Tag Archives: warisan

Berapa Biaya Balik Nama Tanah Pemberian Orang Tua? Begini Perhitungannya


Jakarta

Orang tua bisa memberikan tanah kepada anaknya semasa hidup maupun setelah meninggal dunia. Supaya tanah itu sepenuhnya menjadi hak milik anak, perlu dilakukan balik nama sertifikat tanah.

Proses balik nama itu untuk mengalihkan kepemilikan atas tanah. Berbeda dari transaksi jual beli, balik nama sertifikat tanah milik orang tua kepada anak ada perbedaan.

Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, PPAT dan Mitra Kerja, Kementerian ATR/BPN Ana Anida menjelaskan pemberian tanah dari orang tua kepada anak terbagi menjadi dua cara, yaitu hibah dan waris. Cara tersebut berdasarkan status orang tua pada saat pengalihan hak.


“Waris dilakukan saat orang tua sudah meninggal, sedangkan hibah dilakukan saat orang tua masih hidup,” kata Ana kepada detikProperti beberapa waktu lalu.

Jika ingin balik nama sertifikat tanah, pemohon perlu membayar sejumlah biaya. Untuk mengetahui perkiraan biaya balik nama tanah tersebut, pemohon dapat melakukan simulasinya lewat aplikasi Sentuh Tanahku.

Perlu diketahui, biaya balik nama sertifikat tanah bervariasi tergantung pada daerah dan luas tanah. Selain itu, ada juga biaya jasa pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang juga beragam dan perlu dipertimbangkan oleh pemohon.

Berapa biaya untuk balik nama sertifikat tanah pemberian orang tua kepada anak? Simak penjelasannya berikut ini.

Balik Nama Tanah Hibah

Pemberian tanah ketika orang tua kepada anak ketika masih hidup disebut hibah. Berikut syarat dan biaya balik nama sertifikat tanah akibat hibah.

Syarat Peralihan Hak karena Hibah

Menurut PKBPN Nomor 1 Tahun 2010, persyaratan untuk balik nama sertifikat tanah karena waris sebagai berikut.

  • Formulir permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya
  • Surat kuasa apabila dikuasakan
  • Fotokopi identitas pemohon/pemegang hak dan penerima hibah (KTP dan KK) serta kuasa apabila dikuasakan
  • Sertifikat asli
  • Akta hibah PPAT
  • Izin pemindahan hak apabila di dalam sertifikat dicantumkan kewajiban tersebut
  • Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan
  • Bukti SSB (BPHTB)

Biaya PNBP

Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di lingkungan Kementerian ATR/BPN untuk peralihan hak karena Hibah mengacu ketentuan Pasal 16 ayat (2) PP 128 Tahun 2015 yaitu Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (T). Berikut ini cara menghitung tarifnya.

Rumus T = (1/1000 x Luas Tanah x Zona Nilai Tanah) + Rp 50.000

Biaya BPHTB

Biaya BPHTB sebesar 5 persen dari nilai tanah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022. Namun, perhitungan ini tergantung pada ketentuan masing-masing daerah.

Rumus BPHTB = 5% x (Luas Tanah x NJOP – Pengurangan Tergantung Daerah)

Balik Nama Tanah Waris

Apabila orang tua sudah meninggal dan anaknya mendapatkan tanahnya, itu adalah sebuah warisan. Berikut ini syarat dan biaya untuk balik nama tanah tersebut.

Syarat Peralihan Hak karena Waris

Menurut PKBPN Nomor 1 Tahun 2010, persyaratan untuk balik nama sertifikat tanah karena waris sebagai berikut.

  • Formulir permohonan ditandatangani pemohon atau kuasanya
  • Surat kuasa apabila dikuasakan
  • Fotokopi identitas pemohon/para ahli waris (KTP dan KK) dan kuasa apabila dikuasakan
  • Sertipikat Asli
  • Surat keterangan waris sesuai ketentuan
  • Akta wasiat notariil apabila ada wasiat
  • Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan
  • Bukti SSB (BPHTB)

Biaya PNBP

Biaya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku di lingkungan Kementerian ATR/BPN untuk peralihan hak karena pewarisan mengacu ketentuan Pasal 16 ayat (2) PP 128 Tahun 2015 yaitu Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (T). Berikut ini rumus perhitungannya.

