Tag Archives: wisata religi

Mengagumi Patung Yesus di Tana Toraja, Destinasi Spiritual yang Memukau



Makale

Bukan cuma Brasil saja yang punya patung tinggi Yesus (Christ the Redeemer) yang menjulang tinggi. Indonesia juga punya, Patung Yesus Buntu Burake atau dikenal Patung Yesus Kristus Memberkati yang ada di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kota Makale, Tana Toraja.

Patung ini menjulang megah di Bukit Buntu Burake, yang terletak di atas Kota Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dan kini telah menjadi simbol destinasi wisata religi yang menawan. Dibuat dari material perunggu dan proses pembangunannya dimulai pada tahun 2013 melalui sebuah sayembara terbuka, dan rampung pada tahun 2015.

Patung Yesus Kristus Memberkati di Tana Toraja dirancang oleh seniman asal Yogyakarta, Supriadi, dengan dukungan dari Hardo Wardoyo Suwarto. Dengan tinggi sekitar 45 meter, patung itu menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.


Terletak di ketinggian kurang lebih 1.700 meter di atas permukaan laut, patung ini tampak menjulang megah dan menawarkan pemandangan menakjubkan Kota Makale serta hamparan pegunungan hijau di sekelilingnya. Lokasi pembangunannya dipilih karena memiliki makna simbolis yang kuat.

Patung itu menggambarkan sosok Yesus dengan kedua tangan terbuka lebar, seakan memberkati seluruh wilayah Toraja. Detail pahatannya yang halus memancarkan ekspresi damai dan kasih sayang, mencerminkan nilai-nilai spiritual yang hidup dalam masyarakat Toraja, yang sebagian besar memeluk agama Kristen.

Selain menonjolkan keindahan arsitekturnya, tempat ini juga menawarkan pengalaman rohani yang menyentuh. Para pengunjung, baik peziarah maupun wisatawan, dapat berdoa, bermeditasi, atau sekadar menikmati ketenangan di pelataran patung, ditemani suasana alam yang hening dan udara pegunungan yang sejuk. Bagi banyak orang, ini menjadi tempat ideal untuk mencari kedamaian dan melakukan perenungan batin.

Salah satu daya tarik utama lainnya adalah jembatan kaca yang terletak di dasar patung, dengan panjang sekitar 100 meter. Dibangun pada awal tahun 2018, jembatan ini disebut sebagai yang terluas di Indonesia. Dibuat dari kaca tempered berstandar SNI, jembatan ini dirancang tahan terhadap tekanan angin dan beban berat, menawarkan sensasi menegangkan sekaligus panorama luar biasa Kota Makale dari ketinggian.

Bendera merah putih 77 meter di patung Yesus Tana TorajaBendera merah putih 77 meter di patung Yesus Tana Toraja. (Rachmat Ariadi/detikSulsel)

Untuk mencapai lokasi patung, pengunjung perlu menapaki tangga berjumlah antara 500 hingga 7.777 anak tangga, tergantung jalur yang diambil. Sepanjang perjalanan, pengunjung akan disuguhi pemandangan alam yang indah-mulai dari lereng hingga puncak bukit-yang menghadirkan pengalaman tak terlupakan dengan udara segar khas pegunungan Toraja.

Popularitas destinasi ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat libur Lebaran 2025, tercatat sebanyak 18.278 orang mengunjungi kawasan ini. Bahkan pada musim liburan sebelumnya, jumlah pengunjung sempat menembus 2.500 orang dalam satu hari.

Hal tersebut menunjukkan betapa besar daya tarik wisata spiritual sekaligus keindahan alam yang ditawarkan tempat ini. Harga tiket masuk pun sangat terjangkau, hanya Rp10.000 per orang dewasa, dan kawasan ini dibuka setiap hari mulai pukul 07.00 hingga 21.00 WITA.

Lebih dari sekadar monumen, Patung Yesus Buntu Burake menjadi simbol baru dalam pengembangan wisata rohani di Indonesia. Peresmian yang dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada akhir tahun 2018 mengukuhkan posisinya sebagai destinasi nasional yang menggabungkan keindahan alam dan kekuatan spiritualitas secara harmonis.

Menariknya, tempat itu tidak hanya ramai dikunjungi oleh umat Kristen. Wisatawan dari berbagai latar belakang juga datang untuk menikmati keindahan alam dan suasana religius yang menyelimuti kawasan ini. Pada perayaan HUT RI ke-77, bendera merah putih sepanjang 77 meter dibentangkan di pelataran patung sebagai simbol harapan dan persatuan, mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan inklusivitas yang dijunjung tinggi di tempat ini.

(upd/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Jelajahi Gresik, Temukan Keindahan Wisata Religi dan Industri yang Menarik



Gresik

Gresik merupakan sebuah kota di Jawa Timur, dikenal luas sebagai Kota Santri sekaligus Kota Industri yang berkembang. Dua identitas ini menjadikan Gresik sebagai destinasi yang menarik, karena mampu memadukan kekayaan spiritual dengan kemajuan modern.

