masih gadis, dan tiga hari bagi janda.

Hikmah Pernikahan

Hikmah pernikahan Ummu Salamah dengan Rasulullah SAW adalah bukan untuk kenikmatan yang memang dihalalkan. Akan tetapi karena keutamaan Ummu Salamah yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berpikir tentang kualitas pendapat Ummu Salamah pada perjanjian Al-Hudaibiyah dan sebagai ungkapan belasungkawa atas kematian suaminya.

Di balik pernikahan mereka juga terkandung makna untuk meredam kedengkian kabilah dan mendekatkan hati anak-anak Ummu Salamah, sehingga membuat mereka tertarik untuk masuk Islam setelah mereka menjadi keluarga Rasulullah SAW melalui pernikahan.

Dalam pernikahan mereka terkandung fiqh Rasulullah SAW dalam membangun interen umat, menunaikan hak para syuhada’ terhadap istri-istri mereka. Di antara hak para istri tersebut adalah mendapatkan nur nubuwwah sesuai kehendak Allah SWT agar mereka menyampaikan nur nubuwwah tersebut dari Rasulullah SAW.

Ummu Salamah adalah istri Rasulullah SAW yang terakhir meninggal dunia. Beliau meninggal pada tahun 61 Hijriyah. Semasa hidupnya, Ummu Salamah berperang menyebarkan ilmu pengetahuan dan hikmah dari Rasulullah. Dengan wafatnya Ummu Salamah, maka padamlah lampu terakhir dari lampu-lampu Ummahat Al-Mukminin yang memancarkan cahaya, hidayah, dan ilmu.

Semoga Allah SWT meridhainya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Kisah Murid Abu Hurairah yang Wafat saat Mengimami Salat



Jakarta

Dia adalah Zurarah bin Aufa Al Qadhi. Sosoknya juga dikenal dengan nama Abu Hajib Al ‘Amiri Al Bashri sebagai imam besar, hakim, perawi hadits, dan ulama kenamaan dari Bashrah.

Semasa hidupnya, Zurarah bin Aufa memang dikenal Imam Nasa’i dan imam lain di kalangan ahli hadits sebagai sosok perawi yang terpercaya dan kuat ingatannya atau tsiqah. Ia wafat pada tahun ke-93 Hijriah.

Salah satu murid dari Abu Hurairah ini diceritakan wafat saat dirinya sedang menjadi imam salat berjemaah. Kisah ini pun dibenarkan oleh hampir seluruh riwayat shahih dalam buku Rab Man Maata Wahua Yushalli oleh Mahmud bin Abul Malik Al-Zugbi terjemahan Yusni Amru dan Fuad Nawawi.


Zurarah bin Aufa wafat secara mendadak di wilayah Abdul Malik bin Marwan pada awal kunjungannya ke daerah Hijaz, Irak. Kisah kematian perawi yang merupakan guru dari ahli hadits Qatadah ini banyak diceritakan oleh para ahli hadits.

Salah satu kisahnya diceritakan oleh ‘Utab bin Al Matsani Al Qusyairi dari Bazin bin Hakim–murid Zurarah bin Aufa. Bahzin bercerita, saat itu Zurarah bin Aufa tengah mengimami salat berjamaah di Masjid Bani Qusyair. Bahzin menjadi salah satu makmumnya.

Menurut penuturan Bahzin, saat Zurarah membaca surah Al Muddatsir sampai ayat ke-8, mendadak beliau ambruk hingga dinyatakan meninggal dunia. Diceritakan oleh Bahzin, beliau sudah dinyatakan meninggal saat makmumnya hendak mengangkat tubuhnya.

“Aku termasuk yang membawa beliau sampai kediamannya. Setibanya di Hajaj, daerah Bashrah, orang-orang datang mengerubuti rumahnya,” demikian keterangan Bahzin.

Ibnu Katsir juga pernah menceritakan kematian Zurarah bin Aufa. Disebutkan, Ibnu Aufa, begitu Zurarah bin Aufa juga disapa, saat itu tengah menjadi imam untuk salat Subuh, bertepatan dengan dirinya membaca surah Al Muddatsir ayat 8.

“Saat sampai ayat ke-8, dia ambruk, lalu meninggal dunia. Dia wafat di Bashrah dalam usia 70 tahun,” terangnya.

