Jakarta –
Manfaat sehat pada kopi bisa hilang jika dalam penyeduhannya dicampur dengan gula. Lantas, berapa banyak gula yang tersembunyi dalam seduhan kopi?
Kopi diakui sebagai minuman sehat. Kopi mengandung kafein yang bisa memberikan dorongan energi untuk tubuh. Selain itu, masih banyak lagi senyawa penting di kandungannya.
Rutin minum kopi bisa meningkatkan mood dan konsentrasi, membantu menurunkan berat badan, mencegah kanker, mengurangi diabetes, dan membantu meningkatkan kesehatan jantung.
Namun, manfaat tersebut tidak akan didapatkan jika kamu menambahkan gula atau bahan pemanis lainnya di dalam seduhan kopi. Karenanya, kamu harus tahu berapa banyak gula yang terkandung dalam kopi.
Dikutip dari Bevarabia (30/01/25) berikut faktanya!
1. Kopi hitam
Kopi hitam tidak mengandung gula sama sekali. Foto: Ilustrasi iStock |
Kopi hitam merupakan salah satu pilihan kopi yang menyehatkan. Itu karena kopi ini tidak dicampur gula sama sekali. Kopi hitam yang dimaksud adalah espresso dan Americano.
Rasanya murni dan kuat. Sentuhan rasa manis yang tipis berasal dari gula alami yang terkandung pada biji kopinya. Saking tipis manisnya, hampir tidak terasa.
2. Cappuccino
Cappuccino adalah racikan kopi tradisional Italia. Kopi ini dibuat dengan lapisan atasnya berupa forth susu. Jadi, cappuccino pada dasarnya adalah espresso dan susu.
Cappuccino dibuat dengan racikan 1/3 espresso, 1/3 steamed milk, dan 1/3 milk froth. Karena ada tambahan susu, maka ada kandungan gulanya sekitar 6-12 gram.
Laktosa alami dalam susu membuat rasa cappuccino sedikit manis. Namun, sebenarnya seduhan kopi ini juga tidak diberi tambahan gula.
Kandungan gula pada seduhan kopi lainnya ada di halaman selanjutnya.
3. Latte
Latte sebenarnya mirip dengan cappuccino Foto: iStock |
Latte sebenarnya mirip dengan cappuccino. Perbedaannya ada pada seni pembuatannya yang membuat rasa dan teksturnya berbeda. Latte dibuat dengan campuran susu yang diuapkan.
Umumnya dibuat dengan komposisi 60 ml double shot espresso, susu yang di-steam, dan micro foam yang ketebalannya sekitar 1 cm di lapisan atasnya.
Selain itu, penggunaan susunya lebih banyak dibandingkan cappuccino. Dengan begitu, kandungan gulanya juga lebih banyak, yakni sekitar 12-17 gram.
4. Mocha
Mocha adalah perpaduan antara kopi dan cokelat. Mocha memiliki berbagai varian, tergantung jenis cokelat yang dipakai. Ada cokelat hitam, cokelat susu, dan cokelat putih.
Penggunaan cokelat tersebut tentu memberikan kandungan gula tersendiri. Racikan yang paling umum terdiri dari 2/5 espresso, 2/5 cokelat, dan 1/5 susu steam.
Kemudian, disajikan dengan topping krim kocok. Tambahan cokelat dan krim kocok itulah yang menjadi bom gula. Kandungannya bisa mencapai 25-30 gram.
5. Frappuccino
frappuccino Foto: Istimewa |
Frappuccino merupakan gabungan kata antara frappe dan cappuccino. Frappuccino mengacu pada minuman kopi espresso yang diblender dengan es, susu, dan sirup.
Kemudian diberi topping krim kocok dan ada yang menambahkan bahan lainnya sebagai hiasan.
Bahan-bahan tersebut yang menambah kandungan gula pada racikan frappuccino. Biasanya kandungan gulanya mencapai 50-70 gram lebih.
(raf/odi)
![]() |
Source : unsplash.com / Anna Pelzer
Kenapa Makanan Ringan Ultra Processed Food Rasanya Selalu ‘Nagih’? Jakarta – Pasti pernah, niatnya cuma makan satu bungkus makanan ringan, tapi ujung-ujungnya malah menghabiskan beberapa bungkus? Atau niatnya hanya minum sedikit minuman bersoda, tapi tangan reflek ambil lagi dan lagi? Fenomena ini tidaklah aneh. Makanan seperti itu memang dibuat agar terasa nagih, gurihnya pas, manisnya bikin puas, dan teksturnya membuat mulut ingin terus mengunyah. Tanpa sadar, tubuh jadi sulit berhenti meski sudah banyak makan tanpa merasa kenyang. Jenis makanan seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ultra-processed food atau UPF. Dalam jangka panjang, konsumsi berlebih bisa memicu pola makan tak terkendali yang mirip dengan kecanduan.
