Tag Archives: natrium

Waspada! Ini 6 Risiko Kecanduan Makanan Cepat Saji


Jakarta

Fast food atau makanan cepat saji memang enak dan murah, tetapi konsumsi berlebihan dapat membawa dampak negatif bagi tubuh dalam jangka panjang.

Makanan cepat saji menjadi pilihan populer karena mudah ditemukan, rasanya enak, penyajiannya cepat dan harganya lebih murah. Namun mengkonsumsi fast food berkalori tinggi setiap hari dalam porsi besar dapat menimbulkan efek negatif bagi kesehatan.

Alasannya berasal dari kandungan lemak jenuh, natrium yang tinggi, serta gula tambahan tersembunyi yang berbahaya untuk kesehatan. Meski begitu, bukan berarti makanan cepat saji harus dihindari sepenuhnya. Dalam porsi kecil dan sesekali, makanan ini masih bisa masuk dalam pola makan sehat.


Menurut Ahli gizi Nicole Rodriguez, konsumsi makanan cepat saji setiap hari dapat menyebabkan berbagai efek samping, seperti peningkatan tekanan darah, kolesterol tinggi, kekurangan serat, hingga risiko diabetes tipe 2. Hal ini umumnya disebabkan oleh kandungan nutrisi yang tidak seimbang serta minimnya serat, vitamin, dan mineral penting dalam menu-menu cepat saji yang populer.

Dilansir dari Eat This Not That (10/07/2025), berikut 6 efek yang dialami tubuh jika makan makanan cepat saji setiap hari:

1. Meningkatkan Risiko Stroke

assorted junk foodAneka makanan cepat saji yang bisa picu stroke. Foto: iStock

Rodriguez, menjelaskan meski makanan cepat saji dapat menjadi bagian dari pola makan seimbang, mengonsumsinya lebih dari satu kali sehari secara rutin dapat meningkatkan asupan natrium.

Sebagai contoh, satu porsi double cheeseburger, kentang goreng kecil, dan milkshake kecil dari salah satu restoran cepat saji dapat mengandung lebih dari 1.500 miligram natrium.

Padahal menurut anjuran dari Dietary Guidelines for Americans 2020-2025, batas maksimal konsumsi natrium per hari untuk sebagian besar orang adalah 2.300 miligram. Jika dikonsumsi berlebihan, asupan natrium tinggi dapat memicu tekanan darah tinggi dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular serta stroke.

2. Memicu Kenaikan Berat Badan

Ilustrasi makanan cepat sajiIlustrasi makanan cepat saji Foto: Getty Images/arselozgurdal

Porsi standar satu kali makan di restoran cepat saji seperti burger, kentang goreng, dan minuman bersoda bisa mencapai lebih dari 1.000 kalori. Kalori ini akan bertambah signifikan jika seseorang memilih burger yang berukuran besar, kentang goreng jumbo, dan minuman soda manis.

Asupan kalori berlebihan yang terus-menerus serta melebihi kebutuhan tubuh harian, akan menyebabkan penambahan berat badan secara bertahap. Hal ini tentu berisiko bagi kesehatan dalam jangka panjang.

3. Tubuh Kekurangan Serat

Rodriguez menambahkan jika sebagian besar makanan diperoleh dari restoran cepat saji, kemungkinan besar asupan serat pada tubuh tidak akan memenuhi anjuran. Ia menyarankan konsumsi 14 gram serat per 1.000 kalori makanan.

Contohnya pada salad ayam yang dijual di beberapa restoran cepat saji hanya memiliki kandungan 5 gram serat. Bahkan jika dikonsumsi tiga kali sehari, jumlah tersebut masih belum mencukupi kebutuhan harian.

Rendahnya asupan biji-bijian utuh, kacang-kacangan, dan sayur serta buah segar di menu makanan cepat sajisulit memenuhi kebutuhan serat dan fitonutrien.

Kekurangan serat pada tubuh bisa menimbulkan gangguan pencernaan, seperti sembelit, serta meningkatkan risiko kanker usus besar dan kolesterol tinggi.

4. Risiko Kolesterol Tinggi

Ilustrasi kolesterol tinggiIlustrasi kolesterol tinggi Foto: Getty Images/iStockphoto/interstid

Salah satu masalah utama pada makanan cepat saji adalah tingginya kandungan lemak jenuh. Dalam diet 2.000 kalori, batas maksimal asupan lemak jenuh adalah 22 gram per hari. Sementara rata-rata satu porsi makanan cepat saji bisa mengandung lebih dari 75% bahkan mencapai 150% dari batas harian tersebut.

Konsumsi lemak jenuh berlebih terbukti berkaitan dengan meningkatnya kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat). Sehingga Dietary Guidelines for Americans menyarankan agar lemak jenuh tidak melebihi 10% dari total kalori harian setiap orang.