Meski demikian, ada riwayat lain bersumber dari Abu Daud Al Thayalisi menyatakan, Zurarah bin Aufa wafat pada saat beliau dalam keadaan sujud salat di tengah-tengah menjadi imam salat berjemaah. Ada pula yang menyebutnya beliau wafat saat menjadi imam salat dua hari raya atau salat Id.

Wallahu a’lam.

(rah/erd)



Sumber : www.detik.com

Kisah Wafatnya Pendiri Mazhab Hanbali, Digoda Setan Jelang Ajalnya



Jakarta

Ahmad bin Hanbal adalah salah satu tokoh imam besar dalam Islam. Menjelang wafatnya, pendiri Mazhab Hanbali ini diketahui menderita penyakit keras. Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ia sempat diganggu setan kala menghadapi sakaratul mautnya.

Saat itu bertepatan dengan Rabiul Awal 241 Hijriah atau 855 M. Imam Ahmad sudah menderita sakit yang amat parah yang membuat suhu tubuhnya memanas, napasnya tersengal-sengal, hingga tubuhnya terus melemah.

Shalih bin Ahmad, putranya memberikan kesaksian kondisi ayahnya yang saat itu kurang dari lima puluh hari menjelang ajal. Dikutip dari Rab Man Maata Wahua Yushalli oleh Mahmud bin Abul Malik Al-Zugbi terjemahan Yusni Amru dan Fuad Nawawi. Imam Ahmad bahkan tidak mengeluh kesakitan sekali pun. Raut wajahnya tetap tenang meski berada di puncak kesakitan.


Kemudian, Shalih bin Ahmad bercerita, Imam Ahmad tiba-tiba mengeluarkan beberapa keping uang di selembar sapu tangan yang disimpannya. Sang imam pun berwasiat kepada putranya untuk menginfakkan uang tersebut atas nama dirinya.

Beberapa hari setelahnya, sakaratul maut pun menghampiri Imam Ahmad. Shalih bin Ahmad turut menceritakan kesaksiannya saat sang ayah melalui detik-detik sebelum kematiannya.

Shalih bin Ahmad mengatakan, ayahnya kerap kali mengucapkan, “Tidak akan!” pada saat sakaratul maut. Shalih bin Ahmad maupun Abdullah bin Ahmad–putra kedua Imam Ahmad–heran dan bertanya kepada ayahnya.

“Wahai Ayah, apa maksud dari perkataan yang selalu engkau ucapkan ini?”

Imam Ahmad menjawab, “Wahai anakku, sesungguhnya iblis berdiri di pojok rumah ini. Dia sedang menggigit jarinya seraya berkata, ‘Apakah engkau akan terkecoh olehku, wahai Ahmad?’ maka, aku berkata demikian.”

Setelahnya, Imam Ahmad memberi isyarat pada para ahli warisnya untuk mewudhukan dan membersihkan sela-sela jemarinya. Tak lama seusai Imam Ahmad sempurna diwudhukan oleh kedua putranya, ia pun mengembuskan napas terakhirnya tepat pada Jumat pagi.

Kabar duka itu pun tak lama tersiar cepat. Umat Islam berbondong-bondong melayatnya, bahkan seketika jalanan pun menjadi sempit karena dijejali oleh iring-iringan para pelayat dari berbagai penjuru untuk mengantarkan sang imam besar tersebut.

Berdasarkan cerita wafatnya Imam Ahmad, saat ajal manusia sudah dekat atau saat sakaratul maut pun, manusia tidak lepas dari gangguan setan. Keterangan ini juga ternyata pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya. Setan menggoda manusia pada saat sekarat karena saat itu adalah waktu hajat.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu Al Fatawa menyebutkan gangguan setan menjelang ajal tidak berlaku sama bagi tiap orang. Menurutnya bahkan ada yang ditawarkan lebih dari dua agama oleh setan di saat-saat menjelang ajalnya.

Keadaan tersebut termasuk dengan fitnah kehidupan dan kematian. Sebab itu, muslim dianjurkan untuk senantiasa memohon perlindungan Allah SWT dari gangguan setan.

(rah/lus)



Sumber : www.detik.com

Nabi Ayub dan Rasulullah SAW Diuji dengan Penyakit Jelang Wafat



Jakarta

Nabi bukanlah sekadar sebuah gelar, mereka adalah individu yang dipilih oleh Allah SWT, memiliki keteguhan hati yang tak tergoyahkan, keimanan yang mendalam, dan diuji dengan berbagai kesulitan luar biasa.

