Tag Archives: antibiotik

Khasiatnya Hebat! 7 Makanan Ini Memiliki Sifat Antibiotik Alami


Jakarta

Ramai seruan pemerintah untuk mengawasi peredaran obat antibiotik di pasaran. Sebagai alternatif alaminya, kamu bisa mengonsumsi 7 makanan ini.

Peredaran obat antibiotik masih terjadi di pasar Indonesia saat ini. Bahkan, Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indah Suksmaningsih, ada 70 persen obat antibiotik yang beredar di pasar tanpa resep dari dokter.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran lantaran konsumsi obat antibiotik tanpa resep dokter bisa menimbulkan bahaya resistensi pada manusia. Pasalnya, dosis untuk setiap orang tidaklah sama. Agar antibiotik bekerja secara efektif dan aman, dokter perlu mempertimbangkan beberapa hal.


Oleh karena itu, YLKI mendesak pemerintah bisa mengawasi peredaran antibiotik di masyarakat dengan lebih ketat. Setiap orang juga perlu mempertimbangkan kembali efeknya sebelum konsumsi obat antibiotik sembarangan.

Sebagai alternatif, kamu bisa mengonsumsi makanan bersifat antibiotik alami. Di dalamnya terkandung senyawa alami berpotensi melawan patogen mikroba yang menyerang tubuh.

Melansir Medibuddy.In (02/04/2024), berikut 7 makanan yang memiliki sifat antibiotik alami:

1. Jahe

Teh jahe.Jahe bisa menjadi obat antibiotik alami untuk lawan virus dan bakteri. Foto: Getty Images/imageBROKER RF/imageBROKER/Juergen Pfeiffer

Jahe memiliki sifat antibakteri dan antiinflamasi yang ampuh melawan bakteri dan virus, terutama bakteri di mulut.

Rempah alami ini juga secara efektif mampu mengatasi infeksi saluran pernapasan, infeksi mulut, dan masalah pencernaan.

Bahkan, ekstrak jahe saja biasa digunakan sebagai ramuan tradisional untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh.

Jahe bisa dikonsumsi dengan cara dimakan utuh dan segar, direbus menjadi teh jahe, atau dijadikan bumbu masakan.

2. Kunyit

Bikin Sehat! Ini 7 Manfaat Konsumsi Kunyit Bersama dengan JaheKandungan kurkumin dalam kunyit juga berkhasiat untuk melawan bakteri, virus, dan jamur, Foto: Getty Images/Photopips

Kunyit memiliki senyawa aktif bernama kurkumin yang terkenal dengan sifat antibakteri.

Kurkumin memiliki aktivitas antimikroba yang mampu memerangi infeksi virus, bakteri, dan jamur dalam tubuh. Aktivitas antimikroba pada kurkumin juga menunjukkan bahwa senyawa kimia ini tak hanya menghentikan infeksi, tetapi juga menghambat infeksi lebih lanjut.

Kunyit bisa diolah menjadi minuman hangat seperti wedang kunyit. Cara buatnya mudah, hanya perlu menggunakan kunyit segar, lalu parut kunyit tersebut, dan rebus bersama air. Setelahnya saring untuk memisahkan ampas. Wedang kunyit siap diminum.

3. Madu

The Manuka flower in bloom on a Tea Tree in soft focus.Madu jenis manuka memiliki sifat antibakteri kuat untuk melawan bakteri patogen. Foto: Istock

Madu juga dapat digunakan sebagai alternatif antibiotik, terutama madu Manuka yang memiliki sifat antibakteri kuat karena adanya metilglioksal.

Namun, madu pada umumnya juga mengandung nutrisi bermanfaat untuk melawan virus dan bakteri. Di dalam madu terdapat enzim yang menghasilkan hidrogen peroksida dan bertindak sebagai agen antimikroba untuk membunuh bakteri patogen.

Madu juga memiliki pH rendah yang dapat memengaruhi aktivitas antibakteri. Selain itu, madu juga punya sifat higroskopik yang dapat menarik air dari lingkungan hidup bakteri, sehingga bakteri mengalami dehidrasi.