Keunikan inilah yang membuat Gresik banyak dikunjungi oleh wisatawan, terutama mereka yang ingin mendapatkan pengalaman baru dalam hal religi dan perkembangan daerahnya.

Wisata Religi yang Sarat Makna Sejarah

Sebagai salah satu gerbang awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Gresik memiliki berbagai situs religi yang tidak hanya bersejarah, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendalam.


Makam Sunan Maulana Malik Ibrahim

Sunan Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa pada abad ke-14. Makam beliau terletak di pusat kota Gresik dan dikenal karena batu nisannya yang menyerupai lunas kapal dan terbuat dari marmer Gujarat. Lokasinya mudah diakses dan terbuka untuk umum selama 24 jam tanpa dipungut biaya.

Bacapres Anies Baswedan ziarah ke makam Sunan Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ziarah tersebut bertepatan dengan Haul Sunan Gresik.Makam Sunan Maulana Malik Ibrahim. (Jemmi Purwodianto/detikJatim)

Makam Sunan Giri dan Masjid Giri Kedaton

Tempat ini menjadi salah satu tujuan ziarah utama, sekaligus pusat dakwah Islam yang telah berdiri sejak tahun 1487. Berada di Bukit Giri, pengunjung dapat menikmati panorama kota Gresik hingga kawasan pesisir dari ketinggian.

Bangunan masjidnya pun masih mempertahankan ukiran kayu asli yang telah berusia lebih dari lima abad.

Makam Nyai Ageng Pinatih dan Siti Fatimah binti Maimun

Kedua makam ini merupakan situs ziarah tertua di kawasan Asia Tenggara. Terutama Makam Siti Fatimah, yang memiliki kubah bergaya arsitektur Hindu-Buddha, menjadi bukti awal masuknya Islam ke Nusantara sejak abad ke-11.

Makam Nyai Pinatih GresikMakam Nyai Pinatih Gresik. (SIDITA JATIM)

Selain kegiatan ziarah, wisatawan juga dapat mencicipi kuliner khas Gresik seperti nasi krawu dan otak-otak bandeng, yang memperkaya pengalaman spiritual dengan cita rasa lokal yang autentik.

Industri Modern yang Mendorong Pertumbuhan

Di balik sisi spiritualnya, Gresik juga merupakan salah satu pusat industri terbesar di Indonesia. Salah satu kawasan unggulan adalah JIIPE (Java Integrated Industrial and Ports Estate), kawasan industri terpadu yang menggabungkan zona industri, pelabuhan laut, dan pemukiman modern.

Sejak diresmikan pada tahun 2018, JIIPE menjadi rumah bagi ratusan industri, serta memiliki akses langsung ke jalur tol, Bandara Internasional Juanda, dan Pelabuhan Tanjung Perak. Kawasan ini menjadi salah satu penggerak utama roda ekonomi di wilayah Jawa Timur.

Selain itu, industri besar seperti Semen Gresik dan Petrokimia Gresik memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Semen Gresik menyumbang sekitar 41% dari total pasokan semen nasional, sementara Petrokimia Gresik memasok sekitar 50% pupuk bersubsidi di Indonesia.

Gresik menunjukkan bahwa kemajuan industri dan kekuatan spiritual dapat berjalan beriringan, menjadikannya kota yang terus berkembang tanpa melupakan akar budayanya.

Integrasi Religi dan Industri dalam Pembangunan Daerah

Identitas Gresik sebagai kota yang religius dan sekaligus industrial telah terbangun sejak lama. Pemerintah daerah terus mengembangkan konsep wisata religi terintegrasi, yang tidak hanya menghubungkan tempat-tempat ziarah, tetapi juga melibatkan pelaku UMKM lokal dan kawasan industri dalam satu jalur wisata yang tertata dengan baik.

Salah satu gagasan andalan Pemkab Gresik adalah membentuk konsep jalur sutra lokal, yang mengintegrasikan budaya, ekonomi kreatif, dan nilai religius sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan.

Dengan keunikan ini, Gresik menjadi pilihan ideal bagi wisatawan yang ingin memahami jejak sejarah dan nilai-nilai keagamaan, sambil melihat langsung dinamika industri modern yang berkembang di tanah Jawa Timur.

(upd/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Bayar Rp 200 Ribuan, Bisa ke 13 Destinasi dan Masuk Area Makam Raja Demak



Demak

Wisatawan yang ingin melakukan perjalanan religi di Kabupaten Demak mungkin bisa mencoba paket wisata yang ditawarkan Dinas Pariwisata (Dinparta) Kabupaten Demak.

Dinparta Demak memiliki Paket Wisata Jawara (Jelajah Wisata Religi Demak). Dengan harga Rp 200 ribuan, detikers bisa seharian menjelajahi 13 tujuan wisata di pusat penyebaran Islam tertua di nusantara.

Kepala Dinparta Demak, Endah Cahya Rini mengatakan, ada sejumlah eksklusivitas yang bisa didapatkan dari Paket Wisata Jawara. Wisatawan bisa masuk ke area khusus hingga mencicipi kuliner khas Demak.