Rumus T = (1/1000 x Luas Tanah x Zona Nilai Tanah) + Rp 50.000

Biaya BPHTB

Biaya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai tanah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022. Perhitungan ini tergantung pada ketentuan masing-masing daerah.

Rumus BPHTB = 5% x (Luas Tanah x NJOP – Pengurangan Tergantung Daerah)

Itulah penjelasan soal biaya balik nama sertifikat pemberian orang tua kepada anaknya. Semoga bermanfaat!

Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.

Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini

(dhw/abr)



Sumber : www.detik.com

Beli Rumah atau Tanah Wajib Bayar BPHTB, Apa Itu?


Jakarta

Saat membeli sebuah rumah atau sebidang tanah, tentu pembeli harus membayar sesuai harga jual yang telah disepakati. Selain itu, pembeli juga harus menyiapkan biaya untuk BPHTB.

Sayangnya, masih banyak orang yang tak tahu kalau pembeli harus membayar BPHTB saat membeli tanah atau rumah. Lantas, apa itu BPHTB?

Pengertian BPHTB

BPHTB merupakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. BPHTB adalah pungutan kepada konsumen saat membeli rumah. Bea ini wajib dibayarkan konsumen kepada Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai syarat untuk bisa balik nama sertifikat kepemilikan.


Aturan mengenai pungutan BPHTB telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dilansir situs Bapenda Jakarta, BPHTB dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan bangunan, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, dan hak pengelolaan.

Objek BPHTB meliputi pemindahan hak karena jual beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan badan hukum atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukkan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.

Selain itu, objek BPHTB juga berlaku atas pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak dan di luar pelepasan hak.

Besaran BPHTB

Soal besaran pungutan dapat berbeda tergantung masing-masing daerah yang telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda). Umumnya, nilai BPHTB yang tertuang atas suatu transaksi peralihan kepemilikan atas tanah dan/bangunan maksimal sebesar 5% dari nilai transaksi dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Dikutip dari catatan detikProperti, dalam beberapa kasus terkadang BPHTB bisa disertakan dalam harga jual rumah oleh pengembang. Cara ini agar memudahkan pembeli dalam melakukan pembayaran. Soalnya, BPHTB yang harus dibayarkan secara tunai dapat memberatkan konsumen.

Jika BPHTB dimasukkan ke harga jual maka seakan-akan pengembang yang membayarnya. Adapun dasar BPHTB berdasarkan dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Kalau ingin membayar BPHTB secara mandiri, maka cara hitungnya dengan mengurani NPOPTKP terlebih dahulu.

Sebagai contoh, Budi ingin membeli rumah seharga Rp 1 miliar di kawasan Jakarta. Misalnya NPOPTKP Jakarta jumlahnya sebesar Rp 60 juta, maka Rp 1.000.000.000 – Rp 60.000.000 = Rp 940.000.000.

Setelah itu, hitung tarif BPHTB Jakarta yang nilainya sebesar 5%. Maka Rp 940.000.000 x 5% = Rp 47.000.000. Jadi, total BPHTB yang harus dibayarkan sebesar Rp 47 juta.

Kapan BPHTB Terutang?

BPHTB akan terutang atau harus dibayar pada saat-saat tertentu, seperti:

  • Saat perjanjian jual beli ditandatangani
  • Saat akta tukar menukar, hibah, atau waris ditandatangani
  • Saat pendaftaran warisan dilakukan
  • Saat putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap diterbitkan
  • Saat tanggal ketika penunjukan pemenang lelang.

Itulah penjelasan mengenai BPHTB dan besaran biayanya. Semoga bermanfaat!

Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.

Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini

(ilf/ilf)



Sumber : www.detik.com

Saudi Mau Bangun ‘Gerbang Raja Salman’ 12 Juta Meter Persegi di Tanah Suci



Jakarta

Putra Mahkota sekaligus Perdana Menteri Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) mengumumkan proyek pembangunan Gerbang Raja Salman. Proyek ini akan berdiri di Tanah Suci Makkah dekat dengan Masjidil Haram.

Dilansir SPA, proyek multiguna yang diluncurkan pada Rabu (15/10/2025) ini akan dibangun sebelah Masjidil Haram dengan luas lantai kotor hingga 12 juta meter persegi. Proyek ini akan menawarkan pengalaman hunian, perhotelan, komersial, dan budaya dengan kapasitas 900.000 ruang salat dalam dan luar ruangan.


“Proyek ini menandai tonggak penting dalam pengembangan Makkah dan wilayah pusatnya, menjadikannya sebagai tolok ukur global dalam perencanaan kota modern,” lapor SPA, dikutip, Kamis (16/10/2025).

“Pengembangan perkotaan dan transformasi infrastruktur Gerbang Raja Salman akan berkontribusi pada peningkatan akses ke Masjidil Haram, meningkatkan kualitas layanan, dan memperkaya perjalanan setiap pengunjung, sejalan dengan tujuan Program Pengalaman Ziarah,” tambah laporan itu.

Gerbang Raja Salman ini disebut memadukan warisan arsitektur Islam, melestarikan warisan budaya dan sejarah Makkah, juga memulihkan sekitar 19.000 meter persegi situs warisan. Proyek akan terhubung dengan jaringan transportasi umum yang memberikan kemudahan bagi jemaah maupun pengunjung.

Proyek ini tengah dikembangkan RUA AlHaram AlMakki Company dan menjadi bagian transformasi ekonomi Visi 2030 Arab Saudi dengan menciptakan lebih dari 300.000 lapangan kerja pada 2036.

Dilihat dari desain yang dibagikan akun X Inside the Haramain, Gerbang Raja Salman berada persis di area Masjidil Haram. Arsitektur bangunan memadukan ciri khas Islam dengan kota modern.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Biografi Singkat, Pendidikan, Pemikiran, dan Bukunya


Jakarta

Tan Malaka merupakan Pahlawan Nasional yang dikenal memiliki pemikiran penting bagi Indonesia. Pemikiran Tan Malaka diabadikan melalui buku-bukunya, termasuk yang berjudul “Madilog”.

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat. Ia memiliki nama lain dengan gelarnya yaitu Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka.

Nama “Tan Malaka” sendiri merupakan gelar adat yang ia sandang sejak usia 16 tahun. Gelar itu kemudian melekat dan menjadi identitas perjuangannya hingga akhir hayat.


Sutan Ibrahim, nama kecilnya, berasal dari keluarga Muslim Minangkabau yang taat. Sejak kecil, mendapat penempaan nilai-nilai agama, budaya matrilineal, hingga tradisi pencak silat.

Pendidikan tersebut menjadi karakter Tan Malaka yang disiplin, pemberani, dan visioner, demikian dikutip dari Lani: Jurnal Kajian Ilmu Sejarah dan Budaya Vol 3 No 1 (2022), karya Jems Sopacua dari Universitas Negeri Yogyakarta.

Pendidikan Tan Malaka

Tan Malaka mendapatkan pendidikan formalnya dimulai di Suliki, lalu berlanjut ke Kweekschool Bukittinggi, sekolah pribumi satu-satunya di Sumatera. Ia lulus dari Inlandsche Kweekschool voor Onderwijzers di Bukittinggi hingga lulus pada 1913.

Dengan pemikirannya yang menonjol, ia kemudian melanjutkan studi ke Belanda untuk belajar di Rijkskweekschool Haarlem (1913-1919). Studi di Belanda ini yang kemudian membuka wawasan dan pola pikirnya.

Tan Malaka muda mulai berkenalan dengan ide-ide politik, sosialisme, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Dia banyak mempelajari tentang Sosialisme dan Komunisme setelah adanya Revolusi Rusia pada Oktober 1917. Tan Malaka membaca buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.