Apa itu UPF?Ultra-processed food (UPF) adalah istilah untuk makanan yang telah melalui banyak tahap pemrosesan industri. Bukan sekadar dimasak atau diawetkan, UPF biasanya dibuat dari bahan hasil ekstraksi seperti pati, protein terisolasi, atau minyak terhidrogenasi. Bahan-bahan ini kemudian dicampur dengan berbagai zat aditif, mulai dari pemanis buatan, pewarna, penguat rasa, pengawet, hingga pengemulsi, yang jarang kita temukan di dapur rumah. Ciri khas UPF mudah dikenali: tampilannya menarik, rasanya intens, praktis dikonsumsi, dan tahan lama. Jadi produk seperti mi instan, biskuit manis, sosis, nugget, snack kemasan, minuman bersoda, hingga makanan beku siap saji termasuk dalam kategori ini. Kenapa Bisa Bikin Kecanduan?Produk UPF sengaja diproduksi dengan kombinasi rasa yang sangat menggugah selera (highly palatable) yaitu tinggi gula, lemak, dan garam. Perpaduan ini memicu lonjakan hormon dopamin di otak yang memberi rasa senang dan puas setiap kali kita makan. Akibatnya, tubuh mengingat sensasi tersebut dan ingin mengulanginya lagi dan lagi. Tak berhenti di situ, konsumsi UPF juga bisa mengacaukan sistem alami pengatur nafsu makan. Kandungan gula dan lemak tinggi dapat meningkatkan kadar hormon pemicu lapar (ghrelin) sekaligus menurunkan sensitivitas terhadap hormon yang memberi sinyal kenyang (leptin). Akibatnya, tubuh sulit membedakan waktu saat benar-benar lapar dan waktu saat sudah cukup makan. Selain itu, asupan UPF berlebihan dapat menimbulkan resistensi insulin, yaitu saat hormon insulin tidak lagi efektif menekan rasa lapar dan mengontrol kadar gula darah. Kondisi ini membuat seseorang lebih mudah terdorong untuk terus makan, terutama makanan dengan kandungan tinggi karbohidrat. Kombinasi antara gangguan hormonal dan pelepasan dopamin inilah yang membuat UPF terasa begitu nagih dan sulit dikendalikan. Dari sisi otak dan tubuh, efeknya sangat mirip dengan mekanisme kecanduan pada zat adiktif. Kenali 5 Tahapan Sebelum Kecanduan UPFKecanduan terhadap makanan ultra-proses tidak muncul begitu saja. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Metabolic Health tahun 2024 menunjukkan bahwa ada tahapan yang bisa dikenali sedari awal sebelum tubuh benar-benar kehilangan kendali: 1. Tahap Pra-AdiksiKonsumsi UPF mulai berlebihan, tetapi belum menimbulkan ketergantungan nyata. Dorongan makan masih bisa dikendalikan, meski rasa “ngidam” mulai muncul saat tidak makan. 2. Tahap Awal AdiksiFrekuensi konsumsi meningkat tanpa kontrol yang jelas. Seseorang mulai sulit membatasi porsi, tapi belum sampai pada perilaku kompulsif. Biasanya disertai pembenaran seperti, “nggak apa-apa, cuma sekali ini”. 3. Tahap Pertengahan AdiksiMuncul perilaku binge eating atau makan berlebihan secara kompulsif, disertai gejala mirip withdrawal (putus zat) seperti gelisah, murung, atau sulit fokus ketika makanan tertentu dihentikan. 4. Tahap Lanjut AdiksiKonsumsi tetap dilakukan meski sadar akan dampak negatifnya. Kontrol diri menurun dan sering muncul perasaan bersalah setelah makan, tapi tetap sulit berhenti. 5. Tahap Akhir AdiksiToleransi meningkat dan tubuh butuh rasa atau jumlah yang lebih besar untuk mendapatkan kepuasan yang sama. Gejala putus zat makin jelas, dan makan berubah menjadi perilaku kompulsif untuk menjaga kestabilan psikologis maupun fisik yang mulai terganggu. Cara Mengurangi Konsumsi UPFBeberapa cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi kecanduan UPF: 1. Pilih makanan utuh (whole foods)Mulailah mengganti sebagian UPF dengan cemilan alami seperti buah, sayur, telur, atau kacang-kacangan. Makanan utuh mengandung protein, lemak, karbohidrat, serat, vitamin, dan mineral yang membantu menjaga keseimbangan hormon lapar dan kenyang secara alami. 2. Kurangi UPF secara bertahapHindari perubahan yang tiba-tiba atau mendadak. Jika biasanya ngemil keripik setiap hari, coba dikurangi jadi tiga kali seminggu. Pendekatan bertahap membantu tubuh dan otak menyesuaikan diri tanpa memicu craving berlebihan. 3. Terapkan mindful eatingCoba makan dengan penuh kesadaran: rasakan tekstur, aroma, dan rasa setiap suapan tanpa terburu-buru. Hindari makan sambil bermain ponsel atau menonton TV. Teknik ini membantu otak menangkap sinyal kenyang lebih cepat dan mengurangi dorongan makan berlebih. 4. Tidur cukup dan kelola stresKurang tidur dan stres kronis dapat meningkatkan kadar hormon rasa lapar (ghrelin) dan menurunkan hormon rasa kenyang (leptin), sehingga memicu keinginan makan tinggi gula dan lemak. (mal/up) Sari Berita Penting |