Daftar makanan lainnya yang bisa menjadi obat antibiotik alami dapat dibaca di halaman selanjutnya!

4. Minyak kelapa

Kandungan asam laurat di dalam minyak kelapa juga dapat bersifat sebagai antimikroba yang bisa melawan bakteri, virus, dan jamur.

Minyak kelapa secara khusus dapat melawan infeksi jamur pada kulit. Menurut sebuah studi, kandungan MCT pada minyak kelapa efektif dalam melawan infeksi jamur Candida albicans. Bahkan, pengobatan pakai minyak kelapa lebih efektif daripada obat krim anti-jamur seperti fluconazole.

Minyak kelapa dapat diminum langsung sebanyak 10 ml 2-3 kali sehari. Namun, hindari mengonsumsi secara berlebihan dan untuk pengobatan jangka panjang. Selain diminum langsung, minyak ini bisa dioleskan atau dipakai sebagai minyak untuk memasak.

5. Bawang bombai

bawang bombayTak hanya menjadi penyedap masakan, bawang bombai juga bagus untuk melawan bakteri dan virus. Foto: iStock

Tidak hanya dipakai dalam masakan, bawang bombai juga bisa digunakan sebagai pengganti obat antibiotik.

Di dalamnya terkandung senyawa sulfur yang memiliki sifat antimikroba yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri berbahaya, seperti B.cereus dan S.aureus.

6. Kayu manis

Sebuah studi menunjukkan bahwa rempah-rempah kayu manis memiliki senyawa bioaktif. Hal itu dapat meningkatkan fungsi otak, terutama memori dan pembelajaran.Kayu manis juga bisa jadi alternatif obat antibiotik alami. Foto: Getty Images/iStockphoto/yulka3ice

Kayu manis juga mengandung cinnamaldehyde yaitu senyawa yang memiliki sifat antimikroba.

Oleh karenanya, rempah alami ini bisa digunakan sebagai alternatif obat antibiotik dalam melawan bakteri dan jamur. Kayu manis juga bisa mengobati infeksi saluran pernapasan, infeksi kulit, dan masalah pencernaan.

7. Cengkeh

Sifat antimikroba dan anti inflamasi terkandung di dalam cengkeh, terutama berkat senyawa eugenol. Dengan kandungan tersebut, cengkeh secara efektif dapat melawan bakteri, virus, dan jamur.

Cengkeh juga bisa digunakan untuk mengobati infeksi pada gigi dan gusi, infeksi saluran pernapasan, dan mengatasi masalah pencernaan.

(aqr/adr)



Sumber : food.detik.com

Polusi Mikroplastik Tingkatkan Resistensi Antimikroba


Jakarta

Kontaminasi mikroplastik yang berlebihan dapat memicu antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antimikroba. Sebuah penelitian baru mengungkap, masalah ini semakin meningkat di seluruh dunia.

Laporan yang diterbitkan dalam The Journal of Hazardous Materials menemukan bahwa plastik berperan sebagai wadah bagi biofilm, komunitas bakteri dan mikroba lain yang menempel pada permukaannya. Biofilm ini dapat mempercepat penyebaran resistensi obat dengan menciptakan lapisan pelindung yang menghalangi masuknya antibiotik ke dalam mikroba, dan membantu gen resistensi untuk bertransmisi lebih mudah dalam komunitas biofilm.


Plastik menjadi masalah bagi AMR

Laporan tersebut memperingatkan bahwa plastik dapat berperan dalam mendorong pengembangan dan penularan AMR sepanjang seluruh siklus hidupnya. Selama ekstraksi bahan baku untuk industri bahan bakar fosil, termasuk minyak mentah, gas alam, dan batu bara, biosida digunakan untuk mencegah bakteri mengkolonisasi pipa dan peralatan pengangkut minyak atau cairan tambang.

Bahan kimia ini dapat terlepas secara tidak sengaja ke lingkungan, memicu AMR di area yang terdampak tumpahan. Paparan mikroba terhadap konsentrasi biosida yang dapat memicu munculnya resistensi dan penyebaran gen resistensi dalam komunitas biofilm.