Perjuangan Tan Malaka

Dengan latar belakang pendidikan dan pergaulannya, Tan Malaka tumbuh menjadi tokoh revolusioner. Pemikirannya yang terkenal yaitu tentang kemerdekaan sejati yang hanya bisa diraih melalui revolusi total.

Tan Malaka aktif di Sarekat Islam (SI) bersama H.O.S. Tjokroaminoto, lalu bergabung dengan PKI hingga sempat menjabat sebagai ketua pada 1921. Namun, karena pemikirannya yang independen, ia akhirnya keluar dan mendirikan partai bawah tanah PARI (1927).

Semboyannya tegas, “Merdeka 100 persen.”

Ia menolak kompromi dengan Belanda, bahkan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Tan Malaka memilih menggerakkan massa, salah satunya dalam Rapat Raksasa Ikada 19 September 1945, yang menjadi bukti dukungan rakyat terhadap “Republik Muda”-nya Tan Malaka.

Sayangnya, sikap kerasnya membuat ia sering berbenturan dengan tokoh lain. Hidupnya diwarnai pengasingan, penjara, hingga akhirnya berakhir dengan eksekusi tragis pada 21 Februari 1949 di Kediri.

Pemikiran Revolusioner

Dalam Jurnal Jejak: Pendidikan Sejarah & Sejarah Vol. 6 No. 2 (2021) karya Wanda Marshanda, dijelaskan bahwa di balik sosoknya yang kontroversial, Tan Malaka meninggalkan warisan pemikiran yang masih relevan hingga kini. Ia bahkan merupakan pencetus ide Republik Indonesia.

1. Bapak Republik

Dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (1925), Tan Malaka merumuskan visi Indonesia merdeka jauh sebelum tulisan Hatta atau Soekarno. Karena itu, ia kerap dijuluki “Bapak Republik.”

2. Marxisme ala Tan Malaka

Ia memandang Marxisme bukan sebagai dogma, melainkan alat analisis untuk melawan penjajahan. Tan Malaka mencoba memadukan Marxisme dengan Pan-Islamisme dalam perjuangan rakyat.

3. Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)

Ditulis pada masa pendudukan Jepang, Madilog mengajak rakyat berpikir rasional dan meninggalkan takhayul, agar mampu membangun kesadaran nasional yang kritis.

4. Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi)

Ditulis saat dipenjara, Gerpolek menjadi panduan revolusi tiga front: perjuangan bersenjata, politik ideologis, dan kemandirian ekonomi. Selain Madilog dan Gerpolek, pemikirannya yang lain, juga dituangkan dalam buku-buku seperti “Aksi Massa”, “Dari Penjara ke Penjara”, hingga “Menuju Republik Indonesia”.

Selama ini, dalam kacamata sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, nama Tan Malaka tidak dikenalkan sebagai tokoh yang memiliki pemikiran penting bagi Bangsa Indonesia. Sejarah hanya sering mencatat bagaimana Soekarno dan Hatta menjadi tokoh sentral tunggal.

Padahal, perjuangan bangsa Indonesia dibangun oleh sejumlah tokoh, termasuk fondasi pemikiran dari Tan Malaka tentang revolusi dan Republik Indonesia.

*Penulis adalah peserta magang Program PRIMA Magang PTKI Kementerian Agama

(faz/faz)



Sumber : www.detik.com

Kisah Orang Pasar Ramai ke Masjid usai Dengar Warisan Rasulullah Dibagikan


Jakarta

Ada suatu kisah tentang pembagian warisan Rasulullah SAW di sebuah masjid. Orang-orang di pasar sampai berbondong-bondong usai mendengar kabar tersebut.

Kisah ini diceritakan Imam al-Ghazali dalam salah satu kitabnya, Mukasyafatul Qulub, yang diterjemahkan Jamaludin. Diriwayatkan, Abu Hurairah RA masuk pasar dan berkata, “Aku melihat kalian di sini, sedangkan warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan di dalam masjid.”

