Tag Archives: genom

5 Penemuan yang Belum Dapat Nobel, Padahal Layak Menurut Ahli


Jakarta

Peraih Hadiah Nobel akan diumumkan mulai Senin, 6 Oktober 2025 sampai 13 Oktober mendatang. Sejumlah penemuan diduga masyarakat ilmiah akan menerima penghargaan ini.

Hadiah Nobel diberikan bagi orang-orang dengan kontribusi luar biasa bidang di kimia, fisika, fisiologi atau kedokteran, hingga bidang perdamaian dan sastra. Dikutip dari laman resmi Nobel Prize, nama-nama nomine dan info nominasi lainnya dirahasiakan sampai 50 tahun kemudian.

Kendati demikian, komite Hadiah Nobel mengungkap ada 338 kandidat yang dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2025. Angka ini terdiri dari 244 individu dan 94 organisasi.


Daftar Penemuan yang Belum Dapat Hadiah Nobel, Padahal Layak

Sementara itu, ada sejumlah penemuan yang menurut ahli layak diganjar Hadiah Nobel karena mengubah kehidupan. Melansir CNN, berikut daftarnya.

Perawatan Inovatif untuk Obesitas

Diketahui, kini berkembang obat obat diabetes tipe-2 dan obat penurun berat badan peniru hormon, yang disebut peptida mirip glukagon 1 (GLP-1). Contohnya seperti Ozempic.

Kendati diresepkan untuk penderita diabetes tipe 2, Ozempic juga dipakai untuk menurunkan berat badan.

Berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 1 dari 8 orang di dunia mengalami obesitas. Penemuan obat-obatan semaglutide yang menurunkan gula darah dan menahan nafsu makan berpotensi untuk mendukung perawatan intensif obesitas dan kondisi terkait seperti diabetes tipe 2.

Tiga ilmuwan pengembang semaglutide yaitu:

  • Ahli biokimia dan profesor riset asosiasi di Rockefeller University Svetlana Mojsov
  • Ahli endokrinologi dan profesor kedokteran di Harvard Medical School Dr Joel Habener
  • Kepala penasihat ilmiah untuk penelitian dan pengembangan awal di perusahaan farmasi Novo Nordisk, Lotte Bjerre Knudsen.

Ketiga peneliti sebelumnya telah meraih penghargaan Penelitian Medis Klinis Lasker-DeBakey 2024. Penghargaan ini kerap dianggap sebagai indikator seseorang akan memenangkan Hadiah Nobel.

Pelopor Komputasi Kuantum

Kepala analisis penelitian di The Institute for Scientific Information (ISI) David Pendlebury berpendapat komputasi kuantum merupakan bidang yang layak diakui dengan Hadiah Nobel.

Komputasi kuantum memungkinkan pemecahan masalah yang tidak bisa atau tidak efisien diselesaikan komputasi klasik, seperti deteksi fraud keuangan dan pengembangan kecerdasan artifisial (AI).

Berdasarkan jumlah kutipan pada hasil studinya, sosok yang layak diganjar penghargaan ini menurut Pendlebury yaitu:

  • Profesor di Institut Informasi Kuantum di Universitas RWTH Aachen, Jerman, David P DiVincenzo
  • Profesor fisika teoretis di Universitas Basel, Swiss, Daniel Loss

Ia mencontohkan, salah satu paper karya DiVincenzo dan Loss tahun 1998 di jurnal Physical Review A yang berjudul ‘Quantum computation with quantum dots’ dikutip hampir 10.000 kali.

“Wawasan mereka adalah menggunakan qubit sebagai mekanisme dasar untuk membuat komputer kuantum,” jelasnya.

Pengobatan Fibrosis Kistik

Sekelompok peneliti memajukan pengobatan untuk kelainan genetik fibrosis kistik, penyakit mematikan yang menyerang anak-anak maupun orang dewasa.

Orang dengan fibrosis kistik mengalami penumpukan lendir di paru-paru, sistem pencernaan, dan bagian tubuh lain sehingga rentan infeksi, masalah pencernaan, dan gangguan pernapasan.

Para ilmuwan yang berkontribusi pada kemajuan pengobatan penyakit ini yaitu:

  • Profesor penyakit dalam-paru, perawatan kritis dan kedokteran kerja di Universitas Iowa Dr Michael J. Welsh: mengungkapkan bagaimana protein fibrosis kistik berfungsi dan hal yang salah secara medis pada pasien bersangkutan.
  • Ahli kimia organik fisik Jesús (Tito) González: memelopori sistem yang digunakan untuk menyaring senyawa-senyawa terkait fibrosis kistik untuk mendukung pengobatan
  • Ahli biologi sel Paul Negulescu dari Vertex Pharmaceuticals: memimpin penelitian pengobatan fibrosis kistik tim González.

Para ilmuwan sebelumnya juga memenangkan Penghargaan Penelitian Medis Klinis Lasker-DeBakey 2025 pada September tahun ini.