Demikian pula, zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan kualitas plastik dalam industri kemasan dapat mendorong pertumbuhan mikroba yang resistan terhadap antibiotik, terutama pada orang yang terpapar bahan kimia yang larut dari kemasan makanan melalui saluran pencernaan atau pernapasan.

Makanan panas, misalnya, meningkatkan pelarutan logam berat dari plastik, yang beberapa di antaranya dapat membantu pertumbuhan mikroba yang resistan. Kekhawatiran utamanya adalah partikel plastik kecil ini bertindak sebagai permukaan bagi mikroorganisme untuk menempel dan membentuk biofilm.

“Di dalam biofilm ini, bakteri dapat secara selektif mengakumulasi gen resistensi antimikroba dan spesies patogen, menciptakan ekosistem mikroba unik yang berbeda dari perairan di sekitarnya,” kata Keerthi Guruge, ilmuwan dari National Agricultural and Food Research Organization (NARO) Jepang, dikutip dari Nature.

Tahapan lain dalam siklus hidup plastik juga dapat menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi mikroba yang resistan terhadap obat, termasuk tempat pembuangan sampah dan pabrik daur ulang plastik. TPA mengakumulasi kontaminan kimia, dan curah hujan yang tinggi dapat menyebarkannya ke tanah dan air tanah di sekitarnya, menciptakan reservoir mikroba AMR.

“Pada tahap ini, sangat sulit untuk mengukur kontribusi relatif mikroplastik dalam mendorong evolusi dan penyebaran AMR,” kata Emily Stevenson dari University of Exeter Medical School di Inggris, yang turut menulis laporan tersebut.

“Yang kami ketahui adalah bahwa mikroplastik dan entitas AMR seperti gen, bakteri, patogen, dan residu antibiotik hidup berdampingan di beberapa kompartemen lingkungan, terutama air limbah, limbah padat, dan pelarutan TPA,” tambahnya.

Mikroba menyukai plastik

Mikroplastik telah menjadi masalah polusi global. Mikroplastik mengapung di laut, sungai, danau, dan bahkan di air minum. Sebuah tinjauan tentang mikroplastik dan AMR dalam sistem perairan yang ditulis oleh Guruge dan rekan-rekannya, dan diterbitkan di NanoImpact pada Mei 2025, melaporkan bahwa gen yang resistan terhadap antibiotik lebih kaya pada mikroplastik dibandingkan pada substrat non-plastik.

Kesimpulannya adalah bahwa mikroplastik dapat secara selektif mendorong pertumbuhan mikroorganisme patogen dan berperan sebagai pembawa resistensi antibiotik di lingkungan perairan. Kombinasi mikroplastik dengan polutan lain dalam sistem air tawar dapat semakin meningkatkan potensi dampaknya terhadap kesehatan, demikian peringatan laporan tersebut.

“Kekhawatiran utamanya adalah partikel plastik kecil ini bertindak sebagai permukaan bagi mikroorganisme untuk menempel dan membentuk biofilm,” kata Guruge.

“Di dalam biofilm ini, bakteri dapat secara selektif mengakumulasi gen resistensi antimikroba dan spesies patogen, menciptakan ekosistem mikroba unik yang berbeda dari perairan di sekitarnya,” tambahnya.

Pada 2023, sekitar satu dari enam infeksi bakteri yang dikonfirmasi laboratorium di seluruh dunia disebabkan oleh strain yang resistan terhadap antibiotik. Penelitian ini menjelaskan bagaimana plastik yang dilapisi biofilm ini dapat terkumpul dalam ‘plastiome’, menyebarkan kuman dan gen berbahaya yang membuat infeksi lebih sulit diobati.

Mikroplastik yang tahan lama dan mudah bergerak dapat membawa bakteri dan gen yang resistan terhadap obat lintas batas, dari darat ke laut, bahkan ke dalam rantai makanan. Baik AMR maupun mikroplastik merupakan tantangan lingkungan dan kesehatan masyarakat global.

“Interaksi keduanya dapat membuat keduanya lebih berbahaya jika digabungkan daripada jika dipisahkan,” ujar Guruge.