5. Risiko Kekurangan Nutrisi

Mengandalkan makanan cepat saji sebagai sumber utama asupan harian bisa membuat tubuh kekurangan nutrisi penting. Empat nutrisi penting yang sering mengalami kekurangan pada tubuh adalah kalsium, serat, vitamin D, dan kalium.

Kalium banyak ditemukan dalam buah dan sayur dan jarang ditemukan di menu makanan cepat saji. Kalsium dapat diperoleh dari keju atau susu, namun jumlahnya tidak signifikan jika hanya dari selembar keju dalam burger.

Vitamin D biasanya hanya tersedia dalam susu atau produk olahan susu tertentu yang juga jarang ditemukan di menu makanan cepat saji. Ketidakseimbangan ini berisiko menyebabkan kekurangan gizi mikro jika konsumsi fast food terus-menerus dilakukan.

6. Meningkatkan Risiko Diabetes Tipe 2

Image of an Asian Chinese woman helping her mother check blood sugar level using a blood glucose meter at homeIlustrasi cek gula darah bagi penderita diabetes. Foto: Getty Images/hxyume

Sebuah studi beberapa waktu lalu menemukan bahwa konsumsi makanan cepat saji lebih dari dua kali seminggu berkaitan dengan meningkatnya risiko diabetes tipe 2, gangguan metabolik, dan risiko kematian akibat penyakit jantung koroner.

Bagi individu yang memiliki kondisi pra-diabetes, makanan cepat saji tidak menjadi pilihan pola makan seimbang yang dibutuhkan, seperti setengah porsi sayuran di setiap piring, konsumsi biji-bijian utuh, dan sumber protein rendah lemak.

Sehingga hal ini memperburuk kondisi kesehatan seseorang. Untuk itu penting agar tetap menjaga pola makan sehat yang berimbang. Menurut Rodriguez, sah-sah saja makan makanan cepat saji sesekali, asal tidak berlebihan dan tidak terus menerus.

(sob/dfl)

Sumber : food.detik.com

Alhamdulillah Makanan Minuman Sehat Di JumatBerkah.Com اللهم صل على محمد
Source : unsplash.com / Eater Collective

Garam Himalaya Jangan Dikonsumsi Berlebihan, Ini Efek Sampingnya

Jakarta

Garam himalaya merupakan jenis garam merah muda yang berasal dari Pakistan, tepatnya di wilayah Punjab dekat kaki bukit Himalaya. Kini, garam ini telah ada di mana-mana dan bisa dengan mudah dibeli di toko kelontong.

Garam ini dikenal dengan kandungan mineral alaminya, dan jadi salah satu garam yang lebih sehat dibandingkan garam biasa. Namun, tetap ada risiko efek samping yang disebabkan oleh garam himalaya. Simak penjelasannya di bawah ini.

Efek Samping Garam Himalaya

Dikutip dari laman kesehatan WebMD, pada dasarnya garam himalaya mengandung risiko yang sama seperti jenis natrium makanan lain. Berikut adalah beberapa kemungkinan efek samping dari garam himalaya jika terlalu banyak dikonsumsi:


  • Hipertensi: Mengkonsumsi natrium seperti garam himalaya bisa menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi).
  • Penyakit jantung: Karena tekanan darah tinggi menjadi salah satu penyebab penyakit kardiovaskular. Hal ini seiring waktu bisa menyebabkan gagal jantung, stroke, dan serangan jantung.
  • Kanker: Ada penelitian yang mengaitkan konsumsi terlalu banyak natrium bisa meningkatkan risiko kanker perut.
  • Komplikasi osteoporosis: Akan banyak kalsium yang dikeluarkan tubuh melalui urine, akibat semakin banyaknya garam yang kita konsumsi. Hal ini akan membuat pengidap osteoporosis perlu menjalankan diet rendah garam untuk mencegah hilangnya kalsium.
  • Masalah ginjal: Natrium yang terlalu banyak akan meningkatkan risiko penyakit ginjal kronis atau Chronic kidney disease (CKD). Pastikan berkonsultasi ke dokter, karena ia akan memberikan panduan mengenai berapa banyak natrium yang aman untuk tubuh.

Garam Himalaya Pernah Dilarang Dikonsumsi karena Tidak Sesuai SNI

Apakah garam himalaya dilarang? Dilansir situs Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (Kemendag), pada Juli 2020 Kemendag lewat Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) pernah memusnahkan 2,5 ton garam himalaya yang melanggar ketentuan, yakni melanggar ketentuan izin dan Standar Nasional Indonesia (SNI).

Saat itu ditemukan perdagangan garam himalaya yang diperuntukkan sebagai bahan baku industri, tapi dijual bebas di ritel modern dan toko online sebagai garam konsumsi. Di mana, syarat sebagai garam konsumsi harus memenuhi ketentuan SNI.

“Kemendag belum pernah menerbitkan izin impor garam himalaya untuk konsumsi, apalagi garam tersebut kemudian dijual sebagai garam konsumsi tanpa dilengkapi SNI. Karena itu, garam himalaya tersebut kami tarik dari peredaran untuk dimusnahkan. ” tegas Mendang pada kala itu, dikutip dari siaran pers Kemendag pada 22 Juli 2020.