Orang-orang kemudian berangkat ke masjid dan meninggalkan pasar. Lalu, mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, aku tidak melihat ada warisan sedang dibagi-bagikan di masjid.”


Abu Hurairah berkata, “Lalu kalian melihat apa?”

Mereka menjawab, “Kami melihat kaum yang sedang berzikir kepada Allah SWT dan membaca Al-Qur’an.”

Abu Hurairah menjawab, “Itulah warisan Rasulullah SAW.”

Imam al-Ghazali dalam kitabnya juga memaparkan sejumlah riwayat tentang keutamaan berzikir kepada Allah SWT. Para malaikat yang berjalan di bumi disebut akan mendatangi majelis zikir dan mengajak yang lain berkumpul di sana.

Jika mereka menemukan suatu kaum yang berzikir kepada Allah SWT, mereka saling berteriak, “Ayo ke sini, ini tujuan kalian.” Maka malaikat pun berdatangan dan mengelilingi mereka hingga ke langit.

Terkait bacaan zikir yang utama sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, Rasulullah SAW bersabda, “Apa yang paling utama, yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah ‘Tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya’.”

Bacaan yang dimaksud sebagai berikut:

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ

Laa ilaahaillallah wahdahu laa syariikalahu

Artinya: “Tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.”

Imam an-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar yang diterjemahkan Ulin Nuha mengatakan, dianjurkan memperbanyak zikir dan doa tersebut. Zikir ini juga dianjurkan dibaca pada hari Arafah.

Rasulullah Tidak Meninggalkan Warisan Harta

Warisan Rasulullah SAW bukan berupa harta. Begitu pula para nabi, mereka disebut tidak mewariskan harta. Hal ini diterangkan dalam sebuah hadits dalam kitab Asy-Syamail Al-Muhammadiyah karya Imam at-Tirmidzi yang tahqiq Syekh Maher Yasin Fahl dan diterjemahkan Rusdianto.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, ia mengatakan Siti Fatimah RA pernah mendatangi Abu Bakar, dan berkata, “Siapakah yang akan mendapatkan warisan darimu?” Abu Bakar menjawab, “Keluargaku dan keturunanku.” Siti Fatimah RA berkata, “Mengapa aku tidak mendapatkan warisan dari ayahku?” Abu Bakar menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: Kami (para nabi) tidak meninggalkan warisan.’ Tetapi aku akan menanggung kehidupan orang-orang yang ditanggung oleh Rasulullah SAW dan aku akan memberikan nafkah untuk orang-orang yang diberikan nafkah oleh Rasulullah SAW.”

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Bagian Warisan untuk Istri Menurut Islam, Segini Besarannya



Jakarta

Istri termasuk orang yang berhak menerima warisan dari suaminya yang telah meninggal dunia. Bagian warisan untuk istri telah diatur dalam syariat Islam.

Dalil pembagian waris suami-istri bersandar pada firman Allah SWT dalam surah An Nisa ayat 12. Dalam hal ini, besaran warisan mempertimbangkan ada tidaknya anak. Allah SWT berfirman,

۞ وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ١٢


Artinya: “Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah, para ulama mazhab sepakat bahwa bagian tetap (al furudh) yang telah ditetapkan dalam Kitabullah dan jumlahnya ada enam, yakni seperdua (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Dari jumlah tersebut, istri mendapat bagian seperempat dari harta suami jika suaminya yang meninggal itu tidak memiliki anak. Apabila suaminya memiliki anak, istri akan mendapat bagian warisan seperdelapan.

Lebih lanjut dijelaskan, bagian-bagian al furudh tersebut bisa bertemu satu sama lain. Misalnya bagian seperdua bisa bertemu dengan bagian seperdelapan, yakni untuk anak perempuan dan istri. Dalam hal ini, istri mendapat seperdelapan, sedangkan anak perempuan mendapat seperdua.