Beberapa negara berisiko lebih tinggi

Penelitian tentang hubungan antara mikroplastik dan AMR masih dalam tahap awal, dengan studi yang sejauh ini dilaporkan dari Jepang, China, dan beberapa negara Eropa. Namun, karena mikroplastik tersebar secara global, dari Arktik hingga sedimen laut dalam, kemungkinan besar masalah ini tersebar luas di semua wilayah.

Negara-negara berkembang mungkin sangat rentan, karena terbatasnya fasilitas pengolahan air limbah dan infrastruktur pengelolaan limbah meningkatkan risiko pencemaran mikroplastik dan penyebaran mikroba resistan yang tidak terkendali.

Para ahli yang menangani AMR menyoroti meningkatnya ancaman di negara-negara dengan sistem kesehatan yang lemah. Laporan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia WHO tentang AMR menggemakan kekhawatiran ini.

Berdasarkan lebih dari 23 juta infeksi yang dikonfirmasi secara bakteriologis di 104 negara, dan perkiraan resistensi terhadap 22 antibiotik terhadap delapan patogen bakteri umum, ditemukan bahwa pada 2023, sekitar satu dari enam infeksi bakteri yang dikonfirmasi laboratorium di seluruh dunia disebabkan oleh strain yang resistan terhadap antibiotik.

Resistensi tertinggi terjadi di kawasan Asia Tenggara dan Mediterania Timur (hampir satu dari tiga infeksi), diikuti oleh Kawasan Afrika (satu dari lima), semuanya di atas median global. Resistensi lebih rendah di Kawasan Eropa (satu dari sepuluh) dan terendah di Kawasan Pasifik Barat (satu dari sebelas), menunjukkan disparitas regional yang lebar.

Mengingat AMR dan mikroplastik hidup berdampingan di tempat pembuangan sampah dan air limbah, hal ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan, mengingat mikroplastik dapat memengaruhi beban, persistensi, dan penyebaran AMR.

Artinya, di wilayah dunia yang pengelolaan limbahnya kurang efektif, mungkin terdapat lebih banyak kontaminan, dan karenanya bebannya mungkin lebih besar.

“Di banyak negara berkembang, antibiotik seringkali diresepkan secara berlebihan, terkadang bahkan ketika tidak diperlukan secara medis,” kata Guruge.

Emily Stevenson dari Fakultas Kedokteran University of Exeter menyebutkan, pertahanan terkuat adalah meningkatkan pengelolaan limbah untuk menghentikan masuknya kontaminan ini ke lingkungan sejak awal.

Akses antibiotik yang dijual bebas atau daring semakin memicu penyalahgunaan, menciptakan tekanan selektif yang mendorong bakteri resistan yang membawa gen resistansi antibiotik untuk berkembang biak.

“Ketika air limbah yang tidak diolah atau diolah dengan buruk dari rumah tangga, rumah sakit, dan industri masuk ke lingkungan, air tersebut membawa residu antibiotik dan bakteri resisten,” ujarnya.

“Dikombinasikan dengan keberadaan mikroplastik, yang menyediakan permukaan stabil bagi pertumbuhan mikroba, kondisi ini menciptakan lingkungan ideal untuk amplifikasi dan pertukaran gen resistensi, yang memperburuk krisis AMR,” tambahnya lagi.

Kekhawatiran serupa juga muncul di tempat lain. Misalnya, sebuah studi Jerman baru-baru ini, yang diterbitkan di Nature, mendeteksi jumlah bakteri patogen yang lebih tinggi dalam sampel air Sungai Oder yang terkontaminasi plastik, menggarisbawahi bagaimana polusi dapat mempercepat penyebaran resistensi di ekosistem alami.

Sebagai prioritas, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya mekanisme mikroplastik memengaruhi AMR di lingkungan, serta konsekuensinya bagi manusia dan hewan,. Sejauh ini, mitigasi paling sederhana menurut para peneliti adalah meningkatkan pengelolaan sampah untuk mencegah kontaminan ini memasuki lingkungan sejak awal.

(rns/rns)



Sumber : inet.detik.com

Teh Hijau Vs Kopi, Mana yang Bisa Cegah Otak Tak Cepat Pikun?