“Wisatawan bisa masuk ke area khusus, misalnya di makam Raja Demak itu biasanya kan di luar. Nah, kita bisa usahakan untuk masuk ke dalam,” kata Endah saat ditemui detikJateng.

“Kita juga sajikan jamu coro, ada nasi-nasi makanan khas Demak itu tidak sembarangan bisa (dihidangkan),” tambahnya.

Adapun 13 lokasi tujuan yang akan dijelajahi wisatawan dalam Paket Wisata Jawara yaitu:

1. Sunrise Pantai Noer Bedono
2. Makam Terapung Syekh Mudzakir
3. Explore Desa Tenggelam
4. Kampung Adat Kadilangu
5. Pendopo Ndalem Notobratan
6. Lumbung Padi Tertua se-Asean
7. Ndalem Sesepuh Kadilangu
8. Masjid Kadilangu
9. Makam Sunan Kalijaga
10. Masjid Agung Demak
11. Museum Masjid Agung Demak
12. Makam Raja/Sultan Demak
13. Explore Arsitektur Demak Kuno

Wisata ini dimulai pukul 04.00 WIB, di mana wisatawan akan memulai perjalanannya menuju Kawasan Makam Syekh Mudzakir yang berada di tengah laut Kecamatan Sayung menggunakan perahu.

“Jam 04.00 WIB pagi, sebelum subuh, kita menuju ke wisata religi Syekh Mudzakir yang ada di tengah laut. Itu sensasinya luar biasa karena pagi-pagi kita harus bangun, kemudian harus naik perahu. Terus kita salat subuh di makam Syekh Mudzakir dan berziarah di sana,” ujar Endah.

Endah menyebut wisatawan bisa mendapat akses khusus di beberapa lokasi tujuan. Tak hanya melihat-lihat, pemandu wisata juga akan menjelaskan seluk-beluk tempat yang sedang dikunjungi.

Artikel ini sudah tayang di detikJateng. Baca selengkapnya di sini.

(ddn/ddn)



Sumber : travel.detik.com

Masjid Kuno Ini Saksi Penyebaran Agama Islam di Madiun



Madiun

Di tengah pemukiman warga kelurahan Kuncen, berdiri sebuah masjid kuno yang menjadi saksi penyebaran agama Islam di Madiun.

Masjid Kuno Kuncen, yang dikenal pula sebagai Masjid Nur Hidayatullah, kerap disebut sebagai salah satu saksi perkembangan Islam di Madiun dan telah menarik perhatian warga, peneliti, serta wisatawan religi.

Meski ukurannya tak seluas masjid-masjid agung metropolitan, nilai historis dan arsitekturnya membuat tempat ini istimewa. Struktur serupa joglo, tiang saka kayu berusia, serta pagar batu bata yang menjulang menjadi ciri khas yang mudah dikenali.


Kompleks masjid ini juga letaknya berdekatan dengan sendang yang menurut tradisi setempat terkait dengan asal-usul nama kota Madiun. Air dari sendang ini juga dipercaya memiliki berkah dan sering digunakan untuk ritual jamasan (penyucian) benda-benda pusaka, terutama menjelang bulan Suro (Tahun Baru Jawa) atau saat perayaan Grebeg Maulud.

Asal-usul Masjid Kuno Kuncen

Dilansir dari laman resmi Kelurahan Kuncen, pergeseran kekuasaan besar terjadi pada tahun 1568 di Kesultanan Demak, yang dampaknya turut membentuk sejarah di Madiun.

Era baru ini dimulai setelah Mas Karebet, atau Jaka Tingkir, memenangkan perang saudara. Dengan restu para wali, ia naik tahta menggantikan mertuanya, Sultan Trenggono, dan bergelar Sultan Hadiwijaya.

Namun, Sultan Hadiwijaya menolak untuk berkedudukan di Demak dan memilih memindahkan pusat pemerintahannya ke Pajang. Sejalan dengan perubahan tersebut, putra Sultan Trenggono lainnya, Pangeran Timur, diangkat sebagai Bupati Madiun pada 18 Juli 1568.

Pengangkatan adik ipar Sultan Hadiwijaya ini dilakukan oleh Sunan Bonang yang mewakili dewan wali. Pangeran Timur, yang memerintah Madiun dari tahun 1568 hingga 1586, kemudian dikenal dengan gelar Panembahan Rama atau Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno.

Pada tahun 1575, Pangeran Timur mengambil keputusan strategis untuk memindahkan pusat pemerintahan Madiun dari wilayah utara (Kelurahan Sogaten) ke lokasi baru di selatan, yaitu di Kelurahan Kuncen (sebelumnya bernama Wonorejo).

Selain mengurus pemerintahan, Pangeran Timur juga mengemban misi dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Karena penyebaran agama erat kaitannya dengan pendirian tempat ibadah, maka diyakini bahwa Masjid Kuno Kuncen (yang kini bernama Masjid Nur Hidayatullah) didirikan di Kuncen setelah perpindahan ibu kota tersebut, yakni sekitar akhir abad ke-16.