(khq/fds)



Sumber : food.detik.com

Terobosan Baru! Baterai Sodium, Lebih Murah dari Litium-Siap untuk Masa Depan


Jakarta

Baterai solid-state memiliki cara yang lebih aman dan bertenaga untuk menjalankan kendaraan listrik, perangkat elektronik daya, dan menyimpan energi terbarukan dari jaringan listrik.

Sayangnya, bahan utamanya, litium, mahal dan langka. Terlebih penambangannya seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius.

Sodium menawarkan alternatif yang jauh lebih murah dan lebih melimpah, serta jauh lebih aman untuk diekstraksi. Namun, baterai solid-state berbasis sodium telah lama sulit untuk menyamai kinerja litium pada suhu normal.


“Ini bukan masalah sodium versus litium. Kita membutuhkan keduanya. Ketika kita memikirkan solusi penyimpanan energi masa depan, kita harus membayangkan gigafactory yang sama dapat memproduksi produk berbasis kimia litium dan sodium,” kata Profesor Liew Family di bidang Teknik Molekuler di UChicago Pritzker School of Molecular Engineering (UChicago PME), Y Shirley Meng.

“Penelitian baru ini membawa kita lebih dekat ke tujuan akhir tersebut sekaligus memajukan ilmu pengetahuan dasar di sepanjang prosesnya,” imbuhnya.

Terobosan Peneliti Singapura

Sebuah studi baru dari tim Meng, telah mengambil langkah besar untuk memecahkan masalah tersebut. Para peneliti mengembangkan baterai solid-state berbasis sodium yang berkinerja andal di suhu ruangan hingga di bawah titik beku. Sehingga, tercipta tolok ukur baru untuk bidang ini.

Menurut penulis pertama Sam Oh dari A*STAR Institute of Materials Research and Engineering di Singapura, yang melakukan penelitian ini saat mengunjungi Laboratorium Penyimpanan dan Konversi Energi milik Meng, hasil penelitian ini membawa teknologi sodium jauh lebih dekat untuk bersaing dengan litium dalam hal kinerja elektrokimia.

Pencapaian ini juga merupakan kemajuan mendasar dalam ilmu material. Penelitian tersebut diterbitkan dalam jurnal Joule Volume 9, Issue 10, 102130, October 15, 2025, dengan judul “Metastable sodium closo-hydridoborates for all-solid-state batteries with thick cathodes”.

“Terobosan yang kami dapatkan adalah kami berhasil menstabilkan struktur metastabil yang belum pernah dilaporkan,” kata Oh.

“Struktur metastabil natrium hidridoborat ini memiliki konduktivitas ionik yang sangat tinggi, setidaknya satu orde magnitudo lebih tinggi daripada yang dilaporkan dalam literatur, dan tiga hingga empat orde magnitudo lebih tinggi daripada prekursornya sendiri,” jelasnya.

Bagaimana Ahli Membuatnya?

Untuk menciptakan struktur ini, para peneliti memanaskan sodium hydridoborate dalam bentuk metastabil hingga mulai mengkristal, lalu mendinginkannya dengan cepat untuk mengunci strukturnya.

“Metode ini sudah dikenal luas di bidang ilmu material lainnya tetapi sebelumnya belum pernah digunakan untuk elektrolit padat,” kata Oh.

Familiaritas praktik tersebut dapat mempermudah transisi penemuan ini dari penelitian laboratorium ke produksi industri.

“Karena teknik ini sudah mapan, kami akan lebih mampu meningkatkan skalanya di masa mendatang,” kata Oh, dikutip dari Science Daily.

“Jika Anda mengusulkan sesuatu yang baru atau jika ada kebutuhan untuk mengubah atau menetapkan proses, maka industri akan lebih enggan menerimanya,” kata dia.

Memasangkan fase metastabil tersebut dengan katoda tipe O3 yang telah dilapisi elektrolit padat berbasis klorida dapat menciptakan katoda tebal dengan muatan area tinggi yang menjadikan desain baru ini lebih unggul daripada baterai sodium sebelumnya. Berbeda dengan strategi desain dengan katoda tipis, katoda tebal ini akan mengemas lebih sedikit material non-aktif dan lebih banyak “isi” katoda.

“Semakin tebal katodanya, kepadatan energi teoretis baterai-jumlah energi yang tersimpan dalam area tertentu-meningkat,” kata Oh.

Penelitian saat ini memajukan natrium sebagai alternatif yang layak untuk baterai, sebuah langkah penting untuk mengatasi kelangkaan dan kerusakan lingkungan akibat litium.

“Perjalanannya masih panjang, tetapi apa yang telah kami lakukan dengan penelitian ini akan membantu membuka peluang ini,” kata Oh.

(nah/nwk)



Sumber : www.detik.com

Sari Berita Penting