Memahami Mikrobioma Usus

Mikrobioma manusia adalah kawanan atau triliunan mikroba yang hidup di dan dalam tubuh manusia, termasuk bakteri, virus, dan jamur. Sejumlah peneliti berperan dalam membuka pemahaman manusia soal apa yang dilakukan mikroba ini, bagaimana mereka berbicara satu sama lain, dan berinteraksi dengan sel manusia, khususnya di usus.

Menurut Pendlebury, bidang mikrobioma manusia sudah sejak lama seharusnya mendapat pengakuan Hadiah Nobel. Orang yang harusnya diganjar penghargaan ini menurutnya yaitu ahli biologi Dr. Jeffrey Gordon, Dr. Robert J. Glaser Distinguished University Professor di Washington University St. Louis, AS.

Ia menjelaskan, Jeffrey Gordon merupakan pelopor yang belajar bagaimana mikrobioma tersebut membentuk kesehatan manusia, dimulai dengan penelitian laboratorium pada tikus.

Tim Gordon juga menemukan bahwa mikrobioma usus berperan pada dampak kesehatan akibat kekurangan gizi, yang berpengaruh pada hampir 200 juta anak di seluruh dunia. Timnya juga sedang mengembangkan intervensi pangan yang menargetkan peningkatan kesehatan usus.

Pengurutan DNA Generasi Baru

Pengurutan genom manusia bermanfaat pada bidang kedokteran, biologi, ekologi, dan forensik. Sebagai contoh, dokter dapat memahami dasar genetik penyakit dengan lebih mudah, dan memberi pengobatan sesuai karakteristik per pasien.

Pengurutan genom manusia berdampak luas pada biologi, kedokteran, dan banyak bidang lainnya. Namun, proyek penelitian 1990-2003 ini tidak diganjar Hadiah Nobel karena tidak memenuhi aturan wasiat Alfred Nobel, yakni penghargaan hanya dapat diberikan kepada maksimal tiga orang per penghargaan.

Diketahui, penelitian ilmiah kini makin kolaboratif. Pemecahan kode genetik kehidupan manusia setidaknya melibatkan konsorsium internasional dengan ribuan peneliti di AS, Inggris, Prancis, Jerman, Jepang, dan China.

Namun, menurut Pendlebury, kemungkinan komite Nobel akan mengakui karya ahli kimia Shankar Balasubramanian dan David Klenerman dari University of Cambridge, Inggris dan ahli biofisika Prancis Pascal Mayer dari Universitas Strasbourg, Prancis.

Ketiga ilmuwan ini dinilai berkontribusi melalui teknologi pengurutan generasi berikutnya. Karya mereka ini dapat menguraikan jutaan fragmen DNA sekaligus.

Sebelumnya, pengurutan genom manusia secara lengkap bisa memakan waktu berbulan-bulan dengan biaya menghabiskan biaya puluhan miliar rupiah. Teknologi mereka memungkinkan pemrosesan beberapa hari dengan biaya beberapa belas juta.

(twu/nwk)



Sumber : www.detik.com

Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China


Jakarta

Kekhawatiran akan pandemi baru kembali merebak di China. Para ilmuwan telah mendeteksi varian baru virus flu yang menunjukkan tanda-tanda dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah laporan. Virus ini yang dikenal sebagai Influenza D (IDV), sebagian besar ditemukan pada sapi, tetapi para peneliti kini yakin virus tersebut mungkin beradaptasi untuk menyebar di antara manusia.

Tim peneliti dari Changchun Veterinary Research Institute di China mengidentifikasi strain baru yang disebut D/HY11, yang pertama kali muncul pada sapi di China timur laut pada tahun 2023, menurut laporan tersebut. Studi mereka menemukan strain tersebut dapat bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa strain tersebut mungkin sudah menyebar di antara manusia.

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan pada dasarnya virus Influenza D (IDV) sudah dikenal sejak tahun 2011, sehingga bukan merupakan virus baru. Temuan yang tergolong baru adalah isolasi strain tertentu, yakni D/HY11, serta bukti eksperimental yang menunjukkan kemampuan virus ini untuk bereplikasi di sel manusia.


“Inilah aspek kebaruan yang membuat para ahli meningkatkan kewaspadaan,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

Dicky menjelaskan, IDV untuk bereplikasi dan menular pada hewan percobaan seperti ferret menjadi sinyal penting yang perlu diawasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya potensi risiko adaptasi virus terhadap manusia.

Meski begitu, ia menegaskan hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa IDV dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia secara luas. Bukti yang tersedia sejauh ini justru lebih banyak mengindikasikan bahwa sapi merupakan reservoir utamanya, sementara paparan pada manusia hanya ditemukan pada kelompok yang memiliki kontak erat dengan hewan ternak.

“Sehingga IDV adalah zoonosis potensial yang perlu diawasi. Jadi dia seperti halnya misalnya avian flu atau bahkan mungkin seperti potensi nipah misalnya atau hendra virus,” kata Dicky.

Pada hewan, virus IDV diketahui dapat menyebabkan bovine respiratory disease complex atau kompleks penyakit pernapasan pada sapi.