Peninggalan Sejarah Masjid Kuncen

Peninggalan sejarah di masjid di antaranya adalah bedug (kentungan besar) kuno yang diyakini seusia dengan masjid, serta mustaka (mahkota atap) asli masjid yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Selain itu, mimbar dan beberapa elemen arsitektur di dalam masjid juga masih mempertahankan keasliannya sejak era Pangeran Timur.

Artefak terpenting di kompleks ini sesungguhnya adalah keberadaan makam-makam kuno, terutama makam Pangeran Timur (Ki Ageng Panembahan Ronggo Jumeno), Bupati Madiun pertama.

Kompleks makam ini, yang letaknya menyatu dengan area masjid, menjadi bukti utama fungsi Kuncen sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran Islam pertama di Madiun. Nisan-nisan kuno dari para kerabat dan abdi dalem yang dimakamkan di sekitar Pangeran Timur juga menjadi peninggalan sejarah yang tak ternilai.

Karena nilai sejarah yang tinggi dan keunikan arsitekturnya, kompleks Masjid Kuno Kuncen (termasuk area makam Pangeran Timur) telah ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Kota Madiun sebagai Situs Cagar Budaya melalui SK Walikota pada tahun 2019.

Status ini memberikan perlindungan hukum penuh, yang berarti segala bentuk pemugaran atau penambahan fasilitas baru di kawasan tersebut harus dilakukan atas seizin dan pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur.

Masjid Kuno Kuncen adalah bukti konkrit yang menghubungkan masa lalu dengan keseharian warga Madiun. Perdebatan tentang tanggal pendirian atau nama pendiri menggambarkan hidupnya tradisi dan arsip, keduanya perlu disandingkan agar sejarah kawasan ini bisa ditulis lebih lengkap.

Upaya pelestarian dan pengelolaan wisata yang menghormati nilai asli akan menentukan apakah generasi mendatang masih bisa menyentuh, melihat, dan belajar dari warisan ini.

——–

Artikel ini telah naik di detikJatim.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Desain Unik Masjid Berbentuk Perahu di Sukabumi



Sukabumi

Masjid Sri Soewarto merupakan masjid dengan desain yang unik. Berbentuk perahu dan berwarna ungu.

Keunikan itu membuat masjid di Sukabumi, Jawa Barat itu diminati wisatawan luar daerah untuk singgah. Selain untuk beribadah, mereka juga menelusuri masjid itu untuk berwisata religi.

Masjid Sri Soewarto terletak di Desa Purwasari, Kecamata Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Didirikan oleh Sri Soewarto, masjid itu kemudian diberi nama yang sama.


Berbentuk Perahu dan Berwarna Ungu

Menurut manajer Masjid Sri Soewarto, keunikan warna ungu pada masjid itu dipilih langsung oleh sang pemilik, Sri Soewarto. Perpaduan bentuk perahu dan warna ungu menciptakan kesan artistik sekaligus menenangkan, menghadirkan suasana yang sakral dan estetik secara bersamaan.

Masjid Perahu di Sukabumi.Masjid Perahu di Sukabumi. (Syahdan Alamsyah)

Selain warna yang menonjol, desain perahu juga memiliki makna simbolis bagi Sri Soewarto. Menurut manajer Masjid Sri Soewarto, Lukman Hakim, desain masjid berbentuk perahu ini didasari oleh kecintaan Sri Soewarto kepada perahu dan dunia pelayaran. Poin itu menjadi konsep utama pembangunan masjid berbentuk perahu tersebut.

Secara keseluruhan bangunan itu terdiri dari empat lantai. Di lantai pertama terdapat sebuah restoran yang menyajikan makanan dan minuman bagi para wisatawan dan tamu yang berkunjung.

Kemudian, di lantai dua ada masjid yang berdampingan dengan ruang pertemuan. Lantai tiga dan empat digunakan sebagai area panorama, berupa kawasan terbuka bagi wisatawan yang ingin menikmati pemandangan dan juga mengambil foto.

Pusat Keagamaan dan Wisata

Lukman menjelaskan bahwa Sri Soewarto mendirikan bangunan masjid ini bukan sekedar sebagai tempat ibadah. Ia ingin agar masjid, yang dibangun itu, menjadi tempat menjalin interaksi sosial, budaya, dan tempat wisata religi.

Masjid Perahu di Sukabumi.Interior di masjid perahu di Sukabumi. (Syahdan Alamsyah)

“Masjid ini didesain oleh Haji Soewarto tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan wisata keluarga,” ujarnya dikutip dari detikJabar.

Masjid itu dibangun selama lima tahun mulai 2019 dan beroperasi sejak 2024. Pada bagian belakang masjid, terdapat destinasi wahana rekreasi air dan danau yang menambah keindahan masjid tersebut.

“Alhamdulillah, tanggapan masyarakat sangat positif. Dengan adanya Masjid Perahu yang juga memiliki wahana air dan danau, banyak yang menyambut baik. Pak Haji Soewarto membangun masjid ini dengan niat menyejahterakan masjid dan masyarakat di sekitarnya,” ujar dia.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Ritual Kontroversial Jumat Pon di Gunung Kemukus: Ziarah Dibayangi Perzinahan



Jakarta

Gunung Kemukus di Sragen, Jawa Tengah, dikenal dengan ritual Jumat Pon yang kerap menuai kontroversi. Ziarah yang awalnya bermuatan spiritual ini berubah citra karena dikaitkan dengan praktik seks bebas yang berkembang di sekitarnya.

