Tag Archives: xinjiang

Semua Pendaki yang Terjebak di Gunung Everest Telah Dievakuasi



Jakarta

Sejak akhir pekan lalu, para penyelamat berjibaku mengevakuasi ratusan pendaki dan warga yang terjebak badai salju di Gunung Everest. Saat ini semuanya telah berhasil dievakuasi di Tibet.

Semua pendaki, termasuk ratusan pemandu dan penggembala telah berhasil dievakuasi ke tempat aman pada tanggal 7 Oktober. Dilansir dari Reuters, Rabu (8/10/2025) kabar ini mengakhiri salah satu operasi pencarian dan penyelamatan terbesar di wilayah tersebut.

Sebelumnya dilaporkan sebanyak 580 pendaki berserta lebih dari 380 pemandu, penggembala dan lainnya dievakuasi penyelamat sejak tanggal 5 Oktober. Salju lebat yang turun sepanjang 4 Oktober di Lembah Karma, membuat pergerakan semua pendaki terhenti.


Sanxiang Dushibao memberitakan badai salju itu melanda kawasan lereng timur Everest pada Sabtu (4/10). Badai itu dinilai sebagai badai salju terburuk dalam beberapa tahun terakhir. Saat badai menerpa, jarak pandang menurun drastis hingga kurang dari satu meter.

Para turis yang berada di Everest Base Camp terjebak akibat jalanan yang licin karena es dan terpaksa berlindung di dalam tenda. Di beberapa wilayah disebutkan bahwa salju begitu tebal hingga tenda-tenda tertimbun seluruhnya dan yak yang membawa barang tidak dapat bergerak.

Media China tersebut juga melaporkan bahwa beberapa turis berhasil menyelamatkan diri dari cuaca buruk tersebut secara mandiri. Namun, sekitar 1.000 orang diperkirakan masih terjebak di gunung dan membutuhkan bantuan. Beberapa di antaranya mengalami hipotermia dan berada dalam kondisi serius.

Tim penyelamat lokal, warga desa, dan pemandu profesional mencoba melakukan penyelamatan, tetapi gangguan komunikasi dan salju tebal membuat upaya penyelamatan sangat sulit. Lalu para penyelamat dan warga setempat menggunakan alat berat untuk membersihkan salju guna mencapai kamp, yang terletak di ketinggian 4.900 meter di atas permukaan laut.

Pada hari Minggu, tim penyelamat telah memandu sekitar 350 pendaki ke tempat yang aman. Dan sekitar 200 pendaki yang tersisa diperkirakan akan mencapai tempat yang aman pada hari Selasa.

Kawasan Everest masih ditutup sementara untuk umum, lapor Xinhua, termasuk lembah Karma dan Rongshar, serta Cho Oyu.

Hujan salju lebat selama akhir pekan lalu juga berdampak pada ratusan pendaki di wilayah lain di Tiongkok barat, termasuk Xinjiang, Qinghai, dan Gansu. Setidaknya satu orang meninggal dunia akibat kombinasi hipotermia dan penyakit gunung akut.

(sym/row)



Sumber : travel.detik.com

Xinjiang dan Muslim Uighur di Antara Fakta dan Propaganda



Jakarta

Selepas memimpin salat subuh, 30 Juli 2014, Imam Masjid Id Kah di Kota Kashgar – Xinjiang, Jumah Tahir, tiba-tiba disergap beberapa lelaki berpisau. Keduanya langsung menghujani tubuh sang Imam berusia 74 tahun itu dengan tusukan pisau. Begitu tubuh Jumah terkapar bersimbah darah, kedua lelaki itu pun kabur meninggalkan masjid.

Jumah Tahir menjadi imam di masjid tersebut sejak 2003, dan pernah menjadi anggota DPR China mewakili etnis Uighur, 2008 – 2013. Dia menolak upaya sekelompok etnis Uighur untuk memerdekakan diri dan terpisah dari China.

Insiden tersebut menjadi titik balik keberadaan masjid di seluruh daratan China serta para imam dan perangkat lainnya. Di dalam dan di luar kompleks masjid kemudian dipasangi banyak kamera CCTV, dan pendeteksi metal di pintu masuk.


“Untuk mencegah tindakan terorisme dan melindungi nyawa para pemuka agama serta jemaahnya,” kata Direktur Urusan Etnis Daerah Otonomi Xinjiang, Mehmut Usman seperti ditulis M. Irfan Ilmie dalam bukunya, ‘Di Balik Kontroversi Xinjiang’.

Mehmut mengungkapkan hal itu untuk menepis anggapan seolah pemerintah China membatasi ruang gerak ibadah kaum muslim di Xinjiang. Isu lain yang kerap muncul di media-media Barat terkait Xinjiang dalam satu dekade terakhir adalah terkait pelanggaran HAM, kamp konsentrasi, serta diskriminasi sosial dan agama terhadap etnis Uighur di sana.