Ada seorang nabi diuji dengan diberikan penyakit yang tidak bisa disembuhkan bagi zaman sebelumnya, zaman saat itu, hingga zaman setelahnya. Berikut ini penjelasan dan jawaban mengenai sosok nabi apa yang diuji dengan penyakit.

Berikut ini kisah sakitnya nabi utusan Allah SWT yang menandakan bahwa para nabi juga lah manusia biasa.


Kisah Sakitnya Nabi Ayub AS

Mengutip buku Dahsyatnya Syukur yang ditulis Prof. Dr. Komaruddin Hidayat membahas mengenai ujian yang Allah SWT berikan kepada nabi Ayub AS.

Dikisahkan bahwa Nabi Ayub AS merupakan nabi yang mempunyai kekayaan berlimpah, namun tidak membuat dirinya menjadi sombong, malah membuatnya semakin taat dalam beribadah kepada Allah SWT.

Ketaatan nabi Ayub inilah menjadikan para iblis marah dan iri, maka mereka bersungguh-sungguh untuk menggoyahkan keimanan beliau. Iblis pun menghadap kepada Allah SWT sambil meminta izin untuk menggoda dan menguji nabi Ayub.

Allah lantas mengabulkan keinginan iblis tersebut, bukan karena Allah tidak peduli dengan nabinya, tetapi Allah bermaksud untuk menjadikan kejadian ini sebagai teladan bagi umat manusia.

Ujian pertama Allah SWT mengabulkan para iblis untuk mengambil harta kekayaan nabi Ayub, dengan cara mematikan seluruh hewan ternak, kebun-kebun mengering, buah-buahan membusuk, rumah dimusnahkan.

Nabi Ayub AS tetap sabar dan bersyukur, tidak mengeluh, apalagi berprasangka buruk kepada-Nya, beliau menyadari semua yang dimiliki adalah kepunyaan Allah SWT. Beberapa kali iblis mencobai menghasutnya, namun tidak membuahkan hasil.

Hal ini tidak membuat para iblis menyerah dalam menguji nabi Ayub, mereka pun memberikan berbagai macam penyakit ke seluruh tubuh nabi Ayub. Seluruh persendian terasa remuk, badannya panas-dingin, dadanya terasa sesak dan sakit, muncul batuk-batuk berdarah, kulitnya dipenuhi bintik-bintik merah.

Bintik merah itu lama kelamaan berubah menjadi koreng bahkan mengeluarkan bau yang tidak sedap, membuat nabi Ayub hanya bisa berbaring di tempat tidurnya, semua kebutuhannya dilayani oleh sang istri.

Kian hari penyakit nabi Ayub semakin parah, bahkan penyakit tersebut bertahan di tubuh beliau selama 7 tahun, akhirnya nabi Ayub AS curhat mengenai kondisinya.

Pesan nabi Ayub AS tergambarkan dalam surah Al-Anbiya ayat 83:

۞ وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ ۚ ٨٣

Artinya: “(Ingatlah) Ayyub ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku,) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”

Allah menjawab doa nabi Ayyub AS melalui surah Shad ayat 42:

اُرْكُضْ بِرِجْلِكَۚ هٰذَا مُغْتَسَلٌۢ بَارِدٌ وَّشَرَابٌ ٤٢

Artinya: “(Allah berfirman,) “Entakkanlah kakimu (ke bumi)! Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.”

Nabi Ayyub AS lantas mandi dan meminum air tersebut, seketika penyakitnya sembuh.

Nabi Muhammad AS Sakit Sebelum Wafatnya

Neti S., Aisyah Fad, Endah W dalam buku berjudul Nabi Muhammad Saw – Kisah Manusia Paling Mulia Di Dunia menuliskan kisah wafatnya manusia paling mulia di dunia ini.

Pada tanggal 28/29 bulan Safar 11 H Nabi Muhammad SAW merasakan sakit sepulang menghadiri pemakan jenazah seorang sahabat di Baqi.

Rasulullah sakit selama 13/14 hari, meskipun sakit selama 11 hari Nabi Muhammad SAW tetap melaksanakan salat bersama para sahabatnya. Kemudian, penyakit beliau semakin berat, dan menghendaki untuk berada di rumah Aisyah pada hari-hari terakhirnya.

Beberapa hari terakhir tersebut juga Abu Bakar telah menjadi imam salat menggantikan Nabi Muhammad SAW. Lalu, ½ hari sebelum wafat, Rasulullah keluar untuk menunaikan salat Zuhur, dan duduk di samping Abu Bakar.