Bagian seperempat juga bisa bertemu bagian sepertiga, misalnya bagian untuk istri dan beberapa kalalah ibu (jika yang meninggal tidak memiliki anak). Istri akan mendapat bagian seperempat, sedangkan beberapa orang kalalah tersebut mendapatkan sepertiga. Begitu seterusnya.

Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, pembagian warisan dilakukan setelah pelunasan utang dan penunaian wasiat. Ini merupakan kesepakatan para ulama. Ibnu Katsir menjelaskan hal ini saat menafsirkan firman Allah SWT surah An Nisa ayat 11 dan ditegaskan lagi saat menafsirkan ayat 12.

“Pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat,” jelas Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir-nya.

(kri/erd)



Sumber : www.detik.com

Mengapa Wanita Mendapat Jatah Warisan Lebih Sedikit dalam Hukum Islam?



Jakarta

Dalam Islam, pembagian warisan diatur dalam Al-Qur’an. Kedudukan hukum waris sangat penting, sebab hal ini dialami oleh semua orang sehingga harus ada pembagian yang adil.

Menukil buku Hukum Waris dalam Islam susunan Dr Iman Jauhari SH M Hum dan Dr T Muhammad Ali Bahar SH MKn, pembagian warisan harus berdasarkan ilmu karena ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi secara syariat. Dalam sebuah hadits, Nabi SAW bersabda:

“Pelajarilah faraid dan ajarkanlah kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraid) adalah setengah ilmu dan dia (faraid) itu akan dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali tercabut (hilang) dari umatku.” (HR Ibnu Majah dan Daaru Quthni)


Dalam Al-Qur’an tercantum penjelasan tentang harta waris yang termaktub dalam surat An-Nisa Ayat 11:

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءً فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ وَٰحِدَةً فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٌ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِى بِهَآ أَوْ دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

Artinya: “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Mengutip buku Pembagian Warisan Menurut Islam oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni, dijabarkan pembagian warisan berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa, persentasenya terdiri dari setengah (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).

Alasan Kaum Wanita Mendapat Warisan Lebih Sedikit dari Laki-laki

Abdul Syukur Al-Azizi melalui Kitab Lengkap dan Praktis Fiqh Wanita menuturkan bahwa masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi wanita yang hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki memiliki alasan tersendiri. Laki-laki memperoleh beban dan tanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarganya, karenanya pembagian warisan bagi laki-laki mendapat bagian yang melebihi wanita.

Jika tidak demikian, maka hal itu akan menzalimi kaum laki-laki. Meski warisan bagi wanita lebih sedikit, hal ini ditutupi dengan maskawin dan nafkah yang menjadi haknya dari sang suami.

Selain itu, tidak selamanya dalam pembagian waris wanita selalu mendapat bagian yang kecil daripada laki-laki. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi wanita sama besarnya dengan warisan laki-laki.

Bahkan, ada juga kondisi yang menyebabkan bagian wanita lebih banyak daripada laki-laki. Dalam hal ini contohnya seperti seorang wanita anak tunggal yang ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya, atau dua orang anak wanita yang ditinggal mati oleh sang ayah yang mana berhak mewarisi dua pertiga dari harta ayahnya apabila tidak memiliki saudara laki-laki.

Rincian Pembagian Harta Warisan

Merujuk pada buku Pembagian Warisan Menurut Islam, berikut rincian pembagian harta warisan.

1. Setengah (1/2)

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan setengah (1/2) adalah satu kelompok laki-laki dan empat perempuan. Di antaranya suami, anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan sebapak.

2. Seperempat (1/4)

Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu suami atau istri.

3. Seperdelapan (1/8)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang mendapatkan waris dari peninggalan suaminya, baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya atau rahim istri yang lain.

4. Duapertiga (2/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.

5. Sepertiga (1/3)

Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.

6. Seperenam (1/6)

Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak, kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.

detikHikmah sendiri menyediakan fitur Kalkulator Waris Islam untuk membantu perhitungan warisan sesuai syariat. Cek fiturnya DI SINI.

(aeb/lus)



Sumber : www.detik.com