Cerita rakyat di Indonesia begitu banyak dan bervariasi, misalnya mitos-mitos yang melekat pada suatu penanggalan. Terlebih di wilayah Jawa yang banyak ditemukan.

Pada buku Seri Penemuan: Kalender karya Armelia F. menerangkan dalam kalender Jawa dikenal dua macam hari, yakni siklus mingguan dan siklus pekan pancawara.


Jika siklus mingguan terdiri atas tujuh hari yang biasa kita gunakan dalam keseharian seperti Kamis dan Jumat maka siklus pancawara tersusun dari lima hari pasaran yaitu Pahing, Legi, Kliwon, Pon, dan Wage.

Saat keduanya dikombinasikan, sebagai contoh hari ini Jumat (3/10/2025) maka disebut Jumat Pon. Itu disebut sebagai weton.

Kembali pada mitos yang melekat suatu penanggalan di wilayah Jawa. Di setiap malam Jumat Pon ada mitos yang sangat kontroversial di Desa Pendem, Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Timur. Itu tempat peristirahatan terakhirnya Pengeran Samudro

Mitos Berhubungan Seks sebagai Pemulus Hajat

Ritual kontroversial itu menjadi agenda rutin yang dilakukan di Gunung Kemukus. Bagi orang-orang yang percaya dengan hal-hal spritual, tempat itu begitu ramai bak pasar malam kala malam Jumat Pon. Salah satu tujuannya adalah ngalap berkah, tidak sedikit yang mengartikan sebagai mencari pesugihan.

Nah, ritual ngalap berkah itu untuk meminta kelancaran pesugihan itu. Orang-orang yang berdatangan ke Gunung Kemukus agar keinginannya terkabul, selain berdoa mereka juga harus melakukan hubungan seks.

The New Kemukus, Sragen.New Kemukus. (Kominfo Kabupaten Sragen)

Hubungan seks dilakukan bukan dengan pasangan yang sah, selama tujuh kali berturut-turut. Jika salah satu pasangan (tidak sah) itu bolos di pertemuan berikutnya maka gugurlah tangga harapan untuk mencapai keinginan itu. Sehingga harus diulangi dari awal dan dengan pasangan yang berbeda.

Cerita di Balik Ritual Ngalap Berkah Gunung Kemukus

Ada berbagai versi tentang cerita asal mula bagaimana ritual seks di Gunung Kemukus ini. Tetapi yang pasti Pangeran Samudro merupakan penyebar agama Islam dan juga punya keturunan Majapahit.

Pemkab Sragen Jawa Tengah tengah berupaya mengikis stigma ritual seks yang selama ini melingkupi obyek wisata Gunung Kemukus. Dana Rp 48 miliar digelontorkan pemerintah pusat demi menata obyek wisata ini menjadi The New Kemukus berkonsep wisata ziarah dan keluarga.New Kemukus. (Kominfo Kabupaten Sragen)

Mulanya, Pangeran Samudro diutus oleh penguasa Demak kembali merekatkan hubungan keturunan Majapahit yang kala itu tercerai-berai. Dan sebelum itu, Pangeran Samudro juga telah mendapat tempaan agama dari Sunan Kalijaga sebelum melanggengkan misinya itu.

Sayangnya, di tengah menyebarkan syariat itu Pangeran Samudro jatuh sakit dan meninggal dunia. Dia kemudian dimakamkan di Gunung Kemukus.

Tak lama setelah mengetahui kabar sang anak jatuh sakit, ibunda Pangeran Samudro (Dewi Ontorwulan) dan singkatnya Dewi Ontrowulan pun meninggal. Gunung Kemukus juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.

Menepis Stigma Mengubah Citra

Semakin modern zaman, praktik kontroversial itu lambat laun ditiadakan. Gunung Kemukus yang kala itu hype hingga media asing menyoroti sebagai ‘Mountain Sex’ kini bersolek benar-benar menjadi destinasi wisata religi.

Mengutip detikjateng, sejak Oktober 2020 objek wisata itu diubah total. Tak tanggung-tanggung, Kementerian Pariwisata bersama Kementerian PUPR mengeluarkan dana sebesar Rp 48 miliar dan setelah dilakukan revitalisasi kemudian diresmikan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dengan nama New Kemukus.

Penanggung Jawab Objek Wisata Gunung Kemukus, Marcellus Suparno, menjelaskan destinasi wisata itu sekarang telah berubah. Kini ada wahana baru yang di bangun di sana, ada juga lahan bekas bangunan liar dan warung yang telah diubah jadi taman.

“Harapannya New Kemukus nanti menjadi objek wisata yang nyaman untuk keluarga maupun peziarah. Penataannya sejak 2020 dan awal 2022 sudah rampung,” kata dia.