Rasulullah memerdekakan budaknya, bersedekah, dan memberikan senjata-senjatanya kepada umat Islam.

Wasiat Rasulullah SAW

Menjelang wafatnya Rasulullah menyampaikan pesan laknat Allah bagi Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi menjadi masjid.

Nabi Muhammad SAW juga menegaskan, “Jagalah salat! Jagalah salat! Jangan sekali-kali terlantarkan budak kali.” Wasiat ini diulang-ulang hingga beberapa kali.

Pada hari Senin, 12 Rabiul Awal, di waktu Dhuha, Nabi Muhammad SAW wafat di pangkuan Aisyah RA dalam usia 63 tahun lebih 4 hari.

Demikianlah pembahasan tentang nabi yang diuji dengan penyakit. Nabi Ayub AS yang diuji Allah dengan penyakit yang belum pernah ada sebelumnya dan setelahnya, serta Nabi Muhammad SAW yang mengalami sakit menjelang wafatnya.

(lus/lus)



Sumber : www.detik.com

Sosok Ini Setia Bela Nabi Meski Tak Pernah Masuk Islam


Jakarta

Pada fase awal dakwah, Rasulullah SAW selalu mendapatkan tindakan diskriminatif dari kaum kafir Quraisy, Tak tinggal diam, seluruh keluarga Rasulullah SAW selalu mendukung dan melindungi beliau, termasuk sang paman, meski hingga akhir hayatnya tidak juga memeluk Islam.

Paman yang setia membela Rasulullah SAW ini bernama Abu Thalib. Dijelaskan dalam buku Ali Bin Abi Thalib karya Sayyid Sulaiman Nadwi, Abu Thalib merupakan salah seorang tokoh yang paling berpengaruh dan terhormat di Makkah.

Rasulullah SAW tumbuh besar di pelukan kasih sayang dan tangan Abu Thalib. Abdul Muthalib, kakek dan pelindung Rasulullah SAW, telah menitipkan Rasulullah SAW kepada Abu Thalib, putranya.


Awal periode kehidupan Nabi Muhammad SAW berlalu di rumah pamannya ini. Abu Thalib juga membawa Nabi Muhammad SAW berdagang ke Syam. Nabi Muhammad SAW kecil telah merasakan kasih sayang serta perlindungan yang ikhlas dan tulus dari Abu Thalib.

Meski tetap memeluk agama nenek moyangnya, hal itu tidak mengurangi kasih sayang yang dia berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Telah berkali-kali orang musyrik Mekah melaporkan kepada Abu Thalib ingin mengenyahkan Nabi Muhammad SAW dari muka bumi. Meskipun telah diminta berkali-kali agar berhenti memberikan perlindungan kepada keponakannya itu, Abu Thalib tidak pernah meninggalkannya.

Sang paman juga tidak malu untuk menunjukkan pengorbanan diri di jalan ini. Berbagai penganiayaan yang dilakukan musyrik Quraisy, dengan memboikot Abu Thalib dan keluarganya, memutuskan segala hubungan, dan mengucilkan mereka, tidak menghentikan keputusan Abu Thalib untuk melindungi Nabi Muhammad SAW.

Abu Thalib Sebagai Pelindung Nabi Muhammad SAW

Dikisahkan dalam buku Agungnya Taman Cinta Sang Rasul karya Ustazah Azizah Hefni, suatu hari, Rasulullah SAW datang menemui Abu Thalib dengan wajah yang dipenuhi kesedihan. Melihat kondisi keponakan tercintanya, Abu Thalib yang merasa cemas segera bertanya tentang apa yang telah terjadi. Rasulullah SAW kemudian menceritakan bahwa saat sedang bersujud di Ka’bah, beliau dilempari kotoran dan darah oleh orang-orang Quraisy. Mendengar hal ini, kemarahan Abu Thalib pun membuncah.

Dengan segera, Abu Thalib bangkit sambil menggenggam sebilah pedang di tangan kanannya, dan tangan kirinya menggandeng Rasulullah SAW. Mereka berdua bergegas menuju Ka’bah. Sesampainya di sana, mereka mendekati gerombolan kaum kafir Quraisy. Dengan suara lantang, Abu Thalib berkata, “Demi Dzat yang diimani Muhammad! Jika ada di antara kalian yang berani berdiri, aku akan segera menghabisi kalian dengan pedangku!”