Salah satu bangunan masjid megah di Xianjiang China yg ditampilkan dalam Buku di Balik Kontroversi XinjiangSalah satu bangunan masjid megah di Xianjiang China yg ditampilkan dalam Buku di Balik Kontroversi Xinjiang Foto: detikcom/Sudrajat

Nyatanya, menurut Irfan Ilmie yang juga Kepala Biro Antara di Beijing, 2016 – 2023, etnis Uighur yang mayoritas muslim dapat menjalankan ibadah di masjid-masjid yang bertebaran di berbagai pelosok dengan leluasa. Begitu pun dengan puasa dan ibadah haji. Di Xinjiang, tulis Irfan,teradapat 24.400 masjid, 59 wihara, satu kelenteng Taoisme, 227 gereja Protestan, 26 gereja Katolik, dan tiga gereja Kristen Ortodoks.

Terkait benih separatisme dan terorisme, sudah bersemi di Xinjiang sejak awal abad ke-20 hingga akhir tahun 1940-an. Mereka hendak mendirikan Republik Islam Turkistan Timur pada 12 November 1933. Tapi hanya bertahan 3 bulan, karena ditolak mayoritas etnis di Xinjiang. Lalu muncul lagi pada 1944, tapi hanya bertahan 1 tahun.

Gerakan Turkistan Timur ini tumbuh lagi pada 2001 seiring 11 September 2001 di AS, lalu ada pengeboman di bus pada 1992 yang menewaskan tiga penumpang bus dan melukai 23 orang penumpang bus di Kota Urumqi. Tahun 1997 juga muncul pengeboman di bus yang menewaskan sembilan orang dan melukai 68 orang di Kota Urumqi. Terulang lagi di Kota Kashgar (2011 dan 2012), Kota Urumqi (2014), dan Aksu (2015).

Menyikapi separatisme dan terorisme itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang sejak 2014 telah menumpas 1.588 geng teroris, menangkap 12.995 pelaku teroris, menyita 2.052 jenis bahan peledak, namun perlakuan tegas terhadap bukan berarti Islam menjadi sumber teroris, meski kebijakan kontraterorisme berupa kamp vokasi dan pusat pelatihan itu dinilai berpotensi melanggar HAM, karena peserta hanya dari satu etnis (Uighur).

Untuk menjawab tuduhan itu, Pemerintah Daerah Otonom Xinjiang membangun gedung pameran Urumqi pada 2014 yang menampilkan foto korban kekerasan selama 1992-2015, rekaman CCTV, senjata api, senjata tajam, senjata rakitan, serta bom rakitan. Foto dan video kekerasan itu bukan hanya radikalisme/terorisme yang terjadi di Xinjiang saja, tapi juga di Kunning-Yunan dan Kota Terlarang Beijing.

“Anda lihat sendiri ada imam masjid beserta keluarganya dan juga beberapa petugas kepolisian yang menjadi korban serangkaian serangan terorisme di Xinjiang. Semua bentuk terorisme adalah kejahatan yang tidak memilih sasaran dari etnis dan agama tertentu,” kata Deputi Dirjen Publikasi Partai Komunis China, Komite Regional Xinjiang, Shi Lei.

Irfan Ilmie, alumnus Hubungan Internasional Universitas Darul Ulum, Jombang dan Master Komunikasi Universitas Arilangga, Surabaya berkesempatan beberapa kali mengunjungi Xinjiang untuk berbicara langsung dengan warga lokal, tokoh masyarakat, dan otoritas setempat. Karena itu buku ini diberi anak judul, ‘Catatan Perjalanan Wtawan Indonesai Mengungkap Fakta di Lorong Gelap Kamp Vokasi Uighur’.

Bersama beberapa wartawan dari media Barat ia juga sempat mendapat izin untuk mengunjungi sejumlah lokasi yang oleh pihak Barat dikampanyekan sebagai penjara atau kamp konsentrasi. Lewat reportase lapangan yang mengalir, dalam buku setebal 344 halaman ini Irfan menguraikan bahwa Xinjiang yang berada di ujung barat laut Tiongkok, berbatasan langsung dengan delapan negara, yakni Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, Uzbekistan, Tajikistan, Afghanistan, dan Pakistan.

Letak ini membuat Xinjiang menjadi gerbang alami Jalur Sutra sejak ribuan tahun lalu. Arus perdagangan lintas benua tidak hanya membawa komoditas, tetapi juga pengetahuan tentang lokasi sumber daya alam sehingga eksplorasi mineral di wilayah ini berlangsung lebih awal dibanding banyak daerah lain di Tiongkok.

Uighur, jelas Irfan, bukan satu-satunya etnis yang mendiami wilayah Xinjiang. Masih ada etnis lain seperti Kazakh, Tajik, Mongol, dan Hui, yang turut membentuk mosaik sosial di wilayah seluas 1,66 juta kilometer persegi itu. Sebagai etnis mayoritas wajar pula bila bahasa Uighur menjadi pengantar utama dalam pergaulan masyarakat. Sementara aksara yang banyak digunakan menyerupai huruf Arab Pegon.

Sekalipun demikian, Islam bukanlah agama leluhur asli etnis Uighur. Islam baru masuk sekitar abad ke-10, sedangkan kepercayaan dan agama lain sudah jauh lebih dulu masuk dan dikenal masyarakat Xinjiang, seperti Shamanisme, Zoroaster, dan Buddha. Dari situ secara perlahan terjadi percampuran, dan memang meski masuk belakangan Islam tumbuh menjadi agama mayoritas di Xinjiang.

(jat/inf)



Sumber : www.detik.com