(upd/fem)



Sumber : travel.detik.com

Kisah Pengkhianat Mataram, Makamnya Diinjak-injak Orang Setiap Hari



Bantul

Serangan Sultan Agung ke Batavia pada 1629 gagal akibat ulah pengkhianat. Kini makam sang pengkhianat itu diinjak-injak orang setiap hari.

Saat itu, VOC berhasil membakar lumbung padi dan persediaan makanan Mataram. Konon, ada peran pengkhianat di tubuh Mataram yang membocorkan serangan tersebut, termasuk lokasi lumbung pangan yang sudah disiapkan oleh Sultan Agung.

Pengkhianat itu bernama Tumenggung Endranata. Dia mendapatkan hukuman yang sangat tragis akibat perbuatannya. Dia menerima hukuman mati.


Tak cuma itu, jasadnya dikubur di anak tangga menuju kompleks makam raja-raja Mataram di Imogiri. Praktis, tiap peziarah di makam Raja Mataram akan menginjak kubur pengkhianat tersebut.

Pantauan di lokasi, tampak anak tangga di pintu utama kompleks makam Raja-raja Mataram atau yang dikenal masyarakat dengan pasarean pajimatan berbentuk presisi dan memiliki sudut. Menyusuri anak tangga hingga ke lokasi makam Sultan Agung tampak ada satu anak tangga yang aneh.

Anak tangga itu tampak berekuk-lekuk seperti bekas pijakan dan tidak memiliki sudut seperti anak tangga lainnya. Sedangkan permukaan anak tangga itu cenderung halus ketimbang anak tangga lainnya.

Bupati Pasarean Pajimatan, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Rekso Kusumo menjelaskan, bahwa anak tangga itu memang sengaja dibuat berbeda. Pasalnya di bawah anak tangga itu terkubur tubuh seorang pengkhianat Kerajaan Mataram.

“Itu beda karena (tempat terkuburnya) pengkhianat Sultan Agung. Jadi saat dulu (Kerajaan Mataram) menyerang Batavia dia membocorkan lumbung-lumbung,” katanya di Imogiri, Bantul, Minggu (5/10/2025).

Rekso melanjutkan, pengkhianat itu menjadi pembisik Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC terkait rencana penyerbuan Sultan Agung ke Batavia.

Selain itu, pengkhianat tersebut juga memberitahu VOC tentang keberadaan lumbung pangan milik tentara Mataram.

“Pengkhianatnya Sultan Agung itu namanya Tumenggung Endranata,” ujarnya.

Dijatuhi Hukuman Mati, Jasad Dibagi 3

Lebih lanjut, akibat berkhianat terhadap Kerajaan Mataram Endranata dijatuhi hukuman mati. Bahkan, Resko mengungkapkan bahwa jasad Endranata terbagi menjadi tiga bagian dan semua dikubur di sekitar anak tangga tersebut.

“Lalu dimutilasi. Jadi badannya di situ (anak tangga), kepalanya di tengah gapura (gapura masuk makam Sultan Agung) dan kakinya di dekat kolam (kolam di dekat anak tangga menuju makam Sultan Agung),” ucapnya.

Sedangkan perbedaan anak tangga tempat tubuh Endranata terkubur dengan anak tangga lainnya, Rekso menyebut karena sebagai penanda agar sengaja diinjak-injak.

Menurutnya, semua itu sebagai pengingat jika mengkhianati Kerajaan Mataram maka hukumannya akan kejam seperti itu.

“Memang seperti itu (bentuk anak tangganya) supaya yang ziarah itu menginjak-injak, karena itulah pengkhianatnya Jogja,” katanya.

Menyoal apa yang membuat Endranata nekat mengkhianati Kerajaan Mataram, Rekso mengatakan karena terlalu dekat dengan VOC. Di sisi lain, Endranata juga mendapatkan banyak uang dari VOV.

“Dia itu dekat dengan Londo (Belanda), ya mungkin karena upetinya lebih besar saat itu,” ujarnya.

——–

Artikel ini telah naik di detikJogja.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com

Kota Kuno Al-Natah di Tengah Gurun Arab Simpan Jejak Peradaban 4.000 Tahun



Jakarta

Para arkeolog dari Prancis dan Arab Saudi mengumumkan penemuan sisa-sisa kota kuno berusia sekitar 4.000 tahun di barat laut Arab Saudi. Kota itu dikenal dengan nama Al-Natah.

Dilansir dari Arab News, Minggu (12/10/2025), temuan itu dipublikasikan dalam jurnal ilmiah PLOS ONE. Peneliti menyebut reruntuhan Al-Natah menggambarkan masa transisi penting dalam sejarah manusia di kawasan tersebut, yakni saat masyarakat Arab mulai beralih dari kehidupan nomaden menjadi penduduk menetap dengan sistem sosial dan ekonomi yang lebih teratur.

Penemuan itu menjadi tonggak besar dalam studi arkeologi Timur Tengah karena menunjukkan bahwa peradaban di wilayah Arab berkembang jauh lebih awal dari yang selama ini diyakini.