Kemudian, dengan penuh kasih sayang, Abu Thalib mengusap kotoran dan darah yang masih menempel di tubuh Rasulullah SAW, dan melemparkannya ke wajah para pelaku. Wajah-wajah para kafir Quraisy yang telah menghina Rasulullah SAW seketika menjadi kotor. Mereka dihina dan ditertawakan oleh semua orang yang berada di sekitar Ka’bah.

Dalam buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik karya Faisal Ismail, dikisahkan pula para pemuka Quraisy pernah datang menemui Abu Thalib sambil membawa seorang pemuda tampan bernama Umarah bin Walid bin Mughirah. Mereka menawarkan Umarah sebagai anak angkat bagi Abu Thalib, dengan syarat Abu Thalib harus menyerahkan Nabi Muhammad SAW kepada mereka. Namun, Abu Thalib dengan tegas menolak tawaran tersebut.

Merasa tidak berhasil, para pembesar Quraisy itu kembali menemui Abu Thalib, dengan nada yang lebih keras, mereka berkata, “Engkau adalah orang yang terhormat di kalangan kami. Kami telah meminta agar engkau menghentikan keponakanmu itu, namun kau tidak melakukannya. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang menghina nenek moyang kami, tidak menghargai harapan-harapan kami, dan mencela berhala-berhala kami. Suruh dia diam atau kita akan melawan dia sampai salah satu pihak binasa.”

Abu Thalib berada dalam dilema yang berat. Di satu sisi, ia merasa berat hati untuk bermusuhan dengan kaumnya. Namun di sisi lain, ia tidak tega untuk menyerahkan keponakannya, Nabi Muhammad SAW, kepada para pemuka Quraisy.

Setelah desakan yang terus-menerus, Abu Thalib memanggil Nabi Muhammad SAW. Ia menceritakan maksud para pembesar Quraisy dan berkata, “Jagalah aku, begitu juga jagalah dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.”

Nabi Muhammad SAW, dengan keteguhan hatinya, menjawab, “Paman, demi Allah! Walaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

Sesudah mengucapkan pernyataan yang bernada puitis itu, Nabi Muhammad SAW dengan ekspresi sedih menundukkan wajah seraya menangis meneteskan air mata. Ketika Nabi Muhammad SAW membalikkan badan hendak pergi, Abu Thalib memanggil, “Menghadaplah kemari, Anakku!”

Nabi Muhammad SAW pun menghadap ke arah Abu Thalib. Berkatalah pamannya kepada beliau, “Pergilah dan lakukanlah apa yang kamu kehendaki. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kamu kepada mereka karena alasan apa pun untuk selama-lamanya.” Pernyataan Abu Thalib ini sangat membesarkan dan meneguhkan hati Nabi Muhammad SAW untuk secara konsisten melaksanakan gerakan dakwahnya.

Abu Thalib Tidak Memeluk Islam hingga Akhir Hayatnya

Kembali merujuk buku Ali bin Abi Thalib, menjelang wafat, Rasulullah SAW sangat berharap pamannya tercinta mengucapkan kalimat syahadat. Namun, Abu Thalib khawatir kaum Quraisy akan menuduhnya takut mati sehingga mengubah agamanya.

Meski ada riwayat lemah dari Paman Nabi, Abbas, yang menyebut Abu Thalib mengucapkan syahadat di akhir hayatnya, kemungkinan besar ia memilih menyembunyikan keislamannya. Sebab bila Abu Thalib menerima Islam secara terbuka, posisinya di kalangan Quraisy akan terancam, dan ia tidak akan bisa melindungi Rasulullah SAW sekuat sebelumnya. Pengorbanan, kesabaran, dan keberanian Abu Thalib dalam melindungi Rasulullah tetap dikenang dengan hormat dalam sejarah Islam.

Karena tak mengakui keesaan Allah SWT hingga wafat, Abu Thalib termasuk ke dalam golongan kafir dan neraka merupakan tempat kembali baginya. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Abu Thalib mendapat siksa yang paling ringan di neraka. Hal ini berkat syafaat Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari, Al-Abbas bin Abdul Muththalib RA bertanya kepada Nabi SAW, “Apakah pertolonganmu (manfaat) bagi Abu Thalib yang telah mengasuh dan membelamu, bahkan ia marah karenamu?”

Nabi SAW menjawab, “Ia kini berada di atas permukaan neraka, dan andaikan bukan karena aku niscaya ia berada di neraka paling bawah.” (HR Bukhari)

Wallahu a’lam.

(aeb/kri)



Sumber : www.detik.com