Sementara itu, pada manusia, lanjut Dicky, genom dan antibodi terhadap virus ini memang pernah dilaporkan, namun hingga kini belum ada bukti kuat mengenai munculnya penyakit klinis akibat IDV pada manusia.

“Jadi ada potensi menjadi wabah di manusia tapi saat ini sejauh ini belum ya. Sehingga belum ada bukti epidemi atau potensi epidemi besar pada manusia yang serupa influenza A pandemik dulu 100 tahun lebih lalu,” ucapnya lagi.

(suc/up)



Sumber : health.detik.com

Muncul Varian Baru Virus Flu di China, Berpotensi Jadi Pandemi? Ini Kata Epidemiolog


Jakarta

Baru-baru ini peneliti yang dipimpin oleh Hongbo Bao di China mendeteksi varian baru virus flu yang dikenal sebagai Influenza D virus (IDV) jenis virus yang umumnya ditemukan pada sapi. Tim dari Changchun Veterinary Research Institute mengidentifikasi strain baru bernama D/HY11, yang ditemukan pada sapi di wilayah timur laut China pada tahun 2023.

Hasil studi menunjukkan strain D/HY11 mampu bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia serta jaringan hewan. Temuan ini memunculkan kekhawatiran bahwa virus tersebut berpotensi menyebar antar manusia.

“Strain IDV yang beredar saat ini sudah menimbulkan potensi ancaman panzootik [padanan hewan dari pandemi manusia],” tulis peneliti.


Terkait hal tersebut, epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan Influenza D Virus atau IDV biasanya beredar pada sapi dan beberapa hewan ternak. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 2011, artinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu sehingga bukan dianggap virus baru.

“Dan yang baru adalah isolasi strain tertentunya yaitu D/HY11 dan bukti eksperimen yang menunjukkan kemampuan replikasi di sel manusia dan ini yang menjadi kebaruannya,” ucap Dicky saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

Berpotensi Picu Pandemi?

Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan IDV atau influenza D menyebabkan penyakit berat dalam populasi manusia secara luas. Bukti yang ada lebih kuat mengenai reservoir hewan seperti sapi dan paparan pada kelompok kontak hewan.

Meskipun demikian, Dicky menilai potensi terjadinya wabah atau bahkan pandemi tetap ada secara ilmiah. Hal ini dikarenakan setiap virus yang mengalami perubahan genetik hingga mampu menular secara efisien antar manusia, memiliki peluang untuk memicu terjadinya wabah berskala besar.

“Tetapi kemungkinan aktualnya kejadiannya bergantung pada bagaimana dia adaptasi genetik untuk replikasi dan transmisibilitas pada manusia. Ini yang masih jadi pertanyaan. Kemudian juga virulensi klinis pada manusia, juga kondisi ekologi, ekonomi yang mendorong spillover, kontak manusia hewan,” ucapnya lagi.

“Jadi saat ini bukti adaptasi manusianya terbatas, jadi risiko nyatanya belum dapat dikatakan tinggi, tapi kewaspadaan One Health wajib ditingkatkan,” sambungnya.

Apa Itu Influenza D Virus?

Dicky menjelaskan virus ini termasuk dalam genus Delta Influenza Virus dan merupakan bagian dari family Orthomyxoviridae, keluarga virus yang juga dikenal serius karena mencakup berbagai virus penyebab penyakit menular pada manusia.

Menurutnya, keluarga virus ini memiliki kesamaan karakter dengan keluarga coronavirus, yakni sama-sama berpotensi menimbulkan wabah. Pada hewan, IDV diketahui menyebabkan bovine respiratory disease complex, yaitu gangguan pernapasan yang cukup umum di sektor peternakan.

Sementara pada manusia, hingga kini baru ditemukan jejak genom dan antibodi terhadap virus ini, namun belum ada bukti kuat bahwa IDV menimbulkan penyakit klinis secara luas.

“WHO sendiri mengakui keberadaan empat jenis influenza, influenza A yang sekarang bersirkulasi dominan dan menyebabkan kasus-kasus, kemudian influenza B, influenza C, dan D,” kata Dicky.

Di antara keempatnya, influenza A merupakan tipe yang paling dominan bersirkulasi dan paling sering menyebabkan kasus pada manusia, diikuti oleh influenza B.

Dicky menjelaskan, selama ini, fokus pemantauan dan rekomendasi WHO difokuskan pada influenza A dan B karena bukti penyakitnya pada manusia sudah jelas dan telah memicu berbagai epidemi maupun pandemi sebelumnya. Sementara itu, untuk influenza D (IDV), WHO belum mengeluarkan pernyataan darurat global maupun status kewaspadaan khusus.

“Dan dokumen teknis WHO masih memusatkan komposisi vaksin pada A, B, dan pemantauan global influenza surveillance (GILS) untuk influenza A vaksin dan juga influenza B vaksin,” lanjutnya.

baca juga

(suc/suc)



Sumber : health.detik.com