Penemuan kota Al-Natah dilakukan lewat Proyek Arkeologi Khaibar Longue Durée, yang dipimpin oleh Dr. Guillaume Charloux dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS) dan Dr. Munirah AlMushawh dari Komisi Kerajaan untuk AlUla (Royal Commission for AlUla/RCU).
RCU menyebut temuan itu sebagai bukti komitmen Arab Saudi dalam menjaga warisan budaya, memperkuat kerja sama internasional, serta mendukung misi Visi Saudi 2030 untuk menjadikan warisan arkeologis sebagai kebanggaan nasional.

Penelitian tersebut juga menantang pandangan lama bahwa masyarakat Jazirah Arab bagian barat laut pada awal Zaman Perunggu hanyalah penggembala dan pengembara. Sebaliknya, hasil survei menunjukkan bahwa wilayah seperti Khaibar sudah memiliki pusat-pusat perkotaan yang mapan, dengan kehidupan pertanian dan perdagangan yang aktif.

Struktur Kota dan Kehidupan Masyarakat Al-Natah

Oasis Khaibar dikelilingi oleh tembok batu sepanjang 15 kilometer yang berfungsi melindungi wilayah subur dari kerasnya gurun pasir. Situs kota Al-Natah mencakup area sekitar 2,6 hektar dan diperkirakan dihuni oleh sekitar 500 orang antara tahun 2400-300 SM.

Reruntuhan dinding kota setinggi lima meter menunjukkan adanya otoritas lokal yang kuat. Fondasi bangunannya cukup kokoh untuk menopang rumah berlantai satu hingga dua, dengan jalan-jalan sempit yang menghubungkan rumah menuju pusat kota. Lantai dasar digunakan sebagai gudang penyimpanan, sedangkan lantai atas menjadi tempat tinggal keluarga.

Tim juga menemukan makam-makam yang berisi barang berharga seperti tembikar, batu akik, serta senjata logam berupa kapak dan belati. Temuan ini menunjukkan adanya stratifikasi sosial serta kemampuan tinggi dalam bidang logam dan kerajinan.

Penduduk kota dikenal sebagai pembuat tembikar, pedagang, dan perajin manik-manik. Pola makan mereka terdiri dari daging domba dan biji-bijian, yang dianggap sebagai bukti bahwa mereka telah mahir mengelola sumber daya alam di sekitar oasis.

Dilindungi Alam, Ditemukan Kembali Ribuan Tahun Kemudian

Lapisan batu vulkanik hitam (basalt) yang menutupi kawasan ini membuat Al-Natah terlindungi dari kerusakan selama ribuan tahun. Lokasi kota pertama kali diidentifikasi pada Oktober 2020, dan baru terungkap lebih jelas setelah dilakukan survei lapangan serta pencitraan beresolusi tinggi pada Februari 2024.

Penggalian lanjutan diharapkan dapat memberi gambaran lebih mendalam tentang sistem sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Al-Natah.
Penemuan ini merupakan bagian dari rangkaian riset yang telah dilakukan sejak 2018 di kawasan AlUla dan Khaibar. Sebelumnya, tim yang sama juga menemukan struktur batu raksasa seperti mustatil, jalur pemakaman, serta jebakan batu kuno – semua menandakan bahwa peradaban Zaman Perunggu di barat laut Jazirah Arab jauh lebih kompleks dari yang diduga.

Selain nilai ilmiah, wilayah Khaibar juga memiliki makna historis dan religius penting bagi umat Islam. Daerah ini dikenal sebagai lokasi Perang Khaibar, salah satu peristiwa besar pada masa Rasulullah SAW.

Penemuan kota kuno di wilayah ini menjadi pengingat bahwa setiap jengkal tanah di Jazirah Arab menyimpan kisah panjang tentang perjuangan, kebijaksanaan, dan perkembangan peradaban manusia.

***

Selengkapnya klik di detikHikmah.

(fem/fem)



Sumber : travel.detik.com

Kisah Makam Keramat di Pasaman Barat, Ikan Larangan dan Gempa Hebat



Pasaman Barat

Di Pasaman Barat, ada sebuah makam keramat yang jadi pusat perhatian, sekaligus tempat wisata religi bagi warga setempat. Makam ini bukan sekadar kuburan biasa.

Makam tersebut dikenal memiliki ‘keajaiban’ yang kisahnya akan selalu dikenang oleh warga setempat. Makam itu terletak di Silambau, Jorong Langgam Sepakat, Kenagarian Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Ukuran makam itu memang tidak lazim, sekitar 3 x 1 meter, menjadi penanda fisik bagi sosok yang diyakini bertubuh tinggi besar. Masyarakat mengenalnya sebagai Kuburan Gadang Inyiak Tambo atau Makam Inyiak Tambo, sang pembuka pemukiman Silambau.


Meskipun tidak ada catatan fisik mengenai kisah Inyiak Tambo di Silambau, masyarakat memercayai sebuah cerita rakyat atau folklor tentang Inyiak Tambo dan ikan larangan di sekitarnya.

Asal Usul Inyiak Tambo

Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat setempat secara turun temurun, Inyiak Tambo adalah orang pertama yang membuka hutan di daerah itu untuk dijadikan pemukiman, jauh sebelum Belanda menjejakkan kaki di Nusantara.