Jakarta

Dalam kesehatan otak, banyak orang telah mencoba berbagai makanan dan perubahan gaya hidup. Tetapi, satu hal terlintas dalam pikiran adalah minuman antioksidan mana yang paling ampuh untuk otak.

Kebanyakan orang percaya kopi adalah cara terbaik menyegarkan otak dan tetap fokus pada pekerjaan. Itu membantu pekerjaan tanpa merasa mengantuk sepanjang hari.

Beberapa orang mengatakan bahwa teh hijau lebih baik karena meningkatkan energi, membuang racun tubuh, dan membantu fungsi kognitif yang lebih baik. Lalu, mana yang lebih efektif?


Dikutip dari Times of India, ahli saraf Dr Robert Lowe menjelaskan manfaat dari kedua minuman tersebut.

1. Secangkir Kopi dapat Meningkatkan Kinerja Otak

Kopi lebih dari sekadar ritual pagi, tetapi bisa bermanfaat untuk otak. Bagi sebagian orang, secangkir kopi segar tanpa tambahan gula mungkin satu-satunya cara untuk memulai pagi.

Penelitian telah menunjukkan bahwa konsumsi kopi secara teratur dikaitkan dengan penurunan penumpukan plak, yang menjadi salah satu indikator utama penuaan dan penyebab penyakit Alzheimer.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan di PubMed Central, menyatakan bahwa kopi mengandung lebih dari 1.000 senyawa bioaktif. Itu termasuk kafein, polifenol, antioksidan, dan trigonelin, yang banyak di antaranya memiliki efek antiinflamasi, antioksidan, neuroprotektif, anti kanker, dan pelindung jantung.

Selain itu, kopi dapat mengurangi kemungkinan Alzheimer hingga 65 persen dan Parkinson 29 persen. Tetapi, ada pula kekurangannya yaitu dapat mengganggu penyerapan zat besi, pengobatan osteoporosis, dan beberapa antibiotik.

2. Teh Hijau Meningkatkan Kognitif yang Lebih Tenang

Teh hijau memiliki manfaat tersendiri untuk meningkatkan kinerja otak, dan juga memberikan energi yang menenangkan. Sebuah studi yang dipublikasikan dengan judul ‘Studi kohort longitudinal yang menunjukkan efek menguntungkan dari konsumsi teh hijau dan kopi dalam jumlah sedang terhadap pencegahan demensia: Studi Kesehatan Mental JPHC Saku’ menyimpulkan bahwa 2-3 cangkir teh hijau per hari secara signifikan mengurangi risiko penurunan kognitif.

Namun, hal ini hanya diamati pada individu yang lebih tua. Tidak ada efek signifikan yang ditemukan pada seluruh sampel yang mencakup orang yang lebih muda.

Ini untuk mengingatkan bahwa lebih banyak tidak selalu lebih baik. Tetapi, dosis teh hijau yang lebih tinggi (lebih dari 4 cangkir) tidak meningkatkan manfaatnya.

Menurut Robert Lowe, kopi merupakan peningkatan kognitif, terutama karena kandungan kafein yang membantu meningkatkan fokus, daya ingat, dan rentang perhatian. Kopi juga kaya polifenol, senyawa yang memberi warna gelap pada kopi, yang bermanfaat untuk kesehatan usus, mikroba usus yang terkait dengan fungsi otak.

Sementara teh hijau, selain membantu menyeimbangkan energi, minuman ini mengandung L-theanine, asam amino yang meningkatkan ketenangan dan relaksasi. Teh hijau juga ramah usus dan mengandung polifenol, seperti kopi yang mendukung kesehatan usus dan pada gilirannya menutrisi otak melalui poros usus-otak.

Kesimpulannya, kopi maupun teh hijau menawarkan manfaat yang kuat. Tetapi, kopi mungkin sedikit lebih merangsang energi, sementara teh hijau memberikan energi yang lebih halus dan lebih tenang.

Namun, pada akhirnya semua kembali ke pilihan yang nyaman untuk tubuh masing-masing.

(sao/naf)



Sumber : health.detik.com