Tidak ada yang tahu pasti dari mana asal-usulnya. Namun keberadaan makamnya seakan menjadi bukti nyata jasa dia bagi warga yang tinggal di daerah itu.

Upik, seorang warga setempat yang berusia 56 tahun, bercerita bahwa sejak ia lahir dan tumbuh besar di Silambau, ia melihat makam itu tak berubah.

Urang jaman dahulu tu gadang-gadang kan, lah tuo bana kuburan gadang tu. Ibuk lahir se lah mode itu juo latak kubua tu, (Orang zaman dahulu bertubuh besar, umur kuburan besar itu juga sudah tua. Sejak saya kecil, kuburan tersebut sudah seperti bentuk dan letaknya tidak berubah),” tutur Upik saat diwawancarai, Kamis (9/10).

Makam Mau Dipindah, tapi Malah Gempa Hebat

Kisah paling melegenda terkait makam ini terjadi pada tahun 1992, di era pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut keterangan Upik, saat itu pemerintah berencana membuka lahan di sekitar makam untuk pemukiman.

Seluruh makam lain yang berada di sekeliling pusara Inyiak Tambo pun dipindahkan satu per satu ke seberang jalan. Namun, ketika tiba giliran Makam Inyiak Tambo yang hendak dipindahkan, sebuah keanehan terjadi.

Tanah di sekitar makam tiba-tiba bergetar hebat, laksana gempa kuat yang hanya terasa di area itu dan tidak meluas ke kenagarian lain.

Tak menyerah, pemerintah mendatangkan Pak Ono, seorang “orang pintar” dari Sidomulyo, sebuah daerah pemukiman warga Jawa di Kinali. Pak Ono mencoba membacakan mantra untuk memuluskan proses pemindahan.

Bukannya berhasil, getaran hebat justru kembali terjadi. Akhirnya, semua pihak menyerah dan membiarkan makam jumbo itu tetap di tempat asalnya hingga kini.

Ikan Larangan di Sungai Silambau

Kejadian aneh tak berhenti di situ. Pada tahun yang sama, masyarakat membangun sebuah masjid tepat di belakang makam.

Untuk menambah dana pembangunan, warga berinisiatif menangkap ikan yang melimpah di Sungai Silambau yang mengalir di sisi makam untuk dijual.

Saat ikan-ikan itu berhasil ditangkap dan siap untuk dijual, bumi di sekitar makam kembali berguncang. Peristiwa ini seolah menjadi pertanda bahwa ikan-ikan tersebut tak boleh diganggu dari habitatnya.

Gerombolan ikan hanya berkumpul di sekitar makam yang berjarak setengah kilometer.Gerombolan ikan larangan di sungai Silambau hanya berkumpul di sekitar makam Inyiak Tambo yang berjarak setengah kilometer (Aisyah Luthfi/detikSumut)

Masyarakat yang ketakutan akhirnya mengembalikan semua ikan itu ke sungai. Sejak saat itulah, ikan-ikan di sungai itu ditetapkan sebagai “ikan larangan”.

Menurut keterangan Jasliman (57), warga yang tinggal tepat di ujung jalan di belakang makam, ikan-ikan tersebut dipercaya telah di-uduh (didoakan) oleh salah satu Syekh dari Lubuak Landua, seorang ulama yang berasal dari Pasaman Barat.

Syekh tersebut hendak menikahi seorang wanita asli Silambau, ia mendoakan sungai itu sebagai bentuk penghormatan kepada Inyiak Tambo. Karenanya, tak ada seorang pun yang berani mengambil ikan di sepanjang setengah kilometer dari area makam.

Nyo lah di uduah dek Syekh Lubuak Landua, lai ka mungkin lauak nan banyak nin di ciek tampek se? Batang aie panjang nyo dakek kubua ko se lauak-lauak nin, (Ikan-ikan itu sudah didoakan oleh Syekh Lubuak Landua. Apakah mungkin ikan-ikan sebanyak itu hanya berkumpul di dekat makam padahal aliran sungai sangat panjang),” tutur Jasliman.

Makam Keramat Itu Kini Jadi Wisata Religi

Kini, Makam Inyiak Tambo dan Sungai Silambau dengan ikan larangannya telah berubah menjadi destinasi wisata religi yang unik. Setiap Hari Raya Idul Fitri, banyak peziarah dan wisatawan datang berkunjung.

Mereka datang untuk berziarah ke makam sang leluhur, sekaligus untuk menyaksikan dan memberi makan ribuan ikan yang jinak di sungai.

Masyarakat setempat pun mendapat berkah dan keuntungan ekonomi dengan menjual pakan ikan seperti pelet dan biji jagung kepada para pengunjung.

Makam yang dijaga kebersihannya secara berkala oleh pengurus masjid dan warga ini menjadi bukti bagaimana folklor dan legenda tidak hanya menjaga nilai-nilai luhur untuk menghormati alam dan leluhur, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.

———

Artikel ini telah naik di detikSumut.

(wsw/wsw)



Sumber : travel.detik.com